Definisi
agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang
telah dipersatukan dan berkaitan dengan hal-hal yang kudus,
kepercayaan-kepercayaan, dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu
komunitas moral yang tunggal". Dari definisi ini ada dua unsur yang
penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat
kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama
tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi
agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia tidak akan lagi
menjadi sebuah agama, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat
kita lihat bahwa sesuatu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya
tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat
bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan
memiliki sifat yang historis.
Hubungan
antara agama dengan masyarakat terlihat di dalam masalah ritual.Kesatuan
masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience
collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran
ini.Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para
anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama.Ritual, yang terwujud
dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan
mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu
bergantung.Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek
ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang
dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
Agama juga
memiliki sifatnya yang historis.Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang
paling tua yang di kemudian menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama
lainnya.Seperti konsep kekuatan kekudusan pada totem itu juga yang di kemudian
hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb.Kemudian perubahan-perubahan
sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem
kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke
masyarakat modern, dimana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas
rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama
seperti agama.
Durkheim mengulas
arti penting dari agama dalam masyarakat.Dan mengenalnya sebagai sumber
orisinil dari semua gagasan moral,filsafat,ilmu pengetahuan,dan
keadilan.Durkheim secara konsisten mendukung kesimpulan yang telah diambil pada
titik dini dari kariernya, bahwa baik orang orang yang mempertahankan teori
teori ekonomi lama keliru dalam berpikir bahwa sekarang tidak perlu ada
pengaturan.Dan bahwa pembela lembaga lembaga keagamaan salah dalam mempercayai
bahwa pengaturan waktu yang lalu dapat berguna bagi masa sekarang.Arti penting
agama yang mulai menurun dalam masyarakat – masyarakat kontemporer, merupakan
akibat yang tidak bisa dielakkan dari arti pentingnya solidaritas mekanis yang
makin menurun.
Dengan
demikian,segi penting yang kita kaitkan dengan sosiologi agama,sedikitpun tidak
mempunyai implikasi bahwa agama itu harus memainkan peran yang sama dalam
masyarakat-masyarakat sekarang. Seperti yang dimainkannya pada waktu waktu
lain. Dalam suatu segi, kesimpulan yang bertentangan akan lebih sehat.
Mengingat agama adalah suatu fenomena kuno, maka agama makin lama makin harus
mengalah kepada bentuk bentuk sosial baru,yang telah dilahirkannya.
Baru setelah tahun 1895, Durkheim mengakui bahwa
dia sepenuhnya menyadari tentang arti penting pada agama sebagai suatu fenomena
sosial.Menurut kesaksiannya sendiri, kesadaran tentang adanya arti penting
agama, yang sebagian besar nampaknya merupakan hasil dari usahanya membaca
karya karya para ahli antropologis Inggris, menyebabkan dia untuk menilai
kembali tulisan-tulisannya yang terdahulu untuk menarik implikasi-implikasi
dari pengertian pengertian yang baru ini. Tafsiran konfensional dari hal ini,
ialah bahwa Durkheim bergeser dari posisi yang relative “materialistik” yang
dianggap telah ia pegang dalam The Division of Labour, kearah suatu
pendirian yang lebih dekat kepada “idealism”. Akan tetapi ini menyesatkan kalau
sama sekali tidak salah, dan merupakan salah tafsir tentang pandangan pandangan
Durkheim, yang sebagian berasal dari kecenderungan yang sering timbul pada para
penulis sekunder untuk menggabungkan analisis fungsional dengan analisis
historis dari Durkheim melalui cara yang sebenarnya pada kenyataannya asing
bagi pemikiran Durkheim sendiri.
Di
dalam diri manusia terdapat dua hakikat (homo
duplex), yaitu (1) didasarkan pada individu-alitas
tubuh kita yang terisolasi; dan (2) hakikat kita
sebagai mahluk sosial. Point nomor dua (2) adalah yang
merupakan diri kita yang tertinggi dan merepresentasikan segala sesuatu yang
deminya kita rela mengorbankan kedirian dan kepentingan jasmaniah kita sendiri.
Pengertian kita tentang individualitas kita berkembang sebagaimana
berkembangnya masya-rakat. Hal ini terjadi dengan pembagian kerja yang memahami
diri kita sebagai bagian individu. Ketika kita sadar tentang individu kita,
kebutuhan dan hasrat nonsosial tersebut adalah egosime.
Di
pihak lain, individu yang menjadi representasi kolektif dan oleh karena itu
mengikat harapan kohesi sosial di sekitar ide individualitas disebut individualisme
moral. Homo duplex merepresentasikan perbedaan antara
mengejar ego dan hasrat individual kita dengan kesiapan untuk mengorbankan
mereka atas nama individualitas yang kita percaya bahwa semua manusia memiliki keadaan
yang sama.
Penjelasan
Durkheim dalam Elementary Forms of Religious Life amatlah lekat
dengan konsepsi tentang Totem, sebagaimana perihal totemisme tersebut
mendominasi substansi karangan tersebut. Mengapa totem ? Pertama ia sebagai
bagian dari apa yang disebut durkheim berulang-ulang dalam bukunya sebagai
contoh riil yang benar-benar ada dalam suatu perwakilan sistem sosial
masyarakat yang paling fundamental atau sederhana sehingga mampu menjelaskan
pada basic sebuah kelahiran konsepsi religius atau sistem
kepercayan dikarenakan mudah diamati akibat struktur masyarakatnya belum
kompleks sebagaimana pada masyarakat modern. Totemisme sendiri menurut Durkheim
merupakan kepercayaan pada suatu kekuatan yang tak bernama dan impersonal, dan
meskipun terdefininisikan pada diri makhluk-makhluk, manusia, hewan, benda
maupun tumbuhan, tetaplah tak dapat dicampuradukkan, dan totem melalui
kekuatannya semisal sebagai apa yang disucikan dan dihormatinya eksis dalam
laju generasi dan tradisi. Adapun menurutnya lagi, totem sebagai suatu sumber
kehidupan moral suatu suku-bangsa, apabila ia dipuja, bukan karena sebagai
sesuatu yang ditakuti atau kagum semata, namun sebagai wujud rasa bangga,
hormat atau pemenuhan suatu kewajibannya. Akibatnya Totem berfungsi sebagai suatu
bentuk tampak atau asas totem atau yang disebut durkheim sebagai princip
of totem atas suatu kesatuan sosial dan sebagai lambang suatu
masyarakat tertentu atau marga, klan tertentu, jadi pemujaan terhadap totem
juga berarti suatu pernyataan kesetiaan terhadap marga atau klan tersebut.
Suatu klan sendiri selalu bersifat unilineal dan biasanya eksogami hal mana
dalam anggotanya mampu menelusuri identitasnya dari suatu simbol bersama,
sering lewat asal-usul suatu leluhur atau kelompok bersama.
Dalam kasus suku-bangsa
di Australia tersebut, dimana ditemui lambang totem merupakan suatu keyakinan
dan darinya mampu membangkitkan semacam emosi keagamaan yang menjadi sumber
elementer. Maka sebagai sumber elementer kehidupan manusia, emosi keagamaan
bersumber dari kesadaran kolektif para warga klan atau marga dan kemudian
diintensifkan melalui uoacara-upacara atau ritus-ritus tertentu. Sebelumnya
perlu dimengerti, istilah Totem sendiri mula-mula dari karya J. Long
tentang Voyages and Travels of an Indian Interpreter terkait
totem di dalam suku Indian Chippeway, kemudian artikel J.F. McLennan
dalam Foreightly Review (1869/1870) yang berjudul The
Worship of Animals and Plants. Totem sendiri kemudian sampai pada
peranannnya sebagai instrumen solidaritas sosial.
Perlu difahami
sebelumnya, bahwa Durkheim telah menegaskan bahwa dalam pengkajiannya tentang
agama, adalah sesuatu yang tak ada kaitannya dengan konsepsi ketuhanan.
Dalam konsepsi ini, kekuatan yang diacu oleh ritus-ritus agama primitif sangat
berbeda dengan kekuatan yang dipahami dalam relligi atau agama
modern. Agama menurutnya amat bergantung pada kondisi-kondisi yang
ditentukan secara empiris, begitu juga masyarakat yang menurutnya sama
obyektifnya dengan alam itu sendiri. Sebagaimana pendekatan fungsionalis yang
memandang masyarakat sebagai struktur sosial yang bekerja seperti struktur
organik dan masyarakat itu sendiri dalam bekerja sebagai suatu sistem terdiri
atas organ-organ yang berperan dan melaksanakan fungsi yang diperlukan sehingga
tercipta sistem beserta struktur sosial itu tadi. Pengalaman agama menurutnya
berasal dari masyarakat itu sendiri dan masyarakatlah yang membentuk individiu.
Durkheim melanjutkan pengertiannya bahwa masyarakat terdiri dari bangunan
individu yang kemudian membuat pengaruhnya melalui tindakan bersama atau
kolektif yang menimbulkan kesadaran atas dirinya sendiri dan kedudukannya.
Tindakanlah kolektif itulah yang menguasai kehidupan agama sebagaimana fakta
menunjukkan masyarakatlah yang merupakan sumbernya. Hal ini diperkuat dengan
asumsinya bahwa hampir semua institusi sosial yang besar dilahirkan dalam
agama. Sedangkan yang membentuk manusia adalah totalitas unsur intelektual yang
menggambarkan peradaban, dan peradaban itulah sebagai hasil karya
masyarakat. Bagaimana suatu masyarakat menciptakan sentimen dan konsepsi
mengenai tempat berlindung yang aman, zat yang senantiasa menjaga dan
memperhatikan setiap diri para penganut agama dan cult (cara
memuja atau pemujaan) yang diciptakannya. Aspek-aspek prinsipil dari kehidupan
kolektif ini dapat bekerja apabila dilihat dari aspek kehidupan keagamaan.
Jelas bahwa kehidupan agama adalah bentuk yang menonjol dan merupakan ungkapan
sentral dari kehidupan kolektif. Apabila agama telah melahirkan banyak unsur
yang esensial dalam masyarakat, maka hal ini karena roh masyarakat itu sendiri
adalah agama. Kekuatan agama, adalah kekuatan manusia, kekauatan moral.
Durkheim
memandang bahwa struktur sosial terdiri dari norma-norma dan nilai-nilai.
Pencapaian kehidupan sosial manusia dan eksistensi keteraturan sosial dalam
masyarakat disebut oleh Durkheim sebagai solidaritas sosial. Solidaritas sosial
itu sendiri dimantapkan oleh sosialisasi yang darinya manusia memahami
fakta-fakta sosial yang menurutnya terletak eksternal dan mengendalikan individu.
Meski fakta sosial tidak dapat dilihat, struktur aturan-aturan kebudayaan itu
nyata bagi individu-individu yang perilakunya ditentukan oleh fakta sosial itu
seperti struktur fisik dunia yang juga menghambat gerak individu. Maka durkheim
pun menilai bahwa masyarakat merupakan realitas sui-generis, yakni
masyarakat memiliki eksistensinya sendiri atau ototom.
Bagi
Durkheim masyarakat modern semestinya merupakan masyarakat yang harmonis dan
tertib, namun dalam realitanya modernitas menurutnya turut mendorong terjadinya
individualisme yang berlebihan dan kaku. Modernitas menurutnya juga menyebabkan
diversifikasi sehingga tercipta disintegrasi sosial dan solidaritas menjadi
sulit dicapai. Kecenderungan anti sosial, suatu kondisi kurangnya norma yang
mengatur atau tanpa peraturan dan kekacauan, oleh durkheim disebut sebagai anomi.
Jika sebelumnya dalam masyarakat tradisional, telah dicapai “solidaritas
mekanik” secara indigen sehingga tercipta masyarakat yang saling bergantung dan
harmonis, namun dalam masyarakat modern dengan realitas yang semakin kaku dan
individualistis. Sebagai solusi menurut durkheim diperlukan “solidaritas
organik” yang akan menyadarkan tiap indvidu akan kebutuhan kondisi saling
ketergantungan atau interdependency. Namun bahaya anomi itu tadi yang
mengancam masyarakat modern. Selanjutnya Durkheim menyimpulkan bahwa peranan
kritis agamalah yang mampu menghambat anomi dan menjamin terwujudnya
solidaritas sosial dalam masyarakat manusia.
Apa yang
ditunjukkan Durkheim dalam Elementary Forms of The Religious Life menjadi
diskursus utama dalam pengkajian agama baik dalam sosiologi, antropologi,
teologi maupun sejarah. Hampir dipastikan dalam setiap karangan mengenai religi
atau agama oleh ilmuwan abad 20 maupun kontemporer selalu menggunakan karangan
Durkheim dalam tinjauannya. Meskipun apa yang dijabarkan Durkheim memiliki
banyak kritik, namun Durkheim amatlah berjasa dalam pengenalan lebih baik
tentang totemisme, maupun relasi antara masyarakat dan religi. Terlebih
selain dedikasi besarnya dalam kajian agama, ia amat berjasa dan populer dalam
kajian ilmu sosiologi, terutama konsepsi fungsionalis atas masyarakat, fakta,
nilai dan norma sosial, solidaritas sosial, dimensi strukturalis dalam
masyarakat. Tak heran ia disebut-sebut sebagai nenek moyang dalam mazhab annales.
Masih
tersisa berbagai pertanyaan bagi saya, semisal apabila Durkheim mengemukakan
bahwa peran agama atau religi sebagai penghambat munculnya anomi sehingga
terdorong kestabilan sosial, maka bagaimana dengan konsepsinya bahwa roh
masyarakat itu sendiri adalah agama? Ketika agama sebagai representasi atas
realitas penafsiran kolektif masyarakat itu sendiri, sementara masyarakat
modern yang menurutnya cenderung individualistik -dengan disparitasnya, diversifikasi
sosial, ekonominya, kecenderungan kekakuan dan egonya-. Tentunya ketika agama
atau religi adalah cermin masyarakatnya, maka agama dalam masyarakat modern
dengan modernitas adalah seperti sekularisasi, hedonisme, konsumerisme mungkin
fordisme. Sehingga menurut saya konsepsi agama durkheim sendiri bias. Di sisi
lain agama sebagai masyarakat itu sendiri dan di sisi lain agama sebagai
penyelamat atas anomi.
Suatu contoh, bukan sebagai analogi terhadap totem
dalam suku bangsa australia sebagaimana dijabarkan Durkheim. Ketika masyarakat
jawa memandang hutan sebagai tempat terlarang, tempat yang disakralkan, tempat
para makhluk halus, roh-roh bergentayangan dan tempat yang tabu. Justru di sisi
lain hutan menjadi wilayah yang amat suci bagi para petapa, dimana didalamnya
mereka memperoleh wangsit, kesaktian dsb. Menariknya seiring
berkembangnya zaman sesuai dengan kebutuhan dan intervensi kuasa hutan
dipandang sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan, seperti ketika raja Mataram
memerintahkan babad hutan sebagai perluasan lahan sampai kini kebutuhan corporate atau
industri dalam pemanfaatan hutan sebagai lahan capital yang
potensial jauh dari kesan magis dan sakral maupun tabu. Maka seperti mengulang
pertanyaan pertama, apakah evolusi agama berlaku sepenuhnya ketika gerak
masyarakat mencapai pada determinasi materi ? Sekularisasi yang
menghilangkan sacred ? Bagaimana konsepsi agama dalam kaitannya
dengan hegemoni kuasa ? Penafsiran atas agama menjadi sesuatu yang politis, dan
konsepsi semisal totem maupun animis menjadi punah di masyarakat modern dan
kalaupun ada adalah bagian dari strategi penaklukan pasar atas
kepentingan capitalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar