Kamis, 01 Oktober 2015

Resensi Buku: Sosiologi Konsep dan Teori

Judul : Sosiologi Konsep dan Teori
Pengarang : Prof. Dr. C. Dewi Wulansari, SH., MH., SE., MM
Penerbit : PT. Refika Aditama
Tempat Terbit : Bandung
Tahun Terbit : 2009
Cetakan : Pertama, Agustus 2009
Ukuran : 160 x 240 cm
Jumlah Halaman : ix, 219 hlm
ISBN : 979-1073-78-3

Telah banyak buku-buku teks sosiologi umum yang ditulis dan diterbitkan, dan buku sosiologi konsep dan teori yang ditulis ini adalah menyajikan titik-titik penekanan dasar yang perlu diketahui oleh seorang mahasiswa untuk nantinya dipelajari lebih lanjut pada jurusan sosiologi atau dengan mempelajarinya langsung dari masyarakat, dengan sebelumnya memafhumkan diri pada konsep dan teori yang ada. Buku ini terdiri dari enam bab yang membahas sosiologi dengan warna filsafat secara ontologi, epistemologi, hingga ke aksiologi, adapun bab-bab dimaksud antara lain sebagai berikut.

Bab pertama adalah ruang lingkup dan tujuan bahasan yang memuat lingkup pokok bahasan dan tujuan bahasan sosiologi umum. Bab kedua adalah tentang ilmu pengetahuan yang membahas manusia sebagai homo sapiens, pengetahuan dan ilmu pengetahuan, batasan ilmu pengetahuan, syarat-syarat atau ciri-ciri ilmu pengetahuan, klasifikasi ilmu pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, serta manfaat ilmu pengetahuan. Bab ketiga adalah pengenalan sosiologi yang berisi batasan sosiologi, obyek sosiologi, karakteristik sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi sebagai ilmu pengetahuan masyarakat, sosiologi di tengah ilmu sosial lainnya, sejarah dan tokoh yang membidani lahirnya sosiologi, perspektif atau paradigma sosiologi, ruang lingkup sosiologi, pendekatan sosiologi, metode sosiologi, serta gambaran sosiologi di Indonesia. Bab keempat adalah konsep-konsep dasar sosiologi yang berisi interaksi sosial, struktur sosial, dan perubahan sosial.

Pada interaksi sosial menjelaskan tentang batasan interaksi sosial, interaksi sebagai dasar proses sosial, syarat-syarat terjadinya interaksi sosial, ciri-ciri interaksi sosial, bentuk-bentuk interaksi sosial, interaksi individu dengan lingkungannya, guna mengetahui tentang interaksi sosial, sosialisasi dan pemaknaan sebagai akibat adanya interaksi sosial dalam proses sosial. Pada struktur sosial menjelaskan tentang batasan struktur sosial dan unsur-unsur pokoknya, kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial atau institusi sosial, dan lapisan sosial atau stratifikasi sosial. Pada perubahan sosial menjelaskan tentang batasan perubahan sosial, sebab-sebab terjadinya perubahan sosial, faktor pendorong terjadinya perubahan sosial, faktor penghambat terjadinya perubahan sosial, proses perubahan sosial, bentuk-bentuk perubahan sosial, perlunya perubahan sosial, serta teori tentang perubahan sosial. Bab kelima adalah teori-teori sosiologi yang berisi tentang teori evolusi sosial, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, dan teori interaksionisme simbolik. Bab keenam adalah kegunaan studi sosiologi yang menjelaskan mengenai kegunaan studi sosiologi dalam kehidupan sosial, kegunaan sosiologi dalam penelitian dan ilmu pengetahuan, kegunaan studi sosiologi dalam pembangunan, dan peran sosiologi dalam kehidupan sosial.

Buku ini begitu berbeda dengan buku-buku sosiologi umum lainnya yang lebih tebal, ringkas halaman dan pembahasannya hanya memfokuskan pada hal-hal inti yang perlu dan sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari menjadikannya sebagai salah satu referensi yang layak untuk dibaca oleh mereka yang hendak mengetahui konsep dan teori sosiologi pada tataran pengenalan awal.

Resenai Buku: Kapitalisme dan Teori Sosial Modern; Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber

Judul : Kapitalisme dan Teori Sosial Modern; Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber
Pengarang : Anthony Giddens
Penerbit : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press)
Tempat Terbit : Jakarta, Indonesia
Tahun Terbit : 1986
Cetakan : Pertama
Ukuran : 150 x 230 cm
Jumlah Halaman : xxii, 320 hlm
ISBN : 979-8034-29-5

Anthony Giddens, merupakan seorang tokoh sosiologi yang terkenal dengan pemikiran jalan tengahnya dalam menengahi perseteruan pemikiran sosial yang terlibat dalam tesis, sintesis, anti tesis, hingga ke tesis yang baru, pada penggolongan teori sosialnya. Giddens sendiri belum bisa lepas dari bayang-bayang pemikiran besar tokoh teori sosilogi klasik seperti Marx, Durkheim, dan juga Weber. Hal ini terbukti dengan digunakannya karya tulis ketiga tokoh tersebut dalam menganalisis kapitalisme dan teori sosiologi modern yang ia buat.

Resensi singkat ini hendak menghantarkan pembaca bahwa antara Marx, Durkheim, dan Weber, sama-sama mencurahkan perhatian terhadap terbentuknya kapitalisme yang kemudian disajikan sebagai teori untuk menjelaskan fenomena kapitalisme. Marx dengan dialektika materialisme historisnya menjelaskan bagaimana upaya mendapatkan materi membuat orang-orang berupaya untuk memproduksi barang dengan menggunakan segala sumberdaya termasuk manusia (pekerja), yang dengan desain struktur sedemikian rupa, pekerja menjadi miskin terkuras dan terhisap, sementara pemilik usaha menjadi semakin kaya, hal inilah yang kemudian menciptakan kapitalisme, pemupukan juga penumpukan modal (kapital) pada segelintir kalangan. Weber dengan tindakan rasionalitasnya menjelaskan bahwa kapitalisme tumbuh dan berkembang karena adanya etika protestan yang mengharuskan pemeluknya untuk bekerja giat di dunia untuk mencapai tujuan hidup bahagia bersama-sama dengan tuhannya di akhirat kelak, yang mana hal tersebut tidak akan tercapai manakala dalam kehidupan di dunia tidak berhasil menjadi kaya, sebaliknya miskin dianggap sebagai malapetaka. Hal itulah yang membuat orang berlomba-lomba membuat diri menjadi kaya, pada akhirnya hanya sedikit yang sampai pada predikat itu. Jika Marx dan Weber memfokuskan perhatian pada kapitalisme dari sisi ontologi, maka Durkheim lebih berada pada sisi epistemologi, yang mana tergambar dalam teorinya yang berjudul division of labour dan suicide, yakni pembagian kerja dan bunuh diri. Pembagian kerja adalah fokus perhatian Durkheim pada masyarakat industri ketika kapitalisme telah merebak, sedangkan bunuh diri sebagai sebuah fenomena merebak luas dan ditenggarai oleh karena tingginya tuntutan hidup berbanding terbalik dengan ketidakmampuan diri dalam memenuhi tuntutan tersebut.

Buku kapitalisme dan teori sosial modern mengajarkan kepada pembaca bagaimana melihat fenomena yang ada di masyarakat dengan menggunakan perspektif sosiologi sebagaimana yang telah pernah diajukan oleh tokoh-tokoh sosiologis, dengan memakai paradigma sosiologis maka akan terasa semua fenomena sosial dapat dijelaskan untuk kemudian diketahui makna dari adanya suatu kejadian (tindakan).

Resensi Buku: Teori Sosial dari Klasik Sampai Postmodern

Tulisan yang disajikan oleh Turner sesungguhnya hendak mengungkap apa yang dimaksud dengan teori sosial sejak masa klasik hingga postmodern, tentunya dari sudut pandangnya, dengan mengambil teori-teori yang dianggapnya masih cukup relevan untuk diketahui oleh generasi hari ini. Sebenarnya antara teori yang satu dengan teori yang lain masih memiliki keterkaitan, lahirnya sebuah teori biasanya lebih disebabkan karena upaya berpikir keras yang dilakukan oleh para ahli teori sosial untuk mengisi celah yang kosong dan tidak mampu dijawab oleh penemu teori sebelumnya. Sangat banyak teori sosial yang telah dicetuskan para cendekiawan tetapi tidak semuanya ditampilkan dalam buku ini. Buku ini merupakan bunga rampai tulisan dari para pengusung teori masing-masing yang dijelaskan dalam bentuk bahasa yang lebih ringkasi dari edisi buku aslinya yang tentunya lebih tebal. Buku ini ditulis oleh Turner terbagi dalam 5 bagian dan 28 bab.

Bagian pertama mengenai dasar-dasar, berisi tentang dasar-dasar teori sosial, teori sosiologi kontemporer: perkembangan-perkembangan pasca parsons, dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Pada dasar-dasar teori sosial menjelaskan mengenai dialektika filsafat pemikiran sosial antara Karl Marx, Emile Durkheim, Hegel, Auguste Comte, Herbert Spencer, Sigmun Freud dan Max Weber. Pada bagian teori sosiologi kontemporer: perkembangan-perkembangan pasca parsons adalah mengetengahkan mengenai lompatan-lompatan pemikiran sosial setelah Talcott Parsons mengemukakan teori sistem sosialnya yang menjadi peniup semakin berkibarnya api ilmu sosial dan menyebar ke berbagai ilmuwan di sisi bumi yang berbeda dengan cara pandang masing-masing. Bab ketiga mengenai filsafat ilmu-ilmu sosial, yang mengetengahkan tentang model naturalis, model fondasionalis, falsifikasionisme, realisme kritis, makna, bahasa, kritik yang dilihat dari tata hermeneutika, filsafat Wittgensteinian, filsafat dan anti fondasionalisme, serta teori jaringan aktor.

Bagian kedua mengenai tindakan, aktor, dan sistem, yang berisi tentang teori-teori tindakan sosial, fungsionalisme dan teori sistem-sistem sosial, strukturalisme dan postrukturalisme, teori jaringan aktor dan semiotika material, etnometodologi dan teori sosial, serta teori pilihan rasional. Pada teori-teori tindakan sosial dipandang dari sudut beberapa tokoh sosiologi, antara lain Marx, Weber, Parsons, Garfinkel, Giddens, Bourdieu, Sayer, Habermas, Emisbayer, Mische, dan Merton, yang diurai dalam skema struktur sosial. Pada bab fungsionalisme dan teori sistem-sistem sosial adalah menyajikan mengenai dasar-dasar analisis fungsional, fungsionalisme sebagai ilmu sosial yang normal, program kuat sosiologi pada teori sistem-sistem sosial, analisis sistem-sistem sosial, upaya meradikalkan fungsionalisme melalui teori Niklas Luhmann tentang sistem-sistem sosial. Pada bab mengenai strukturalisme dan post-strukturalisme adalah mengungkap strukturalisme dalam ilmu-ilmu sosial, budaya, dan humaniora, macam-macam strukturalisme dan kritik-kritik lainnya terhadap strukturalisme, habitus Bourdieu dan teori strukturalisme Giddesns. Pada bab mengenai teori jaringan aktor dan semiotika material adalah menjelaskan tentang teori jaringan aktor yang dideskripsikan sebagai suatu abstraksi, pendekatan jaringan aktor tidak dikatakan sebagai sebuah teori, suatu diaspora dalam jaringan aktor adalah bertumpang tindih dengan tradisi-tradisi intelektual lainnya, dan teks dan seluruh dunia adalah bersifat relasional. Pada bab etnometodologi dan teori sosial adalah menjelaskan tentang etnometodologi yang bersandar pada karya-karya Parsons melalui alat bantu analisis ilmu filsafat. Pada bab Teori Pilihan Rasional dijelaskan fenomena sosial yang menjadi akibat atau konsekuensi atas seperangkat pernyataan yang harus bisa diterima sepenuhnya dengan mudah, teori sosiologi yang baik adalah teori yang dapat menafsirkan segala fenomena sosial sebagai hasil dari tindakan-tindakan individu, dan tindakan-tindakan haruslah dianalisis sebagai tindakan yang rasional.

Bagian ketiga mengenai perspektif-perspektif dalam analisis sosial dan budaya, berisi pragmatism dan interaksionisme simbolik, fenomenologi, teori feminis, teori sosial postmodern, konstruksi sosial, analisis percakapan sebagai teori sosial, serta teori globalisasi. Bab mengenai pragmatism dan interaksionisme simbolik adalah mengemukakan tentang bagaimana konsekuensi atas tindakan praktis yang dapat dianalisis dari sisi interaksionisme simbolik, dan teori pilihan rasional. Bab yang membahas tentang fenomenologi adalah mencoba mengurai ranah yang cenderung dipandang ambigu dan hendak menyana bagaimana sebuah fenomena sosial terjadi serta apakah akan berulang pada masa yang akan datang. Bab mengenai teori feminis adalah menjelaskan tentang bagaimana pembahasan atas feminisme yang baru muncul dalam kurun waktu setengah abad terakhir dan terjadi dalam beberapa tahapan hingga saat ini. Pada bab mengenai teori sosial postmodernisme adalah mengetengahkan mengenai radikalisme epistemologi yang secara kritis mempertanyakan warisan pemikiran masa pencerahan di Eropa. Bab selanjutnya adalah konstruksionisme sosial yang membahas tentang berbagai hal dalam upaya mengkonstruksi masyarakat mulai dari kerangka pemikiran Durkheim, Weber, hingga Marx. Bab lanjutan adalah analisis percakapan sebagai teori sosial yang hendak menjelaskan tentang hal ikhwan percakapan yang dianalisis lalu melahirkan teori sosial dalam kurun waktu beberapa dekade pada abad ke-20, yang dapat dilihat secara struktural, dengan berbagai tahapan-tahapannya. Bab selanjutnya adalah teori globalisasi yang dapat dilihat dari berbagai perspektif mulai dari sisi kebudayaan, sistem dunia, dan teori politik dunia.

Bagian keempat mengenai sosiologi dan ilmu-ilmu sosial yang berisi tentang genetika dan teori sosial, sosiologi ekonomi, sosiologi kebudayaan, sosiologi historis, sosiologi agama, demografi, studi teknologi dan sains: dari kontraversi ke teori sosial posthumanis. Bab genetika dan teori sosial adalah perspektif baru dalam memandang ilmu sosial yang mencampur antara biologi dengan sosiologi. Bab selanjutnya adalah sosiologi ekonomi yang membahas mengenai bagaimana kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Bab selanjutnya adalah sosiologi kebudayaan yang berisi tentang makna yang bersifat relasional, bahwa makna dari simbol-simbol, kata-kata, majas-majas, metafora-metafora, ideologi-ideologi, dan sebagaianya muncul dan berkembang seirama dengan atau berbeda dari makna-makna lain yang memiliki arti penting sosial lainnya, namun terkait khusus dengan istilah-istilah sosiologi seperti struktur, tindakan, serta konflik. Bab selanjutnya adalah sosiologi historis, yang membahas tentang bagaimana masyarakat membuat sejarah dalam berbagai bidang kehidupannya, sehingga terkadang diapresiasi bahwa semua jenis sosiologi adalah sosiologi sejarah. Bab selanjutnya yakni membahas sosiologi agama yang berisi tentang hubungan antara agama dengan masyarakat, sebagaimana yang terkenal dalam sosiologi pada aras Marx yang mengaitkan agama dengan image pelemahan kaum pekerja terhadap kelas borjuis dan agama dengan spirit kapitalisme sebagaimana yang disampaikan oleh Weber. Bab selanjutnya adalah demografi yang membahas tentang hal-hal seputar bertambah atau berkurangnya jumlah anggota masyarakat yang disebabkan oleh adanya kelahiran, kematian, dan berpindahnya dari satu tempat ke tempat lainnya, yang mana itu semua dipengaruhi oleh banyak faktor. Bab tentang demografi pula mengetengahkan prediksi kondisi masyarakat dalam kurun waktu ke depan sesuai dengan potensi penduduk yang telah ada. Bab selanjutnya adalah studi teknologi dan sains: dari kontraversi ke teori sosial posthumanis, yang membahas tentang studi teknologi dan sains yang juga memiliki titik pertemuan dengan ilmu sosial yaitu pada hal-hal yang kemudian menjadi fenomena sosial.

Bagian kelima mengenai berbagai perkembangan terbaru yang berisi tentang mobilitas dan teori sosial, teori sosiologi dan hak azasi manusia: dua logika satu dunia, sosiologi tubuh, kosmopolitanisme dan teori sosial, serta masa depan teori sosial. Bab mobilitas dan teori sosial sebagai salah satu dari tiga pembahasan dalam demografi, mengerucut pada sisi bagaimana memahami mengapa manusia bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya melalui studi sosiologi (menggunakan teori sosiologi). Bab Teori sosiologi dan hak asasi manusia: dua logika, satu dunia adalah mengetengahkan tentang pertentangan dua logika masyarakat dunia yang realitasnya ada dan dijalankan tetapi berada di satu tempat yakni dunia, seharusnya dua logika yang saling bertentangan itu tidak sampai terjadi tetapi dengan historikal rasionalitasnya masing-masing nyatanya ada dan berjalan. Bab selanjutnya adalah sosiologi tubuh yang menjelaskan tentang pemahaman kealamian tubuh yang dikonstruksi secara sosial sebagai sebuah fakta sosial. Bab selanjutnya adalah kosmopolitanisme dan teori sosial yang menjelaskan tentang hubungan antara kosmopolitanisme dengan teori sosiologi pada masa klasik yang mana memandang modernitas sebagai fenomena dunia, teori sosiologi modern yang memandang sistem sosial dan masyarakat industrial, teori sosiologi kontemporer yang mengarahkan menuju pendekatan eksplisit yang kosmopolitan. Bab terakhir mengetengahkan tentang masa depan teori sosial yang mana diperkirakan masih akan terus berubah seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan manusia dan alam yang ditempatinya.

Resensi Buku: Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial

Judul : Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial
Editor : Bagong Suyanto dan M. Khusna Amal
Penerbit : Aditya Media Publishing
Tempat Terbit : Malang, Indonesia
Tahun Terbit : Agustus, 2010
Cetakan : Pertama
Ukuran : 155 x 230 mm
Jumlah Halaman : xxxii, 475 hlm
ISBN : 978-979-3984-34-6

Buku ini terdiri atas 19 bab, yang setiap bab membahas satu konsep teori dengan memakai kerangka yang sudah digariskan oleh Ramlan Surbakti. Adapun kerangka dimaksud memuat 14 hal, antara lain konteks sosial yang melatarbelakangi, realitas sosial yang melahirkan, pengaruh pemikiran dan atau teori, latar belakang pribadi dan sosial teoritisasi, pertanyaan yang diajukan, jenis penjelasan, kata kunci dan proposisi, jenis realitas sosial, lingkup realitas sosial, siapa aktor otonom, lokus penjelasan yang otonom, asumsi tentang individu dan masyarakat, metodologi yang digunakan, bias nilai, kepentingan ekonomi serta politik yang pada akhirnya menjadi penyusun dari kerangka state of the art yang dibuat.

Bab 1 adalah mengenai teori Immanuel Wallerstein tntang The Modern World System yang ditulis oleh Bambang Kuncoro, Bab 2 adalah mengenai teori hegemoni Antonio Gramsci yang ditulis oleh Bagong Suyanto, Bab 3 adalah mengenai teori sosial neo marxian yang ditulis oleh Sutinah, Bab 4 adalah mengenai teori kritis (di antara keberagaman pemikiran dan tuntutan menyikapi isu kekinian) yang ditulis oleh Bagong Suyatno, Bab 5 adalah mengenai teori sosial construction of reality Peter L. Berger dan Thomas Luckman yang ditulis oleh Endang Sriningsih, Bab 6 adalah mengenai teori Dramaturgi Erving Goffman yang ditulis oleh Suko Widodo, Bab 7 adalah mengenai etnometodologi Harold Garfinkel yang ditulis oleh M. Khusna Amal, Bab 8 adalah mengenai Etnometodologi: Perkembangan dan perdebatannya yang ditulis oleh M. Khusna Amal, Bab 9 adalah mengenai Teori pertukaran George Homans yang ditulis oleh M. Khusna Amal, Bab 10 adalah mengenai Teori Pertukaran Sosial yang ditulis oleh M. Khusna Amal, Bab 11 adalah mengenai feminisme dan subordinasi perempuan yang ditulis oleh Andi Suwarko, Bab 12 adalah mengenai teori the McDonalization os Society George Ritzer yang ditulis oleh Trikuntasari Dianpratiwi, Bab 13 adalah mengenai Teori Tindakan Komunikatif Jurgen Habermas, Bab 14 adalah mengenai Teori Strukturalisme Claude Levis Strauss yang ditulis oleh Sindung Haryanto, Bab 15 adalah mengenai Arkeologi Pengetahuan Michel Foucault yang ditulis oleh Suharnadji, Bab 16 adalah mengenai Teori Sumulation Jean Baudrillard yang ditulis oleh Sutinah, Bab 17 adalah mengenai Habitus dan Ranah: Proyek Intelektual Pierre Bourdieu membangun Teori Struktural Genetik yang ditulis oleh Rindawati, Bab 18 adalah mengenai Teori Postmodern Empiris yang ditulis oleh Bagong Suyanto, dan Bab 19 adalah mengenai Kontekstual Teoritis (Epilog) yang ditulis oleh Prof. Dr. Hotmanm M. Siahaan.

Resensi Buku: Rekonstruksi Teori Sosial Modern

Judul : Rekonstruksi Teori Sosial Modern
Penulis : Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si
Penerbit : Gajah Mada University Press
Tempat Terbit : Yogyakarta, Indonesia
Tahun Terbit : Januari, 2012
Cetakan : Pertama
Ukuran : 155 x 230 mm
Jumlah Halaman : xx, 332 hlm
ISBN : 979-420-779-9

Jika memakai pandangan George Ritzer, buku ini disusun berdasarkan paradigma fakta sosia nan konstruksionisme. Zainuddin Maliki sendiri menciptakan paradigma versi dirinya dengan menetapkan tiga paradigma yakni struktural fungsional, struktural konflik, dan konstruksionisme. Ia mengetengahkan bahwa teori sosiologi struktural fungsional muncul lebih awal, lalu kemudian ia dikritisi oleh pelanjut-pelanjutnya sehingga melahirkan teori berparadigma struktural konflik. Dua paradigma tadi juga dianggap tidak memuaskan pada masa-masa selanjutnya sehingga menghasilkan teori sosiologi dengan paradigma konstruksionisme. Buku ini sebenarnya hendak mengajak pembaca dalam memahami asumsi dasar, sejarah, dan kondisi sosial yang melatarbelakangi mengapa paradigma teori sosiologi tiba-tiba muncul, yang diharapkan akan membuat pembaca mampu menjawab pertanyaan umum yang diarahkan menjadi pembentuk buku ini yakni, bagaimana proses dan tertib sosial itu berlangsung?. Diharapkan pula pembaca menjadi lebih arif dalam memahami tindakan sosial yang dilihatnya, tentunya dimaknai dengan mempergunakan konsep-konsep yang sudah dipelajari sebelumnya.

Buku ini menargetkan sosok mahasiswa, dosen, guru sosiologi, masyarakat biasa yang menaruh ketertarikan kepada sosiologi, praktisi sosial, ataupun peneliti yang membutuhkan perangkat teori yang mumpuni dalam penelitiannya. Tulisan dalam buku ini memproyeksikan menarik minat pembaca dengan pemposisian ketertarikan sedemikian rupa sehingga menemukan jendela dalam melihat realitas sosial dunia, selain itu pula diajak untuk melihat berbagai jenis paradigma yang akan membuatnya paham mengapa setiap pencetus teori mengemukakan pemikirannya, yang tentunya hal tersebut terjadi karena dasar paradigma pikir yang dimilikinya. Pembaca juga diharapkan tidak berhenti mempergunakan pengetahuannya sehari-hari tetapi juga menoleh pada pandangan-pandangan yang banyak bertebaran sembari mempertimbangkan untuk mencoba mencicipi pandangan tersebut sebagai perspektif dalam memaknai realitas sosial yang didapatinya. Buku ini tersusun atas empat bagian, masing-masing bagian dikemas secara apik guna menghantarkan pembaca memahami alur pikir yang disampaikan oleh penulis sehubungan dengan tawaran atas tiga paradigma di atas.

Bagian satu adalah teori sosial sebagai jendela dalam melihat realitas, berisi tentang paradigma sebagai ranah pengetahuan dan sosial, paradigma dan proses pembentukan ideologi, serta teori sosial sebagai sebuah instrumen.

Bagian kedua adalah teori struktur fungsional yang memuat kontesk sosial, pertanyaan yang diajukan, unit analisis struktur fungsional, metodologi yang dipakai, kondisi material dan ideologis. Juga dikemukakan tokoh pengusungnya seperti Auguste Comte dengan hukum evolusi tiga tahap, Herbert Spencer dengan filsafat yang mempengaruhinya serta dimensi teoritinya, Charles Darwin dengan teori naluri, teri ras, dan teori determinisme. Selanjutnya ada Emile Durkheim dengan penjelasannya pada subyek sosiologi, dimensi teoritik pada pembagian kerja, kesadaran kolektif, realitas agama, dan kekuatan juga kelemahan. Tokoh lainnya adalah Talcott Parsons yang mengemukakan variabel pola pengelompokan sistem sosial berupa tindakan menghadapi dilema antara dorongan impulsif versus disiplin, tindakan menghadapi dilema antara private versus collective intersts, tindakan menghadapi dilema antara universalism versus particularism, tindakan menghadapi dilema modalitas obyek, dan tindakan menghadapi dilema lingkup pemaknaan obyek, serta beberapa kritik dari penulis buku terhadap Parsons. Tokoh terakhir adalah Robert K. Merton. Struktur Fungsionalisme mengalami perkembangan hingga menghasilkan grup baru yang dikenal dengan neofungsionalisme, yang berisi tentang konteks sosial yang melatarbelakanginya, tugas pengetahuan sosial, orientasi neofungsionalisme, sumbangan teori neofungsionalisme, dan kritik atas neofungsionalisme.

Bagian ketiga adalah teori struktural konflik yang lebih dijelaskan melalui teori-teori tokoh pengusungnya antara lain Karl Marx. Untuk mengetahui keseluruhan pemikiran Marx maka perlu diketahui pula konteks sosial yang mendasarinya, aliran filsafat yang mempengaruhi Marx, asumsi yang mendasari lahirnya teori Marx, Body and Mind, dimensi dan konsepsi dasar teori Marx, perkembangan kapitalisme, teori kelas dan stratifikasi sosial, hubungan kondisi material dan ideologi, alienasi, kekuatan teori Marx, kritik terhadap Marx, bias perspektif Marx, dan titik singgung antara Marx dan Weber. Setelah Marx lahir pemikir-pemikir sesudahnya yang digolongkan sebagai Neo Marxis, salah satunya yakni Hegelian Marxis. Dalam paradigma struktural konflik terdapat pula tokoh seperti Georg Lukacs, Antonio Gramsci yang mengangkat tentang calculating subject, mazhab frankfurt seperti Erich Fromm, Herbert Marcuse, Max Horkheimer, dan Jurgen Hubermas. Selanjutnya adalah teori konflik alternatif yang dikembangkan oleh Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randall Collins.

Bagian keempat adalah teori konstruksionis, yang diusung oleh Max Weber. Weber sendiri memiliki landasan metodologi, body and mind atasnya, konsep tentang kapitalisme, stratifikasi sosial, konsep kelas, konsep partai, dan konsep kekuasaan. Dalam teori konstruksionisme juga dijelaskan fenomenologi dan konstruksi sosial. Selain itu pula terdapat linkage makro – mikro antara lain model Peter L. Berger dan Nickolas C. Luckmann dan model Anthony Giddens, yang memuat subyek analisis sosiologi, keterbatasan antara manusia agensi, metodologi sosiologi, konsep formasi sisuoligi. Selain itu pula dalam Linkage makro-mikro terdapat dualitas struktur dan analisis terhadap kelemahan dari teori strukturasi.

Resensi Buku: Handbook Teori Sosial

Judul : Handbook Teori Sosial
Penulis : George Ritzer & Barry Smart
Penerjemah : Imam Muttaqien, Derta Sri Widowatie, Waluyati
Penyunting : Derta Sri Widowatie
Penerbit : Nusa Media
Tempat Terbit : Jakarta, Indonesia
Tahun Terbit : Januari, 2011
Cetakan : Pertama
Ukuran : 175 x 250 mm
Jumlah Halaman : xvi, 1108 hlm
ISBN : 978-979-1305-32-7

Buku Handbook Teori Sosial ini pada dasarnya hendak menjabarkan suatu bidang studi, memetakan parameter analisis, tokoh utama pengusung, dan persoalan yang ada dalam kajian tersebut. Menariknya buku ini disusun oleh salah satu sosiolog terkemuka abad ke-20 dan ke-21, ia adalah George Ritzer yang sukses dalam karyanya Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodernisme, dan lainnya, sedangkan Barry Smart adalah seorang sosiolog yang merupakan penulis buku Metode Observasi, Sosiologi – Fenomenologi – dan Analisis Marxian.

Dalam tulisan yang tertera pada lebih dari 1100 halaman ini, penulis buku menceritakan sejarah ataupun konteks sosial yang melatarbelakangi lahirnya teori, bedah ringan terhadap teori yang disampaikan, pertautan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, tantangan teori tersebut pada konteks kekinian, serta beberapa contoh yang menguatkan deskripsi teori. Teori yang disajikan tidak melulu untuk dipakai dalam dunia sosiologi, tetapi sifatnya luas dan dapat dicakup oleh ilmu-ilmu lainnya yang masih terkategori sebagai ilmu sosial.

Buku ini terdiri atas tiga bagian, yang mana pada masing-masing bagian terdiri pula atas beberapa bab yang spesifik menjelaskan teori yang disesuaikan dengan periodesasi pembabakan teori. Bagian satu dinamai teori sosiologi klasik, bagian ini terdiri atas sembilan bab yang diawali dengan nama bab dua (bab pertama diposisikan sebagai pendahuluan yang tidak termasuk dalam tiga bagian sesudahnya). Bab kedua adalah hendak menjelaskan mengenai modernitas, pencerahan, revolusi, dan romantisme dalam hal menciptakan teori sosial. Bab ketiga menjelaskan asal muasal positivisme yang awal mulanya berasal dari kontribusi Auguste Comte dan Herbert Spencer. Bab keempat menjelaskan tentang pemikiran Marx seputar Materialisme Historis, Kapitalisme dan analisis kelas, dan ilmu serta metode menurut Marx. Bab kelima menjelaskan perspektif Weber seperti debat modernitas dan sosiologi sejarah modernitas yang lain, dan sedikit kaitan antara Weber dan Kant. Bab keenam menjelaskan tentang pemikiran yang George Simmel dalam hal penentuan batasan bidang sosiologi yang meliputi alasan pembatasan sosiologi, kerangka acuan konseptual Simmel, ambivalensi, upaya penghentian terhadap sosiologi, serta mengatasi pemoralan dan peremehan sosiologi dengan pempelajari konsep-konsep simmel. Bab ketujuh adalah pemikiran Emile Durkheim mengenai masalah yang dikemukakan oleh Durkheim serta metode yang disampaikannya. Teori-teori yang diciptakannya kemudian dihubungkan dengan situasi yang berkembang saat ini. Bab kedelapan adalah pemikiran Mead yang dirangkai melalui kisah hidup Mead, karya-karya Mead, juga pengaruh cara pandangnya terhadap sosiologi. Bab kesembilan adalah Karl Mannheim mengenai sosiologi pengetahuan yang dijelaskan melalui pola orientasi sosiologi sebagai perkembangan, ideologi-ideologi yang ada di Jerman, sosiologi pada masa reprimitisasi, sosiologi sebagai sebuah ilmu yang dikatakan kalah sebelum berperang, serta konsesus bersama pemikiran Mannheim. Bab kesepuluh mengenai hubungan antara psikoanalisis dengan sosiologi yang menungkapnya mulai dari Freudei – Marxisme sampai Freude – Feminisme yang terurai dalam teori sosialisasi, teori peradaban, dan teori pos udipalisme.

Bagian kedua adalah memuat teori sosial kontemporer, bagian ini terdiri atas 17 bab yang berisi tentang pemikiran-pemikiran sosial yang berkembang dan hangat diperdebatkan pada masa-masa sekarang ini. Bab ke-11 adalah mengenai teori sosial feminis klasik yang berisi tema problematika sentral, metodologi, sudut pandang perempuan, sudut pandang pribadi yang spesifik konteks, kesehatan, refleksivitas, pengorganisasian masyarakat, signifikansi individu, signifikansi ide, dan perubahan sosial. Bab ke-12 adalah mengenai teori fungsional, teori konflik,, dan teori neo fungsional, yang memuat pemikiran kaum moral Scotlandial, Emile Durkheim, Talcott Parsons, dan Neo Fungsionalisme. Bab ke-13 adalah mengenai Talcott Parsons yang mengangkat hubungan pertentangan antara apologia konservatif dengan ikon tanpa tandingan, yang berisi teori sosial Parsons, pemetaan dunia sosial tanpa memakai fungsionalisme struktural, pemikiran Parsons tentang kekuasaan. Bab ke-14 adalah mengenai Nietzsche yang mengemukakan teori sosial pada penghujung Millenium. Pemikiran ini sendiri mengangkat aspek dialektika modernitas, keruntuhan sejarah subyektif, dan pergulatan Nietzche dengan proletarianisme psikis. Bab ke-15 mengenai teori kritis yang berkiblat kepada mazhab Frankfurt dengan membawa konsep dialektika dan negativitas, totalitarianisme dan analisis negara, kepribadian otoriter, industri kebudayaan, Habermas, serta post-strukturalisme dan post-modernisme. Bab ke-16 adalah teori tindakan komonikatif Jurgen Habermas yang terurai dalam komunikasi normal, sistem dan lifeworld, sistem, rasionalisasi dan diferensiasi, serta patologi sosial. Pada bab ke-17 adalah mengenai interaksionisme simbolik yang mengangkat premis-premis pedoman dalam interaksionisme simbolik, bidang kontribusi utama, serta kebudayaan dan kesenian. Bab ke18 adalah mengangkat tentang fenomenologi yang berisi kedaulatan dan pengalaman, kesadaran, ide esensial fenomenologi, pengalaman transendental, subyektivitas sejarah, roh dalam modernitas, implikasi fenomenologi terhadap teori sosial, serta gerak osiator. Bab ke-19 adalah mengenai dasar-dasar etnometodologi yang berisi pemikiran tentang sosiologi asimetris pengganti, penjelasan atasnya yang bukan sebagai teori dan bukan sebagai metodologi, tertib sosial biasa, karakteristik kanonis dengan analisis percakapan, serta dasar-dasar etnometodologis. Bab ke-20 adalah mengenai teori pertukaran sosial dan jaringan pertukaran yang memuat konsep dan asumsi dasar, latar belakang sejarah, tradisi kekuasaan ketergantungan pada masa kontemporer, teori-teori baru tentang pertukaran, jaringan, dan kekuasaan, serta perspektif-perspektif yang muncul terhadap topik-topik yang terabaikan. Bab ke-21 adalah mengenai pilihan rasional sosiologi yang berisi tentang penjelasan pilihan rasional, serta kekhasan pada analisis rasional. Bab ke-22 adalah mengenai kontinum liberal, teori feminis anti liberal, teori feminis postmodernis, teori postmodernis, teori sudut pandang feminis, feminis materialis, dan teori negara feminis. Bab ke-23 adalah multikulturalisme yang menjelaskan masalah teoretis yang disebabkan oleh multikulturalisme dan teori yang dapat menjelaskan tentang multikulturalisme. Bab ke-24 adalah mengenai teori sosial dan postmodern yang menungkap kedatangan postmodern, epistemologi dan metode, nilai dan politik, serta perubahan dalam budaya dan masyarakat. Bab ke-25 adalah mengenai Michel Foucault yang mengungkapkan tentang kontinuitas dan diskontinuitas dalam pembahasan kekuasaan, liberalisme, biopolitik, dan kedaulatan. Bab ke-26 adalah mengenai masalah makro dan mikro serta masalah struktur dan keagenan. Bab ke-27 adalah mengenai pemikiran Nobert Elias dan sosiologi proses tentang teori masyarakat manusia, proses sivilisasi dan desivilisasi, serta pengaruh pemikiran Elias dengan sosiologi pada masa kini.

Pada bagian ketiga adalah mengangkat persoalan-persoalan yang melanda dalam teori sosial, bagian ini terdiri atas 12 bab. Pada bab ke-28 adalah tentang positivisme di abad ke-20 yang mengangkat peninggalan Comte, model ilmu positivitis, tantangan dari teori kritis, penelitian kualitatif dan alasisis statistik, tantangan dari pendekatan kualitatif, realitas ilmiah, feminis, postmodernisme, serta prospek positivisme. Pada bab ke-29 adalah mengenai metateorisasi dalam sosiologi yang berisi tentang prevalensinya, serta isu-isu utama terkait tujuan, proses, serta produknya. Bab ke-30 adalah berisi studi budaya dan teori sisial yang memuat asal usul studi budaya di Inggris, populisme budaya dan politik tentang yang populer, perubahan dalam studi budaya ke arah postmodern, serta studi budaya dalam pengamatan. Bab ke-31 adalah teori-teori konsumsi yang berisi tentang kritikan dari teori klasi hingga ke postmodern, obyek konsumsi, subyek konsumsi, tempat konsumsi, serta proses konsumsi. Bab ke-32 adalah mengenai seksualitas yang berisi penjelasan pemikiran Freud, Foucault, antara feminisme dan seksualitas, sosiologi seks, serta teori Queer. Bab ke=33 adalah dasar-dasar teori yang menubuh, berisi penjelasan tentang agen kognitif dalam teori sosiologi, upaya mengutamakan tubuh, sumber daya yang digunakan untuk pembentukan teori sosial tentang tubuh, serta upaya menubuhkan teori-teori sosial. Bab ke-34 teori globalisasi 2000+ sebagai sebuah problematika utama yang memfokuskan perhatiannya pada kecenderungan globalisasi, hal-hal yang mendorong terjadinya globalisasi, arah perubahan globalisasi, relasi antara lokal dan global, pelemahan negara modern dengan proses globalisasi, hubungan modernitas dengan globalisasi dan globalitas, perseteruan antara homogenitas dengan heterogenitas. Bab ke-35 adalah tentang nasionalisme bangsa dan negara yang mempertanyakan kenyataan adanya bangsa, kemoderenan bangsa, bangsa sebagai gambaran imajiner, pendefinisian bangsa, dimensi sosial yang mencakup faktor-faktor struktural, inklusi dan ekslusi, pembentukan identitas dan mobilisasi, progres dan regresi, nasionalisme – kebangsaan – kewarganegaraan, nasionalisme dan postnasionalisme. Bab ke-36 mengenai harapan modern sebagai bayang-bayang postmodern. Bab ke-37 mengenai masyarakat modern sebagai masyarakat yang berpengetahuan, yang memuat masyarakat pengetahuan, pengetahuan tentang pengetahuan, mengetahui dan yang diketahui, pengetahuan sebagai kapasitas dalam bertindak, pengetahuan sebagai modal, batas-batas kekuasaan pengetahuan, ekonomi berbasis pengetahuan, serta perilaku individu dan kolektif dalam masyarakat. Bab ke-38 adalah sosiologi, moralitas, dan etika, yang menjelaskan tentang hubungan antara sosiologi, filsafat, dan moralitas, masyarakat moralitas dan sosialitas, dualisme watak manusia, tanggungjawab etika kehidupan bermoral dan dnuia politik masyarakat, etika teorisasi kritis dan kehidupan bermoral. Bab ke-39 adalah tentang relasi post sosial dan teorisasi sosialita dalam lingkungan post sosial, yang memuat sosialitas sebagai fenomenon sejarah, kemunculan imajinasi yang berpusat pada subyek, sensor batin ke bayangan cermn, obyek sebagai struktur pengungkap ketiadaan, relasi pos sosial, dan bentuk manusia sebagai post sosial.

Menggugat Aliran dalam Teori Sosial

Dewasa ini teori-teori yang berkembang dalam ilmu sosial adalah turunan dari karya para tokoh besar di masa lalu. Pemikiran para tokoh besar tersebut seolah menjadi warisan yang harus dijaga bagi para pemikir di masa kini. Pemikiran para tokoh besar tersebut baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lainnya seolah menyeret para generasi selanjutnya, yang sebagian besar mengandalkan pemikiran-pemikiran besar tersebut sebagai sumber referensinya, seolah tak memiliki daya untuk menggugat teori tersebut. Generasi penerus seolah beranggapan tak ada lagi yang mampu mereka bahas dalam tataran teori dan praktis, karena telah habis dibahas dalam aliran pemikiran besar dalam masing-masing disiplin ilmu. Tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa peluang-peluang besar dalam setiap bagian ilmu telah habis diselidiki dan diambil perannya oleh para pendahulu mereka, para tokoh besar dari masing-masing disiplin ilmu. Dampak buruknya, mental para generasi saat ini seolah habis tergerus aliran pemikiran teori sosial, dan hanya mampu mengambil peran sebagai pelestari dan pewaris aliran pemikiran para tokoh besar di masa lalu. Hal ini sejalan dengan perkataan Unger dalam bukunya Law and Modern Society yang mengatakan bahwa generasi penerus seakan menghadapi dilema: menjadi sekedar pelestari karya-karya agung yang diwariskan tokoh besar, ataukah -berbekal hasrat akan kemandirian, namun kalah dalam kecemerlangan- mengerucutkan ambisi secara drastis dan dengan keahlian teknisnya bertekad untuk menguasai satu bidang yang sempit.

Dalam sejarah filsafat pemikiran spekulatif, bentuk dilema semacam ini memang khas. Dilema tersebut mengarah pada merosotnya mental para peneliti menjadi para penafsir teks-teks klasik, dengan kenyataan menanggung malu atas menghilangnya kemandirian intelektual mereka. Namun dalam bentuk lain banyak peneliti berdalih bahwa di masa lalu banyak hal yang belum diketahui, sehingga banyak momentum gemilang yang dapat dimanfaatkan untuk meletakkan dasar-dasar di berbagai disiplin ilmu. Di masa lalu, para peneliti saat ini berdalih belum adanya pembatasan yang tegas dari masing-masing disiplin ilmu. Oleh karena itu banyak dari mereka yang menekuni spesialisasi dan tekun dnegan keahlian teknisnya agar mereka tidak dibandingkan dengan para pendahulu mereka, tokoh besar dalam berbagai disiplin ilmu, dengan resiko terjerumus dalam minoritas intelektual yang permanen.

Kedua sikap tersebut dirasa merupakan bentuk penolakan untuk mengambil sejarah gemilang intelektual. Kritik yang dilemparkan oleh Unger pun mempermasalahkan para sarjana yang secara diam-diam telah melecehkan dirinya sendiri dengan kedok skeptisme defensif terhadap teori umum. Dalam kondisi tersebut, salah satu cara untuk meneguhkan identitas adalah dengan mempermasalahkan hal-hal kecil dalam karya-karya agung para tokoh besar di masa lalu. Seperti mencari-cari kehebatan kepting yang menjadi figur zodiac gara-gara binatang ini menggigit mata kaki Hercules.

Sudah saatnya para sarjana memiliki sikap yang kritis dalam memahami karya besar para pendahulu mereka. Mereka harus berani dan jujur untuk melihat bahwa masih ada masalah yang belum diselesaikan oleh teori-teori sosial klasik yang dikemukakan para tokoh besar di zamannya. Dengan itu para sarjana dituntut mampu untuk merumuskan teori sosial baru dan dengannya leluasa untuk menyejajarkan diri  sebagai mitra kerja tokoh-tokoh tersebut.

Daftar Pustaka:
Roberto M. Unger, 2012, Teori Hukum Kritis, Bandung: Nusa Media.

Melirik Teori Sosial Kritis

Jika membincang Teori Sosial Kritis maka dengan segera tercium aroma Marxian. Yah, aroma marxian bukan marxian itu sendiri, sebagaimana jika kita mencium aroma mawar dari parfum yang dipakai seseorang, aroma mawar tersebut bukanlah mawar itu sendiri.
 
Teoritisi frankurt seperti marcuse, adorno, luckas, horkheimer dan habermas serta beberapa nama lagi sering dijadikan lokomotor dari Teori Sosial Kritis, mereka mempunyai aroma marx yang khas, kenapa saya mengatakannya khas? Disamping mempertahankan tujuan dari teori marxian tentang keniscayaan emansipasi kemanusiaan, mereka sekaligus melakukan koreksi yang luar biasa kreatif (ini adalah bid’ah menurut beberapa teoritisi marx ortodoks) terhadap beberapa cara pandang marxian, terutama dalam menjelaskan modus operandi kapitalisme dan variabel utama beroperasinya kapitalisme. Tetapi menurut Ben Agger dalam bukunya critical social Theories: An Introduction mengatakan bahwa bukan hanya Teoritisi Jerman Frankurt yang berhak diasosiasikan dalam kategori Teori Sosial Kritis, tetapi gerakan intelektual seperti posmodernisme, feminisme dan cultural studies juga mempunyai hasrat utnuk memberontak, membongkar dan mengubah tatanan sosial, budaya,tanda, bahasa ataupun gender yang sudah dianggap rapi dan statis saat ini, dan hasrat itu membuat gerakan-gerakan intelektual tersebut berhak dikategorikan sebagai Teori Sosial Kritis.
 
Di dalam tulisan ini mungkin saya tidak akan membahas sejarah intelektual, tokoh-tokoh ataupun karya-karya seputar Teori Sosial Kritis, tetapi saya mencoba secara umum ingin memaparkan beberapa pokok pikiran (walaupun para posmodernis sangat menolak apa yang disebut prinsip, termasuk menolak semua usaha untuk menhomogenkan mereka) atau beberapa ciri yang bisa menjadi daerah irisan dari beberapa varian Teori Sosial Kritis. Adapun ciri tersebut adalah sebagai berikut :

1. Teori Sosial Kritis menolak positivisme. Dalam tubuh epistemologi Positivisme pengetahuan adalah representasi telanjang terhadap objek realitas, pengetahuan merupakan refleksi cermin terhadap fakta, sebagaimana jika seseorang berdiri di depan sebuah cermin, maka orang tersebut akan yakin seyakin-yakinnya jika bayangannya dicermin adalah gambaran dirinya yang sebenarnya. Teori Sosial Kritis beranggapan pengetahuan bukanlah refleksi yang statis terhadap dunia ”di luar sana”. Pihak tertentu dalam berhadap-hadapan dengan dunianya pastilah membawa asumsi-asumsi tertentu atau prakonsepsi-prakonsepsi tertentu, yang akan mengubah realitas, fakta atau ojek riil tersebut menjadi realitas, fakta dan objek bagi manusia yang tidak netral. Asumsi-asumsi tersebut bukanlah sebuah yang rasional dan tidak hanya selalu mengambil bentuk yang konsepsional tetapi terkadang mempunyai wajah yang paling binal yaitu hasrat, jika hasrat adalah keinginan memenuhi kekurangan tiada henti, maka jalan pintasnya adalah ”kekuasaan”. Pengetahuan bukanlah sekedar persoalan mengenal tetapi juga persoalan menguasai. ”Kebenara adalah hasrat untuk berkuasa” kata Nietzche.

2. Teori sosial Kritis membangkitkan kesadaran historis yang politis. Dia melakukan segmentasi sejarah berdasarkan dominasi dan kemungkinan melakukan couter-dominasi. Masa lalu dan masa kini ditandai dengan dominasi, penindasan dan eksploitasi. Kemungkinan melakukan pembebasan ada di masa depan. Dan pembebasan itu hanya mungkin jika kita melakukan pembacaan, pembongkaran dan pertarungan dalam arena masa kini yang penuh dengan jejaring-jejaring dominasi yang sebagian besar diwariskan oleh masa lalu. Perspektif masa lalu akan mempengaruhi perspektif ke-kinian kita sekaligus visi ke-depan kita. Kita tidak bisa mengetahui masa lalu dengan transparan, tetapi hanya bisa melihatnya dengan kacamata kepentingan tertentu, kacamata hasrat tertentu, kemudian masa lalu yang kita lihat ini akan kita jadikan kembali sebagai kacamata untuk memandang masa kini kita dan masa depan nanti. Sehingga dekonstruksi dan penawaran akan perspektif alternatif terhadap masa lalu adalah penting, untuk memandang diri kita secara lain dalam masa kini dan membuka kemungkinan-kemungkinan pilihan bebas atas nasib di masa depan. Potensi masa depan yang lebih baik ada di masa kini dan masa lalu. Sehubungan dengan poin di atas tadi pengetahuan bukanlah hanya sekedar untuk pengetahuan tetapi untuk merubah, Teori Sosial kritis bersifat sangat politis, karena begitu kuat mendorong keterlibatan dalam Perubahan Sosial.

3. Teori Sosial Kritis mengatakan bahwa dominasi tidaklah personal dan mudah dikenali tetapi impersonal dan sulit dikenali. Hidup manusia tidaklah semata-mata dipengaruhi oleh pilhan rasional manusia. Manusia memang memiliki pilihan bebas, tetapi kebebasan itu seringkali terbatasi, yang membatasi itu bukanlah seseorang – semisal jika kita lapar dan ingin memakan sesuatu tetapi dilarang oleh seseorang – tetapi sesuatu yang lebih besar dari kita tetapi sekaligus meresapi tubuh, pikiran bahkan hasrat kita. Sesuatu yang lebih besar itu disebut dengan struktur. Struktur itu dapat berupa institusi sosial yang kasat mata semacam birokrasi pemerintah, negara, perusahan transnasional, ataupun yang samar-samar semacam diskursus gender yang menkonstitusi peran kita sebagai laki-laki atau perempuan, diskursus budaya semacam minat berpakaian kita, bahkan minat kita akan tubuh kita sendiri dimana tubuh adalah arena dominasi yang paling seksis bagi struktur. Teori sosial kritis berusaha mengungkap struktur ini atau menjadikan struktur ini sebagai teks yang dikodifikasi kepentingan-kepentingan tertentu dimana teks ini akan didekoding kembali untuk melihat hasrat-hasrat latennya. Di samping itu teori sosial kritis tidak hanya mengungkap tetapi berusaha memberdayakan pihak-pihak atau potensi-potensi alternatif disekitar struktur dominasi.

4. Teori Sosial Kritis berpendapat bahwa struktur dominasi dalam modus operansinya bukanlah sesuatu yang diproduksi secara sepihak tetapi dominasi haruslah di re-produksi kembali oleh subjek-subjek yang didominasi agar mereka sekaligus menjadi subjek-subjek yang meminjam peran pendominasi bagi dirinya sendiri dan subjek yang lain. Struktur dominasi menjadikan individu-individu sebagai subjek-subjek yang ilutif – jika kita mengartikan subjek adalah pelaku yang bebas – maksudnya para individu dijadikan subjek agar peng-objek-an mereka bisa beroperasi secara samar-samar dan mendapatkan persetujuan atau kerelaan dari individu. Para individu dalam kesehariannya diberi pinjaman lahan kebebasan berprestasi agar mereka merasa menjadi aktor atau subjek bagi nasibnya, padahal lahan kebebasan yang mereka pinjam bukanlah tanpa bayaran, mereka harus membayarnya dengan peng-amin-an terhadap kondisi sosial yang timpang saat ini. Mereka diberi kebebasan yang dijangkau oleh kesadaran mereka- karena kesadaran dalam struktur dominasi akan selalu dibatasi atau disiplinkan – agar mereka tidak menuntut walaupun sekedar memimpikan kebebasan yang lebih luas dari kebebasan ilutif yang mereka raih sekarang. Struktur dominasi direproduksi oleh kesadaran palsu manusia, dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Georg Luckas), hegemoni (Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse) dan metafisika kehadiran (Derrida). Dalam lapangan ilmu pengetahuan dominasi dilanggengkan oleh sosiologi, teori-teori ekonomi bahkan antropologi yang punya visi positivis, dimana ke semua disiplin tersebut ada bukan hanya sekedar menemukan hukum-hukum sosial, hukum-hukum ekonomi dan budaya yang secara pasti mendeterminasi masyarakat, tetapi dalam hasratnya untuk menemukan keteraturan statis tersebut tercakup pula untuk mempertahankan tatanan. Kita diajak oleh struktur dominasi untuk menyetujui bahwa satu-satunya kemungkinan berpikir dan berprilaku adalah yang sesuai dengan pola-pola keajegan dalam tatanan tersebut. Dalam pengetahuan positivistik pengetahuan akan hukum-hukum sosial,ekonomi dan budaya adalah perlu agar dapat memprediksi manusia , jika kemampuan memperediksi sudah diperoleh, jalan untuk mengontrol dan menguasainya terbuka lebar. Teori kiritis berusaha untuk mematahkan kesadaran palsu ini, merubah tatanan dan merubah segala bentuk diskursus atau wacana yang menopang tatanan dominatif tadi.

5. Karena dominasi telah merembes ke dalam kehidupan sehari-hari kita, semisal rumah, keluarga, tubuh, seksualitas bahkan imajinasi kita. Maka perubahan sosial pada skala mikro haruslah sejalan dengan perubahan sosial dalam skala kolektif atau makro. Teori kritis sadar bahwa manusia ditelikung oleh struktur atau jejaring-jejaring tanda yang mendominasi, tetapi celah untuk kebebasan manusia tetap ada, dan celah itulah yang akan menjadi harapan untuk melakukan perubahan sosial. Teori Sosial kritis tetap berusaha mendukung voluntarisme ditengah-tengah potensi determinasi struktur dominasi. Perubahan sosial mulai dari rumah.

6. Menolak paham marx ortodoks –terutama setelah ajaran Marx ditafsirkan kembali oleh Engels, lenin dan stalin – bahwa ekonomi atau struktur mendeterminasi suprastruktur dalam hal ini kesadaran manusia. Mengitu pemikiran awal Marx , Teori Sosial Kritis beranggapan bahwa ada dialektika yang dinamis antara kesadaran manusia dan struktur. Walaupun kehidupan sehari-hari kita ditelikung oleh struktur dan jejaring dominasi, tetapi tidak ada jejaring atau struktur yang utuh atau solid sepenuhnya, pasti memiliki cacat, mengandung kontradiksi-kontradiksi atau celah-celah yang tak terawasi oleh “sipir-sipir struktur” dimana otonomi manusia dapat melarikan diri dan hidup bebas, bahkan struktur atau jejaring dominasi tersebut, memiliki bagian-bagian tertentu yang dapat dipertentangkan sehingga membuatnya rapuh. Pengetahuan akan struktur dominasi dapat membantu kita untuk bebas darinya, dan usaha untuk bebas darinya akan merestrukrisasi pengetahuan kita tentang struktur untuk usaha selanjutnya. Teori untuk praksis dan praksis untuk teori.

7. Walaupn Teori Sosial Kritis percaya akan masa depan yang membebaskan. Teori Sosial Kritis menolak anggapan bahwa masyarakat tanpa dominasi akan terbentuk pada ujung jalan tertentu dan mengambil bentuk tertentu. Ini bisa dilihat dari penolakan teori posmodernisme akan metanarasi, begitu pula dengan teori feminisme. Varian-varian tersebut mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pembebasan adalah mengeluarkan narasi-narasi kecil atau lokal dari subordinasi metanarasi, kebebasan akan tercapai jika setiap narasi diberikan hak hidup sambil mendorong dialog intens antar narasi dan proses transkoding atau peminjaman kode antara satu narasi dengan narasi yang lain. Teori Sosial Kritis menolak anggapan bahwa masa depan yang lebih baik atau kemajuan akhir bisa dicapai dengan cara mengorbankan kebebasan manusia. Manusia bertanggung jawab akan kebebasannya sendiri serta tidak menindas atau mengorbankan manusia lain demi kebahagiaan jangka panjang, Teori Sosial Kritis menolak pragmatisme revolusioner. Kebebasan tidak akan tercapai dengan pengorbanan “pragmatis” kebebasan dan kehidupan.

Tema Emansipasi dan anti ”kemapanan” adalah kata kunci Teori Sosial Kritis. Teori Sosial Kritis bukanlah pen”teorian” amarah, tetapi dia adalah usaha pembongkaran yang membebaskan, usaha memparodikan tatanan agar tampak konyol dan memperlihatkan paradoksnya serta menampakkan alternatif nasib diluar yang ditawarkan tatanan, usaha me-lawak-i tatanan. Konon lawak ada untuk mengkusutkan dan menghamburkan yang selama ini ditata dengan rapi.