Pada tahun 1937, Amerika di
hantui kebiasaan yang baru. Carl N. Karcher adalah seorang
penggagas industri fast food. Sekitar tahun ini Anerika menjadi
ladang pertama makanan cepat saji. Sejak itu, makanan cepat saji menjadi
layaknya makanan primer yang berjalan lurus dengan semakin sempitnya dunia.
Makanan cepat saji semakin melanggengkan jalan globalisasi. Setelah sukses di
Amerika, makanan cepat saji menembus batas-batas Negara lain, tak terkecuali
Indonesia.
Selama tiga dasawarsa terakhir, fast food
telah merembes ke semua celah Negara. Makanan cepat saji kini telah hadir di
restoran, stadion, bandara, mall, pom bensin, hingga sekolah. Tahun 1970,
masyarakat Amerika membelanjakan sekitar 6 miliar dolar untuk fast food,
tahun 2001 mereka membelanjakan lebih dari 110 miliar dolar. Orang Amerika kini
membelanjakan lebih banyak uang untuk fast food ketimbang
untuk pendidikan, computer, atau mobil. Pada hari apapun di Amerika, seperempat
penduduk dewasanya mengunjungi restoran fast food. Selama rentan
waktu yang relatif singkat, industri ini telah berperan mengubah tidak hanya
pangan, tetapi ekonomi, angkatan kerja, dan budaya pop.
Salah satu fast food yang
berkembang pesat adalah McDonald’s Corporation. McDonald’s telah menjadi
lambing ekonomi USA. Sekitar 90 % lapangan kerja di negeri itu ditanggung oleh
McDonalds. Tahun 1968, McDonalds mengoperasikan sekitar seribu restoran. Hari
ini ia punya sekitar 30.000 restoran di seluruh dunia dan membuka hampir 2.000
restoran baru tiap tahun. Namun, McDonald’s juga
telah memberi ancaman pada kemandirian ekonomi negara-negara yang dituju. Awal
1970-an, aktivis tani Jim Higtower memandang perkembangan industri fast
food sebagai ancaman bagi bisnis-bisnis mandiri, sebagai langkah
menuju perekonomian yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar, dan
sebagai pengaruh homogenisasi.
Negara-negara berkembang menjadi pangsa
pasar industri makanan cepat saji. Arus globalisasi menjadi pembawa masuknya
industri-industi makanan cepat saji. Perkembangan dunia global mendorong
bertambahnya para aktor hubungan internasional. Perkembangan dunia global
membuat negara-negara masuk ingin menempuh pembangunan nasionalnya secara
bertahap. Untuk itu diperlukan biaya yang sangat besar yang bersumber dari
dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai bentuk dan cara pemanfaatan sumber
daya luar negeri ditempuh dari masing-masing negara. Antara lain berupa bantuan
keuangan, bantuan ahli, bantuan program dan proyek, bantuan teknologi, pinjaman
modal yang berupa kredit, penanaman modal asing dan kegiatan operasional
Multinationsal Corporations. Multinasional Corporation merupakan agen
globalisasi yang melakukan ekspansi keluar dikarenakan keinginan untuk
menginternasionalkan kegiatannya dalam rangka mengisi ketidaksempurnaan pasar. Multinasional
yang dimaksud di sini ialah industri fast food seperti
McDonald’s, KFC, AW, dan sebagainya. Negara-negara Afrika, Amerika Latin, dan
Asia (Indonesia) menjadi Negara tujuan industri makanan cepat saji.
Meningkatnya kerja sama antar negara,
berakhirnya perang dingin, dan menangnya ideology demokrasi liberal yang
dimaksud Francis Fukuyama, mengharuskan negara-negara saling
berhubungan intens. Pertukaran teknologi, masuknya perusahaan asing, dan
pemburuan para buruh murah merupakan akibat dari globalisasi dalam bidang
ekonomi. Sudah barang tentu, globalisasi tidak berkembang secara adil, dan
tidak berarti semua konsekuensinya menguntungkan atau baik. Buat kebanyakan
orang yang tinggal di luar Amerika Utara dan Eropa, terkesan tidak menyenangkan
seperti westernisasi. Banyak wujud kultural globalisasi yang
berwajah Amerika seperti Coca-Cola, McDonald’s, ataupun CNN.
Munculnya budaya-budaya baru yang asalnya
dari barat (westernisasi) telah mengubah perilaku masyarakat yang
berada di negara ketiga, tak terkecuali Indonesia. Lahirnya konsumerisme,
individualism, dan sekularisme merupakan buah tangan globalisasi. Indonesia
sudah tidak di isi dengan semangat gotong royong, saling mengunjungi antar
tetangga, dan rasa kekeluargaan yang tinggi. Segala kebiasaan masyarakat
Indonesia kini telah hilang dan berganti dengan budaya barat, yang notabene
sangat konsumerisme dan individualisme. Dalam hal konsemerisme, masyarakat
Dunia ketiga telah terbius oleh fast food seperti McDonald,
KFC, A&W, dan lain-lain. Bahkan seorang ahli sosiologi telah membuat
istilah McDonaldisasi.
Dalam bukunya The McDonaldization,
Ritzer memberikan sasaran perhatian terhadap rasionalitas formal dan fakta
bahwa restoran cepat saji mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas
formal. Teori mengenai rasionalitas formal di kembangkan oleh Max Weber.
Rasionalitas formal merupakan proses berpikir aktor dalam membuat pilihan
mengenai alat dan tujuan. Restotan cepat saji (McDonald’s, KFC, A&W, dan
lain-lain) merupakan sistem rasional formal dimana seorang pekerja dan
pelanggan di giring unruk mencari cara paling rasional dalam mancapai tujuan.
Mendorong makanan melalui jendela, misalnya, adalah cara rasional karena dengan
cara demikian pelayan dapat menyodorkan dan pelanggan mendapatkan makanan secara
cepat dan efisien. Kecepatan dan efisiensi didiktekan oleh restoran cepat saji
dan aturan operasionalnya. Ada tiga komponen rasionalitas formal :
1)
Efisiensi, yakni menvari cara yang terbaik
untuk mencapai tujuan. Dalam restoran cepat saji, mengulurkan makanan melalui
jendela merupakan usaha untuk meningkatkan efesiensi dalam mendapatkan makanan.
2)
Kemampuan untuk diprediksi (predictability),
yakni dalam restoran cepat saji, burger yang ada di Los Angeles dan di Tokyo
sama.
3)
Lebih menekankan pada kualitas dibanding
kualitas, dalam restoran cepat saji lebih menekankan pada teknologi nonmanusia
seperti koki yang tidak terampil yang mengikuti petunjuk rinci dan metode
perakitan dalam memasak dan menyajikan makanan, daripada koki yang berkualitas.
McDonaldisasi juga di bangun dari konsep
alat-alat konsumsi yang lahir dari masa revolusi industri. Masyarakat telah
beralih dari memikirkan bagaimana produksi itu dan lebih perhatian pada
bagaiman menikmati sesuatu (konsumsi). Marx mendefenisikan alat-alat konsumsi
sebagai komoditas yang memiliki suatu bentuk di mana komoditas itu memasuki
konsumsi individual dari kelas kapitalis dan pekerja. Apabila komoditas itu
mengkonsumsi sesuatu yang mewah maka komoditas itu dapat dikatakan “kelas
kapitalis”, dan jika komoditas itu mengkonsumsi sesuatu yang produksi pemilik
modal, maka dapat dikatakan kelas “pekerja”. Alat-alat konsumsi merupakan
hal-hal yang memungkinkan orang-orang untuk mendapatkan barang dan jasa dan
dikontrol serta dieklsploitasi dalam kapasitasnya sebagai konsumen. Alat-alat
konsumsi (mall. Restoran cepat saji, hotel, kasino, tempat hiburan, dan
lai-lain) merupakan inovasi dari modernisasi, McDonald’s tidak hanya telah
mengkonstruksi pemikiran konsumen yang di Amerika, tetapi juga telah tertransformasi
ke negara-negara lain. Masyarakat yang menjadi objek McDonaldisasi menjadi
kabur terhadap pemikiran bagaimana makanan-makanan itu diproduksi dan bahan
produksinya berasal dari mana. Masyarakat dunia ketiga hanya menjadi pangsa
pasar dan mendapat julukan “konsumerisme”.
Dalam McDonaldisasi terdapat konsep habitus. Habitus
merupakan kebiasaan yang dilakukan seorang atau masyarakat yang menyusun
lingkungan yang memiliki makna atau nilai. Habitus erat hubungannya dengan
selera, karena habitus membentuk selera. Selera merupakan peluang untuk
membentuk atau menegaskan posisi seseorang di dalam lingkungan. Selera juga
merupakan praktik yang antara lain membantu memberikan seorang individu maupun
orang lain mengenai pemahaman posisinya dalam tatanan sosial. Selera membantu
menyatakan orang mengenai memiliki prefensi serupa atau membedakan mereka dari
orang lain yang memilki selera berbeda. Jadi melalui penerapan habitus dan
selera, orang menggolongkan objek dan sekaligus meraka berada dalam proses
menggolongkan diri mereka sendiri. Sederhanya, orang yang memiliki selera
makanan McDonald’s merupakan orang yang memiliki posisi yang di atas dalam
tatanan social sedangkan orang yang memiliki selera makanan di warung “tegal”
memilki posisi yang rendah dalam tatanan sosial. Hal ini terjadi karena
kebiasaan (habitus) yang telah dilakukan orang yang memiliki modal dalam
memilih tempat makan di restoran cepat saji (McDonaldisasi). Bourdieu
mengatakan bahwa selera dibentuk oleh habitus yang berlangsung lama; bukan
dibentuk oleh opini dangkal dan retorika. McDonaldisasi juga erat hubungannya
dengan distinction (kehormatan). Lingkungan itu menawarkan
peluang untuk mengejar kehormatan tidak habis-habisnya. Orang-orang lebih
merasa terhormat saat makan di McDonald dibandingkan warung biasa, orang lebih
merasa terhormat saat beristirahat di hotel daripada di wisma, orang lebih
merasa terhormat saat mengendarai mobil dibandingkan motor, dan masih banyak
lagi hal yang lebih mengedepankan kehormatan yang sebenarnya tidak ada makna atau
nilai yang bisa membuat kita lebih sadar akan “bobroknya” kepekaan kita.
McDonaldisasi
telah mengkonstruksi pemikiran kita mengenai kehidupan sosial. Tempat makan
yang dahulunya diisi dengan rasa kebersamaan dan kesetaraan kini telah berubah
dengan rasa mencari kehormatan dan eksistensi dalam tatanan sosial.
McDonaldisasi faktanya telah menyebar ke berbagai negara. lezatnya makanan itu
terganrung dari seberapa laparnya kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar