Norbert Elias mempunyai karir yang
menarik dan mengandung pelajaran. Ia menulis buku yang paling penting pada
1930-an, tetapi ketika itu bukunya tak dihiraukan orang hingga beberapa tahun
setelah terbit. Tetapi, di penghujung usianya Elias dan karyanya mulai dikenal,
terutama di Inggris dan Belanda. Kini reputasi Elias meningkat dan karyanya
makin mendapat perhatian dan pengakuan di seluruh dunia (Smith, 2001). Elias
berumur 93 tahun (meninggal tahun 1990), cukup lama tertunda untuk menikmati
pengakuan atas arti penting karyanya.
Elias lahir di Breslau, Jerman tahun
1897 (Mennel, 1992). Ayahnya seorang pengusaha pabrik kecil dan kehidupan
keluarganya cukup menyenangkan. Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga sejahtera
yang membekalinya dengan kepercayaan diri kuat yang bermanfaat baginya kemudian
ketika karyanya tak dihargai : Saya telah dibekali perasaan aman yang besar
sejak masa kanak-kanak…Saya mempunyai perasaan aman mendasar yang besar,
perasaan yang dalam menghadapi suatu persoalan akhirnya akan menghasilkan
penyelesaian yang terbaik. Rasa aman yang besar ini sudah ditanamkan orang tua
kepada saya sejak kecil.
Sejak kecil saya tahu apa yang ingin
saya lakukan; saya ingin masuk universitas dan ingin melakukan riset, Saya tahu
itu sejak masih muda dan saya telah melakukannya meski kadang-kadang tampaknya
mustahil… Saya yakin sekali bahwa akhirnya karya saya akan diakui sebagai
kontribusi yang berharga terhadap pengetahuan tentang kemanusiaan. (Elias,
dikutip dalam Mennel, 1992:6-7).
Elias masuk dinas militer Jerman saat PD
II, dan seusai perang ia belajar filsafat dan kedokteran di Universitas
Breslau. Meski studi kedokterannya maju pesat tetapi akhirnya ia tinggalkan
demi untuk memusatkan perhatian sepenuhnya pada studi filsafat. Studi
kedokteran memberikan pengertian tentang saling berhubungan antara berbagai
bagian tubuh manusia dan pemahamannya itu membentuk orientasinya terhadap antar
hubungan manusia; membentuk perhatiannya mengenai figurasi. Elias menerima
gelar Ph.D. pada Januari 1924; baru kemudian ia pergi ke Heidelberg untuk
belajar sosiologi.
Elias tak mendapat gaji di Heidelberg
tetapi ia sangat aktif terlibat dalam kelompok studi sosiologi di Universitas
Heidelberg. Max Weber telah meninggal tahun 1920, tetapi salon yang dipimpin
istrinya, Mariane, masih aktif dan Elias terlibat didalamnya. Ia juga bergabung
dengan saudara Weber, Alfred, yang menjadi ketua jurusan sosiologi di
Universitas Heidelberg maupun dengan Karl Mannheim yang agak lebih maju
karirnya ketimbang Elias. Kenyataannya Elias menjadi teman dan asisten tak
bergaji dari Mannheim. Ketika Mannheim ditawari jabatan di Universitas
Frankfurt tahun 1930, Elias menyertainya sebagai asisten resmi yang digaji
(mengenai hubungan antara kedua orang itu dan karya mereka, lihat Kilminster,
1993).
Hitler berkuasa pada Februari 1933 dan
segera sesudah itu, Elias, seperti banyak sarjana Yahudi lainnya (termasuk
Mannheim), diusir dari Jerman, mula-mula ia tinggal di Paris, kemudian di
London (ibunya mati di dalam kamp konsentrasi Jerman tahun 1941). Di Londonlah
ia menulis bagian besar karyanya tentang proses peradaban (The Civilizing
Process) yang diterbitkan di Jerman tahun 1939. Ketika itu tak ada pasar di
Jerman bagi buku-buku yang ditulis oleh sarjana Yahudi dan Elias tak pernah
menerima sesenpun royalti dari bukunya yang diterbitkan itu. Lagi pula bukunya
itu kurang mendapat penghargaan di bagian dunia lain.
Baik selama perang maupun hampir satu
dekade sesudahnya, Elias hidup luntang-lantung dengan keuletannya tanpa jaminan
pekerjaan dan tetap menjadi orang pinggiran dalam lingkungan akademis di
Inggris. Tetapi, tahun 1954 Elias ditawari dua jabatan akademis dan ia menerima
jabatan akademis di Universitas Leicester. Demikianlah Elias memulai karir
akademis formalnya di usia 57 tahun. Karir Elias berkembang di Leicester
diiringi oleh sejumlah terbitan karyanya. Namun, Elias kecewa dengan jabatan
profesornya di Leicester karena ia gagal dalam usahanya untuk melembagakan
pendekatan pembangunan yang didirikan sebagai alternatif terhadap jenis
pendekatan statis (pendekatan Parsons dan lain-lain) yang kemudian sangat
unggul dalam sosiologi. Ia pun kecewa sedikit sekali mahasiswa yang menerima
pendekatannya itu; ia terus menjadi seperti seorang yang berteriak di dalam
hutan belantara, bahkan di Leicester dimana mahasiswa cenderung menganggapnya
sebagai orang sinting yang meneriakkan masa lalu (Mennel, 1992:22). Menarik
untuk dicatat bahwa selama Elias bertugas di Leicester, tak satupun bukunya
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan sedikit sekali bahasa Jerman.
Tetapi di Benua Eropa, terutama di
Belanda dan Jerman, karya Elias mulai dipelajari sejak 1950-an dan 1960-an.
Tahun 1970-an Elias mulai mendapat penghargaan tak hanya di kalangan akademik,
tetapi juga di kalangan publik Eropa. Selama sisa hidupnya, Elias menerima
sejumlah penghargaan penting, menerima gelar doktor kehormatan dan berbagai
penghargaan atas karyanya.
Yang lebih menarik, meski
Elias menerima penghargaan luas dalam bidang sosiologi (termasuk karyanya yang
tengah dibahas ini), namun karyanya menerima penghargaan dalam periode dimana
sosiologi makin kurang menerima jenis karya seperti karyanya itu. Artinya,
munculnya pemikiran post-modern menyebabkan sosiologi mempertanyakan gaya
narasi besar (grand narative) dan karya utama Elias. The
Civilizing Processadalah sebuah narasi besar menurut gaya kuno. Artinya
karyanya itu memusatkan perhatian pada perkembangan historis jangka panjang
peradaban di Barat. Perkembangan pemikiran post-modern mengancam mengurangi
minat terhadap karya Elias justru disaat mulai mendapatkan perhatian luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar