Era 1940-an dan 1950-an adalah tahun
paradoks antara puncak dominasi dan awal kemerosotan fungsionalisme struktural.
Pada periode ini Parsons membuat pernyataan utama yang jelas mencerminkan
pergeserannya dari teori tindakan ke fungsionalisme struktural. Murid-murid
Parsons telah tersebar ke berbagai negara bagian dan menduduki jabatan dominan
di banyak jurusan sosiologi utama (misalnya, Columbia dan Cornell). Murid-murid
ini membuat karya mereka sendiri yang secara luas diakui menyumbang terhadap
teori fungsionalisme struktural.
Namun, segera setelah mencapai
hegemoni teoritis, fungsionalisme struktural menghadapi serangan, dan serangan
itu terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada 1960-an dan 1970-an. Ada
serangan oleh C. Wright Mills terhadap Parsons tahun 1959 dan ada kritik utama
lain yang disusun oleh David Lockwood (1956), Alvin Gouldner (1959/1967,1970),
dan Irving Horowitz (1962/1967). Pada 1950-an serangan ini terlihat seperti
“serangan gerilya”, tetapi ketika sosiologi memasuki tahun 1960-an, dominasi
fungsionalisme struktural jelas berada dalam bahaya.
George Huaco (1986) mengaitkan
pertumbuhan dan kemerosotan fungsionalisme struktural dengan posisi masyarakat
Amerika dalam tatanan dunia. Ketika Amerika mencapai dominasi di dunia setelah tahun
1945, fungsionalisme struktural mencapai hegemoni dalam sosiologi.
Fungsionalisme struktural mendukung posisi dominan Amerika di dunia melalui dua
cara. Pertama, pandangan struktural-fungsional yang menyatakan bahwa setiap
pola mempunyai konsekuensi yang berperan dalam pelestarian dan bertahannya
sistem yang lebih luas tak lebih dari “sekadar merayakan kemenangan Amerika dan
hegemoninya di dunia” (Huaco,1986:52). Kedua, teori struktural-fungsional yang
menekankan pada keseimbangan (perubahan sosial yang terbaik adalah tak adanya
perubahan) berkaitan erat dengan kepentingan Amerika, kemudian berkaitan erat
dengan kepentingan “kekaisaran terkaya dan terkuat di dunia”. Kemerosotan
dominasi Amerika di dunia pada 1970-an bertepatan benar dengan hilangnya posisi
dominan fungsionalisme struktural di dalam teori sosiologi.
Sosiologi Radikal di Amerika : C.
Wright Mills
Meski teori Marxian sebagian besar
diabaikan atau dicerca oleh sosiolog aliran utama Amerika, namun ada
kekecualian, yang paling terkemuka di antaranya adalah C. Wright Mills
(1916-1962). Mills adalah penting karena upayanya yanya yang hampir sendirian
untuk menjaga agar tradisi Marxian tetap hidup dalam teori sosiologi. Sosiolog
Marxian modern jauh melebihi Mills dalam kecanggihan teoritis, tetapi mereka
berutang budi kepada Mills karena aktivitas personal dan profesionalnya banyak
membantu mereka untuk menyusun karya sendiri (Alt, 1985:86). Mills bukanlah
seorang Marxis dan ia tak pernah membaca karya Marx hingga pertengahan tahun
1950-an. Bahkan kemudian ia hanya membaca terbatas pada sedikit terjemahan
dalam bahasa Inggris yang tersedia, karena ia tak dapat membaca bahasa Jerman.
Karena sebagian besar karya Mills diterbitkan sekitar 1950-an, maka karyanya
tidak mendapat bahan dari teori Marxian yang sangat canggih. Mills menerbitkan
dua karya utama yang mencerminkan politik radikalnya maupun kelemahannya dalam
teori-teori Marxian. Pertama adalah White Collar (1951), berisi kritik tajam
tentang status golongan pekerja yang sedang tumbuh, yakni pekerja berkerah
putih. Kedua adalah The Power Elite (1956), buku yang mencoba menunjukkan
betapa Amerika didominasi oleh sekelompok kecil pengusaha, politisi dan
pimpinan tentara. Antara dua karyanya itu diterbitkan karya teoritisnya yang
tercanggih, Character and Social Structure (Gerth dan Mills, 1953), ditulis
bersama Hans Gerth (N. Gerth,1993). Radikalisme Mills menempatkannya di
pinggiran sosiologi Amerika. Ia menjadi sasaran berbagai kritik dan ia,
sebaliknya, menjadi pengkritik keras sosiologi. Sikap kritisnya memuncak dalam
The Sociological Imagination (1959). Buku ini mengandung kritikan keras Mills
terhadap Parsons dan terhadap praktik teori besarnya. Mills meninggal pada
1962, sebagai orang buangan dalam sosiologi. Tetapi, sebelum berakhirnya dekade
1960-an, sosiolog radikal dan teoritisi Marxian mulai melancarkan serangan
penting ke dalam disiplin sosiologi.
Pekembangon Teori Konflik
Rintisan lain yang menyatukan Marxisme
dan teori sosiologi adalah perkembangan teori konflik, sebuah alternatif terhadap
fungsionalisme struktural. Seperti yang telah kita lihat, fungsionalisme
struktural tak lama dalam memegang kepemimpinan dalam teori sosiologi karena
mulai menghadapi serangan yang memuncak. Serangan terhadapnya beraneka ragam.
Fungsionalisme struktural dituduh bersifat politik konservatif, tak mampu
menjelaskan perubahan sosial karena perhatiannya tertuju pada struktur statis
dan tak mampu menganalisis konflik sosial. Salah satu hasil dari kritik itu
adalah upaya di pihak sejumlah sosiolog untuk menanggulangi masalah
fungsionalisme struktural dengan menyatukan perhatian pada struktur dan pada
konflik. Pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal teori konflik sebagai
alternatif terhadap teori struktural-fungsional. Sayangnya, teori konflik ini
sering dilihat sebagai cerminan fungsionalisme struktural dengan sedikit
integritas intelektual di dalamnya.
Upaya penting pertama adalah karya
Lewis Coser (1956) tentang fungsi konflik sosial (Jaworski, 1991). Karya ini
dengan jelas mencoba menerangkan konflik sosial di dunia menurut kerangka
pandangan struktural fungsional. Meski bermanfaat untuk melihat fungsi konflik,
namun masih lebih banyak yang perlu dikaji tentang konflik ketimbang
menganalisis fungsi positifnya itu. Masalah terbesar yang dihadapi kebanyakan teori
konflik adalah kekurangan apa yang justru diperlukan yakni landasan kuat dalam
teori Marxian. Teori Marxian berkembang dengan baik di luar sosiologi dan
seharusnya dapat dijadikan basis untuk mengembangkan teori sosiologi yang
canggih tentang konflik. Perkecualian di sini adalah karya Ralf Dahrendorf
(lahir 1929). Dahrendorf adalah sarjana Eropa yang sangat memahami teori
Marxian. Tetapi, bagian ujung teori konfliknya terlihat lebih menyerupai
cerminan fungsionalisme struktural ketimbang teori Marxian tentang konflik.
Karya utama Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society (1959)
adalah bagian paling berpengaruh dalam teori konflik, tetapi pengaruh itu
sebagian besar karena ia banyak menggunakan logika struktural fungsional yang
memang sesuai dengan logika sosiolog aliran utama. Artinya, tingkat analisisnya
sama dengan fungsionalis struktural (tingkat struktur dan institusi) dan
kebanyakan masalah yang diperhatikan pun sama. Dengan kata lain fungsionalisme
struktural dan teori konflik adalah bagian dari paradigma yang sama. Tahrendorf
mengakui bahwa meski aspek-aspek sistem sosial dapat saling menyesuaikan diri
dengan mantap, tetapi dapat juga terjadi ketegangan dan lonflik di antaranya. Akhirnya,
teori konflik mestinya dilihat sebagai perkembangan transisional dalam sejarah
teori sosiologi. Kegagalannya karena tak cukup jauh mengikuti arahan teori
Marxian. Di era 1950-an dan 1960-an rupanya masih terlalu dini bagi sosiologi
Amerika untuk menerima pendekatan Marxian sepenuhnya. Tetapi, teori konflik
telah membantu membuka jalan penerimaan teori Marxian di penghujung tahun
1960-an.
Kelahiran Teori Pertukaran (Exchange
Theory)
Perkembangan teoritis penting lain
pada 1950-an adalah kelahiran teori pertukaran (Molm, 2001). Tokoh utamanya
adalah George Homans, sosiolog yang menggunakan pendekatan behaviorisme
psikologi Skinner. Behaviorisme Skinner adalah sumber utama sosiologi Homans
dan teori pertukarannya. Mula-mula Homans tak segera memahami bagaimana
proposisi yang dikembangkan Skinner untuk membantu menjelaskan perilaku merpati
dapat bermanfaat guna memahami perilaku merpati dapat berguna memahami perilaku
manusia. Tetapi, ketika Homans selanjutnya melihat data hasil studi sosiologi
tentang kelompok-kelompok kecil dan hasil studi antropologi tentang masyarakat
primitif, ia mulai memahami bahwa behaviorisme Skinner dapat diterapkan dan
menyediakan alternatif terhadap gaya fungsionalisme struktural Parsonsian. Hal
ini terwujud pada tahun 1961 dengan terbitnya buku Social Behavior: Its Elementary
Forms. Karya ini mencerminkan kelahiran teori pertukaran sebagai sebuah
perspektif penting dalam sosiologi. Menurut Homans, jantung sosiologi terletak
dalam studi interaksi dan perilaku individual. Ia sedikit sekali memperhatikan
kesadaran atau berbagai jenis struktur dan institusi berskala besar yang
menjadi sasaran perhatian sebagian besar sosiolog. Perhatian utamanya lebih
tertuju pada pola-pola penguatan (reinforcement), sejarah imbalan (reward), dan
biaya (cost) yang menyebabkan orang melakukan apa-apa yang mereka lakukan.
Homans menyatakan bahwa orang terus mengerjakan apa-apa yang di masa lalu
mendapat imbalan. Sebaliknya, orang akan berhenti melakukan sesuatu yang telah
terbukti menimbulkan kerugian individual. Dengan demikian sasaran perhatian sosiologi
semestinya bukan pada kesadaran atau pada struktur dan institusi sosial, tetapi
pada pola penguatan. Seperti terkesan dari namanya, teori pertukaran tak hanya
memusatkan perhatian pada perilaku individu, tetapi juga pada interaksi antara
individu yang menyebabkan terjadinya pertukaran imbalan/hadiah dan kerugian.
Dasar pikirannya adalah bahwa interaksi kemungkinan berlanjut bila ada
pertukaran imbalan. Sebaliknya, interaksi yang menimbulkan kerugian terhadap
salah seorang atau terhadap kedua belah pihak sangat kecil kemungkinannya
berlanjut. Pernyataan teoritisi utama lain dalam teori pertukaran terdapat
dalam buku Peter Blau, Exchange and Power in Social Life, terbit tahun 1964.
Pada dasarnya menerima perspektif Homans, tetapi ada perbedaan penting. Homans
sudah puas dengan menerangkan bentuk-bentuk mendasar perilaku sosial. Blau
ingin itegrasikannya dengan pertukaran di tingkat struktural dan kultural.
Mulai diperhatikan pertukaran antara para aktor, tetapi segera beralih ke
struktur besar yang menimbulkan pertukaran itu. Studi Blau diakhiri dengan
perhatikan pertukaran di antara struktur berskala besar. Meskipun selama
beberapa tahun terungguli oleh Homans dan Blau, Richard in (1981) akhirnya
muncul sebagai tokoh sentral teori pertukaran (Cook Whitmeyer, 2000b). Ia
menjadi penting terutama karena upayanya mengembangkan pendekatan mikro-makro
yang lebih terpadu. Kini teori pertukaran berkembang menjadi lembaran penting
teori sosiologi dan terus menarik perhatian pengamat baru dan menempuh arah
baru (Cook, O’Brien, dan Kollock, 1990; Szmatka dan Mazur, 1996).
Analisis Dramaturgis: Karya Grving
Goffman
Erving Goffman (1922-1982) sering
dianggap sebagai pemikir utama terakhir Chicago asli (Travers, 1992; Tseelon,
1992); Fine dan Manning (2000) memandangmya sebagai sosiolog Amerika paling
berpengaruh di abad 20. Antara 1950-an 1970-an Goffman menerbitkan sederetan
buku dan esai yang melahirkan isis dramaturgis sebagai cabang interaksionisme
simbolik. Walau Goffman mengalihkan perhatiannya di tahun-tahun berikutnya, ia
tetap paling terkenal karena teori dramaturgisnya. Pernyataan paling terkenal
Goffman tentang teori dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everyday
Life, diterbitkan tahun 1959. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Goffman
melihat banyak kesamaan antara pementasan teater lengan berbagai jenis peran
yang kita mainkan dalam interaksi dan tindakan sehari-hari. Interaksi dilihat
sangat rapuh, dipertahankan oleh kinerja sosial. Kinerja sosial yang buruk atau
kacau merupakan ancaman besar terhadap interaksi sosial sebagaimana yang
terjadi pada pertunjukan teater. Goffman melanjutkan agak jauh analogi antara
panggung teater dan nteraksi sosial ini. Di semua interaksi sosial terdapat
semacam bagian depan (front region) yang ada persamaannya dengan pertunjukan
teater. Aktor, baik di pentas maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari,
sama-sama menarik perhatian karena penampilan kostum yang dipakai dan peralatan
yang digunakan. Selanjutnya, di kedua jenis pertunjukan itu ada bagian
belakangnya (back region), yakni tempat yang memungkinkan aktor mundur guna
menyiapkan diri un pertunjukan berikutnya. Di belakang layar atau di depan
layar (menurut istil teater) para aktor dapat berganti peran dan memerankan
diri mereka sendiri. Analisis dramaturgis jelas konsisten dengan pendirian
interaksionis simboliknya. Analisis ini tetap memusatkan perhatian pada aktor
tindakan dan interaksi. Setelah meneliti di arena yang sama dengan yang
diteliti oleh interaksionisme simbolik tradisional, Goffman menemukan kiasan cemerlang
di dalalm pertunjukan teater ini yang dapat digunakan untuk memahami proses
sosi berskala kecil (Manning, 1991,1992).
Perkembangon Sosiologi Kehidupan
Sehari-hari
Tahun 1960-an dan 1970-an ditandai
ledakan (Ritzer, 1975a, b) dalam berbagai perspektif teoritis yang dapat
dihimpun di bawah tajuk sosiologi kehidupan sehari-hari (J. Douglas, 1980;
Weigert, 1981).
Sosiologi Fenomenologi dan Karya
Alfred Schutz (1899-1959)
Filsafa fenomenologi, yang memusatkan
perhatian pada kesadaran, mempunyai sejarah yang panjang. Tetapi, upaya
mengembangkan studi sosiologi berdasarkan filsafat fenomenologi baru muncul
dengan terbitnya karya Schutz The Phenomenology Social World di Jerman tahun
1932 (Rogers, 2000). Schutz memusatkan perhatian pada cara orang memahami
kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam aliran kesadaran mereka
sendiri. Schutz juga menggunakan perspektif intersubjektivitas dalam pengertian
lebih luas untuk memahami kehidupan sosial, terutama mengenai ciri sosial
pengetahuan. Banyak pemikiran Schutz yang dipusatkan terhadap satu aspek dunia
sosial yang disebut kehidupan dunia (life-world) atau dunia kehidupan
sehari-hari. Inilah yang dimaksud dunia intersubjektif. Dalam dunia
intersubjektif ini orang menciptakan realitas sosial dan dipaksa oleh kehidupan
sosial yang telah ada dan oleh struktur kultural ciptaan leluhur mereka. Di
dalam dunia kehidupan itu banyak aspek kolektifnya, tetapi juga ada aspek
pribadinya (yang dapat diungkap melalui biografi). Schutz membedakan dunia
kehidupan antara hubungan tatap muka yang akrab (“relasi-kami”) dan hubungan
impersonal dan renggang (“relasi-mereka”). Sementara hubungan tatap muka yang
intim sangat penting dalam kehidupan dunia, adalah jauh lebih mudah bagi
sosiolog untuk meneliti hubungan impersonal secara ilmiah. Meski Schutz beralih
perhatiannya dari kesadaran ke dunia kehidupan intersubjektif, namun ia masih
mengemukakan hasil pemikirannya tentang kesadaran, terutama pemikirannya
tentang makna dan motif tindakan individual. Secara keseluruhan Schutz
memusatkan perhatian pada hubungan dialektika antara cara individu membangun
realitas sosial dan realitas kultural yang mereka warisi dari para pendahulu
mereka dalam dunia sosial.
Etnometodologi
Walau ada perbedaan penting antara
keduanya, fenomenologi dan etnometodologi sering dianggap berkaitan erat. Salah
satu alasan utama hubungan eratnya adalah bahwa pencipta perspektif teoritisi
Etnometodologi ini, Harold Garfinkel, adalah murid Schutz di New School di New
York. Yang sangat menarik Garfinkel sebelumnya menjadi murid Parsons dan
peleburan gagasan Parsonsian dan Schutzian membantu memberikan metodologi
orientasi yang jelas. Etnometodologi pada dasarnya adalah studi tentang
“Kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan
(metode) yang dapat dipahami anggota masyarakat biasa dan yang mereka jadikan
sebagai landasan untuk bertindak” (Heritage, 1984:4). Para penulis menurut
perspektif ini cenderung ke arah studi tentang kehidupan sehari-hari (Sharrock,
2001). Bila para sosiolog fenomenologi cenderung memusatkan perhatian pada apa
yang dipikirkan orang, sosiolog etnometodologi mencurahkan perhatian pada studi
terinci tentang percakapan orang. Kebiasaan berpikir ini bertolak belakang
dengan kebanyakan sosiolog aliran utama yang memusatkan perhatian pada
abstraksi seperti birokrasi, kapitalisme, pembagian kerja, dan sistem. Pakar
etnometodologi memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana berbagai struktur
itu tercipta dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tak tertarik pada fenomena
seperti struktur itu sendiri. Di beberapa terakhir kita masih membahas beberapa
teori mikro, teori perkaran, sosiologi fenomenologi, dan etnometodologi. Meski
kedua teori terakhir ini mempunyai kesamaan pandangan bahwa aktor berpikir dan
kreatif, pandangan seperti itu tak dianut oleh teoritisi pertukaran. Namun
demikian, ketiga teori mikro itu mempunyai orientasi mikro terhadap aktor dan
terhadap tindakan serta perilaku mereka. Pada 1970-an teori seperti itu tumbuh
dengan kuat dalam sosiologi dan mengancam menggantikan posisi teori-teori yang
lebih makro (seperti fungsionalisme struktural, teori neo Marxian) sebagai
teori dominan dalam sosiologi (Knorr Cetina, 1981; Ritzer, 1985).
Perkembangan dan Kemunduran (?)
Sosiologi Marxian
Akhir 1960-an ditandai perkembangan
teori Marxian dalam teori sosiologi Amerika (Cerullo, 1994). Semakin banyak
sosiolog yang beralih ke karya asli Marx, dan karya Marxis, untuk mencari
pandangan yang berguna dalam perkembangan sosiologi Marxian. Sekilas ini tampak
berarti bahwa teoritisi Amerika akhirnya membaca Marx secara serius, tetapi
kemudian muncul tulisan-tulis akademis Marxian signifikan oleh beberapa
sosiolog Amerika. Teoritisi Amerika terutama tertarik pada karya aliran kritis,
karena aliran itu menggabungkan pemikiran teoritisi Marxian dan Weberian.
Banyak di antara karya aliran kritis itu yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dan sejumlah pakar telah menulis buku tentang aliran kritis
(misalnya, Jay, 1973 Kellner, 1993). Bersamaan dengan meningkatnya minat ini,
muncul dukungan institusional terhadap sosiologi Marxian. Beberapa jurnal
mencurahkan perhatian besar terhadap teori sosiologi Marxian, termasuk Theory
and Society, Telos, dan Marxist Studies. Pada 1977 The American Sociological
Association membentuk seksi sosiolo Marxis. Tak hanya generasi pertama
teoritisi kritis yang terkenal di Amerik pemikir generasi kedua pun, terutama
Jurgen Habermas, mendapat penghargaan luas. Yang cukup penting adalah
perkembangan penting sosiologi Amerika yan membahas berbagai masalah dari sudut
pandang Marxian. Ada kelompok sosiolog yang sangat penting yang mempelajari
sosiologi sejarah menurut perspektif Marxian (misalnya Skocpol, 1979;
Wallerstein, 1974, 1980, 1989) Kelompok lain menganalisis kehidupan ekonomi menurut
perspektif sosiologi (misalnya, Baran dan Sweezy, 1966; Braverman, 1974;
Burawoy, 1979). Kelompok ini membuat analisis sosiologi empiris yang masih agak
tradisional, tetapi hasi karya mereka ditandai oleh basis pemikiran yang kuat
dari teori Marxian (misalnya, Kohn, 1976). Perkembangan yang menjanjikan dan
relatif baru adalah Marxisme spasial. Beberapa pemikir sosial (Harvey, 2000;
Lefebvre, 1974/1991 Soja, 1989) yang telah meneliti geografi sosial dari
perspektif Marxian. Tetapi, dengan runtuhnya Uni Soviet dan rezim Marxis di
seluruh dunia teori Marxian pun rontok pada 1990-an. Sebagian pakar tetap belum
berhasi merekonstruksi ulang teori Marxis; yang lain terpaksa mengembangkan
versi baru teori Marxian. Kelompok lainnya tiba pada kesimpulan bahw a teori
Marxian harus dibuang. Wakil pendirian terakhir ini adalah buku Ronala Aronson,
After Marxism (1995). Di bagian awal buku itu dikatakan: “Marxism; sudah
berlalu dan kita berada dalam pemikiran kita sendiri” (Aronson, 1995:1) Inilah
pengakuan seorang Marxis! Meski Aronson menyadari masih ada orang yang berkarya
dengan teori Marxian, ia mengingatkan bahwa mereka harus menyadar. karyanya itu
tak lagi menjadi bagian proyek Marxian yang lebih luas tentang transformasi
sosial. Artinya teori Marxian tak lagi berhubungan dengan program bertujuan
mengubah basis masyarakat seperti yang dimaksudkan Marx. Marxian menjadi teori
tanpa praktik. Suatu ketika teoritisi Marxis tak lagi tergantung pada program
Marxian, tetapi harus bergulat dengan masyarakat modern dengan “kekuatan dan
energi mereka sendiri” (Aronson, 1995:4). Aronson adalah seorang pengkritik
Marxisme yang lebih ekstrem yang nerasal dari dalam kubu Marxian. Marxian
lainnya menyadari kesulitan-kesulitan namun masih mencoba mencari berbagai cara
untuk menyesuaikan beberapa jenis teori Marxian dengan realitas kontemporer
(Brugger, 1995; Kellner, 1995). Bagaimanapun juga perubahan sosial yang lebih
luas merupakan tantangan berat adap teoritisi Marxian yang mati-matian mencoba
menyesuaikan teorinya dengan perubahan ini menurut berbagai cara. Apa pun yang
dapat dikatakan, yang jelas “masa keemasan” teori sosial Marxian telah berlalu.
Teori-teori sosial dan berbagai jenis akan tetap bertahan, namun takkan
mencapai status dan asaan seperti yang pernah diterima para pendahulu mereka
dalam sejarah sosiologi. Sementara neo Marxian tak akan pernah mencapai status
yang pernah dicapainya dahulu, ia mengalami suatu mini-renaisans (misalnya,
Hardt dan Negri, 2000) dari sudut pandang globalisasi, persepsi bahwa bangsa
kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin (Stiglitz, 2002), dan protes
di seluruh dunia menentang disparitas dan penyalahgunaan lainnya. Ada banyak
orang yang percaya bahwa globalisasi akan membuka seluruh dunia, mungkin untuk
pertama kalinya, ke arah kapitalisme dan eksesnya (Ritzer, 2004). Jika
demikian, jika ekses itu terus berlanjut dan bahkan berakselerasi, kita akan
melihat kebangkitan kembali minat terhadap teori Marxian, kali ini diterapkan
pada ekonomi kapitalis global.
Tantangan Teori Feminis.
Berawal di penghujung 1970-an,
tepatnya di saat sosiologi Marxian mencapai derajat penerimaan signifikan dari
sosiolog Amerika, muncul teori baru yang menantang teori sosiologi yang sudah
mapan dan bahkan menantang sosiologi Marxian sendiri. Cabang pemikiran sosial
radikal terakhir inilah yang dimaksud dengan teori feminis kontemporer (Roger,
2001). Di dalam masyarakat Barat, kita dapat melacak kembali tulisan feminis
kritis ke masa 500 tahun yang lalu, dan ada gerakan politik yang terorganisir
dari dan untuk perempuan selama lebih dari 150 tahun. Di Amerika pada 1920,
gerakan ini akhirnya memenangkan hak perempuan untuk memilih, 55 tahun setelah
hak itu secara konstitusional diperluas ke semua lelaki. Karena lelah dan jemu
dengan kemenangan itu, gerakan perempuan Amerika selama tiga puluh tahun
kemudian menjadi lemah dalam ukuran maupun kekuatannya, tetapi bangkit kembali
pada 1960-an. Ada tiga faktor yang membantu terciptanya gelombang aktivitas
feminis baru ini: (1) suasana umum pemikiran kritis yang menandai periode
1960-an; (2) kemarahan aktivitas wanita yang terhimpun dalam gerakan
antiperang, hak-hak sipil, dan gerakan mahasiswa yang hanya bertujuan menentang
sikap seksis dari pria radikal dan liberal di dalam gerakan tersebut
(Densimore, 1973; Evan, 1980; Morgan, 1970; Shreve, 1989); dan (3) pengalaman
wanita dalam menghadapi prasangka dan diskriminasi yang mereka pindahkan
menjadi tuntutan upah dan pendidikan yang lebih tinggi (Bookman dan Morgan,
1988; Caplan, 1993: Garland, 1988; Mackinnon, 1979). Karena alasan-alasan di
atas, dan terutama yang terakhir, gerakan wanita fase kedua ini terus
berkembang selama tahun 1970-an dan hingga abad 21, meski aktivitas berbagai
gerakan lain tahun 1960-an sudah memudar. Pada tahun-tahun itu aktivitas oleh
dan untuk wanita menjadi fenomena internasional. Tulisan feminis kini memasuki
“gelombang ketiga” dalam tulisan-tulisan perempuan yang akan menghabiskan
sebagian besar kehidupan dewasa mereka di abad 21 (C. Bailey, 1997; Orr, 1997).
Perkembangan paling signifikan dalam gerakan wanita adalah kemunculan aktivis
perempuan dari gerakan feminis dan antifeminis (Fraser, 1989). Ciri utama
gerakan wanita internasional ini ditandai oleh ledakan pertumbuhan literatur
baru tentang wanita yang melukiskan semua aspek pengalaman dan kehidupan wanita
yang tak terpikirkan hingga kini. Literatur ini, yang terkenal sebagai studi
wanita, adalah karya komunitas penulis internasional dan interdisipliner yang
berasal dari dalam dan luar universitas dan yang ditulis untuk umum dan untuk
golongan akademis. Pakar feminis melakukan penyelidikan dan melancarkan
kritikan terhadap kompleksitas sistem yang mensubordinasikan wanita. Teori-teori
feminis tersebut melalui literatur berikut ini: kadang-kadang tersirat dalam
tulisan tentang masalah substantif seperti kultur kerja atau perkosaan atau
kebudayaan populer; adakalanya disajikan secara eksplisit seperti dalam
analisis tentang keibuan; dan proyek-proyek penulisan sistematis yang semakin
meningkat. Beberapa pernyataan tertentu secara khusus penting bagi sosiologi
karena diarahkan langsung kepada para sosiolog oleh orang-orang yang menguasai
betul bidang sosiologi. Jurnal yang menimbulkan perhatian sosiolog atas teori
feminis, antara lain Signs, Feminist Studies, Sociological Inquiry, dan Gender
and Society, akan tetapi, jarang ada jurnal sosiologi yang tidak dapat disebut
pro feminis. Teori feminis melihat dunia dari sudut pandang wanita untuk
menemukan yang signifikan, tetapi tak diakui di mana aktivitas wanita yang
disubordinasikan berdasarkan jender dan dipengaruhi oleh berbagai praktik
stratifikasi seperti kelas, ras, umur, heteroseksual yang dipaksakan, dan
ketimpangan geososial membantu menciptakan dunia kita. Pandangan ini dramatis
menggoyahkan pemahaman kita tentang kehidupan sosial. Dari inilah teoritisi
feminis menentang teori sosiologi, khususnya pernyataan klasik dan riset
awalnya. Tulisan-tulisan feminis kini mendapat banyak kritik dalam sosiologi.
Mereka menawarkan paradigma baru untuk studi kehidupan sosial. Dan khalayak
yang menerimanya umumnya adalah wanita dan lelaki yang dipengaruhi oleh
feminisme khususnya, yang kini barangkali cukup banyak dalam komunitas
sosiologi. Karena semua alasan inilah implikasi teori feminis terus meningkat
menjadi aliran utama disiplin sosiologi, terlibat dalam seluruh
subspesialisnya, memengaruhi berbagai teori yang sudah lama mapan, mikro maupun
makro, dan berinteraksi dengan perkembangan aliran post strukturalis dan post
modern yang akan diuraikan di bawah.
Struktualisme dan Post Strukturalisme
Salah satu perkembangan
yang telah disinggung sedikit di atas adalah peningkatan perhatian terhadap
strukturalisme (Lemert, 1990). Kita akan berpendapat kesan awal tentang
strukturalisme dengan melukiskan perbedaan mendasar antar pendukung perspektif
strukturalis. Ada yang memusatkan perhatian pada apa yang mereka sebut struktur
pikiran bagian dalam. Menurut pandangan mereka, struktur yang tak disadari
inilah yang menyebabkan orang berpikir dan bertindak seperti yang dilakukannya
itu. Karya psikoanalisis Freud dapat dipandang sebagai contoh orientasi ini.
Ada lagi strukturalis yang memusatkan perhatian pada struktur masyarakat lebih
luas yang tak terlihat dan memandangnya sebagai faktor penentu tindakan
individu maupun tindakan masyarakat pada umumnya. Marx adakalanya berpikir
seperti seorang strukturalis semacam itu, yang memusatkan perhatian pada
struktur ekonomi masyarakat kapitalis yang tak terlihat. Kelompok lain melihat
struktur sebagai model yang mereka gunakan untuk mengkonstruksikan kehidupan
sosial. Terakhir, ada sejumlah strukturalis yang memusatkan perhatian pada
hubungan dialektis antara individu dan struktur sosial. Mereka melihat adanya
kaitan antara ftruktur pikiran dan struktur masyarakat. Antropolog Claude
Levi-Strauss paling sering diasosiasikan dengan pandangan ini. Ketika
strukturalisme tumbuh di dalam sosiologi, di luar sosiologi berkembang pula
post strukturalisme (Lemert, 1990). Tokoh utama post strukturalisme ini adalah
Michel Foucault (Dean, 2001; J. Miller, 1993). Dalam karya awalnya, Foucault
memusatkan perhatian pada struktur, tetapi kemudiad ia beralih keluar struktur,
memusatkan perhatian pada kekuasaan dan hubungan antara pengetahuan dan
kekuasaan. Lebih umum lagi, penganut post strukturalisme mengakui arti
struktur, tetapi berpikir lebih jauh lagi melampaui struktur yang mencakup
sejumlah besar masalah lain. Post strukturalisme tak hanya penting dalam
dirinya sendiri, tetapi juga penting karena sering dilihat sebagai pemikiran
pendahuluan bagi teori sosi. Sebenarnya sulit, bukannya tak mungkin, melukiskan
secara jelas kaitan antara post strukturalis dan teori sosial post modern.
Jadi, Foucault, seorang post strukturalis, sering dipandang sebagai seorang
post modernis, sementara Jean Baudrillard (1972/1981), yang biasanya dicap
seorang post modernis, menyusun karya yane berkarakter post struktural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar