Teori kritis adalah produk sekelompok
neo-Marxis Jerman yang tak puas dengan keadaan teori Marxian (Bernstein, 1995;
Kellner, 1993; untuk tinjauan yang lebih luas terhadap teori kritis, Agger,
1998), terutama kecenderungannya menuju determinisme ekonomi. The Institute of
Social Research, organisasi yang berkaitan dengan teori kritis ini resmi
didirikan di Frankfurt, Jerman, 23 Februari 1923, meski sejumlah anggotanya
telah aktif sebelum organisasi itu didirikan (Wiggershaus, 1994). Teori kritis
telah berkembang melampaui batas aliran Frankfurt (Calhoun dan Karagards, 2001;
Telos, 1989-90). Teori kritis berasaJ dari dan sebagian besar berorientasi ke
pemikir Eropa, meski pengaruhnya tumbuh dalam sosiologi Amerika (Marcus, 1999;
van den Berg, 1980).
Kritik Utama terhadap Kehidupan Sosial
dan Intelektual
Teori kritis sebagian besar terdiri
dari kritik terhadap berbagai aspek kehidupan sosial dan intelektual, namun
tujuan utamanya adalah mengungkapkan sifat masyarakat secara lebih akurat
(Bleich, 1977).
Kritik terhadap Teori Marxian
Teori kritis mengambil kritik terhadap
teori titik tolaknya. Teoritisi kritis ini merasa sangat terganggu oleh pemikir
penganut determinisme ekonomi yang mekanistis (Antonio, 1981; Scroyer, 1973;
Sewart, 1978). Beberapa orang di antaranya (misalnya, Habermas, 1971)
mengkritik determinisme yang tersirat di bagian tertentu dari pemikiran asli
Marx, tetapi kritik mereka sangat ditekankan pada neo-Marxis terutama mereka
telah menafsirkan pemikiran Marx terlalu mekanistis. Teoritisi tak menyatakan
bahwa determinis ekonomi keliru, ketika memusatkan perhatian pada bidang
ekonomi, tetapi karena mereka seharusnya juga memusatkan perhatian pada aspek
kehidupan sosial yang lain. Seperti akan kita lihat, aliran kritis mencoba
meralat ketakseimbangan ini dengan memusatkan perhatiannya pada bidang kultural
(Fuery, 2000; Schroyer, 1973:33). Selain menyerang teori Marxian lain, aliran
kritis mengkritik masyarakat seperti bekas Uni Soviet yang pura-pura dibangun
berdasarkan teori Marxian (Marcuse, 1958).
Kritik terhadap Positivisme
Teoritisi kritis juga memusatkan
perhatian terhadap filsafat yang mendukung penelitian ilmiah terutama
positivisme (Bottomore, 1984; Halfpenny, 2001; Morrow, 1994). Kritik terhadap
positivisme sekurangnya sebagian berkaitan dengan kritik terhadap determinisme
ekonomi karena beberapa pemikir determinisme ekonomi menerima sebagian atau
seluruh teori positivisme tentang pengetahuan. Positivisme dilukiskan sebagai
mewakili berbagai hal (Schroyer, 1970; Sewart, 1978). Positivisme menerima
gagasan bahwa ilmiah tunggal dapat diterapkan pada seluruh bidang studi.
Positivisme mengambil ilmu fisika sebagai standar kepastian dan ketepatan untuk
semua disiplin ilmu. Penganut positivisme yakin bahwa pengetahuan bersifat
netral. Merasa bahwa mereka dapat mencegah masuknya nilai-nilai kemanusiaaan ke
dalam pemikiran mereka. Keyakinan ini selanjutnya menimbulkan pandangan bahwa
ilmu tak berada dalam posisi mendukung bentuk tindakan sosial khusus apa pun.
Aliran kritis menentang positivisme karena
berbagai alasan (Sewart, 1978). Pertama, positivisme cenderung melihat
kehidupan sosial sebagai proses alamiah. Teoritisi kritis lebih menyukai
memusatkan perhatian pada aktivitas manusia maupun pada cara-cara aktivitas
tersebut memengaruhi struktur sosial yang lebih luas. Singkatnya positivisme
dianggap mengabaikan aktor (Habermas, 1971), menurunkan aktor ke derajat yang
pasif yang ditentukan oleh kekuatan alamiah. Karena mereka yakin atas kekhasan
sifat aktor, teoritisi kritis tak dapat menerima gagasan bahwa hukum umum sains
dapat diterapkan terhadap tindakan manusia begitu saja. Positivisme diserang
karena berpuas diri hanya dengan menilai alat untuk mencapai tujuan tertentu,
dan karena tak membuat penilaian serupa terhadap tujuan. Kritik ini mengarah ke
pandangan bahwa positivisme berwatak konservatif, tak mampu menantang sistem
yang ada. Seperti dikatakan Martin Jay tentang positivisme ini, “Akibatnya
adalah mengabsolutkan ‘fakta’ dan reifikasi tatanan yang ada” (1973:62).
Positivisme menyebabkan aktor dan ilmuwan sosial menjadi pasif. Ada segelintir
Marxis tipe tertentu yang mendukung pandangan yang menyatakan teori dan praktik
tak dapat dihubungkan. Meski kritikan ada kritik terhadap positivisme, beberapa
orang Marxis (misalnya beberapa orang Strukturalis Marxis) mendukung
positivisme, dan Marx sendm tampaknya yang terlalu positivis (Habermas, 1971).
Kritik terhadap Sosiologi
Sosiologi diserang karena
“keilmiahannya”, yakni karena menjadikan metode ilmiah sebagai tujuan di dalam
dirinya sendir. Selain dari itu sosiologi dituduh menerima status quo. Aliran
kritis berpandangan bahwa sosiologi tak serius mengkritik masyarakat, tak
berupaya merombak struktur sosial masa kini. Menurut aliran kritis, sosiologi
telah melepaskan kewajibannya untuk membantu rakyat yang ditindas oleh
masyarakat masa kini.
Menurut anggota aliran ini, sosiolog
lebih memperhatikan masyarakat sebagai satu kesatuan ketimbang memperhatikan
individu dalam masyarakat maka mereka mengabaikan interaksi individu dan
masyarakat. Walau sebagian besar perspektif sosiologi tidak bersalah ketika
mengabaikan interaksi ini, namun pandangan ini menjadi landasan serangan aliran
kritis terhadap sosiologi. Karena mengabaikan individu sosiolog dianggap tak
mampu mengatakan sesuatu yang bermakna tentang perubahan politik yang dapat
mengarah ke sebuah masyarakat manusia dan yang adil (Institut Riset Sosial
Frankfurt, 1973:46). Seperti dikatakar Zoltan Tar, sosiologi menjadi “bagian
integral masyarakat yang ada ketimbang menjadi alat untuk mengkritiknya dan
menjadi ragi untuk pembaruan” (1977:x).
Kritik terhadap Masyarakat Modern
Kebanyakan karya aliran kritis
ditujukan untuk mengkritik masyarakat modern dan berbagai jenis komponennya.
Kebanyakan teori Marxian awal secara tegas tertuju ke bidang ekonomi sedangkan
aliran kritis menggeser orientasinya ke tingkat kultural mengingat kultur
dianggap sebagai realitas masyarakat kapitalis modern. Artinya, tempat dominasi
dalam masyarakat modern telah bergeser dari bidang ekonomi ke bidang kultural.
Aliran kritis masih tetap memperhatikan masalah dominasi meski masyarakat
modern mungkin lebih didominasi oleh elemen kultural ketimbang oleh elemen
ekonomi. Karena itulah aliran kritis mencoba memusatkan perhatian pada
penindasan kultural atas individu dalam masyarakat.
Pemikiran kritis telah dibentuk tak
hanya oleh teori Marxian, tetapi juga teori Weberian, seperti tercermin pada
perhatian mereka kepada rasionalitas perkembangan dominan dalam dunia modern.
Seperti dijelaskan Trent Schroyer (1970) pandangan aliran kritis adalah bahwa
dalam masyarakat modern penindasan dihasilkan oleh rasionalitas yang
menggantikan eksploitasi ekonomi sebagai masalah sosial dominan. Aliran kritis
jelas telah mengadopsi pembedaan antara rasionalitas formal dan rasionalitas
subjektif atau apa yang oleh teoritisi dipandang sebagai reason. Menurut
teoritisi kritis, rasionalitas formal tak mencerminkan perhatian mengenai cara
yang paling efektif untuk mencapai tertentu (Tar, 1977). Inilah yang dipandang
sebagai “cara berpikir kratis” di mana tujuannya adalah untuk membantu kekuatan
yang mendominasi, bukan untuk memerdekakan individu dari dominasi. Tujuannya
semata-mata untuk menemukan cara yang paling efisien untuk mencapai apa pun
yang dianggap penting oleh pemegang kekuasaan. Cara berpikir teknokratis
berbeda dari cara berpikir nalar (reason), yang dalam pikiran teoritisi kritis
menjadi tumpuan harapan masyarakat. Nalar meliputi penelitian tentang cara
dilihat dari sudut nilai manusia tertinggi yang berkenaan dengan keadilan,
perdamaian, dan kebahagiaan. Teoritisi kritis memandang Nazisme pada umumnya,
dan kamp konsentrasi Nazi pada khususnya, sebagai contoh rasionalitas formal
yang bertempur mati-matian dengan nalar sehat. Demikianlah seperti dikatakan
Friedman, “Auschwitz adalah tempat yang rasional, tetapi ia bukan tempat yang
masuk akal (reasonable)”.
Meski kehidupan modern kelihatan
rasional, aliran kritis memandang masyarakat modern penuh dengan
ketidakrasionalan (Crook, 1995). Gagasan ini dapat diberi nama “irasionalitas
dari rasionalitas formal”. Menurut pandangan ‘Marcuse, meski tampaknya
rasionalitas diwujudkan, masyarakat ini secara keseluruhan adalah tak rasional
secara keseluruhan (1964:ix; lihat juga Farganis, 1975). Masyarakat adalah tak
rasional karena dunia rasional merusak individu, serta kebutuhan dan kemampuan
mereka; bahwa perdamaian dipertahankan melalui ancaman perang terus-menerus;
dan bahwa meski sarana yang ada sudah cukup, rakyat tetap miskin, tertindas,
tereksploitasi dan tak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri.
Aliran kritis terutama memusatkan
perhatian pada satu bentuk rasionalitas formal teknologi modern (Feenberg,
1996). Marcuse (1964), misalnya, mengecam keras teknologi modern setidaknya
seperti yang digunakan dalam kapitalisme.
Sebenarnya ia memandang teknologi
modem berperan penting sebagai metode pengendalian ekstemal terhadap individu
yang baru, lebih efektif, dan bahkan lebih menyenangkan. Contoh utamanya adalah
penggunaan televisi untuk mensosialisasikan dan menenteramkan pendudnk (contoh
lain adalah olahraga massal dan seks). Marcuse menolak gagasan bahwa teknologi
adalah netral dalam dunia modem dan sebaliknya memandangnya sebagai alat untuk
menguasai rakyat. Teknologi modem adalah efektif karena walaupun ketika
diciptakar. tampaknya netral sebenamya ia memperbudak. Teknologi membantu
menindas individualitas. Kebebasan batin aktor dilanggar, dikurangi oleh
teknologi modern Akibatnya adalah apa yang disebut Marcuse sebagai “masyarakat
berdimensi tunggal”, di mana individu kehilangan kemampuan untuk berpikir
secara kritis dan secara negatif tentang masyarakat. Marcuse tak memandang
teknologi per se sebagai musuh, tetapi memandang teknologi sebagaimana yang
digunakan dalam masyarakat kapitalis modern: “teknologi betapa pun ‘murninya’
ia mempertahankan dan memperlancar kelangsungan dominasi. Hubungan yang fatal
ini hanya dapat diputuskan dengan revolusi yang menyebabkan teknologi dan
teknik tunduk kepada kebutuhan dan sasaran manusia bebas” (1969:56) Marcuse
mempertahankan pandangan asli Marx yang menyatakan teknologi bukanlah sebuah
masalah bawaan dan karena itu dapat digurtakan untuk membangun masyarakat yang
“lebih baik”.
Kritik terhadap Kultur
Teoritisi kritis melontarkan kritik
pedas terhadap apa yang mereka sebut “industri kultur”, yakni struktur yang
dirasionalkan dan dibirokratisasikan (misalnya, jaringan televisi) yang
mengendalikan kultur modern. Perhatian terhadap industri kultur lebih
mencerminkan perhatian mereka terhadap konsep superstruktur Marxian ketimbang
terhadap basis ekonomi. Industri kultur menghasilkan apa yang secara
konvensional disebut “kultur massa” yang didefinisikan “sebagai kultur yang
diatur…tak spontan. dimaterialkan, dan palsu, bukan ketimbang sesuatu yang
nyata” (Jay, 1973:216). Ada dua hal yang paling dicemaskan oleh pemikir kritis
mengenai industri kultur ini. PERTAMA, mereka mengkhawatirkan mengenai
kepalsuannya. Mereka membayangkannya sebagai sekumpulan paket gagasan yang
diproduksi secara massal dan disebarkan ke tengah-tengah massa melalui media.
KEDUA, teoritis kritis terganggu oleh pengaruh yang bersifat menenteramkan,
menindas dan membius dari industri kultur terhadap rakyat (D. Cook, 1996;
Friedman, 1981 Tar, 1977:83; Zipes, 1994).
Douglas Kellner (1990) dengan
kesadaran sendiri mengemukakan sebuah teori kritis tentang televisi. Meski ia
mengaitkan karyanya dengan pemikiran kultural aliran Frankfurt, Kellner
mengambil tradisi Marxian lain untuk menyajikan konsepsi yang lebih utuh
tentang industri televisi. Ia mengkritik aliran kritis karena “mengabaikan
analisis rinci tentang ekonomi politik media televisi, mengonseptualisasikan
kultur massa sebagai sebuah instrumen ideologi kapitalis semata” (Kellner,
1990:14). Jadi, selain melihat televisi sebagai bagian dari kultur Kellner
mengaitkannya dengan kapitalisme korporat dan sistem politik. jauh, Kellner
tidak melihat televisi sebagai kekuatan monolitik atau kekuatan yang
dikendalikan oleh korporat yang koheren, tetapi sebagai “media yang sangat
konfliktual di mana bertemu kekuatan kultural, sosial, politik, dan ekonomi yang
saling bersaing” (1990:14). Jadi, meski bekerja dalam tradisi teori kritik,
Kellner menolak pandangan bahwa kapitalisme sepenuhnya adalah yang diatur.
Meski demikian, Kellner melihat televisi sebagai ancaman terhadap demokrasi,
individualitas dan kebebasan, dan ia memberi saran-saran untuk menghadapi
ancaman itu (misalnya, akuntabilitas yang lebih demokratis, dan partisipasi
yang lebih besar dari warga negara, diversitas yang lebih besar pada televisi).
Jadi, Kellner bukan sekadar mengkritik, tetapi juga memberi untuk menangani
bahaya yang ditimbulkan oleh televisi.
Aliran kritis juga tertarik dan kritis
terhadap apa yang disebut sebagai “industri pengetahuan”, yang mengacu kepada
“entitas-entitas” yang berhubungan produksi pengetahuan (misalnya, universitas
dan lembaga penelitian) menjadi struktur otonomi di dalam masyarakat. Otonomi
itu membuat mereka bisa memperluas mereka melampaui mandatnya (Schroyer, 1970).
Mereka di struktur yang opresif yang hanya tertarik untuk menyebarkan
pengaruhnya ke seluruh masyarakat.
Analisis kritis Marx terhadap
kapitalisme membuatnya berharap pada masa tetapi banyak teoritisi kritis malah
masuk pada pandangan putus asa tanpa harapan. Mereka melihat problem-problem
dunia modern bukan hanya pada kapitalisme, tetapi mewabah sampai ke dunia yang
dirasionalkan (rationalized). Mereka memandang masa depan, dalam istilah
Weberian, sebagai “sangkar besi” struktur yang semakin rasional yang tak ada
harapan untuk keluar darinya.
Sebagian besar teori kritik (seperti
rumusan asli Marx) adalah sejalan dengan analisis kritik. Meskipun teori kritik
juga mempunyai sejumlah minat positif, ia lebih banyak memberi kontribusi yang
lebih kritis ketimbang kontribusi Dan karena alasan ini mereka merasa bahwa
teori kritik tak banyak memberi sumbangan pada teori sosiologi.
Kontribusi-kontribusi Utama
Subjektivitas
Kontribusi besar dari aliran kritis
adalah usahanya untuk mengorientasikan teori Marxian ke arah subjektif.
Meskipun ini merupakan kritik terhadap materialisme Marx dan terhadap fokusnya
pada struktur ekonomi, ini juga merepresentasikan kontribusi yang kuat kepada
pemahaman kita tentang elemen subjektif dari kehidupan sosial. Kontribusi
subjektif dari aliran kritis adalah pada tingkat individual dan kultural.
Akar Hegelian dari teori Marx adalah
sumber utama dari minat terhadap objektivitas. Banyak pemikir kritis memandang
diri mereka kembali pada akar itu, seperti yang diekspresikan dalam karya-karya
awal Marx, khususnya The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844
(1932/1964). Dalam melakukan hal itu, mereka meneruskan karya revisionis Marx
awal abad 20, seperti Karl Korsch dan Georg Lukacs, yang fokusnya bukan pada
subjektivitas, tetapi hanya untuk mengintegrasikan minat tersebut dengan
perhatian Marxian tradisional terhadap struktur objektif (Agger, 1978). Korsch
dan Lukacs tidak mencari restrukturisasi fundamental dari teori Marxian,
meskipun teoritisi kritik yang belakangan melakukannya secara lebih luas dan
ambisius.
Kita mulai dengan minat aliran kritis
kepada kebudayaan. Seperti ditunjukkan di atas, aliran kritis telah bergeser
kepada “superstruktur” kultural, dan bukannya “basis” ekonomi. Salah satu
faktor yang memotivasi pergeseran ini adalah bahwa minat aliran kritis mencakup
aspek-aspek lain dari realitas sosial, terutama kultur. Selain faktor ini,
serangkaian perubahan eksternal dalam masyarakat telah menunjukkan pergeseran
itu (Agger, 1978). Secara khusus, kemakmuran periode pasca Perang Dunia II di
Amerika “tampaknya” menghilangkan kontradiksi ekonomi internal pada umumnya dan
konflik kelas pada khususnya. Kesadaran palsu “tampaknya” hampir universal:
semua kelas sosial, termasuk kelas pekerja, tampaknya menjadi pendukung sistem
kapitalis dan mendapat manfaat dari sistem itu. Selain itu, bekas Uni Soviet
yang bersistem sosialis, ternyata sama opresifnya dengan sistem kapitalis.
Karena dua masyarakat itu memiliki perekonomian yang berbeda, para pemikir
kritis mencari sumber penindasan itu di tempat lain. Mereka mula-mula melihat
pada kultur.
Untuk aspek perhatian aliran Frankfurt
yang telah didiskusikan di atas rasionalitas, industri kultur, dan industri
pengetahuan dapat ditambahkan sekumpulan perhatian lain, dan yang paling
menonjol adalah perhatian pada ideologi. Ideologi menurut teori kritik adalah
sistem ide, yang sering kali palsu dan mengaburkan, yang diciptakan oleh elite
sosial. Semua aspek spesifik dari superstruktur dan orientasi aliran kritis
terhadapnya dapat dimasukkan dalam tajuk “kritik terhadap dominasi” (Agger,
1978; Schroyer, 1973). Minat pada dominasi ini pertama kali dipicu oleh fasisme
pada 1930-an dan 1940-an, tetapi kemudian bergeser pada dominasi masyarakat
kapitalis. Dunia modern telah
mencapai tahap dominasi atas individu.
Bahkan kontrol itu sangat lengkap sehinggaa tak diperlukan lagi tindakan yang
penuh pertimbangan di pihak pemimpin. Kontrol tersebut meliputi semua aspek
dunia kultural dan yang lebih penting diinternalisasikan dalam aktor.
Akibatnya, para aktor mendominasi diri sendiri atas nama struktur sosial yang
lebih besar. Dominasi mencapai yang lengkap sehingga tak lagi tampak sebagai
dominasi. Karena dominasi tak lagi dianggap mengalienasikan dan membahayakan
secara personal, ia sering dianggap dunia sebagaimana adanya. Tak lagi jelas
bagi aktor seperti apakah itu “seharusnya”. Jadi, pesimisme pemikir kritis ada
dasarnya, karena tak lagi melihat bagaimana analisis rasional dapat membantu
mengubah situasi ini.
Salah satu perhatian aliran kritik
pada tingkat kultural adalah apa yang disebut Habermas (1975) sebagai
legitimasi. Ini dapat didefinisikan sebagai sistem ide yang dihasilkan oleh
sistem politik, dan secara teoritis, oleh sistem lainnya, mendukung eksistensi
sistem. Mereka didesain untuk “memistifikasi” politik, mengaburkan apa yang
sesungguhnya terjadi.
Selain minat kultural itu, aliran kritis
juga membahas aktor dan kesadaran mereka dan apa yang terjadi pada mereka di
dunia modern. Kesadaran massa menjadi dikontrol oleh kekuatan eksternal
(seperti industri kultur). Akibatnya, massa gagal mengembangkan kesadaran
revolusioner. Sayangnya, teoritisi kritis, seperti kebanyakan Marxis dan
sosiolog lainnya, sering kali gagal untuk membedakan dengan jelas antara
kesadaran individu dan kultur, dan mereka tak menspesifikasikan kaitannya.
Dalam kebanyakan karyanya, mereka bergerak secarabebas di antara kesadaran dan
kultur dengan sedikit pemahaman bahwa keduanya adalah level yang terus berubah.
Yang sangat penting di sini adalah
usaha oleh teoritisi kritis, terutama Marcuse (1969), untuk mengintegrasikan
pandangan Freud pada tingkat kesadaran (dan ketidaksadaran) dengan interpretasi
teori kritis terhadap kebudayaan. Friedman (1981) mengatakan bahwa teoritisi
kritis mengambil tiga hal dari karya Freud: (1) struktur psikologis untuk
dipakai mengembangkan teori mereka; (2) pemahaman psikopatologi yang membuat
mereka bisa memahami dampak negatif masyarakat modern dan kegagalannya untuk
mengembangkan kesadaran revolusioner; (3) kemungkinan liberasi fisik (Friedman,
1981). Salah satu manfaat dari minat terhadap kesadaran individu adalah ia
memberikan koreksi yang berguna untuk pesimisme dari aliran dan fokusnya pada
batasan kultural. Meski orang-orang dikontrol, dicekoki dengan kebutuhan palsu,
dalam term Freudian mereka juga diberi libido (secara dianggap sebagai energi
seksual), yang memberi sumber dasar energi tindakan kreatif yang diarahkan
untuk menghancurkan bentuk dominasi utama.
Dialektika
Fokus positif utama kedua dari teori
kritis adalah minat pada dialektika (ide ini dikritik dari sudut pandang
Marxisme analitik yang akar. dibahas secara umum, dan variasi dari manifestasi
spesifiknya. Pada tingkat yang paling umum, pendekatan dialektika berarti fokus
pada “totalitas” sosial. Paul Connerton memberikan pengertian yang baik tentang
pendekatan kritis terhadap totalitas sosial: “tak ada aspek parsial dari kehidupan
sosial dan tak ada fenomena yang terisolasi yang dapat dipahami kecuali ia
dikaitkan dengan sejarah secara keseluruhan, kepada struktur sosial yang
dibayangkan sebagai entitas global” (1976:12). Pendekatan ini melibatkan
penolakan terhadap fokus pada setiap aspek “spesifik” dari kehidupan sosial,
khususnya sistem ekonomi di luar konteksnya yang lebih luas. Pendekatan ini
juga berarti berkaitan dengan interrelasi berbagai level realitas sosial yang
terpenting adalah kesadaran individu, superstruktur kultural, dan struktur
ekonomi. Dialektika juga memuat rumusan metodologis: satu komponen kehidupan
sosial tidak dapat dikaji tanpa menyertakan komponen selebihnya.
Ide ini mengandung komponen diakronik
dan sinkronik. Pandangan sinkronik membawa kita pada hubungan antarkomponen
masyarakat di dalam totalitas kontemporer. Pandangan diakronik memuat perhatian
pada akar sejarah dari masyarakat dewasa ini dan kemungkinan masa depannya
(Bauman, 1976) Dominasi atas orang oleh struktur kultural dan sosial atau menurut
istilah Marcuse, masyarakat “satu dimensi” adalah akibat dari perkembangan
sejarah spesifik dan bukan merupakan karakteristik universal manusia.
Perspektif historis ini mengimbangi pandangan umum yang muncul dalam
kapitalisme bahwa sistem adalah fenomena alami dan tak terelakkan. Menurut
pandangan teori kritis (dan Marxis lainnya), orang mulai melihat masyarakat
sebagai “sifat kedua”; ia “dibayangkan oleh akal sehat sebagai kekuatan yang
asing, tak kenal kompromi, menuntut, angkuh tak seperti sifat manusia. Agar
terikat oleh aturan nalar, agar berperilaku rasional, meraih kesuksesan, agar
bebas, manusia sekarang harus mengakomodasi dirinya pada ‘sifat kedua’ ini”
(Bauman, 1976:6).
Teoritisi kritis juga memikirkan
tentang masa depan, tetapi dengan mengikuti pemikiran orisinil Marx, mereka
menolak menjadi utopian; mereka menitikberatkan pada kritik dan mengubah
masyarakat kontemporer (Alway, 1995). Akan tetapi, ketimbang mengarahkan
perhatian mereka pada struktur
ekonomi masyarakat seperti dilakukan
Marx, mereka berkonsentrasi pada acperstruktur kulturalnya. Pendekatan
dialektika mereka membuat mereka bekerja di dunia nyata. Pada satu level, ini
berarti bahwa mereka tidak puas hanya dengan mencari kebenaran dalam
laboratorium sains. Ujian terakhir dari ide-ide mereka adalah seberapa jauh
ide-ide diterima dan dipakai dalam praktik. Proses ini mereka sebut autentikasi
(authentication), yang terjadi ketika orang yang menjadi korban komunikasi yang
disimpangkan mulai mengambil teori dan menggunakannya untuk membebaskan diri
dari sistem tersebut (Bauman, 1976:104). Jadi kita sampai pada aspek lain dari
perhatian pemikir pembebasan (liberation) manusia (Marcuse, 1964:222).
Dalam term yang lebih abstrak, pemikir
kritis dapat dikatakan sibuk dengan gan yang saling memengaruhi antara teori
dan praktik. Pandangan aliran Frankfurt ini adalah bahwa dua hal itu dipisahkan
dalam masyarakat kapitalis (Schroyer, 1973:28). Yakni, teoritisasi dilakukan
oleh satu kelompok, yang didelegasikan, atau diambil, oleh kelompok itu, sedangkan
praktik direlegasikan kelompok lain yang lebih lemah. Dalam banyak kasus, karya
teoritisi diseragamkan. oleh apa-apa yang berlangsung di dunia nyata, dan
menyebabkan sebagian besar teori sosiologi dan Marxian menjadi miskin dan tak
relevan. Poinnya adalah untuk menyatukan teori dan praktik untuk memulihkan
hubungan antara keduanya. Karena itu teori akan diberi informasi oleh praktik,
sedangkan praktik akan dibentuk oleh teori. Dalam proses itu, baik teori maupun
praktik akan diperkaya.
Meski ada tujuan ini, sebagian besar
teori kritik gagal untuk mengintegrasikan teori dan praktik. Sesungguhnya,
salah satu kritik paling keras terhadap teori kritis adalah bahwa teori itu
biasanya ditulis sedemikian rupa sehingga hampir tak bisa dipahami oleh
kebanyakan masyarakat. Lebih jauh, dalam komitmennya untuk mempelajari kultur
dan superstruktur, teori kritis membahas sejumlah topik yang sangat esoteris
dan tak banyak bicara tentang perhatian pragmatis sehari-hari.
Pengetahuan dan Kepentingan Manusia.
Salah satu perhatian dialektika paling terkenal dari teori kritik adalah minat
Jurgen Habermas (1970, 1971) terhadap hubungan antara pengetahuan dan
kepentingan manusia sebuah contoh dari perhatian dialektika yang lebih luas
terhadap hubungan antara faktor subjektif dan objektif. Tetapi, Habermas
berhati-hati untuk menunjukkan bahwa faktor subjektif dan objektif tidak dapat
ditangani secara terpisah. Menurutnya, sistem pengetahuan ada pada level
objektif, sedangkan kepentingan atau minat manusia adalah fenomena subjektif.
Habermas membedakan tiga sistem pengetahuan dan kepentingannya yang saling
berhubungan. Kepentingan yang berada di balik dan memandu setiap sistem
pengetahuan pada umumnya tak dikenal oleh masyarakat awam, dan inilah tugas
teori kritik untuk mengungkapkannya. Tipe pertama dari pengetahuan itu adalah
ilmu analitik, atau sistem saintifik positivik klasik. Menurut Habermas,
kepentingan dasar dari sistem pengetahuan semacam itu adalah kontrol teknis,
yang dapat diaplikasikan untuk lingkungan, masyarakat, atau orang di dalam
masyarakat. Menurut Habermas, ilmu analitik cenderung memperkuat kontrol
opresif. Tipe sistem pengetahuan yang kedua adalah pengetahuan humanistik, dan
kepentingannya adalah untuk memahami dunia. Ia beroperasi dari pandangan umum
bahwa masa lalu kita pada umumnya membantu kita untuk memahami apa-apa yang
terjadi pada masa sekarang. Ia mengandung kepentingan praktis untuk memahami
diri dan orang lain. Pengetahuan ini tak bersifat opresif ataupun membebaskan.
Tipe ketiga adalah; pengetahuan kritis, yang didukung oleh Habermas dan aliran
Frankfurt pada umumnya. Kepentingan yang melekat pada pengetahuan jenis ini
adalah emansipasi manusia. Diharapkan bahwa pengetahuan kritis yang dikemukakan
oleh Habermas dan yang lainnya akan membangkitkan kesadaran diri dari massa
(melalui mekanisme yang diartikulasikan oleh Freudian), dan menimbulkan gerakan
sosial yang akan menghasilkan harapan emansipasi.
Kritik terhadap Teori Kritis
Sejumlah kritik telah diajukan kepada
teori kritik (Bottomore, 1984). Pertanma. teori kritis dituduh bersifat
ahistoris, meneliti berbagai peristiwa tanpa banyak memperhatikan pada konteks
sejarah dan komparatifnya (misalnya, Nazisme pada 1930-an dan antisemitisme
pada 1940-an, pemberontakan mahasiswa pada 1960-an). Ini adalah kritik terhadap
setiap teori Marxian, yang semestinya historis dan komparatif. Kedua, aliran
kritis, seperti telah kita lihat, umumnya mengabaikan ekonomi. Ketiga,
teoritisi kritik cenderung berargumen bahwa kelas pekerja telah hilang
sebagaimana halnya kekuatan revolusioner, pandangan yang bertentangan dengan
analisis Marxian tradisional.
Kritik-kritik tersebut membuat tokoh
Marxis tradisional terkemuka seperti Bottomore berkesimpulan: “Aliran
Frankfurt, dalam bentuk orisinilnya, dan aliran Marxisme atau sosiologi, telah
mati” (1984:76). Sentimen yang sama diekspresikan oleh Greisman, yang menyebut
teori kritik sebagai “paradigma yang gagal (1986:273). Jika ia menjadi aliran
yang berbeda, itu disebabkan banyak dari ide-ide dasarnya sampai pada Marxisme,
sosiologi neo Marxian, dan bahkan sosiologi arus utama. Jadi, seperti dikatakan
Bottomore dalam kasus Habermas, aliran kritis telah mengalami penyesuaian
dengan Marxisme dan sosiologi, dan “pada saat yang sama beberapa ide penting
aliran Frankfurt dipelihara dan gkan” (1984:76).
Ide-ide Jurgen Habermas
Meski teori kritik mungkin sedang
menurun, Jurgen Habermas {Habermas pada awalnya adalah asisten riset Adorno
pada 1955 (Wiggershaus, 1994:537)} dan teori-teorinya masih hidup (Bernstein,
1995; Brown dan Goodman, 2001; Outhwaite, 1994). Kita menyinggung beberapa
pemikirannya dalam hal ini, tetapi kita menutup bagian teori kritik ini dengan
tinjauan yang lebih detail pada ide-idenya dari aspek-aspek pemikirannya akan
dibahas.
Perbedaannya dengan Marx
Seperti dijelaskan Habermas, tujuannya
selamaa bertahun-tahun adalah “mengembangkan program teori yang saya pahami
sebagai rekonstruksi materialisme historis” (1979:95). Habermas mengambil titik
tolak Marx (potensi manusia, spesies makhluk, “aktivitas manusia vang
berperasaan”) sebagai titik awalnya sendiri. Akan tetapi, Habermas (1971)
mengatakan bahwa Marx telah gagal untuk membedakan antara dua kompenen analitik
yang berbeda—kerja (atau tenaga kerja, tindakan rasional- if) dan interaksi
(atau aksi komunikatif) sosial (atau simbolik). Menurut pandangan Habermas,
Marx cenderung mengabaikan yang disebut belakangan dan hanya membahas pada
kerja. Seperti dikatakan Habermas, problem dalam karya Marx adalah “reduksi
tindakan spesies manusia yang dimunculkannya sendiri (self-generated) menjadi
sekadar usaha (labor)” (1971:42). Jadi, Habermas mengatakan, “Saya mengambil
perbedaan antara kerja dan interaksi sebagai titik awal saya.” (1970:91). Di
sepanjang tulisannya, karya Habermas memuat perbedaan meski dia cenderung menggunakan
istilah tindakan (kerja) rasional purposif dan tindakan komunikatif
(interaksi).
Di bawah nama “tindakan
rasional-purposif” Habermas membedakan antara tindakan instrumental dengan
tindakan strategis. Keduanya melibatkan pencarian kepentingan diri yang
diperhitungkan. Tindakan instrumental melibatkan satu aktor tunggal yang secara
rasional memperhitungkan cara terbaik untuk mencapai tujuan. Tindakan strategis
melibatkan dua atau lebih individu yang mengoordinasikan tindakan
rasional-purposif dalam mencapai tujuan. Tujuan dari kedua tindakan itu adalah
penguasaan instrumental.
Habermas paling tertarik pada tindakan
komunikatif, di mana : tindakan agen-agen yang terlibat dikoordinasikan bukan
melalui perhitungan egosentris untuk mencapai keberhasilan, tetapi melalui
tindakan untuk mencapai pemahaman. Dalam tindakan komunikatif, partisipan
terutama tidak berorientasi pada keberhasilan mereka sendiri; mereka mengejar
tujuan individual mereka di bawah kondisi di mana mereka bisa mengharmoniskan
rencana tindakan mereka berdasarkan definisi situasi bersama (Habermas,
1984:286; huruf miring ditambahkan).
Tujuan tindakan rasional purposif
adalah untuk mencapai tujuan sedangkan tujuan dari tindakan komunikatif adalah
mencapai pemahaman komunikatif (Stryker, 1998).
Jelas ada komponen pembicaraan
(speech) yang penting dalam tindakan komunikatif. Akan tetapi, tindakan itu
lebih luas ketimbang “tindakan berbicara atau ekspresi nonverbal yang
ekuivalen” (Habermas, 1984:278).
Titik kunci perpisahan Habermas dari
Marx adalah penegasan bahwa tindakan komunikatiflah, bukan tindakan rasional
purposif (bekerja), yang merupakan fenomena kemanusiaan paling khusus dan
paling pervasif. Tindakan komunikatif (bukan kerja) adalah landasan segala
kehidupan sosiokultural dan landasan seluruh ilmu pengetahuan manusia.
Sementara Marx memusatkan perhatian pada bekerja (tindakan rasional-purposif),
Habermas memusatkan perhatian pada komunikasi.
Marx tak hanya sekadar memusatkan
perhatian pada kerja, tetapi menempatkan kerja yang merdeka dan kreatif sebagai
basis analisis kritis kerja itu dalam berbagai epos sejarah, terutama dalam
masa kapitalisme. Habermas juga mengadopsi sebuah basis, tetapi lebih di bidang
tindakan komunikatif ketimbang tindakan rasional purposif. Basis Habermas adalah
komunikasi yang tidak menyimpang, komunikasi tanpa paksaan. Dengan basis ini
Habermas mampu menganalisis komunikasi yang mengalami distorsi. Habermas juga
memperhatikan struktur sosial yang mengalami distorsi komunikasi sebagaimana
Marx menganalisis sumber struktural distorsi kerja. Meski basis analisis mereka
berbeda, baik Habermas maupun Marx mempunyai basis dan basis ini memungkinkan
mereka menghindarkan diri dari relativisme dan menyumbangkan pendapat mengenai
berbagai fenomena historis. Habermas mengkritik teoritisi terutama Weber dan
teoritisi kritis terdahuhi karena keterbatasan basis analisis mereka dan
keterjerumusan mereka ke dalam relativisme.
Masih ada kesejajaran antara Marx dan
Habermas dan basis analisis mereka. Menurut keduanya, basis-basis itu tak hanya
mencerminkan titik tolak analisis, tetapi juga mencerminkan tujuan politik
mereka. Artinya, sementara bagi Marx yang menjadi tujuan adalah masyarakat
komunis di mana kerja (umat manusia) yang tidak mengalami distorsi akan muncul
untuk pertama kali, tujuan politik Habermas adalah sebuah masyarakat yang
komunikasinya (tindakan komunikatif) tidak terganggu. Dilihat dari tujuan
jangka pendek Marx mencoba melenyapkan perintang (kapitalis) atas kerja yang
tak terdistorsi, sedangkan dan Habermas tertuju untuk melenyapkan perintang
komunikasi bebas.
Di sini Habermas (1973; lihat juga
Habermas, 1994:101), seperti teoritisi kritis lain mengambil dari Freud dan
melihat banyak persamaan antara apa yang dianalisis pakar psikoanalisis di
tingkat individual dan apa yang dia pikir perlu dilakukan di tingkat
kemasyarakatan. Habermas memandang psikoanalisis sebagai teori tentang
komunikasi yang terdistorsi dan yang memusatkan perhatian pada upaya yang
memungkinkan individu berkomunikasi menurut yang tak terdistorsi. Pakar
psikoanalisis mencoba menemukan sumber dalam komunikasi individual dalam arti
untuk menyingkirkan perintang komunikasi. Melalui refleksi, pakar psikoanalisis
mencoba membantu individu mengatasai rintangan itu. Begitu pula, melalui kritik
terapeutik, “argumentasi yang membantu secara sistematis menjernihkan penipuan
diri sendiri” (Habermas, 1984:21) teoritisi kritis mencoba membantu rakyat pada
umumnya mengatasi rintangan sosial untuk mencapai komunikasi yang tak
terdistorsi. Maka terdapat d antara psikoanalisis dan teori kritis. Psikoanalis
membantu pasien dengan cara seperti teori kritik sosial membantu mereka yang
tak mampu berkomunikasi memadai untuk menjadi “tak cacat” (Habermas, 1994:112).
Sedang menurut Marx, basis masa depan
masyarakat Habermas eksis di dunia kontemporer. Yaitu, menurut Marx, elemen
dari spesies manusia ditemukan dalam kerja di dalam masyarakat kapitalis.
Menurut Habermas, komunikasi yang tak terdistorsi ditemukan di dalam setiap
komunikasi kontemporer.
Rasionalisasi
Ini membawa kita ke masalah sentral
tentang rasionalisasi pemikiran Habermas. Dalam hal ini Habermas selain
dipengaruhi pemikiran Marx, juga dipengaruhi oleh Weber. Dalam karyanya tentang
rasionalisasi, Habermas membedakan antara rasional purposif dan tindakan komunikatif.
Menurut Habermas tindakan rasional purposif menumbuhkan kekuatanan produksi dan
meningkatkan kontrol teknologi atas kehidupan mas, 1970). Bentuk rasionalisasi
ini seperti menurut Weber dan Marx masalah besar dalam kehidupan modern. Namun
persoalannya adalah rasionalisasi tindakan rasional purposif, bukan
rasionalisasi pada umunya. Sebenarnya, menurut Habermas, penangkal masalah
rasionalisasi dan rasional purposif terletak pada rasionalisasi tindakan
komunikatif. Rasionalisasi tindakan komunikatif berperan penting membebaskan
komunikasi dari dominasi, memerdekakan dan membuka komunikasi. Rasionalisasi di
sini meliputi emansipasi, menyingkirkan penghalang komunikasi (Habermas,
1970:118 lihat juga Habermas, 1979). Ada dua penyebab utama distorsi komunikasi
yang harus disingkirkan jika kita menghendaki komunikasi yang bebas dan
terbuka.
Di tingkat norma sosial, rasionalisasi
mencakup pengurangan penindasan normatif dan kekakuan serta meningkatkan
fleksibilitas dan refleksivi individual. Pengembangan sistem normatif yang baru
dan tak terlalu restriktif atau nonrestriktif ini terletak di jantung teori
evolusi sosial Habermas. Menu Habermas (1979) rasionalisasi menghasilkan sistem
produksi baru yang tak terlalu mendistorsi. Meski ia menganggap ada kesalahpahaman
tentang pendapat ini, namun banyak orang yang menuduh Habermas memutus akar
Marxian ketika menggeser analisisnya dari tingkat material ke tingkat normatif
ini.
Menurut Habermas tujuan terakhir
evolusi sosial adalah masyarakat rasional (Delanty, 1997). Rasionalitas di sini
berarti menyingkirkan perintang yang menyebabkan distorsi komunikasi; tetapi,
lebih umum lagi, berarti sistem komunikasi yang menyajikan gagasan secara
terbuka dan terbuka pula terhadap kritik. Ketika terjadi perbedaan pendapat, peluang
persesuaian tak terhambat perkembangannya. Untuk memahami hal ini secara lebih
baik, kita pe membahas teori komunikasi Habermas secara lebih rinci.
Komunikasi
Habermas membedakan antara tindakan
komunikatif yang telah dibahas di atas dan diskursus (discourse). Sementara
tindakan komunikatif terjadi dalam kehidupan sehari-hari, diskursus adalah:
bentuk komunikasi yang dipisahkan dari
konteks pengalaman dan tindakan, dan mempunyai struktur yang meyakinkan kita:
bahwa kumpulan validitas klaim asersi, rekomendasi, atau peringatan adalah
objek eksklusif dari diskusi; bahwa partisipan, tema, dan kontribusi tidak
dibatasi kecuali yang bertujuan menguji validitas klaim yang dibahas; bahwa tak
ada kekuatan kecuali argumen yang dihasilkan dengan lebih baik; dan bahwa semua
motif dikesampingkan kecuali motif pencarian kebenaran kooperatif (Habermas,
1975:107-108).
Landasan dalam dunia diskursus, dan
yang juga tersembunyi dan mendasari dunia tindakan komunikatif, adalah “situasi
percakapan ideal” di mana kekuaatan atau kekuasaan tidak menentukan argumen
mana yang menang; sebalikny argumen yang lebih baik akan muncul sebagai
pemenang. Bobot bukti dan argumentasi menentukan apa yang dianggap sahih dan
benar. Argumen yang muncul dari diskursus seperti itu (dan yang disepakati oleh
peserta) adalah benar (Hesse, 1995). Jadi, Habermas menerima teori konsensus
tentang kebenaran (bukan salinan [atau "realitas"] teori kebenaran
[Outhwaite, 1994:41]). Kebenaran ini adalah bagian dari seluruh komunikasi, dan
pengungkapan penuhnya adalah tujuan dari evolusi Habermas. Seperti dikatakan
McCarthy, “gagasan tentang kebenaran pada hakikatnya menuju pada bentuk
interaksi yang bebas dari semua yang mendistorsi. Kehidupan yang baik dan benar
yang menjadi tujuan adalah kehidupan yang melekat di dalam gagasan kebenaran;
ia diantisipasi dalam setiap tindakan percakapan” (1982:308).
Secara teoritis konsensus muncul dalam
diskursus (dan tindakan komunikatif) ketika empat tipe pernyataan kebenaran
dikemukakan dan diakui oleh peserta interaksi. PERTAMA, ucapan pembicara dapat
dimengerti dan dipahami. KEDUA, pernyataan yang dikemukakan oleh pembicara
adalah benar; artinya pembicara mengemukakan pengetahuan yang dapat dipercaya.
KETIGA, pembicara diyakini benar dalam mengemukakan pernyataan; pembicara dapat
dipercayai. KEEMPAT, adalah benar dan tepat bagi pembicara mengucapkan
pernyataan itu; pembicara benar mengucapkan demikian. Konsensus muncul bila
semua kebenaran yang dinyatakan ini diungkapkan dan diterima; kebenaran hancur
bila satu orang atau lebih mempertanyakannya. Kembali ke poin terdahulu, ada
kekuatan di dunia modern yang memutarbalikkan proses ini, yang mencegah
munculnya konsensus dan yang harus ditanggulangi agar masyarakat ideal Habermas
terwujud (Morris, 2001).
Teori Kritik Dewasa Ini
Meski Habermas adalah pemikir sosial
paling terkenal dewasa ini, namun sendirian berjuang mengembangkan teori kritis
yang lebih sesuai dengan realitas masa kini (lihat, misalnya, berbagai esai
dalam Wexler, 1991; Antonio Kellner, 1994). Untuk melukiskan kelanjutan upaya
ini akan dibahas upaya Kellner (1989c) dalam mengembangkan teori kritis
mengenai “tekno kapitalisme”.
Tekno Kapitalisme
Teori Kellner didasarkan atas premis
bahwa kita belum bergerak ke abad post modern atau post industri, tetapi masih
berada di kapitalisme yang terus merajarela seperti di masa jayanya teori
kritis. Karena itu ia merasa konsep dasar yang dikembangkan untuk menganalisis
kapitalisme (contoh reifikasi, pengasingan) masih relevan untuk menganalisis
Kapitalisme. Kellner mendefinisikan tekno kapitalisme sebagai : Konfigurasi
masyarakat kapitalis di mana teknik, ilmu pengetahuan ilmiah, otomatisasi,
komputer, dan teknologi tinggi, berperan penting dalam proses produksi dan
sejajar dengan peran tenaga manusia, mekanisasi, dan mesin-mesin di era sebelum
kapitalisme, dan juga menghasilkan cara-cara mengorganisir masyarakat dan
bentuk kultur serta kehidupan sehari-hari yang baru (Kellner, 1989c:178).
Menurut istilah teknis Marxian, dalam
masyarakat tekno-kapitalisme, “modal konstan berangsur-angsur menggantikan
modal variabel seperti tercermin dari rasio antara teknologi dan tenaga kerja
yang makin meningkat dengan mengorbankan input tenaga kerja manusia” (Kellner,
1989c:179). Namun. kita tak boleh lupa bahwa tekno kapitalisme masih merupakan
kapitalisme sekalipun teknologi jauh lebih besar perannya ketimbang di masa
sebelumnya.
Kellner telah belajar dari kegagalan
analisis Marxis lain. Karena itulah ia, misalnya, menentang pemikiran yang
menyatakan bahwa teknologi menentukan superstruktur masyarakat. Dalam
masyarakat tekno kapitalisme, posisi negara dan kultur dipandang otonom,
setidaknya sebagian. Ia pun menolak pandangan yang menyatakan tekno-kapitalisme
sebagai tahap baru dalam sejarah; sebaliknva ia melihat sebagai konfigurasi
atau konstelasi baru di dalam kapitalisme. Kellner tak semata memusatkan
perhatian pada masalah yang dapat ditimbulkan oleh tekno kapitalisme, tetapi
juga pada peluang kemajuan sosial emansipasi masyarakat. Menurut Kellner peran
kunci teori kritis tak hanya sekadar melancarkan kritik, tetapi berupaya
menganalisis peluang kebebasan yang ditawarkan oleh tekno-kapitalisme
(1989c:215). Kellner pun menolak kembali ke konsep kelas politik lama;
sebaliknya ia melihat besarnya potensi dalam berbagai gerakan sosial (wanita,
lingkungan) yang telah muncul dalam dekade terakhir abad 20.
Kellner tak bermaksud membangun sebuah
teori berskala lengkap mengenai tekno kapitalisme. Inti tesisnya adalah bahwa
meski telah berubah secara dramatis, namun kapitalisme masih akan tetap
berkuasa dalam dunia masa kini dengan demikian peralatan analisis yang
disediakan oleh aliran kritis dan oleh teori Marxian pada umumnya masih tetap
relevan untuk menganalisis kehidupan masa kini. Seksi ini akan ditutup dengan
deskripsi Kellner tentang tekno kultur karena perhatian terhadap kultur menjadi
sasaran perhatian utama teori kritis.
Tekno kultur mencerminkan konfigurasi
kultur massa dan masyarakat konsumen di mana barang konsumsi, film, televisi,
citra massa, dan informasi yang dikomputerisasikan menjadi bentuk kultur
dominan di seluruh dunia maju dan makin menjalar ke masyarakat sedang
berkembang. Dalam tekno kultur ini, citra dan tontonan dan komoditi estetika
menjadi bentuk kultur baru yang menjajah kehidupan sehari-hari dan mengubah hubungan
politik ekonomi dan sosial. Dalam semua bidang kehidupan ini teknologi makin
fundamental dan makin besar perannya (Kellner, 1989c:181).
Banyak masalah yang bisa
dieksplorasi oleh teoritisi kritis di masa depan di antaranya adalah mengenai
watak tekno kultur itu sendiri, komodifikasinva kolonisasinya atas kehidupan
dunia dan dampak dialektikanya terhadar kehidupan ekonomi dan terhadap sektor
masyarakat lainnya. Banyak hal baru yang dikemukakan, tetapi juga banyak yang
berdasarkan gagasan fundamental teori kritis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar