Ketika berkembang
berdasarkan arahan Blumer, interaksionisme simbolik jelas bergeser ke arah
analisis mikro. Penekanan pada analisis mikro ini sebenarnya bertolak belakang
dengan maksud judul buku Herbert Mead.. Mind, Self and Society, yang lebih bernuansa
integratif. Namun interaksionime simbolik telah memasuki era baru, yakni
“post-Blumerian” (Fine, 1990; 1992 satu sisi ada upaya untuk merekonstruksi
teori Blumerian dan menyatakan ada perhatian terhadap fenomena di tingkat
makro. Di sisi yang lebih penting, ada upaya terus-menerus untuk menyintesiskan
interaksionisme simbolik dengan gagasan yang berasal dari sejumlah teoritisi
lain. Interaksionisme simbolik “baru” ini, menurut istilah Fine, “membangun
sebuah teori dengan memungut berbagai pendekatan teoritis lain” (1990:136-137;
Fine, 1992). Kini interaksionisme simbolik merupakan gabungan wawasan dengan
pemikiran yang berasal dari teori mikro yang lain seperti teori pertukaran,
etnometodologi dan analisis percakapan, dan fenomenologi. Yang lebih mengherankan
adalah integrasi gagasan dari teori-teori makro (misalnya, fungsionalisme
struktural) maupun gagasan teoritisi makro seperti Parsons, Durkheim, Simmel,
Weber dan Marx. Teoritisi interaksionisme simbolik juga berupaya
mengintegrasikan pemikiran dari post-strukturalisme, post-modernisme dan
feminisme radikal. Interaksionisme simbolik post-Blumerian menjadi perspektif
yang jauh lebih sintetis ketimbang di masa jayanya Blumer.
Mendefinisikan Ulang Mead
Selain upaya terus-menerus
menyintesiskan karya dalam interaksionisme ada pula upaya mendefinisikan
kembali pemikiran utama Mead karena mempunyai orientasi yang lebih integratif
ketimbang yang dibayangkan orang.
Seperti terlihat
sebelumnya, meski Mead kurang memperhatikan fenomena makro, namun dalam
pemikirannya mengenai pikiran, diri, dan masyarakat, banyak hal yang
menunjukkan adanya integrasi teori sosiologi. Dalam kaitan ini ada baiknya
melihat analisis John Baldwin mengenai Mead Baldwin melihat fragmentasi ilmu
sosial pada umumnya dan teori sosiologi pada khususnya dan menyatakan bahwa
fragmentasi demikian itu mencegah perkembangan “penyatuan” teori sosiologi
umum, dan penyatuan ilmu dunia sosial.
Baldwin mengemukakan
alasan dari perlunya teori semacam itu dan teori sebagai model untuk teori tersebut
(1986:156). Sementara Baldwin mengajukan jenis sintesis besar yang ditolak di
era post-modern ini, kita dapat upayanya untuk melihat pendekatan yang lebih
integratif dalam teori Baldwin menyatakan ini dengan beberapa alasan. Pertama,
dia berpendapat bahwa sistem teoritis Mead mencakup berbagai fenomena sosial
mulai dari mikro sampai makro, “fisiologi, psikologi sosial, bahasa, kognisi,
masyarakat, perubahan sosial, dan ekologi” (Baldwin, 1986:156). Sesuai dengan
itu Baldwin mengemukakan sebuah model orientasi teoritis Mead.
Kedua, Baldwin menyatakan,
Mead tak hanya mempunyai pandangan terintegrasi antara tingkat mikro dan makro
tentang kehidupan sosial, tetapi juga menawarkan “sebuah sistem fleksibel yang
mampu menjembatani sumbangan yang berasal dari semua aliran ilmu sosial masa
kini” (1986:156). Jadi, teori Mead tak hanya menyediakan basis integrasi
mikro-makro, tetapi juga menyedia basis bagi sintesis teoritis. Ketiga, menurut
Baldwin, “komitmen Mead terhadap metode ilmiah membantu memastikan bahwa data
dan teori di seluruh komponen sistem sosial dapat diintegrasikan dengan cara
yang seimbang dan pemanfaatannya dapat dipertahankan secara empiris”
(1986:156).
Integrasi Mikro-Makro
Tujuan mengintegrasikan
interaksionisme simbolik dikemukakan Stryker: “Kerangka teoritis yang memuaskan
harus menjembatani struktur sosial dan individu, harus mampu bergerak dari
tingkat aktor ke tingkat struktur sosial berskala luas dan lalu kembali lagi…
Harus ada sebuah kerangka konseptual yang memfasilitasi gerakan melintasi
tingkat organisasi dan individu.” (1980:53). Stryker menghubungkan orientasinya
dengan interaksionisme simbolik Meadian, tetapi mencoba mengembangkannya ke
tingkat kemasyasyarakatan terutama melalui penggunaan teori peran : Versi ini
berawal dari Mead, tetapi bergerak melampaui Mead untuk memperkenalkan prinsip
dan konsep teori peran untuk menerangkan pengaruh timbal balik antara aktor dan
struktur sosial. Hasil pengaruh timbal balik ini adalah interaksi. Dalam kontek
proses sosial—pola interaksi antaraktor individual tanpa henti ini struktur
sosial bertindak memaksakan konsep diri, definisi situasi, dan peluang dan
perulangan perilaku yang mengikat dan memandu interaksi yang terjadi (Stryker,
1980:52). Stryker
membangun orientasinya berdasarkan 8 prinsip umum :
1) Tindakan manusia
tergantung pada dunia yang dinamai dan diklasifikasikan di mana nama dan
klasifikasi mempunyai arti bagi aktor. Melalui interaksi dengan orang lain,
aktor mempelajari bagaimana cara menggolongkan dunia maupun bagaimana mereka diharapkan
bertindak terhadapnya.
2) Diantara hal terpenting
yang dipelajari aktor adalah simbol yang digunakan untuk menandakan posisi
sosial. Hal yang penting di sini adalah bahwa Stryker membayangkan posisi dalam
pengertian struktural: “komponen morfologis dari struktur sosial yang relatif
stabil” (Stryker, 1980:54). Stryker juga mengakui pentingnya peran,
membayangkannya sebagai perilaku bersama yang diharapkan yang dihubungkan
dengan posisi sosial.
3) Stryker juga mengakui
pentingnya struktur sosial berskala luas, meski ia cenderung membayangkannya
dari segi pola perilaku yang terorganisir. Struktur sosial dianggapnya sebagai
“kerangka” tempat aktor bertindak. Di dalam struktur ini aktor saling memberi
nama, yakni saling mengakui posisi satu sama lain. Dalam berbuat demikian,
aktor membangkitkan harapan resiprokal dari apa-apa yang diharapkan masing-masing
pihak untuk dilakukan.
4) Selanjutnya, dalam
bertindak di dalam konteks ini, manusia tak hanya saling memberi nama, tetapi
juga menyebut dirinya sendiri; artinya mereka mengaplikasikan designasi
posisional kepada diri mereka sendiri. Penunjukan ke diri sendiri ini menjadi
bagian dari harapan diri yang diinternalisasikan yang berkaitan dengan perilaku
mereka sendiri.
5) Ketika berinteraksi,
manusia mendefinisikan situasi dengan mengaplikasikan nama-nama terhadapnya,
terhadap peserta, terhadap diri mereka sendiri dan terhadap ciri-ciri khusus
dari situasi. Penetapan situasi ini kemudian digunakan oleh aktor untuk mengorganisir
perilaku mereka.
6) Perilaku sosial bukan ditentukan
oleh makna sosial, meski dipaksakan olehnya. Stryker sangat yakin terhadap
gagasan role making. Aktor tidak semata menerima peran; mereka berpikiran aktif
dan kreatif terhadap peran mereka.
7) Struktur sosial juga
membantu membatasi hingga di tingkat di mana peran boleh “diciptakan” ketimbang
hanya “diterima”. Struktur sosial tertentu memungkinkan aktor lebih kreatif
ketimbang yang lain.
8) Kemungkinan role making
memungkinkan terjadinya berbagai jenis perubahan sosial. Prubahan dapat
ditinjau dalam definisi sosial, dalam nama, simbol dan klasifikasi dalam
kemungkinan untuk berinteraksi. Efek kumulatif perubahan ini dapat mengubah
struktur sosial berskala luas.
Meski Stryker menawarkan
sebuah awal yang berguna menuju interaksionisme simbolik yang lebih memadai,
namun karyanya mempunyai sejumlah kekurangan. Kelemahan paling menonjol adalah
bahwa ia sedikit sekali berbicara mengenai struktur sosial yang lebih luas.
Stryker merasa perlu memasukkan struktur lebih luas ini ke dalam karyanya,
namun ia mengakui bahwa “bila dimasukkan maka hal itu melampaui jangkauan
karyanya yang sekarang” (1980:69). Stryker hanya melihat keterbatasan peran
masa depan variabel struktural berskala luas dalam interaksionisme simbolik.
Dia berharap pada akhirnya akan memasukkan faktor struktural seperti kelas,
status, dan kekuasaan sebagai variabel yang memaksa interaksi, namun ia
cenderung melihat interaksionisme simbolik berkaitan dengan kesalinghubungan
antara variabel-variabel struktural itu. Barangkali masalah ini akan menjadi perhatian
teori lain yang lebih memusatkan perhatian pada fenomena sosial berskala luas.
Interaksionisme Simbolik
dan Studi Kultural
Sejumlah pemikir telah
membicarakan sebagian atau keseluruhan hubungan antara interaksionisme simbolik
dan sejumlah gerakan teoritis yang lebih baru, termasuk post strukturalisme,
post modernisme dan studi kultural (Farberman, 1991; Schwalbe, 1993; Shalin,
1993). Perhatian di sini dipusatkan pada upaya yang dilakukan Norman Denzin
dalam karyanya Symbolic actionism and Cultural Studies.
Studi kultur dalam bentuk
sosiologi kebudayaan, atau lebih umum lagi, studi kultural, tumbuh pesat di
tahun-tahun belakangan ini. Studi tentang kultur ini sangat dipengaruhi oleh
sejumlah perspektif teoritis, termasuk post strukturalisme dan post modernisme.
Denzin merumuskan kultural sebagai : Proyek interdisipliner…yang selalu
memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana sejarah yang dibuat dan
dihidupkan umat manusia ditentukan oleh struktur makna yang bukan mereka pilih
sendiri Kultur, dalam makna dan bentuk interaksionalnya, menjadi ajang
perjuangan politik. Masalah pokoknya adalah penelitian tentang bagaimana
individu yang saling berinteraksi mengaitkan pengalaman hidup mereka dengan
representasi kultural dari pengalaman-pengalaman itu (Denzin, 1992:74).
Studi kultural memusatkan
perhatian pada tipe masalah yang saling berhubungan, “pembuatan arti kultural,
analisis tekstual, arti kultural dan studi kehidupan kultur, dan pengalaman
hidup (Denzin, 1992:34). Karya di bidang ini tertuju pada bentuk-bentuk
kultural, meliputi “karya seni, musik populer, literatur populer, surat kabar,
televisi, dan media massa” (1992:76). Studi tentang bentuk-bentuk kultural ini
sangat dipengaruhi oleh teori seperti post sturktualisme dan post modernisme,
dan Denzin mencoba menghubungkan interasksionisme simbolik dengan studi dan
teori tersebut.
Venurut Denzin,
interaksionisme simbolik seharusnya lebih besar lagi perannya dalam studi
kultural ketimbang di masa lalu. Satu masalah mendasarnya adalah bahwa interaksionisme
simbolik cenderung mengabaikan gagasan-gagasan yang menghubungkan “simbolik”
dan “interaksi” (dan menekankan studi kultural) “komunikasi”. Denzin mencoba
mengoreksi ini : Dalam upaya mengorientasikan kembali pemikir interaksionisme
simbolik ke perspektif studi kultural, saya memilih untuk memusatkan perhatian
pada aspek-spek yang hilang dalam perspektif mereka. Tentu ada paradoks di
sini; untuk membuka komunikasi perlu berinteraksi dan untuk membuka interaksi
para pelakunya harus berkomunikasi (Denzin, 1992:97-98).
Pakar interaksionis
didesak untuk lebih khusus lagi memusatkan perhatian pada teknologi komunikasi
dan peralatan teknologi dan pada cara-cara teknologi itu menghasilkan realitas
dan menggambarkan realitas itu.
Menurut Denzin, di masa
lalu teoritisi interaksionisme simbolik telah memperhatikan jenis-jenis
komunikasi yang dibahas dalam studi kultural (misalnya film). Tetapi, peneliti
yang terlibat dalam studi itu cenderung mengabaikan kulturalnya dan Denzin
menarik perhatian mereka untuk kembali ke kultural mereka.
Denzin menginginkan studi
interaksionis lebih menekankan pada kultur, terutama kultur populer. Tetapi, ia
ingin interaksionisme simbolik melakukan pendekatan kritis terhadap kultur.
Pendekatan kritis itu cocok dengan tradisi interaksionisme yang memusatkan
perhatian pada golongan tertindas dan hubungan mereka dengan penguasa.
Untuk bergerak ke arah ini
perlu perubahan orientasi teoritis interaksionisme simbolik. Di satu sisi,
interaksionisme simbolik harus membuang tradisinya yang berorientasi modern.
Lebih khusus lagi, yang harus dibuang adalah bacaan resmi buku ajar klasik
dalam interaksionisme simbolik yang dibahas, dan juga membuang pemahaman bahwa
interaksionisme adalah ilmu totalitas sosial, dan membuang mitos historis yang
mendominasi bidang kajian ini dan mencegah pengaruhnya terhadap arah teoritis
baru. Selain didesak agar membuang orientasi tertentu, interaksionisme simbolik
juga di dorong ke arah lain : Tradisi interaksionis harus menghadapi, menyerap,
mendebat, dan bertentangan dengan kawasan teori baru yang terus-menerus muncul
di era post modern (misalnya, hermeneutika, fenomenologi, strukturalisme, post
strukturalisme, teori post modern, psikoanalisis, semiotika, post Marxisme,
studi kultural, teori feminis, teori film, dan sebagainya) (Denzin, 1992:169).
Jadi, Denzin menganjurkan
arah yang serupa dengan yang dianjurkan Fine, meski lebih spesifik, yang
sebaiknya ditempuh oleh interaksionisme simbolik.
Seperti dikemukakan di
atas, program interaksionisme simbolik Denzin sangat dipengaruhi oleh post
strukturalisme (Dunn, 1997) dan post modernisme. Misalnya, karena penekanannya
pada kemunculan fenomena yang terus berubah, interaksionisme simbolik dapat
berlawanan dengan penolakan teoritisi post modern terhadap teori-teori besar
(misalnya, teori Kapitalisme Marx) atau yang mereka sebut, “narasi besar”. Bila
mereka lebih memusatkan perhatian pada komunikasi teoritisi interaksionisme
simbolik akan selaras dengan sasaran perhattian post modern terutama pada citra
video dari televisi dan film. Banyak keuntungan yang didapat dari studi teks
pada umumnya, dan studi dekonstruksi khususnya.
Selain
itu, Denzin menghendaki agar interaksionisme simbolik menjadi lebih politis.
Kita dapat melihat contoh dari manfaat analisis interaksionis terhadap tindakan
politik dalam studi oleh Pfaff dan Yang (2001) tentang sifat ganda sumber
simbolik dan cara di mana kelompok politik oposisi dapat memberi makna baru dan
subversif untuk simbol-simbol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar