Minggu, 16 November 2014

Pelayanan Kesehatan Lansia Melalui Posyandu Lansia | Siti Khadijah

Keadaan masyarakat Indonesia yang beragam sangat dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat dari usia dini.  Pemerintah telah memperhatikan kelangsungan pekembangan usia dini ini dengan mengoptimalkan berbagai bentuk pengembangan di usia muda, seperti peningkatan mutu pendidikan, pengembangan pola-pola intelektual, pola pendidikan moral dan banyak aspek lainnya. Hal ini tentu saja menggembirakan, meskipun tidak bisa menjadi jaminan bahwa upaya tersebut dapat meningkatkan kualitas generasi selanjutnya.
Begitu besar perhatian pemerintah kepada generasi muda, dengan harapan akan membuat bangsa ini menjadi baik. Pemerintah begitu intens memfokuskan pengembangan dan perbaikan pada anak-anak dan remaja, sesungguhnya melupakan keberadaan para lansia. Lansia sesungguhnya memiliki hak untuk mendapatkan apresiasi yang sama dengan usia produktif lainnya. Meskipun telah ada undang-undang yang difokuskan pada lansia yaitu UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, tetap saja para lansia ini menjadi hal yang terabaikan.
Lansia sering dianggap sebagai golongan yang lemah, tetapi sesungguhnya lansia memiliki peran yang berarti bagi masyarakat. Lansia memiliki penalaran moral yang bagus untuk generasi dibawahnya. Lansia memiliki semacam gairah yang tinggi karena secara alami, manusia akan cenderung memanfaatkan masa-masa akhirnya secara optimal untuk melakukan pewarisan nilai dan norma. Hal ini justru mempermudah kita untuk membina moral anak-anak.
Namun sebelum kita merasakan keberadaan lansia yang sebenarnya dapat membantu pembelajaran moral ini, kita senantiasa menganggap bahwa lansia adalah simbol yang merepotkan dan kurang kontribusi. Hal ini dikarenakan kita sendiri kurang mengapresiasi para lansia tersebut, sehingga tidak jarang para lansia itu terlantar meskipun mempunyai keluarga. Banyak keluarga yang karena kesibukannya terkesan melalaikan orang tua dan memasukkannya ke panti jompo (Hardin and Hudson, 2005).
Masa lanjut usia adalah masa dimana individu dapat merasakan kesatuan, integritas, dan refleksi dari kehidupannya. Jika tidak, ini akan menimbulkan ketimpangan dan bahkan dapat mengakibatkan patologis, semacam penyakit kejiwaan (Latifah, 2010). Jika ini terjadi maka keadaan masyarakat juga terganggu, dimana lansia sebagai penguat transformator nilai dan norma berkurang, baik secara kualitas dan kuantitas. Banyak contoh yang terjadi dimasyarakat kita, dimana lansia berlaku yang kurang sopan atau bahkan kurang beradab sehingga secara tidak langsung akan mengganggu ketentraman kehidupan bermasyarakat. Lansia di Indonesia, menurut Depkomindo 2010, pada tahun 2008 berjumlah 23 juta orang, sedangkan lansia yang terlantar mencapai 1,7 juta sampai 2 juta orang.
Dari berbagai kejadian yang ada, kita harusnya sadar bahwa sudah saatnya kita mengapresiasi para lansia dengan bersikap adil, yang tidak dapat disamakan dengan perlakuan kita terhadap anak-anak dan para remaja. Kita seharusnya mempunyai mekanisme untuk memberdayakan lansia sesuai dengan umur mereka, membantunya melalui tahap perkembangan, dan menyertakannya dalam proses transformasi pendidikan moral. Dengan demikian mereka tidak merasa terabaikan.
Seiring dengan meningkatnya populasi lansia, pemerintah telah berusaha merumuskan berbagai kebijakan untuk usia lanjut tersebut, terutamanya pelayanan dibidang kesehatan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya.
Wujud dari usaha pemerintah ini adalah dicanangkannya pelayanan bagi lansia melalui beberapa jenjang yaitu pelayanan kesehatan ditingkat masyarakat adalah Posyandu Lansia. Pelayanan kesehatan lansia tingkat dasar adalah Puskesmas, dan pelayanan tingkat lanjutan adalah Rumah Sakit.
Dengan demikian, posyandu lansia sangat kita perlukan, dimana posyandu lansia ini dapat membantu lansia sesuai dengan kebutuhannya dan pada lingkungan yang tepat, sehingga para lansia tidak merasa lagi terabaikan didalam masyarakat.

Posyandu lansia merupakan wadah terpadu untuk para lansia dimasa tuanya karena pada usia lanjut seperti ini, kondisi para lansia umumnya mempunyai fisik yang relatif lemah dan kesepian, perlu berkumpul dan saling mengawasi sehingga tidak merasa kesepian dan terabaikan. Manfaat yang dirasakan dengan adanya posyandu lansia ini bukan hanya dirasakan oleh lansia tetapi juga oleh keluarga dan lingkungan dimana lansia tersebut tinggal. Posyandu lansia dapat membantu lansia untuk menyesuaikan diri dalam perubahan fase kehidupannya sehingga menjadi pribadi yang mandiri sesuai dengan keberadaannya. Banyak kendala yang ditemui dalam menggerakkan posyandu lansia tetapi kendala tersebut akan dapat diatasi dengan kerja sama semua pihak, yaitu pemerintah pusat, daerah, pihak swasta dan seluruh elemen masyarakat.

Daftar Pustaka
Anonim. 2008. Kesehatan Lansia di Indonesia. http:// subhankadir.files.wordpress.com Defkominfo. 2010. Berita Pemerintahan. www.defkominfo.com
Departemen Kesehatan RI. 2005 dalam Henniwati. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Aceh Timur [tesis]. Medan: Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara. USU e-Repository @2009.
Departemen Kesehatan RI. 2006 dalam Henniwati. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Aceh Timur [tesis]. Medan: Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara. USU e-Repository @2009.
Departemen Kesehatan RI. 2007 dalam Henniwati. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Aceh Timur [tesis]. Medan: Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara. USU e-Repository @2009.
Departemen Kesehatan RI. 2008 dalam Henniwati. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Aceh Timur [tesis]. Medan: Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara. USU e-Repository @2009.
Erfandi. 2008. Pengelolaan Posyandu Lansia. http:// puskesmas-oke.blogspot.com.
Hardin, Eugene and Hudson, Alia Khan. 2005. Elder Abuse-“Society’s Dilemma”. Journal of The National Medical Association. Vol 97, No 1 Jan 2005. p : 91-94
Henniwati. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Aceh Timur [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara. USU e-Repository @2009.
Latifah, Nurul. 2010. Urgensi Posyandu Lansia. http://bataviase.co.id.
Siburian, Pirma. 2007. Empat Belas Masalah Kesehatan Utama pada Lansia. http://waspada.com.
UU RI Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
UU RI Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Wahyuna, Adam Wisudiyanto. 2008. Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Posyandu Lansia terhadap Pengetahuan dan Sikap Kader dalam Pemberian Pelayanan di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Kauman Ngawi [skripsi]. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wijayanti. 2007. Hubungan kualitas fisik dan Lingkungan dengan Pola Kehidupan Lansia di Kelurahan Pudak Payung Kecamatan Banyumanik, Semarang. Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Pemukiman. Enclosure. Vol 6 No 1 Maret 2007
Wijayanti. 2008. Hubungan Kondisi Fisik RTT Lansia Terhadap Kondisi Sosial Lansia di RW 03 RT 05 Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Candi Sari. Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Pemukiman. Enclosure. Vol 7 Maret 2008.

Kekerasan pada Istri dalam Rumah Tangga Berdampak Terhadap Kesehatan Reproduksi | Keumalahayati

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.  Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan).  Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996)
Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial.  Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri.
Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture.  Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan.  Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature).  Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan.  Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi.  Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami.  Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan.  Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri.  Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.
Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas, sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness) berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga.  Menurut Murray A. Strause (1996), bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan moralitas pribadi dalam rangka mengatur dan menegakkan rumah tangga sehingga terbebas dari jangkauan kekuasaan publik.
Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat nasional.  Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan,.  Menurut Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka.  Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun.  Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik.  Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI.  Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC, 1995).
Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang).  Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja.  Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.
Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan kepada istri meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit.  Hal ini diyakini oleh pihak istri, sehingga mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.
Penelitian yang mengkaitkan tindak kekerasan pada istri yang berdampak pada kesehatan reproduksi masih sedikit.  Menurut Hasbianto (1996), dikatakan secara psikologi tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga menyebabkan gangguan emosi, kecemasan, depresi yang secara konsekuensi logis dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya.  Menurut model Dixon-Mudler (1993) tentang kaitan antara kerangka seksualitas atau gender dengan kesehatan reproduksi; pemaksaan hubungan seksual atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri.  Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan reproduksi dapat dianggap tindakan yang mengancam kesehatan seksual istri, karena hal tersebut menganggu psikologi istri baik pada saat melakukan hubungan seksual maupun tidak.

Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapat perhatian dan jangkauan hukum pidana.  Bentuk kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta penelantaran rumah tangga. Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam  rumah tangga yaitu pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki. Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat mempengaruhi psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan bersalin, serta setelah melahirkan dan bayi yang dilahirkan. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran perawat antara lain mesupport secara psikologis korban, melakukan pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban dan merekomendasikan crisis women centre. Fenomena gunung es KDRT mulai terungkap setelah undang-undang KDRT tahun 2004 diberlakukan, dimana KDRT yang sebelumnya masalah privacy manjadi masalah publik ditandai laporan kasus KDRT semakin meningkat setiap tahunnya dan pelaku mendapat hukuman pidana walaupun saat ini kultur Indonesia masih dominasi laki-laki.
Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan pengawasannya.
Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT dan menekan dampak yang terjadi pada kesehatan repsoduksinya dengan memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang perlindungan korban KDRT, mendampingi dan memulihkan kondisi psikisnya.

Daftar Pustaka
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001).  Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
Dep. Kes. RI. (2003).  Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003.  Jakarta: Dep. Kes. RI
__________.  (2006).  Sekilas Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.  Diambil pada tanggal 26 Oktober 2006 dari http://www.depkes.co.id.
Hasbianto, Elli N.  (1996).  Kekerasan Dalam Rumah Tangga.  Potret Muram Kehidupan Perempuan Dalam Perkawinan, Makalah Disajikan pada Seminar Nasional
Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual.  UGM Yogyakarta, 6 November.
Komnas Perempuan (2002).  Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia.  Jakarta: Ameepro.
Kompas.  (2006).  Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi.  Diambil pada tanggal 26 oktober 2006 dari http://kompas.com.
Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. Diambil pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.
Monemi Kajsa Asling et.al.  (2003).  Violence Againts Women Increases The Risk Of Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua.  The International Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.
Rahman, Anita.  (2006). Pemberdayaan PerempuanDikaitkan Dengan 12 Area of Concerns (Issue Beijing, 1995). Tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Sciortino, Rosalia dan Ine Smyth.  (1997). Harmoni: Pengingkaran Kekerasan Domestik di Jawa.  Jurnal Perempuan,  Edisi: 3, Mei-Juni.
WHO.  (2006).  Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar Pelayanan.  Jakarta: Dep. Kes. RI.
____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.

Globalisasi Kebudayaan Korea Selatan di Indonesia | Gusnia Syukriyawati

Globalisasi merupakan suatu proses dari gagasan yang di munculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Kemudian pengertian dari kebudayaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam fikiran manusia, sehingga kebudayaan itu bersifat abstrak.
Trend budaya Korea Selatan atau yang biasa disebut dengan Korean Wave belakangan ini memang sedang banyak digemari oleh masyarakat di beberapa negara Asia, maupun mancanegara. Salah satu penyebar Korean Wave terjadi karena bermunculan  boyband dan girlband. Wajah yang rupawan, gaya yang keren dan trendy, penampilan yang menarik, dan didukung musik yang nyaman didengar serta didukung dengan tarian yang bertenaga menyebabkan banyak remaja Indonesia menyukai boyband dan girlband Korea Selatan tersebut, seperti boyband “ EXO ” dan girlband “ SNSD“ yang sekarang banyak digemari masyarakat karena berwajah rupawan dan multitalenta.
Korean Wave sendiri tidak hanya terjadi dalam budaya musiknya saja, bahkan drama  Korea Selatan juga tidak jauh dari perhatian masyarakat saat ini. Kisah cinta yang romantis, didukung dengan para pemain (aktris dan aktor) dan alur cerita yang menarik adalah daya tarik drama Korea Selatan itu sendiri.
Selain itu, gaya berpakaian modern Korea Selatan sekarang sedang menjadi trend di kalangan masyarakat Indonesia, saat ini sudah banyak toko pakaian yang menjual pakaian modern yang sedang menjadi trend di Korea Selatan. Masyarakat menyukai pakaian tersebut karena model pakaian tersebut yang simple dan juga terlihat bagus.
Makanan khas dari Korea Selatan juga menjadi perhatian masyarakat, makanan Korea Selatan yang cenderung pedas dan kaya akan rempah–rempah ini, cocok dengan lidah orang Indonesia, seperti halnya kimchi, mie ramen, bulgogi, kue beras, baso ikan dan juga cemilan khas Korea Selatan. Sekarang ini  sudah tidak  jarang lagi kita menjumpai rumah makan yang menjual kuliner khas Korea Selatan. Bahkan sekarang di televisi Indonesia juga menampilkan iklan produk biskuit dari Korea Selatan dengan bintang iklan dari aktor Korea Selatan.
Dengan adanya Korean Wave, wisata di Korea Selatan juga banyak menjadi tujuan wisata yang paling diinginkan untuk sebagian orang untuk saat ini. Berkembangnya Korean Wave di Indonesia merupakan perwujudan globalisasi dalam dimensi komunikasi dan budaya. Jika Korean Wave tidak disertai dengan apresiasi terhadap kebudayaan nasional, maka akan terjadi bergesernya nilai kebudayaan nasional menjadi budaya marginal (pinggiran).
Kalangan remaja merupakan kalangan terbesar penerima Korean Wave  di Indonesia. Padahal, remaja merupakan tonggak pembangunan nasional. Jika remaja sekarang sudah tidak mengenal kebudayaannya sendiri, maka kebudayaan nasional dapat mengalami kepunahan dan berganti dengan kebudayaan baru yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kepribadian asal negara Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus mewaspadai dampak negatif yang muncul akibat dari Korean Wave agar kebudayaan asli Indonesia masih memiliki nilai budaya yang tinggi di mata masyarakat Indonesia.

Korean Wave sudah menjadi fenoma yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia. Para penggemar Korean Pop maupun Korean Drama secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi beberapa hal mulai dari style baju, life style, karakteristik pasangan hidup hingga ketertarikan akan bahasa Korea Selatan. Ketertarikan pada artis Korea Selatan bukanlah ketertarikan interpersonal timbal balik melainkan ketertarikan satu arah. Namun, ketertarikan ini tetap sedemikian besarnya dan menimbulkan hysteria karena para idola tersebut memiliki wajah yang rupawan.
Daya tarik ini disebabkan oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal. Internalnya adalah karena kepribadian para remaja yang masih belum stabil sehingga masih mencari-cari role model yang diinginkan. Hebatnya gelombang Korean Wave  mau tak mau juga melanda kepribadian mereka. Selain itu kebutuhan akan pertemanan pada remaja juga menyebabkan munculnya komunitas-komunitas penggemar artis Korea Selatan tersebut. Dari segi eksternal, penyebab terjadinya fenomena Korean Wave  juga karena pengaruh industri musik atau drama yang terus menerus mengimpor seni hiburan asal Korea Selatan masuk ke dalam tontonan Indonesia sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat.
 
Daftar Rujukan
BBC News. South Korea Profile. (online). (http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-15289563), diakses pada tanggal 13 Desember 2013.
J, Nye. 2009. South Korea’s Growing Soft power, Projectsyndicate (online)  (http://www.projectsyndicate.org/commentary/nye76), diakses pada tanggal 14 Desember 2013.
KBS World. 2009. Cara Mempromosikan Ekspor Konten Budaya Korea. (online) (http://world.kbs.co.kr/indonesian/news), diakses pada tanggal 14 Desember 2013.
KBS World. 2009. Keputusan pemerintah untuk memberi dukungan penuh terhadap globalisasi pengaruh budaya Korea (online) (http://world.kbs.co.kr/ indonesian/news/news_issue), diakses pada tanggal 14 Desember 2013.
KOCIS. 2010. Korean wave. (Online) (http://www.korea.net/Government/ Current-Affairs/Korean-Wave?affairId=209). Diakses pada tanggal 13 Desember 2013.
Ministry of Foreign Affairs and Trade. 2011. Diplomatic White Paper 2011. Republic of Korea. Hal. 91.
VOA News. 2006. Asia Goes Crazy Over K-Pop. (online) (http://english.chosun.com/site/data/html_dir/2006/01/07/2006010761003.html), diakses pada tanggal 14 Desember 2013
Yudhantara, Reza Lukmanda. 2011. Politik dan Pemerintahan Korea. Yogyakarta: UGM Press. Hal. 183.

Karakteristik Lansia dengan Kemandirian Aktifitas Sehari-hari | I Wayan Suardana

Saat ini, diseluruh dunia jumlah orang lanjut usia diperkirakan ada 500 juta dengan usia rata- rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Di Indonesia, pada tahun 2000 diperkirakan jumlah lanjut usia meningkat menjadi 9,99% dari seluruh penduduk Indonesia ( 22.277.700 jiwa) dengan umur harapan hidup 65-70 tahun dan pada tahun 2020 akan meningkat menjadi 11,09% (29.120.000 lebih) dengan umur harapan hidup 70-75 tahun. Di Bali, pada periode 2000-2005  pertumbuhan penduduk lansia dengan rata-rata 2,4% dan pada tahun 2015 diperkirakan menjadi 432.000 orang (11,4 persen).   Bertambahnya jumlah lansia seiring dengan makin membaiknya taraf sosial ekonomi masyarakat sehingga berdampak pada meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Pada tahun 2006 angka harapan hidup di Bali sekitar 70,5 tahun (Badiyah, 2009)
Bentuk permasalahan yang ditimbulkan dari peningkatan jumlah penduduk lansia adalah peningkatan rasio ketergantungan lanjut usia (old age dependency ratio). Setiap usia produktif semakin banyak menanggung penduduk lansia. Pada saat ini, Indonesia telah masuk dalam jendela peluang kependudukan sejak tahun 2005 sampai 2050 (Komisi Nasional Indonesia, 2009). Pada masa itu masih banyak penduduk muda yang dapat mendukung penduduk tua. Pada saat ini, rasio ketergantungan lanjut usia telah meningkat dari 12,12 tahun 2005 menjadi 13,52 tahun 2007 dan 13,57 pada tahun 2009 (SUSENAS, 2009). Hal ini berarti tahun 2005, 12 lanjut usia didukung oleh 100 orang usia muda     (15-44 tahun) sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 13 lanjut usia yang didukung oleh 100 orang usia muda (Komisi Nasional Lanjut Usia,  2010)
Peningkatan rasio keter-gantungan pada lansia akan mengakibatkan meningkatnya beban keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Peningkatan yang terjadi terutama yang berhubungan dengan kebutuhan layanan khusus seperti kesehatan dan nutrisi yang nantinya juga akan menimbulkan beban sosial yang tinggi karena pertumbuhan lanjut usia akan terus meningkat (Komisi Nasional, 2010).  Meningkatnya jumlah lanjut usia akan menimbulkan berbagai permasalahan yang kompleks bagi lanjut usia itu sendiri maupun bagi keluarga dan masyarakat. Secara alami proses menjadi tua mengakibatkan para lanjut usia mengalami perubahan fisik dan mental, mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosialnya. Perubahan-perubahan tersebut menuntut dirinya untuk menyesuaikan diri secara terus menerus. Apabila proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbulah berbagai  masalah karena ketergantungan atau kurangnya tingkat mandirian lansia.
Karakteristik lansia, kondisi fisik serta kondisi kesehatan lansia  berpengaruh pada kemandirian dan tingkat stres yang dimiliki lansia. Lansia yang selama usia muda sudah terbiasa mandiri akan terus berusaha mempertahankan kemandiriannya terutama dalam beraktivitas sehari-hari selama mungkin. Disamping itu berbagai perubahan yang dialami lansia terutama yang mengarah pada kemunduran dan keterbatas-keterbatasan fisik serta timbulnya berbagai penyakit yang juga menyertai proses menuannya diduga menjadi pemicu stres bagi lansia.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan karakteristik lansia dengan tingkat kemandirian lansia dalam melakukan aktifitas sehari- hari lansia di Banjar Den Yeh Di Wilayah Kerja Puskesmas III Denpasar Utara.
Karakteristik  lanjut usia  ciri- ciri dari individu yang terdiri demografi seperti jenis kelamin, umur serta status social seperti, tingkat pendidikan, pekerjaan, ras, status ekonomi dan sebagainya. (Widianingrum,1999). Menurut Effendi, demografi berkaitan dengan struktur penduduk, umur, jenis kelamin dan status ekonomi sedangkan data cultural mengangkat tingkat pendidikan, pekerjaan, agama, ada istiadat, penghasilan dan sebagainya. Dari permasalahan tersebut perlu dilakukan peneliti dengan tujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik kemandirian lansia.

Dilihat dari usia sebagian besar responden dalam penelitian ini termasuk lanjut usia (60-74 tahun) sebanyak 5 orang (75%) dan sisanya lanjut usia tua. Jenis kelamin responden dalam penelitian ini laki-laki dan perempuan dalam penelitian ini memiliki jumlah yang sama yaitu 30 orang (50%). Dilihat dari tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini tergolong tingkat pendidikan SD yaitu sebanyak 29 orang (49%) dan tergolong perguruan tinggi yaitu sebanyak 2 orang (3%).Dilihat dari status ekonomi responden dalam penelitian ini memiliki tingkat ekonomi yang tergolong sedang yaitu sebanyak 27 orang (45%) dan tingkat ekonomi tinggi yaitu sebanyak 15 orang (25%).Dilihat dari status perkawinan  responden dalam penelitian ini sudah kawin yaitu sebanyak 45 orang (75%) dan  belum kawin yaitu sebanyak 3 orang (2%). Dan pada status kesehatan seluruh responden dalam penelitian memiliki status kesehatan yang kurang.
Responden dalam penelitian ini memiliki tingkat kemandirian yang tergolong mandiri yaitu sebanyak 41 orang (68%) dan  tergolong ketergantungan ringan yaitu sebanyak 19 orang (32%). Ada hubungan antara usia dengan kemandirian, dimana berhubungan negative yaitu semakin tinggi umur semakin rendah kemandirian responden (p=0,000,          r=-0,517). Dilihat dari jenis kelamin, jenis kelamin tidak berhubungan dengan kemandirian (p=0,077, X2=0,781) karena jenis kelamin laki- laki maupun perempuan memiliki faktor pendukung lainnya yang dapat meningkatkan kemandiriannya, seperti pada perempuan dapat menjadi mandiri karena sudah terbiasa mengurus urusan rumah tangga. Dan pada laki- laki dapat mandiri karena sejak usia muda terbiasa mandiri sehingga saat lanjut usiapun laki- laki dapat  mandiri. Pendidikan memiliki hubungan terhadap kemandirian lansia (p=0,001,  r=-0,425). Hal ini dikarenakan sebagian besar responden yang berpendidikan tidak sekolah memiliki kemandirain yang tergolong ketergantungan ringan sedangkan responden yang berpendidikan SD dan SMP sebagian besar memiliki kemandirian yang tergolong mandiri. Status ekonomi tidak berhubungan dengan kemandirian lansia (p=0,723, r=-0,047). Hal ini dikarenakan lanjut usia tinggal serumah dengan anak dan keluarganya sehingga lanjut usia tidak mengalami kekurangan karena telah dinafkahi oleh anak- anaknya. Status perkawinan berhubungan dengan kemandirian lansia (p=0,013, X2=8,652). Hal ini dikarenakan lansia yang tinggal bersama lebih mungkin untuk bertahan hidup dan mempertahankan kemandiriannya. Status kesehatan tidak berhubungan dengan kemandirian lansia (p= 0,08, r= 0,228). Hal ini dikarenakan seluruh lansia mengalami masalah kesehatan.

Daftar Rujukan
Badiyah Siti. 2009. Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika.
Badan Pembangunan Statistik SUSENAS. 2007. Penduduk Lanjut Usia. (online), (http://susenas.bps.go.id, diakses 23 mei 2012)
Badan Pembangunan Statistik SUSENAS. 2009. Penduduk Lanjut Usia. (online), (http://susenas.bps.go.id, diakses 23 mei 2012)
Darmoji Boedhi. 2004. Buku Ajar Geriatri Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Efendi Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta: Salemba Medika
Komisi Nasional Lanjut Usia. 2010. Profil penduduk usia lanjut. (online), (http://www.komnaslansia.or.id diakses 23 mei 2012)
Saryono. 2010. Kumpulan Instrumen Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika

Mengkaji Substansi Politik Anggaran | Suraji

Pembicaraan mengenai masalah anggaran dihubungkan dengan kajian politik memang masih sangat asing di bahas oleh ilmuan, baik ilmuan politik maupun para sarjana ekonomi yang memang terlibat langsung dalam proses anggaran. Anggaran yang menjadi inti dari pengelolaan pemerintah telah mengalami banyak masalah terutama berkaitan dengan proses politik dan penentuan anggarant.
Konteks politik anggaran akan terkait dengan siapa yang berperan dan kemampuan negara dalam memberikan jaminan kepada rakyatnya. Namun  yang terjadi politik anggaran dipahami dan dijalankan dalam konteks jangka pendek dan menguntungkan pihak-pihak terkait saja. Aturan dalam penentuan program hanya terletak pada level kepentingan masing-masing aktor, sedangkan masyarakat sering terjadi tidak mengetahui proses dan partisipasi dalam menentukan jauh dari proses yang terjadi, bahkan rakyat sendiri tidak mengetahui berapa persen anggaran yang dilimpahkan untuk kesejahterannya.
Upaya untuk membangun dan memberikan sistem anggaran nasional dan daerah, telah ditentukan melalui undang-undang dan peraturan pemerintah, seperti jaminan rakyat untuk terlibat dalam proses penentuan anggaran, namun proses tersebut hanya dimaknai sebagai proses formal dan masih jauh dari nilai-nilai keadilan sosial dalam penyelenggaraan pemerintah yang baik. Kalau dilihat dari politik, maka pada dasarnya adalah pengelolaan konflik melalui pemberlakuan peraturan secara fair, artinya peraturan itu diberikan kepada siapa saja tanpa da diskriminasi.  Anggaran merupakan mekanisme transaksi antara pemerintah dengan rakyat dalam penentuan anggaran. Maka anggaran di dalamnya terdapat rawan konflik karena terdapat banyak kepentingan yang terlibat didalamnya untuk memenuhi kebutuhan programnya.  Ketika kekuasaan politik pemerintah banyak didominasi elit yang berkeinginan bahwa institusinya lebih banyak menerima anggaran atau justru penentuan anggaran lebih banyak diajukan oleh pemerintah, maka yang terjadi adalah kebohongan dan pemaksaan yang sebenarnya mengingkari dari demokrasi anggaran itu sendiri. Seperti upaya untuk menemukan formulasi yang tepat mengenai keadilan anggaran, maka politik anggaran tentu akan berkaitan dengan usaha negara dan pemerintah memberikan jaminan sosial yang tepat bagi rakyat dengan berdasarkan pada kebutuhan dan hak publik. Politik yang juga dimaknai kesetaraan dan partisipasi, maka politik anggaran harus dibangun dan diperjuangkan sebagai sistem anggaran yang menggambarkan adanya kesetaraan, keadilan, partisipasi dan pertanggungjawaban pemerintah dam meningkatkan pelayanan publik.  Keterlibatan rakyat dalam kebijakan penentuan anggaran menjadi sangat penting, karena selain dapat meminimalkan konflik juga dapat meningkatkan partisipasi rakyat secara individu mapun kolektif. Masyarakat mempunya hak politik dalam setiap proses yang diselenggarakan oleh pemerintah terutama yang menyangkut kepentingan rakyat itu sendiri, karena pada dasarnya rakyat memiliki hak kebebasan dan mempunyai kedudukan yang setara dalam hak dan kewajiban.
Dalam proses penentuan anggaran realitas dan fakta di tingkat nasional maupun lokal menunjukkan terdapat  tindakan penggebiran rakyat atas haknya. Dimana rakyat menjadi kurban dalam penentuan anggaran. Kepentingan elit dan kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu secara otomatis masuk dalam penentuan, perumusan serta pengesahan anggaran. Bahkan sudah menjadi keumuman politik dagang sapi untuk meningkatkan anggaran ataupun bantuan-bantuan lainya melalui proses politik yang tidak sehat. Aspek kebutuhan pelayanan masyarakat seakan-akan jauh dari target untuk memberikan pelayanan. Lebih-lebih keterlibatan partai politik penguasa juga semakin mengeruhkan suasana untuk mengambil kesempatan bagi kemajuan partainya di masa yang akan datang.
Permasalahan diatas menunjukkan bahwa ranah politik anggaran tidak sekedar target bagi kekuasaan, tetapi yang lebih menguatirkan adalah pemaknaan politik kepentingan pihak-pihak negara dan pengusaha dalam menyediakan anggaran untuk publik dengan politik perjuangan publik. Upaya yang harus dilakukan adalah membangun paradigma baru anggaran untuk publik dan mekanisme kelembagaan yang sehat dengan analisis ekonomi politik jangka panjang yang menguntungkan publik.

Secara umum masalah anggaran adalah masalah yang menjadi tanggungjawab negara untuk memberikan pelayanan, keadilan, dan hak-hak bagi publik. Apa yang terjadi pada saat ini persoalan anggaran menjadi arena baru bagi kekuasan dan elit-elit kepentingan untuk berebut mengajukan ketersediaan anggaran yang diasumsikan menurut mereka semata untuk kepentingan publik. Walaupun terjadi era otonomi, perubahan paradigma pengelolaan anggaran, kepentingan anggaran tetap terjadi baik di tingkat daerah maupun nasional.
Upaya yang harus diformulasikan dalam masalah anggaran adalah bagaimana keadilan anggaran menjadi political will oleh eksekutif maupun legislatif, maka politik anggaran adalah bagaimana negara memberikan jaminan sosial yang tepat bagi rakyat atas dasar hak-hak rakyat sebagai pihak yang dilayani bukan penggebiran anggaran dengan dalih untuk rakyat. Dengan demikian anggaran dapat dimaknai sebagai terbangunnya sistem anggaran yang menggambarkan adanya kesetaraan, keadilan, partisipasi dan pertanggungjawaban pemerintah dalam peningkatan pelayanan publik bagi masyarakat.
Terkait dengan analisis politik dalam anggaran adalah keharusan dalam kajian ilmu-ilmu sosial karena politik menggunakan pendekatan supradisiplin (supradiciplinary approach). Fokus analisisnya adalah pada setiap isu atau kebijakan, yang langsung ataupun tidak langsung yang melibatkan kepentingan publik serta sebagian besar perhatianya dicurahkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijakan publik. Hal ini juga karena ekonomi politik pada dasarnya menyangkut keputusan politik mengenai kondisi anggaran dan siapa yang berhak menerima anggaran tersebut. Sehingga dapat dijawab analisis politik anggaran adalah bagaimana anggaran untuk rakyat.

Daftar Pustaka
James A.Caporasa dan David P.Levine, 1992, Teori-teori Ekonomi Politik, Cambridge University Press. Diterjemahkan oleh Suraji Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2009.
Edi Slamet Irianto, 2005, Pajak dan demokrasi Negara, Pustaka Pelajar Yogyakrta.
Liz dan Stepen, 2000, Pilitical Man, The Social Bases of Politics, New York.
Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Geamedia.
Puro Santoso, 2004, Dalam Kata Sambutan Menjaring Anggaran Untuk rakyat, Yayasan Trifa& IDEA.
Annonymous. 2000. Modul workshop. IDEA-Yogyakarta. Workshop Penganggaran Daerah untuk Anggota DPRD Propindi DIY, 6-9 November 2000.
---------------. 2003. Rekaman Proses. IDEA-Yogyakarta. Workshop Partisipasi Masyarakat dalam Anggaran, 28-29 Juli 2003.
Dahl, Robert. 2001. Perihal Demokrasi. Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara singkat. YOI. Jakarta.
Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-organisasi Modern. UI Press. Jakarta.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Munir, Badrul. Perencanaan Anggaran Kinerja. Memangkas Inefisiensi Anggaran daerah. Samawa Center. Mataram.
Santoso, Purwo. 2004. Menjaring Anggaran untuk Rakyat. Yayasan Tifa-Idea. Yogyakarta
Siregar, Doll. 2002. Optimalisasi Pemberdayaan  Harta Kekayaan Negara. Peran Konsultan Penilai dalam Pemulihan Ekonomi Nasional. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Thomas, Vinod. et al. 2001. The Quality of Growth (terjemahan). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wahab, Solichin Abdul. 1999. Ekonomi Politik Pembangunan. Bisnis Indonesia era Orde Baru da ditengah krisis moneter. Brawijaya University Press. Malang.
Varma, SP. 2001. Teori Politik Modern (cetakan keenam). Rajawali Press. Jakarta.

Relevansi Pendidikan Agama Di Sekolah | Yuyun Qomari P.

RUU Sisdiknas yang akan disahkan menjadi UU Sisdiknas mendapat banyak catatan kritis dari berbagai pihak yang peduli dengan pendidikan di negara kita. Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah masalah penekanan pada pendidikan agama dan ketaqwaan yang diberikan porsi terlalu basar, karena hal itu dikhawatirkan akan mereduksi hakekat dan tujuan pendidikan itu sendiri. Memang, tujuan pendidikan lebih luas dan kompleks ketimbang hanya pembelajaran agama.
Pada konteks saat ini, dimana kesetaraan, penghargaan terhadap HAM, dan kesadaran terhadap pluralitas masyarakat menjadi tuntutan, maka pertanyaan yang timbul adalah masih relevankah pengajaran agama pada lembaga pendidikan? Padahal kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa pembelajaran agama di sekolah justru melahirkan individu-individu yang sempit, yang hanya mau menerima kebenaran moral dari agamanya, yang menjadikan agamanya sebagai patokan tertinggi kebenaran dan pada gilirannya tidak mau menerima dimensi-dimensi kebenaran dari agama lain. Kita juga sulit mengelak ketika agama dinyatakan sebagai determinan pemecah-belah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling bermusuhan. Penulis melihat bahwa pendidikan agama hanyalah sebuah indoktrinasi yang tidak mengajarkan peserta didik untuk berpikir kritis.
Para pemuka agama dan guru-guru agama seharusnya malu ketika melihat begitu mudahnya kerusuhan massa terjadi begitu isu agama dihembuskan. Masyarakat kita menerima nilai-nilai agama melalui sosialisasi yang dilakukan para pemimpin dan guru-guru agama tanpa melihat konteks yang plural, akibatnya begitu satu agama bersinggungan dengan agama lain gejolak mudah sekali terjadi, bagaimana pemahaman agama hanya menumbuhkan balas dendam bukannya mencintai sesama manusia.
Pembelajaran agama kerap kali mencerabut individu dari lingkungannya, peserta didik diajarkan bahwa orang seagama adalah saudara, padahal dalam kehidupan sehari-hari peserta didik bukan hanya bergaul dengan orang seagama, bagaimana posisi orang yang tidak seagama? Tentu saja ini hanyalah sebuah contoh kecil dan masih banyak contoh lain yang tidak menunjukkan relevansi pendidikan agama. Membebankan pembelajaran agama pada lembaga pendidikan juga rawan terhadap politisasi agama dimana agama hanya sebagai alat mempertahankan kekuasaan dengan melegitimasi kekuasaan melalui nilai-nilai keagamaan. Saat ini bukan pembenahan pembelajaran agama yang perlu diperhatikan tetapi merekonstruksi tujuan pendidikan secara menyeluruh. Memang, etika dan moral adalah hal penting yang harus menjadi perhatian dalam muatan pendidikan, tentu saja etika yang menghargai pluralitas masyarakat, penghargaan terhadap hak asasi manusia, membentuk berpikir kritis terhadap sistem yang menindas, serta kontekstual dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Kalau mau konsisten dengan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa maka pendidikan juga harus dibebaskan dari indoktrinasi yang pada akhirnya hanya menghasilkan truth claim serta membunuh pikiran-pikiran cerdas dan kritis.
Penulis agaknya sepakat dengan apa yang diutarakan oleh Luthfi Assyaukanie (Kompas 15 Maret 2003) bahwa apa yang menjadi persoalan sebenarnya adalah kita terlalu membesar-besarkan peran pendidikan agama dalam membentuk moral bangsa. Padahal bagaimana korelasi kedua hal tersebut masih belum dapat dibuktikan, bahkan saat ini menunjukkan kenyataan yang berkebalikan. Adalah ironis bahwa Indonesia adalah negara beragama yang menekankan pendidikan agama dalam sistem pendidikannya tetapi masuk dalam kategori negara terkorup. Para pemimpin kita tak diragukan lagi pehamannya terhadap nilai-nilai agama, tetapi perilaku yang ditunjukkan sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai yang dicita-citakan tersebut.
Kelompok fundamentalis Islam menyatakan bahwa kegagalan pengajaran agama membentuk moral di Indonesia adalah karena agama yang disampaikan dalam pendidikan saat ini telah jauh melenceng dari jalan yang benar seperti yang disampaikan oleh Allah dan Rasulnya, karena itu meskipun Indonesia memiliki jumlah umat Islam terbesar tetapi memiliki moral terburuk. Anggapan ini sebenarnya tak lebih dari ungkapan frustasi melihat gagalnya pengajaran agama di lembaga pendidikan. Betapa tidak, cobalah kita berkaca pada negara lain yang lebih sekular, ternyata tata kehidupan mereka lebih tidak korup, lebih bersih dan ber-etika.
Tidaklah berlebihan apa yang diungkapkan oleh Luthfi Assyaukanie bahwa kita tidak bisa membesar-besarkan peran pendidikan agama dalam masalah moralitas dan etika. Masalah moralitas dan etika seharusnya bukan hanya termuat pada pelajaran agama saja tetapi pada semua mata pelajaran, mata pelajaran agama seharusnya menjadi mata pelajaran pilihan saja yang boleh diambil atau tidak oleh peserta didik. Penulis berpendapat bahwa agama adalah wilayah privat, karena itu pembelajaran agama seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Kalau kita benar-benar ingin mewujudkan tata kehidupan yang demokratis maka mestinya kebebasan yang dimiliki masyarakat bukan hanya kebabasan untuk memilih agama tetapi juga kebebasan untuk tidak memilih agama.
RUU sisdiknas yang diusulkan oleh DPR dalam salah satu pasalnya menyebutkan "setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya...." Seharusnya diubah diperluas dengan menyebutkan bahwa peserta didik berhak untuk memilih mangambil atau tidak palajaran agama di suatu lembaga pendidikan, begitu juga lembaga pendidikan tidak harus menawarkan pelajaran agama.
Sudah saatnya lembaga pendidikan mejadi sebuah lembaga yang membebaskan. Membebaskan masyarakat dari sistem yang menindas, membebaskan manusia dari doktrin yang justru mencabut dirinya dari realitas. Penulis tidak bermaksud untuk merendahkan peran dan posisi agama dalam kehidupan masyarakat, tetapi paling tidak menggugah kita untuk merefleksikan kembali apa yang kita harapkan dan apa yang kita dapatkan dari pembelajaran agama selama ini, dan pada gilirannya kita dapat menimbang apakah mewajibkan pendidikan agama pada lembaga pendidikan (sekolah) masih relevan?

Sabtu, 15 November 2014

Pendekatan Silang Budaya sebagai Pencitraan Budaya Indonesia Melalui Pengajaran BIPA | Arif Budi Wurianto

Memasuki era globalisasi dan teknologi informasi, bahasa Indonesia tidak saja dilihat sebagai aset kebudayaan melainkan merupakan sarana perhubungan dan aset di bidang ekonomi, politik, dan strategi hubungan global, misalnya semakin dipelajarinya bahasa Indonesia di Jepang, Australia, Amerika, dll. Dengan demikian bahasa Indonesia telah menjadi bahasa kedua  di negara-negara berbahasa asing yang dipelajari dan diajarkan, khususnya untuk kepentingan politik, ekonomi dan pengembangan hubungan global. Untuk itulah yang perlu dipertanyakan kembali, apakah orang asing yang belajar bahasa Indonesia, hanya belajar bahasa sebagai ilmu bahasa (linguistik) dan untuk kepentingan berkomunikasi dengan penduduk penutur bahasa Indonesia. Kenyataan secara asumtif masih demikian, bahasa Indonesia diajarkan dalam bentuk aturan-aturan linguistik tanpa melihat bahwa keberagaman suku bangsa di Indonesia menyebabkan nilai rasa dan aspek rohaniah masyarakat mempengaruhi bentuk dan makna bahasa Indonesia yang diucapkan. Untuk itu perlu sekali penutur bahasa asing yang belajar bahasa Indonesia harus mempelajari juga aspek psikologis masyarakat Indonesia. Pemahaman aspek kebudayaan dan psikologi masyarakat dan kaitannya dengan berbahasa Indonesia perlu dikenalkan dan diajarkan kepada penutur asing yang sedang belajar bahasa Indonesia.
Secara historis telah diketahui bahwa bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional sejak Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan “Kami Bangsa Indonesia mengaku Berbahasa yang Satu Bahasa Indonesia”. Padahal bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa persatuan merupakan salah satu bahasa daerah di Nusantara yaitu bahasa Melayu, sedangkan di luar daerah berbahasa Melayu, masih banyak bahasa daerah lain yang kalau dilihat dari sejarah kebudayaan, sastra dan penuturnya lebih besar, seperti bahasa Jawa, dll. Oleh karena itulah secara psikologis,  terdorong oleh sifat nasionalisme yang tinggi serta “beberapa kearifan lokal” menjadikan suku-suku lain menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dengan nama Bahasa Indonesia. Dalam perkembangannya Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi, bahasa negara dan bahasa  nasional dan dikukuhkan dalam UUD 1945 pasal 36.
Dalam pertumbuhannya, bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi antarpenduduk, antarsuku bangsa, yang sudah tentu memiliki latar belakang sosio-kultural yang beragam. Akibatnya bahasa Indonesia yang dituturkan oleh penutur dari Jawa berbeda dengan penutur dari Sunda, Madura, Batak, Bali, Melayu, Irian, Makassar, dll. Persamaan akar bangsa memungkinkan “toleransi pemahaman dan pemaknaan”. Selain itu karena faktor politik, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, yang lebih “berbau” Jawa, karena Pak Harto orang Jawa, berpengaruh terhadap kosa kata sampai pada penamaan gedung-gedung pemerintah dan istilah politik. Suku lain meskipun sulit untuk melafalkan, masih mudah (berusaha) untuk memahami. Persoalan yang timbul bagaimana kalau bahasa Indonesia ini dituturkan oleh penutur asing? Meskipun secara tatabahasa mungkin dapat dipelajari tetapi bagaimana dengan makna yang tersirat yang berhubungan dengan psikologis masyarakat Indonesia yang multikultural dan majemuk? Terlebih bagaimana implikasi pembelajaran BIPA (Bahasa  Indonesia Penutur Asing), apakah cukup mengenalkan aspek linguistiknya saja? Tentunya tidak. Perlu pemahaman psikologi masyarakat majemuk Indonesia melalui pendekatan silang budaya. Pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia.

Dapat disimpulkan bahwa sebagai sebuah pemangku “nation state”, Indonesia  adalah sebuah gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di bawah sebuah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah pentingnya kesukuan yang terwujud dalam sistem komunitas suku bangsa sebagai acuan utama bagi jati diri manusia Indonesia.  Pendekatan silang budaya  sebagai pencitraan budaya Indonesia merupakan upaya membangun citra diri yang didasarkan pada yang dimilikinya dibandingkan dengan berdasar kesejatidirian. Dengan demikian upaya membangun citra diri ini sudah lebih diandalkan pada pemilikan ( to have).
Kenyataan yang menunjukkan bahwa orang Indonesia yang berbahasa Indonesia pada hakikatnya adalah orang dari suku-suku bangsa yang memiliki karakter jiwa kebudayaan lokalnya yang berbicara dengan bahasa nasional dan bahasa persatuannya. Untuk itu orang asing yang berkomunikasi dengan orang Indonesia dengan bahasa Indonesia yang telah dipelajarinya, paling tidak ia telah mempelajari linguistik bahasa Indonesia dalam konteks ruang dan waktu kebudayaan, kepribadian, dan pola-pola tindakan “manusia” Indonesia. Itulah sebabnya melalui pendekatan silang budaya dengan pendidikan heuristik dan pola-pola empatik  sangat dimungkinkan linguistik bahasa Indonesia mendapat “roh” yang sangat “Indonesianis”.

Daftar Pustaka
Austin, J.L.  1962. How to Do Things with Words. Cambridge : Harvard University Press      
Anderson, Benedict. 2001.    Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). (terj. Omi Intan Naomi) Yogyakarta: Inist.
Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987.  Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge  University Press.   
Budiman, Maneke 1999. ‘Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di Indonesia: Mengubah    Kendala Menjadi Aset’, Jurnal Wacana FSUI.No.1 April 1999. Vol 1. hal. 3
Hamengkubuwono X. 2001.    ‘Implementasi Budaya Jawa dalam Menjaga Keutuhan dan Persatuan Bangsa, Mungkinkah?’ Makalah seminar Nasional. Surakarta: Univet.
Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Bentang
Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3 Es.    
Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A Personal Introduction. Jakarta : Gramedia.
Sayogya. 1995. Sosiologi Pedesaan, Kumpulan Bacaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soeparmo, dkk. 1986. Pola Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosial Budaya Indonesia. Surabaya: Unair Press.
Tampublon, Daulat. 2000. ‘Peran Bahasa dalam Pembangunan Bangsa’. Jurnal MLI. hal.69.
Tasmara, Toto. 1999. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta : Gema Insani.
Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung: Alumni
Widdowson, H.G, 1995. Stilistika dan Pengajaran Sastra (terj. Sudijah). Surabaya: Unair Press.
Yanti, Yusrita. 1999. ‘Tindak tutur Maaf di dalam Bahasa Indonesia di Kalangan Penutur Minangkabau’. Jurnal MLI. hal. 93

Konstruksi Makna Tato pada Anggota Komunitas “Paguyuban Tattoo Bandung” | Reza Pahlevy

Kita sering melihat orang-orangyang menggunakan tato, baik di lingkungan tempat tinggal maupun di media massa. Tato tersebut menghiasi satu atau beberapa bagian dari tubuh mereka. Jika ditinjau dari sejarahnya, tato tidak gunakan oleh orang-orang secara sembarangan, melainkan ada tujuan-tujuan dan makna-makna khusus dari penggunaan tato tersebut. Melihat sejarah tato di Indonesia, realitas tato sempat mendapat tanggapan yang negatif. Orang-orang yang menggunakan tato dinilai buruk, sering membuat keonaran, dan sering diidentikkan dengan penjahat. Realitas ini terbentuk dan mendapat pengesahan secara tidak langsung ketika pada tahun 1980-an terjadi peristiwa petrus (penembakan misterius) terhadap orang-orang jahat.
Saat ini banyak bermunculan komunitas tertentu yang tujuan didirikannya tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, salah satunya adalah Paguyuban Tattoo Bandung. Kebutuhan yang dimaksud di sini sesuai dengan tujuan dan karakteristik dari komunitas tersebut. Mereka yang tergabung dalam suatu komunitas artinya memiliki ketertarikan yang sama terhadap suatu hal.
Dari sisi komunikasi, penelitian terhadap pemaknaan tato oleh anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung sangat menarik untuk dilakukan. Penelitian dapat dilakukan dengan mengkaji bagaimana pemaknaan dan faktor-faktor yang mendorong ketertarikan terhadap tato yang dilakukan oleh anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung, serta bagaimana interaksi yang terjadi pada komunitas tersebut. Pendekatan dengan metode kualitatif dirasakan oleh penulis sesuai untuk penelitian ini karena penelitian yang dilakukan berkaitan dengan dinamika kehidupan manusia, yaitu pemaknaan dan interaksi yang dilakukan oleh manusia. Perspektif konstruksi realitas sosial merupakan pendekatan yang sesuai untuk melakukan kajian terhadap hal ini. Penulis menggunakan perspektif konstruksi realitas secara sosial sebagai pedoman dalam menafsirkan konstruksi makna yang dilakukan oleh anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung terhadap tato.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis berusaha mengkaji fenomena pemaknaan tato pada anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung melalui penelitian dan menuangkannya ke dalam sebuah karya ilmiah dalam bentuk tulisan dengan judul Konstruksi Makna Tato Pada Anggota Komunitas “Paguyuban Tattoo Bandung”.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah realitas makna tato menurut pandangan anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung, yaitu sebagai identitas, karya seni, dan bisnis. Makna tato Sebagai identitas menunjukkan identitas mereka sebagai pencinta dan penggemar tato. Makna tato sebagai seni meliputi hobi, ekspresi, kreativitas, dan gaya hidup. Sedangkan makna tato sebagai bisnis yaitu sumber penghasilan. Faktor yang melatarbelakangi ketertarikan anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung terhadap tato terbentuk dalam dua lingkup, yakni ranah individu dan ranah komunitas. Dalam ranah individu, ketertarikan mereka terhadap tato dilatarbelakangi oleh empat faktor, yaitu motivasi internal, motivasi eksternal, keterampilan, dan tujuan. Sedangkan dalam ranah komunitas dilatarbelakangi oleh tiga faktor, yaitu orientasi terdahulu, orientasi sekarang, dan orientasi masa depan. Makna tato mengalami pergeseran dari dulu hingga saat ini, mulai dari kebudayaan tradisional, budaya populer, budaya tandingan, hingga konsumsi dan komersialisme. Di Indonesia tato sempat mendapat tanggapan yang negatif pada tahun 1980-an, namun saat ini penggunaan tato lebih kepada trend perkembangan fashion dan gaya hidup seseorang. Saran penelitian ini adalah pemaknaan yang dilakukan oleh individu terhadap tato saat ini beragam dan dilatarbelakangi oleh berbagai aspek. Penulis menyarankan penilaian secara komprehensif atau menyeluruh terhadap penggunaan tato dari berbagai aspek berdasarkan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Penulis menyarankan bagi calon pengguna tato untuk mempertimbangkan secara matang tujuan dan motivasi dari penggunaan tato tersebut,serta memperhatikanperkembangan dari realitas tato secara sosial di masyarakat, karena tato melekat di tubuh seumur hidup.

Daftar Pustaka
Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi Di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Effendy, Onong U. 1989. Kamus Komunikasi: Polarisasi. Bandung: Mandar Maju.
Fisher, Aubrey. 1997. Teori-teori Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fiske, John. 2006. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Komprrehensi. Yogyakarta: Jalasutra.
Goldberg, Alvin A. and Carl E. Larson. 2006. Komunikasi Kelompok: Proses-proses Diskusi Dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran.
_______ . 2009. Fenomenologi. Bandung: Widya Padjadjaran.
Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.
Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
_______ . 2008. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Olong, Hatib A. K. 2006. Tato. Yogyakarta: LkiS.
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdkarya.
Severin, Werner J. and James W. Tankard. 2008. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, Dan Terapan Di Dalam Media Massa. 5th ed. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono. 1975. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Thoha, Miftah. 1998. Perilaku Organisasi. Jakarta: PT RajaGrafindo persada.
Unpad, Tim D. F. 2007. Jurnal Komunikasi Dan Informasi. Jatinangor, Indonesia/Jawa Barat: FIKOM Unpad.
Unpad, Fakultas I. K. 2011. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan. Jatinangor, Indonesia/Jawa Barat: FIKOM Unpad.
Jurnal Elektronik:
Banuah Ujung Tanah. 2010. “Arti Dan Makna Tato Bagi Masyarakat Dayak Di Kalimantan.” Retrieved October 3 (http://banuahujungtanah.wordpress.com/2010/03/10/arti-dan-makna-tato-bagi-masyarakat-dayak-di-kalimantan/).
Blog Sejarah. 2010. “Sejarah tato Mentawai Tato Tertua Di Dunia.” (http://blog-sejarah.blogspot.com/2010/11/sejarah-tato-mentawai-tato-tertua-di.html).
Departemen Sosiologi FISIP UNAIR. n.d. “Teori Interaksi Simbolik mead.” (http://sosiologi.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=74:teori-interaksi-simbolik-mead&catid=34:informasi).
Jurnal SDM. 2009. “Komunikasi antar Budaya ; Definisi, dan Hambatannya.” (http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/05/komunikasi-antar-budaya-definisi-dan.html).
Manuaba, Putera. 2010. “Memahami Teori Konstruksi Sosial.” Masyarakat Kebudayaan Dan Politik. Retrieved 2012 (http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=119:memahami-teori-konstruksi-sosial&catid=34:mkp&Itemid=61).
Media Indonesia. 2010. “Tindik Berkaitan Dengan Perilaku Berisiko.” (http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2010/04/05/2357/2/Tindik-Berkaitan-dengan-Perilaku-Berisiko).
Nonadita. 2010. “Tato Mentawai, tato Tertua Di Dunia.” Travel Nonadita. (http://travel.nonadita.com/tato-mentawai-tato-tertua-di-dunia/).
Rahardjo, Mudjia. 2010. “Triangulasi Dalam Penelitian Kualitatif.” Prof. Dr. Mudjia Rahadjo, M.Si. (http://www.mudjiarahardjo.com/component/content/270.html?task=view).

Problematika Pendidikan Indonesia dan Gagasan Menuju Paradigma Baru | I Wayan Santyasa

 Kekuasaan-kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang, sejak berakhirnya Perang Dunia II, masih meninggalkan tapak-tapak pengaruhnya di tanah air. Sistem kolonial Belanda telah mencangkokkan sistem pendidikan negaranya sendiri di daerah nusantara. Juga kekuasaan politik dan ekonomi Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-negara maju lainnya yang menguasai sebagian besar wilayah dunia, sekarang ini memberikan stempel pengaruhnya kepada lembaga-lembaga pendidikan di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda dan Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tersebut adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya menentukan kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (2) sulitnya mengubah mental pemimpin Indonesia dari kebiasaan ketergantungan, sehingga mereka cenderung berorientasi pada saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan model pendidikan negara-negara barat yang belum tentu cocok dengan kebutuhan pendidikan Indonesia, (3) sulitnya membangkitkan kreativitas masyarakat dalam pendidikan sebagai akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.
Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan dan budaya kolonial dari masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia merupakan pencangkokan lembaga pendidikan negara-negara yang sudah maju, sehingga dalam praktek sehari-hari, hasil pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang mengembangkan unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yang menerima pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yang akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu dan pengalaman eksistensial.
Kemajuan masyarakat industri Eropa adalah hasil dari akumulasi empat gugus institusi, yang menurut pandangan Giddens (Dimyati, 2000) sebagai hubungan komplementer dari (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (3) pengawasan, dan (4) kekuatan militer. Rembesan model institusi ini di Indonesia  menjelma dalam praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak didik, tidak adanya komunikasi interaktif antara guru dan siswa, murid dituntut menghafal secara mekanis, guru cenderung bercerita tentang pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi “tabungan” yang diterima, dihafal, diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-insan yang jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan.
Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan pada pendidikan negara-negara maju memberikan dampak kurang menguntungkan masyarakat Indonesian dan masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia hingga sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan dan persatuan bangsa, untuk menjamin keamanan negara dan stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu ialah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat lokal yang beragam, dan corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi dan modernisasi pendidikan dengan penekanan pada pemberian materi pengajaran yang lebih banyak bersifat urban dan universal dan kurang memperhatikan situasi kondisi lokal, akan meningkatkan harapan ekonomis dan ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan.
Di samping itu, hasrat emosional untuk mengejar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti di negara-negara kaya dan maju, banyak mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di dalam utopi, dan kurang berpijak pada realitas bangsa sendiri, khususnya bagi masyarakat lapisan bawah. Ide-ide utopis tersebut ternyata menghambat pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yang bernafaskan kepribumian yang justru berfaedah bagi masyarakat dan sinkron dengan kebudayaan asli Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-hasil pendidikan yang belum memenuhi harapan masyarakat tersebut, memberikan dorongan untuk sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia sebagai bahan refleksi untuk memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk saat ini.

Mengacu kepada deskripsi masyarakat Indonesia di masa kini dan di masa yang akan datang, dapat diajukan gagasan bahwa untuk mencapai masyarakat yang menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju paradigma pendidikan yang berakar pada pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal dan universal. Nilai-nilai lokal dan universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan dan kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia untuk tetap survive dalam kehidupan global dan untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi khas masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan dalam kerangka untuk menetapkan identitas bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang ada dan diakui oleh sebagian besar penduduk dunia dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi dan trasformasi dengan kebudayaan asli di Indonesia.
Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis dan behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar utama pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak. Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu kreatif mandiri, dan mengembangkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan masyarakat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat industri. Ketiga, konsep eksperimentasi dalam pendidikan. Konsep ini akan mengembangkan kemapuan anak untuk berpikir rasional, kritis, penarikan kesimpulan berdasarkan pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini dapat dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, problem solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.
Penerimaan nilai-nilai asing dalam pendidikan Indonesia hendaknya berdasarkan pada prinsip seleksi asimilasi dengan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tersebut, terjadi proses dialektika dengan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan menghasilkan sintesis berupa konvergensi nilai asing dan nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yang bersifat global dapat disandingkan dengan nilai-nilai ke Indonesiaan yang menunjukkan identitas unik bangsa Indonesia. Demikian pula konsep progresif tentang fungsi pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial seharusnya disesuaikan dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu dapat dipertemukan dengan konsep tri pusat pendidikan Ki hajar Dewantara: keluarga, sekolah, masyarakat, dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka dan media massa.
Untuk mengantisipasi tidak terjadinya konflik global antarbudaya, maka diperlukan paradigma pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang tidak terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas-realitas dan tuntutan internasional sekaligus global. Pendidikan antar budaya dapat berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yang cukup penting diajarkan di sekolah dan di perguruan tinggi. Di samping itu, program pertukaran siswa, mahasiswa, ilmuwan, artis, dan olahragawan juga merupakan kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga merupakan sarana untuk memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui berita, ulasan, feature, pandangan mata, dan sebagainya. Demikian pula, buku-buku khususnya yang memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, meliputi adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan prilaku komunikasi mereka sangat penting dijadikan kurikulum.
Untuk membentuk manusia-manusia antarbudaya tingkat nasional, paradigma pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha sebagai berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional di forum-forum resmi: lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, kantor swasta. Juga di forum-forum tidak resmi yang melibatkan lebih dari satu suku bangsa, usaha yang sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yang berlebihan ke dalam bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu merupakan gejala etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, sajian kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan forum-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata di lembaga-lembaga pendidikan dan kantor-kator pemerintah dan swasta, dengan menerima siswa atau mahasiswa dan pegawai yang cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, kontak antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dan dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode tertentu. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yang berbeda suku tersebut mempunyai kecocokan dalam segi-segi penting, misalnya dalam agama. Keenam, pembangunan daerah yang merata oleh pemerintah, dengan mencegah adanya kemungkinan daerah yang sebagian maju dan sebagian lagi terlantar.
Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan rakyat banyak seraya meningkatkan mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga dan masya-rakat dalam penyelenggaraan, investasi, dan evaluasi pendidikan, (3) meningkatkan investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-program (1) mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas, (2) menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (3) menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi pelaksanaan penyaluran bantuan, dan  (5) meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, sehingga dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya tersebut juga harus diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, seperti penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.
Pendidikan Indonesia diharapkan juga memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya adalah (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional pada pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi otonomi yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional yang terbuka bagi segenap dipersivitas yang ada di Indonesia, (3) pembatasan program-program pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur memberikan otonomi seluas-luasnya pada lembaga pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan sarana, SDM, dan dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.
Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat menentukan kualitas pendidikan dalam dunia semakin terbuka sekarang ini. Untuk meningkatkan proliferasi pendidikan tersebut, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi program pelatihan, media massa, dan media elektronika, (2) menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja secara optimal dalam rangka menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi lembaga-lembaga pelatihan di daerah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin masyarakat, pemerintah daerah, dan dunia industri, (2) meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga-lembaga pendidkan di daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus meningkatkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia kerja.
Pendidikan dan politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam meningkatkan peradaban manusia. Paradigmanya adalah (1) pendidikan nasional ikut serta dalam mendidik manusia Indonesia sebagai insan politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, (2) masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui program-program (1) menerapkan sistem merit dan profesionalisme dalam rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (2) menegakkan disiplin serta tanggung jawab para pelaksana lembaga-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.
Pendidikan dan kebudayaan adalah suatu kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah maupun program-program pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, maka diperlukan paradigma pemberdayaan masyarakat lokal, universitas-universitas di daerah, lembaga pemerintah di daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya adalah sebagai berikut. Antara pemda kabupaten dan masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, masyarakat dan pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap  stake holder (masyarakat) yang memiliki pendidikannya. Pemda wajib membantu masyarakat agar penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas di daerah memiliki hubungan konsultatif dengan masyarakat lokal dan pemda kabupaten. Hubungan tersebut akan menciptakan peluang bagi universitas di daerah untuk menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik di kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.
Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi global. Paradigma pengembangan kedua dimensi tersebut sangat penting dalam memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri dari unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi memiliki unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, mengembangkan dimensi lokal berarti pula mengembangkan dimensi globalnya karena unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.

Lamanya zaman penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia cukup memberikan pengaruh signifikan terhadap mental para pemegang kebijakan di bidang pendidikan Indonesia. Mereka sulit berubah dalam menentukan arah pendidikan untuk menuju pada sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan dikembangkan lebih banyak mengarah pada pencapaian tujuan pelestarian kekuasaan ketimbang upaya memanusiakan manusia.
Paradigma lama pendidikan Indonesia yang berkembang secara subur selama Orde Baru dampaknya masih sangat dirasakan hingga sekarang. Dampak berlakunya paradigma lama tersebut adalah tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah di Asia, jumlah pengangguran semakin bertambah dari tahun ketahun, terabaikannya peranan pendidikan informal yang justru menjadi sumber pengembangan pertama kreativitas anak bangsa, pendidikan mengutamakan supply ketimbang demand, sakralisasi ideologi nasional yang berakibat penjinakan terhadap critical dan creative thinking, dan keterpurukan di bidang profesi bagi para praktisi pendidikan. Oleh sebab itu, sangat diperlukan gagasan untuk menuju paradigma baru pendidikan Indonesia di milineum ketiga ini.
Paradigma baru pendidikan Indonesia berorientasi pada landasan dan azas pendidikan Indonesia. Lima landasan pendidikan yang diacu adalah: landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan kultural, landasan psikologis, dan landasan ilmiah dan teknologi. Sedangkan asas pendidikan yang diacu adalah asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar. Landasan dan azas pendidikan tersebut, diharapkan dapat melahirkan paradigma demokratisasi pembelajaran, paradigma pendidikan antarbudaya tingkat internasional dan nasional, paradigma polarisasi, sistematisasi, proliferasi sistem delivery, politisasi pendidikan, dan paradigma pemberdayaan pendidikan berbasis masyarakat.

Daftar Pustaka
Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
Buchori, M. 2001. Pendidikan antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
Budhisantoso, S. 1989. Peranan perguruan tinggi dalam pengembangan kebudayaan yang didukung oleh perkembangan ilmu dan teknologi. dalam Sasmojo, S., dkk. (eds). Menerawang masa depan ilmu pengetahuan, Teknologi & Seni. Bandung: ITB
Dimyati. 2001. Akulturasi teknologi pendidikan dalam masyarakat Indonesia tansisional. Malang: CV. Wineka Media.
Dimyati, M. 2000. Demokratisasi belajar pada lembaga pendidikan dalam masyarakat Indonesia transisional: Suatu analisis epistemologi ke Indonesiaan.
Freire, P. 1985. Pendidikan kaum tertindas, Jakarta: LP3S
Hanurawan, F. 2000. Filsafat pendidikan demokrasi sebagai landasan pendidikan masyarakat Indonesia Baru. Jurnal Ilmu Pendidikan, 27(2). pp 117-127.
Kartini Kartono. 1997. Tinjauan politik mengenai sistem pendidikan nasional: beberapa kritik dan sugesti. Jakarta: Pt. Pradnya Paramita.
Koentjaraningrat. 1993. Masalah kesukubangsaan dan integrasi nasional. Jakarta: Universitas Indonesia, Press.
Kuhn, Thomas S. 2002. The structure of scientific revolution. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Longworth, N. 1999. Making lifelong learning work: Learning cities for a learning century. London: Kogan Page.
Mulyana, D., & Rakhmat, J. 1996. Komunikasi antar budaya: Panduan komunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: PT. Remaja Kosdakarya.
Oetama, J., & Widodo, J. 1990. Menuju masyarakat baru Indonesia: Antisipasi terhadap tantangan abad XXI. Jakarta: Gramedia.
Parawansa, P. 2001. Reorientasi terhadap strategi pendidikan nasional. Makalah. Disajikan dalam simposium pendidikan nasional dan munas I alumni PPS.UM. di Malang, 13 Oktober 2001.
Redja Mudyahardjo, Waini Rasyidin, dan Saleh Soegianto. 1992. Materi pokok dasar-dasar kependidikan. Modul 1-6. Jakarta: P2TK-PT Depdikbud.
Reigeluth, C. M. (Ed.). 1999. Instructional-design theories and models: A new paradigm of instructional theory, volume II. pp.51-68. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Suyanto, 2001. Formula pendidikan nasional era global. Makalah. Disajikan dalam simposium pendidikan nasional dan munas I alumni PPS.UM. di Malang, 13 Oktober 2001.
Tilaar, H.A.R. 2000. Pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat madani Indonesia: Strategi reformasi pendidikan nasional. Bandung: PT. Remaja Kosdakarya.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tirtarahardja, U. & La Sula. 2000. Pengantar pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Van Peursen, C.A. 2001. Strategi kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Watloly, A. 2001. Tangung jawab pengetahuan: Mempertimbangkan epistemologi secara kultural. Yogyakarta: Kanisius.

ACFTA dan Revitalisasi Peran Negara di Era Pasar Bebas | Umar Sholahudin

Mbak, Mas, cari apa? Kaus? Baju? Daster? Masuk dulu, Mbak. Sliahkan lihat-lihat dulu, siapa tahu ada yang cocok. Lihat-lihat saja enggak papa kook!

Serujuan ajakan untuk mampir terdengar bersautan di sebuah lorong di salah satu pusat grosir terbesar di Jawa Timur, yakni Jembatan Merah Plaza (JMP), Surabaya. Stand berderet-deret menawarkan raturan jenis pakaian dengan harga pluhan ribu hingga ratusan ribu. Calon pembeli tinggal milih sesuai selera dan kantong. Ada uang, ada barang. Para karyawan di masing-masing stand toko tersebut bersemangat mengajak calon pembeli masuk. Siapa tahu jadi “pelaris”. Ada pembeli pertama karena meski hari sudah siang belum ada barang yang terjual.
Maraknya berbagai produk asing, terutama dari China tidak saja membanjiri JMP, tapi juga merebak ke pelbagai pasar, baik pasar tradisional maupun modern. Sebut saja misalnya di Pasar Darmo Trade Center (DTC), banyak stand toko pakaian yang menjajakan produk China, tak hanya pakaian, pelbagai mainan anak-anak juga membludak. Sebagian besar didominasi oleh made in China. Bahkan diantara penjaga stand toko di pasar dan mall, lebih bersemangat menawarkan produk China daripada produk nasional, menurut para penjaga toko, produk China di samping harganya 20% lebih murah dari produk nasional, juga produk China lebih bervariatif dan bermotif.
Industri persepatuan juga tak luput dari serangan produk China. Di Surabaya, sebut saja misalnya, di daerah Praban yang selama 30 tahun lebih menjadi pusat perjualan sepatu produk dalam negeri, terutama yang paling banyak adalah industri rumahan, sudah mulai sepi pembeli. Para pedagang di Praban mengaku omset penjualannya akhir-akhir ini turun sampai 30%. Para pembeli lebih melirik produk sepatu buatan China daripada produk kita sendiri. Menurut pembeli produk China lebih murah dari produk dalam negeri.  Para pedagang khawatir, jika kondisi ini terus berangsung, keberlangsungan usaha dagang mereka akan terancam. Dan yang paling akan merasakan adalah industri sepatu rumahan atau bahkan industry kelas menengah seperti di Tanggulangin Sidoarjo, -pelan tapi pasti- akan gulung tikar. Sepatu produk dalam negeri akan jadi “sampah” di pasar kita sendiri, sementara produk asing akan jadi tuan.
Aktivitas ekonomi di pasar-pasar domestik, lebih khusus lagi di pasar-pasar daerah semakin terasa dan marak seiring dengan mulai diberlakukannya perdangan bebas ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) mulai Januari 2010.  Namun sayang, pasar daerah lebih disemarakan dengan kehadiran produk China, dibanding produk dalam negeri. Dalam perjanjian bebas tersebut, produk atau barang dari ASEAN dan China bebas masuk ke negara manapun di kawasan ASEAN yang sudah bersepakat menandatangani perjanjian tersebut. Produk yang berlalu lintas di kawasan ASEAN dan China sudah tidak dikenakan bea masuk. Untuk Indonesia, produk yang paling merajai pasar domestik adalah produk China.
Nasib yang sama akan menimpa produk-produk lainnya di Indonesia dan di daerah. Di era perdangan bebas seperti sekarang, produk yang tidak memiliki nilai kompetitif tinggi akan tersingkir. Hanya produk yang bernilai kompetitif tinggi saja yang akan bertahan dan bahkan memenangkan persaingan. Dan dari sekian banyak produk Indonesia yang dilempar ke pasar bebas, nilai kompetitif produknya masih rendah dan kalah bersaing dengan produk asing, terutama China yang saat ini menjadi “raja ekonomi” di Asia.
Menurut Ekonom UGM Sri Adiningsih, Indonesia tidak saja kebanjiran produk barang-barang konsumen berteknologi rendah dan padat karya, namun juga barang canggih dengan teknologi tinggi, seperti komputer atau handset telepon seluler. Bahkan, alat komunikasi seperti BlackBerry juga sudah diserbu dengan barang China yang harganya murah. Akibatnya, industrialis di negara-negara maju yang memiliki sektor industri yang kuat serta teknologi tinggi semakin gerah melihat serbuan produk China. Impornya dari China pun terus meningkat dengan pesat.Indonesia pun tidak luput dari serbuan barang China sejak 1990-an. Dapat kita lihat dengan kasat mata di toko-toko modern ataupun pasar tradisional, baik di perkotaan ataupun perdesaan, bahkan daerah terpencil, membanjirnya barang China amat terasa. Bahkan, hasil studi Pusat Studi Asia Pasifik UGM pada 2007 menunjukkan bahwa serbuan barang China sudah membawa korban. Perusahaan gulung tikar karena tidak dapat bersaing ataupun mengurangi produksi di Surakarta. Karena itu, liberalisasi pasar sejak awal tahun ini diperkirakan membuat serbuan barang China semakin tak terkendalikan. Jika tidak hati-hati, korban akan semakin banyak. Lihat saja Pasar Tanah Abang yang menjadi pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara. Ternyata penguasaan pasar barang China mencapai hampir 50 persen dari perdagangan yang ada. Bahkan, pusat-pusat perdagangan tekstil ataupun batik daerah, seperti Pasar Beringharjo di Jogja ataupun Pasar Klewer di Solo, juga tidak luput dari serbuan tekstil ataupun tekstil dengan corak batik dari China.
Membanjirnya produk China ke Indonesia dan mengalir deras ke daerah-daerah, tidak saja mengakibatkan efek domino terhadap usaha industry nasional dan daerah, tapi juga akan menimbulkan efek adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Banyak Industri besar, menengah, dan bahkan kecil yang padat karya akan mengurangi tenaga kerjanya atau bahkan usahanya sendiri terancam gulung tikar, karena produknya tidak laku di pasaran.  Jika PHK missal terjadi, maka efek lanjutannya, tingkat pengangguran meningkat, dan jika tingkat pengangguran meningkat, potensi tingkat kemiskinan juga meningkat, dan jika tingkat kemiskinan meningkat, pun demikian dengan tingkat kriminalitas juga meningkat. Dengan kata lain, diberlakukannya ACFTA di tengah kondisi Indonesia yang belum siap, akan berpotensi mengakibatkan biaya sosial-politik, dan ekonomi yang sangat tinggi. Apalagi jika pemerintah tidak melakukan upaya-upaya pencegahan dan penyelamatan.
ACFTA intinya berisi kesepakatan negara-negara penanda tangan untuk membuka pasar seluas-luasnya terhadap produk-produk yang berasal dari China. Caranya dengan meniadakan hambatan tarif yang tecermin dalam penurunan sampai ke pembebasan bea masuk. Potensi pasar China dengan 1,5 miliar penduduk terlihat menggiurkan. Tentu dengan catatan, industrinya siap berkompetisi.
Sesuai dokumen yang ditandatangani, kerja sama itu berlaku efektif mulai 2005. Negara penanda tangan kesepakatan sebenarnya memiliki kesempatan untuk menyiapkan pasar dan industri di dalam negerinya dari dampak persaingan bebas ketika FTA diterapkan. Hal itu tercantum dalam Pasal 9 perjanjian tersebut. Dalam Pasal 9 Ayat 1 disebutkan, ”Each Party which is WTO member, retains its rights and obligations under Article XIX of the GATT 1994 and the WTO Agreement on Safeguards”.
Safeguards adalah mekanisme yang bisa digunakan oleh anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk melindungi industri dalam negerinya dari persaingan bebas, terutama dari serbuan produk yang sengaja dihargai terlalu murah (dumping) maupun produk yang di negara asalnya mendapat subsidi. Mekanismenya bisa melalui penerapan bea masuk impor yang sangat tinggi untuk produk tertentu sampai ke pelarangan impor. Namun, mekanisme proteksi ini hanya dapat diperlakukan sementara sampai produk atau industri spesifik yang dilindungi itu bisa bersaing dengan produk impor.
Dalam kasus ACFTA, proteksi terhadap industri di dalam negeri dapat dilakukan sampai perjanjian berlaku penuh pada 1 Januari 2010. Hal itu tertuang dalam Pasal 9 Ayat 2: ”with regard to ACFTA safeguard measures, a party shall have the right to initiate such a measure on a product within the transition period for that product. The transition period for a product shall begin from the date of entry into force of this agreement and end five years from the date of completion of tariff elimination or reduction for that product”.
Dengan adanya ketetapan pemberlakuan perdagangan bebas China-ASEAN ini sekaligus melengkapi bahwa lalu lintas antar barang negara-negara ASEAN-Cina di lapangan akan mengalir dengan bebas, tanpa proteksi tarif apa pun. Dengan demikian, negara Cina akan leluasa mengimpor hasil produksi mereka ke berbagai negara di ASEAN. Pengiriman yang mereka lakukan itu juga diuntungkan dengan kesepakatan publik yang menekankan adanya penurunan tarif pemasukan barang. Namun, keberadaan itu tidak menutup kemungkinan adanya keuntungan untuk negara ASEAN dan Cina walaupun lebih sedikit atau sebaliknya.
Kekhawatiran akan dampak negatif terhadap dunia industry dalam negeri, sebenarnya disadari betul oleh pemerintahan negeri ini. Sebut saja misalnya Kementrian Perindustrian Indonesia, Agustus 2009 yang menyatakan adanya potensi dampak negative dari diberlakukannya ACFTA tersebut. Namun pernyataan tesebut dinilai berbagai kalangan, terutama yang pro pasar, bisa dikatakan cukup terlambat. Karena, Indoensia di beri tenggat waktu lima tahun untuk mempersiakan diri. Karena itu tak ada alasan bagi Indonesia untuk mengajukan penundaan.
Bagi kalangan pelaku usaha yang pro pasar, pelaksanaan perdagangan bebas ASEAN-China, akan bermakna besar bagi kepentingan geostategis dan ekonomis Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan.  Namun demikian, situasi ini tidak harus kemudian menjadi beban teramat berat. Termasuk ketakutan yang berlebihan akan hancurnya industri dalam negeri. Karena jika wacana yang demikian bergaung terus-menerus, maka ini dipastikan akan mendekonstruksi moral dan semangat pelaku industri di Indonesia. Untuk itu, kunci utama adalah bagaimana memperkuat keyakinan pelaku industri ini bahwa mereka dapat bersaing dengan siapa pun juga termasuk dengan China. Karena banyak catatan empiris yang membuktikan dimana produk yang diluncurkan oleh China kebanyakan kualitasnya rendah. Jika dibandingkan dengan produk industri Indonesia, umumnya kualitas produk China masih kalah dengan produk Indonesia. Misalnya produk meubel, elektronik, tekstil dan lainnya.
Sisi positif lainnya, setidaknya dengan diberlakukannya ACFTA ini akan mendorong dan memicu semangat industri-industri dalam negeri untuk melakukan kegiatan produksi yang lebih baik, terutama dalam menghasilkan produk yang berkualitas dan siap bersaing dengan produk lain. Di samping itu, akan menyadarkan pemerintah Indonesia agar lebih care terhadap industri-industri demestik yang selama ini sering kali menjadi “sapi perahan” birorkasi pemerintah. Pemerintah selama ini hanya memikirkan bagaimana pajak atau retribusi masuk dari dunia industry, tpai tak pernah memikirkan maslaah subsidi atau proteksi lainnya yang bisa membuat industry dan produk dalam negeri semakin maju dan kompetitif. Merebaknya pungutan liar (pungli) dalam kegiatan ekonomi nasional, merupakan salah satu yang paling dirasakan para pelaku bisnis dan itulah yang menjadikan kost produksinya membengkak dan efeknya harga produk semakin mahal.
Saat ini, ACFTA sudah menjadi keciscayaan ekonomi pasar bebas. Pemerintah Indonesia tidak memiliki alasan apapun untuk menolak atau mengajukan penundaan perjanjian perdagang bebas tersebut. ACTA sudah diberlakukan dan berjalan. Semua itu adalah konsekwensi logis dari diberlakukannya faham dominan ekonomi pasar atau liberal yang merajai sistem ekonomi dunia. Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa negara seperti Ingris dan Amerika Serikat menjadi pemimpin dunia karena komitmen mereka terhadap kebijakan pasar bebas.  Kebijakan tersebut lebih mendorong pertumbuhan pasar dari pada mendorong arus finansial dan perdagangan yang diatur negara. strategi ini meminimalkan jangkauan regulasi pemerintah sembari mendukung kepemilikan swasta terhadap sumber daya, usaha, dan bahkan gagasan.
Dalam konkteks globalisasi ekonomi, Indonesia sebagai bagian kecil dari sistem ekonomi dunia, tak bisa lari dari kenyataan. Dalam sistem ekonomi pasar, peran-peran negara akan semakin diminimalis, yang berlaku adalah kekuatan pasar. Intervensi negara ke pasar dalam perspektif teori ekonomi liberal yang berkembang menjadi neoliberal dinilai akan menghambat pertumbuhan dan kemajuan ekonomi negara. Para penganut faham ekonomi neoliberal eprcaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas”. Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa “pasar bebas” adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Dan pelbagai pernjanjian internasional yang diberlakukan dalam kegiatan ekonomi dunia merupakan salah satu wujud dari sistem ekonomi pasar. Dan ketika negara lepas kontrol terhadap struktur yang mulai disintegrasi, Indonesia mulai dipaksa menerima investasi asing demi pertumbuhan. Dan juga dengan bergabungnya Indonesia dalam ACFTA ini, maka Indonesia sebenarnya sudah terjebak dalam sistem ekonomi kapitalis global. Walden Bello menyebut krisis yang terjadi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia sebagai krisis model pembangunan. Pembangunan di negara-negara tersebut selain berhasil meningkatkan pertumbuhan luar biasa, di dalamnya juga tertanam bibit-bibit yang akan tumbuh menghancurkan sistem dan model itu sendiri.
Diberlakukannya ACFTA, tentu saja menimbulkan dilema bagi Indonesia. Satu sisi, Indonesia sudah terlanjur menandatangi kesepakatan tersebut dan tentu saja tidak bisa menunda kesepakatan. Sebagai bagian dari globalisasi, ACFTA adalah sebuah realitas global yang harus dihadapi negara-negara di dunia. Namun, pada sisi lain, dampak negatif ACFTA sudah sangat dirasakan masyarakat, terutama para pelaku usaha ekonomi kecil dan menengah.
Dalam kondisi demikian, pemerintah harus berfikir cerdas dan bertindak cepat agar tidak tergilas arus globalisasi melalui ACFTA ini. Idiologi pasar yang membatasi peran negara dalam konteks ini perlu direvitalisasi dan disesuaikan dengan kondisi internal Indonesia. Revitalisasi peran negara yang seperti apa yang harus dilakukan dalam menghadapi globalisasi ekonomi, terutama ACFTA? Dan bagaimana sikap dan tindakan masyarakat konsumen Indonesia terhadap diberlakukannya ACFTA ini.

Perdagangan bebas dengan berbagai dampak nagatifnya yang diwujudkan dalam perjanjian dagang ACFTA tak dapat elakkan oleh semua negara di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia. Meskinpun bagi Indonesia, pemberlakuan ACFTA mendatangkan dilema politik-ekonomi cukup serius, namun demikian bukan berarti pemerintah Indonesia diam tak bersikap dan bertindak. Pemerintah Indonesia harus mengambil kebijakan yang tegas, cerdas, cepat dan tepat. Secara konstitusional yang jelas, negara dalam hal ini pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab penuh untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan mamajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Revitalisasi peran negara dalam konteks Indonesia perlu dilakukan di era pasar bebas. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia harus memerankan peranan yang serius dalam menangani dan melindungi ekonomi nasional, terutama memberikan “regulasi yang protektif” namun terkontrol kepada industri kecil dan menengah.  Intervensi negara dalam bentuk kebijakan protektif tersebut harus didukung dengan proyek reformasi ekonomi dan birorkasi. Birokrasi yang transparan, akuntabel, professional, sensitif dan adaptif terhadap perkembangan masyarakat global merupakan salah satu elemen terpenting dalam mendukung proyek industrialisasi yang lebih kompetitif untuk siap bersaing dengan pasar global.
Dukungan yang tak kalah penting juga harus datang dari masyarakat konsumen Indonesia. masyarakat konsumen Indonesia harus menjadi tuan di negerinya sendiri, jangan menjadi tuan produk asing. Membudayakan cinta produk dalam negeri adalah salah satu tindakan kongkrit dalam melawan kuatnya hegemoni pasar bebas. Dan itu adalah bagian dari menumbuhkan semangat nasionalisme.

Daftar Pustaka
Adiningsih, Sri., FTA ASEAN-China, Ancaman Besar bagi Indonesia?, Opini Jawa Pos, 18 Januari 2010
Aziz, Abdul, SR., Pasar Modern dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, makalah Makalah singkat untuk bahan diskusi disampaikan pada Pelatihan Ekonomi Lokal bagi pegawai di lingkungan pemerintahan Kabupaten/Kota se-Jawa Timur. Diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur. Malang: 27 April – 1 Mei 2009.
Chandra, Alexsander C., Dilema Indonesia dalam ACFTA, Opini KOMPAS, 18 Januari 2010
Chang, Ha-Joon dan Grabel Ilene., 2004, Membongkar Mitos Neolib; Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan, Insist Press, Yogyakarta
Damanhuri, Didin S., 2009, Negara, Civil Society, dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, Lembaga Penerbit FE-UI Jakarta.
Evans, Peter., 1995, Embedded Autonomy; State and Industrial Transformation, Princeton University Press, New Jersey, USA.
Fukuyama, Francis, 1992, The End of History and the Last Man, Avon Boos, New York
Faqih, Masour., 2001, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hartono, Rudi., FREE TRADE AGREEMENT (FTA); Perdagangan Bebas Yang Berganti Baju, dalam http://arahkiri2009.blogspot.com/2008/07/free-trade-agreement-ftaperdagangan.html
Irawan, Tawaf T., Ambilah Peluang dari FTA ASEAN-China, Opini Jurnal Nasional, 11 Januari 2010
Basri, Chatib., 2006, Ekonomi Pasar dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi liberal, Freedom Institute, Pustka Alvabet, Jakarta.