Bila sejarah awal sosiologi Perancis berkaitan dengan riwayat kemajuan
dari pencerahan dan Revolusi Perancis, reaksi konservatif, dan makin besarnya
pengaruh gagasan sosiologi Saint Simon, Comte dan Durkheim, maka sosiologi
Jerman sedari awal perkembangannya sudah terbagi-bagi. Perpecahan berkembang
antara Marx (dan pendukungnya), yang tetap berada di tepi bidang sosiologi,
dengan tokoh besar aliran utama sosiologi Jerman, Weber, dan Georg Simmel.
Meski teori Marxian itu sendiri dianggap tak dapat diterima, tetapi gagasannya
masuk ke dalam aliran utama sosiologi Jerman. Bahasan kita di sini dibedakan
antara teori Marxian dan non-Marxian.
Akar dan Sifat dari Teori Mane
(1818-1883)
Pemikiran
G.W.F. Hegel (1770-1831) merupakan pemikiran dominan yang memengaruhi Karl
Marx.
Hegel. Menurut Ball, “Sulit bagi kita
memahami seberapa besar pengaruh Hegel terhadap pemikiran Jerman di perempat
kedua abad 19. Sebagian besar orang terpelajar Jerman termasuk pemuda Marx
mempelajari filsafat sejarah, politik, dan kultur dalam kerangka pemikiran
Hegel” (1991:25). Pendidikan Marx di Universitas Berlin dibentuk oleh gagasan
Hegel dan oleh perpecahan yang berkembang antara pengikut Hegel setelah
kematiannya. “Hegelian Tua” terus menganut gagasan gurunya, sedangkan “Hegelian
Muda”, meski masih berkarya menurut tradisi Hegelian, mengkritik berbagai segi
sistem filsafat Hegel.
Dua konsep
yang mencerminkan esensi filsafat Hegel adalah dialektika dan idealisme (Hegel
1807/1967:821/1967). Dialektika adalah cara berpikir dan citra tentang dunia.
Sebagai cara berpikir, dialektika menekankan arti penting dari proses,
hubungan, dinamika, konflik dan kontradiksi cara berpikir yang lebih dinamis.
Di sisi lain, dialektika adalah pandangan bahwa dunia bukan tersusun dari
struktur yang statis, tetapi terdiri dari proses, hubungan, dinamika, konflik
dan kontradiksi. Meski gagasan dialektika dihubungkan dengan Hegel, namun ia
sudah ada dalam filsafat sejak dulu. Marx, yang terdidik dalam tradisi
Hegelian, mengakui arti penting dialektika. Namun, ia mengkritik beberapa aspek
dari cara yang dipakai Hegel. Misalnya, Hegel cenderung menerapkan dialektika
hanya pada dunia gagasan, sedangkan Marx merasa bahwa dialektika dapat
diterapkan pula pada aspek kehidupan yang lebih bersifat material seperti pada
aspek ekonomi.
Hegel juga
selalu dikaitkan dengan filsafat idealisme yang lebih menekankan pentingnya
pikiran dan produk mental ketimbang kehidupan material. Yang penting bagi
kehidupan fisik dan material adalah definisi sosial, bukan kehidupan iu
sendiri. Dalam bentuknya yang ekstrem, idealisme menegaskan bahwa hanya
konstruksi pikiran dan psikologislah yang ada. Beberapa orang idealis yakin
bahwa proses mental mereka akan tetap seperti biasa meski kehidupan sosial dan
fisik sudah tidak ada lagi. Idealis tak hanya menekankan pada proses mental,
juga pada gagasan yang dihasilkan oleh proses mental itu. Hegel mencurahkan
perhatian yang sangat besar pada perkembangan gagasan seperti itu terutama pada
apa yang ia rujuk sebagai ruh (spirit) masyarakat.
Sebenarnya
Hegel menawarkan sejenis teori evolusi tentang kehidupan dalam artian
idealistik. Mula-mula manusia hanya dibekali kemampuan panca indera untuk
memahami dunia di sekitar mereka. Manusia mampu memahami hal-hal seperti
melihat, mencium, dan merasakan kehidupan fisik dan sosial. Kemudian manusia
mengembangkan kemampuan untuk menyadari dan memahami diri mereka sendiri.
Berbekal pengetahuan dan pemahaman tentang diri sendiri itulah manusia mulai
memahami bahwa mereka dapat menjadi lebih daripada keadaan semula. Menurut
pendekatan dialektika Hegel, kontradiksi berkembang antara keadaan manusia
sebagaimana adanya dan kadaan yang mereka rasakan seharusnya ada. Penyelesaian
kontradiksi ini terletak dalam perkembangan kesadaran individu mengenai tempatnya
dalam ruh masyarakat yang lebih luas. Individu mulai menyadari bahwa
penyelesaian kontradiksi terakhir terletak dalam perkembangan dan perluasan ruh
masyarakat sebagai keseluruhan. Menurut pendekatan dialektika Hegel, individu
berkembang mulai dari memahami sesuatu ke memahami diri sendiri dan kemudian
memahami tempat mereka dalam konteks yang lebih luas.
Hegel kemudian
mengemukakan teori umum tentang evolusi kehidupan. adalah sebuah teori
subjektif yang berpendirian bahwa perubahan terjadi pada tingkat kesadaran.
Perubahan sebagian besar terjadi di luar kontrol aktor. Aktor diturunkan
derajatnya ke tingkat seperti bejana yang dihanyutkan oleh kesadaran yang tak
terelakkan.
Feuerbach. Ludwig Feuerbach (1804-1872) adalah
jembatan penting yang menghubungkan antara Hegel dan Marx. Sebagai Hegelian
Muda, Feuerbach banyak mengkritik Hegel, di antaranya terhadap penekanan
berlebihan Hegel pada kesadaran dan semangat masyarakat. Feuerbach menerima
filsafat materialis dan karenanya ia menegaskan bahwa yang diperlukan adalah
meningkatkan idealisme subjektif Hegel untuk kemudian memusatkan perhatian
bukan pada gagasan, tetapi pada realitas material kehidupan manusia. Dalam
mengkritik Hegel ia menekankan pada agama. Menurut Feuerbach, Tuhan adalah
esensi kehidupan manusia yang mereka proyeksikan menjadi sebuah kekuatan
impersonal. Manusia menempatkan Tuhan di atas dan di sekeliling mereka sendiri
yang menyebabkan mereka menjadi terasing dari Tuhan dan membangun seperangkat
ciri positif bagi Tuhan (bahwa Dia maha sempurna, maha kuasa, dan maha suci).
Sementara mereka merendahkan diri, mereka sendiri lantas menjadi manusia tidak
sempurna, tanpa kuasa, dan penuh dosa. Menurut Feuerbach masalah keyakinan
agama seperti itu harus diatasi dan kelemahannya itu harus dibantu dengan
filsafat materialis yang menempatkan manusia (bukan agama) menjadi objek
tertinggi diri mereka sendiri, menjadi tujuan di dalam diri mereka sendiri.
Filsuf materialistis mendewakan manusia nyata, bukan gagasan abstrak seperti
agama.
Marx,
Hegel, dan Feuerbach.
Marx dipengaruhi oleh dan sekaligus mengkritik Hegel dan Feuerbach. Mengikuti
Feuerbach, Marx mengkritik kesetiaan Hegel terhadap filsafat idealis. Marx
berpendirian demikian bukan hanya karena ia menganut orientasi materialis
tetapi juga karena minatnya dalam aktivitas praktis. Fakta sosial, seperti
kekayaan dan negara, oleh Hegel dibicarakan lebih sebagai gagasan ketimbang
sebagai sesuatu yang nyata sebagai kesatuan material. Bahkan ketika ia membahas
proses material yang tampak seperti tenaga kerja pun, perhatian Hegel hanya
tertuju pada mental tenaga kerja yang abstrak itu. Pandangan Hegel ini sangat
berbeda dari perhatian Marx yang tertuju pada tenaga kerja yang nyata. Hegel
melihat pada masalah yang keliru sejauh yang menjadi sasaran perhatian Marx.
Marx merasa idealisme Hegel mengarah ke orientasi politik yang sangat
konservatif. Menurut Hegel, proses evolusi terjadi di luar kontrol individu dan
di luar aktivitas mereka. Karena dalam diri manusia terjadi perubahan ke arah
kesadaran yang makin besar tentang kehidupan seperti yang diharapkan, manusia
tak memerlukan perubahan revolusioner: proses telah berlangsung menurut arah
yang diinginkan. Masalah apa pun yang muncul terletak dalam kesadaran dan
karena itu jawabannya pun terletak dalam perubahan pikiran.
Pendirian Marx
sangat berbeda. Ia menyatakan bahwa masalah kehidupan modern dapat dirujuk ke
sumber materialnya yang riil (misalnya, struktur kapitalisme). Karena itu
penyelesaiannya hanya dapat ditemukan dengan menjungkir balikkan struktur kapitalisme
itu melalui tindakan kolektif sejumlah besar orang (Marx dan Engels,
1845/1956:254). Sementara Hegel meletakkan “dunia di atas kepalanya” (ia
memusatkan perhatian pada kesadaran bukan pada kehidupan material yang nyata),
Marx benar-benar meletakkan dialektikanya dalam landasan material.
Marx mendukung
kritik Feuerbach terhadap sejumlah pemikiran Hegel misalnva, materialisme dan
penolakannya terhadap keabstrakan teori Hegel), tetapi ia jauh dari puas
terhadap pendapat Feuerbach sendiri. Feuerbach memusatkan perhatian pada
kehidupan keagamaan, sedangkan Marx yakin bahwa seluruh dunia sosial, dan
khususnya kehidupan ekonomilah yang harus dianalisis. Meski Marx menerima
materialisme Feuerbach, ia merasa bahwa Feurbach terlalu jauh memusatkan
perhatian pada sisi nondialektis kehidupan materi. Feuerbach telah gagal
memasukkan dialektika selaku sumbangan pemikiran Hegel terpenting ke dalam
orientasi materialisme, terutama hubungan antara manusia dan kehidupan
material. Terakhir, Marx menyatakan bahwa Feuerbach, seperti kebanyakan filsuf
lainnya, gagal menekankan praksis (praxis) aktifitas praktis khususnya
aktivitas revolusioner. Seperti dikatakan Marx, “filsuf hanya
menginterprestasikan kehidupan dalam berbagai cara; padahal utamanya adalah
bagaimana cara mengubahnya.” (dikutip dalam Tucker, :109).
Marx memungut
apa yang dianggapnya unsur terpenting dari dua pemikir ektika Hegel dan
materialisme Feuerbach dan meleburnya menjadi orientasi filsafatnya sendiri,
yakni materialisme dialektika yang menekankan pada hubungan dialektika dalam
kehidupan material.
Ekonomi
Politik.
Materialisme Marx dan penekanannya pada sektor ekonomi menyebabkan pemikirannya
sejalan dengan pemikiran kelompok ekonomi politik (seperti Adam Smith dan David
Ricardo). Marx sangat tertarik pendirian para ekonom politik itu. Ia memuji
premis dasar mereka yang menvatakan bahwa tenaga kerja merupakan sumber seluruh
kekayaan. Pada dasarnya premis inilah yang menyebabkan Marx merumuskan teori
nilai tenaga kerja. Dalam teori ini ia menegaskan bahwa keuntungan kapitalis
menjadi eksploitasi tenaga kerja. Kapitalis melakukan muslihat sederhana dengan
membayar upah tenaga kerja kurang dari yang selayaknya mereka terima, karena
menerima upah kurang dari nilai barang yang sebenarnya mereka hasilkan dalam suatu
periode bekerja. Nilai surplus ini, yang disimpan dan diinvestasikan kembali
oleh kapitalis, merupakan basis dari seluruh sistem sistem kapitalis tumbuh
melalui tingkatan eksploitasi terhadap tenaga kerja yang terus-menerus
meningkat (dan karena itu jumlah nilai surplus pun meningkat) dan dengan
menginvestasikan keuntungan untuk mengembangkan sistem.
Marx juga
dipengaruhi oleh para ekonom politik yang melukiskan kehidupan sistem kapitalis
dan eksploitasi kapitalis terhadap kaum buruh. Tetapi, mereka ini melukiskan
kejahatan kapitalisme, Marx mengecamnya karena anggap mereka hanya melihat
kejahatan ini sebagai unsur kapitalisme yang tak terelakkan. Marx meneliti
semua dukungan umum mereka terhadap kapitalisme dan cara mereka mendesak buruh
bekerja untuk mencapai kesuksesan ekonomi di dalam perusahaan kapitalis. Ia pun
mengecam para ekonom politik yang lupa melihat konflik bawaan antara kapitalis
dan buruh, dan karena mereka menyangkal perlunya perubahan radikal dalam
tatanan ekonomi. Pemikiran ekonomi konservatif demikian sukar diterima Marx,
dan karena itu ia bertekad mengadakan perubahan radikal dari kapitalisme ke
sosialisme.
Marx
dan Sosiologi.
Marx bukanlah seorang sosiolog dan tak menganggap dirinya sosiolog. Meskipun
karyanya terlalu luas untuk dicakup dalam pengertian sosiologi, namun ada satu
teori sosiologi yang ditemukan dalam karya Marx. Memang sejak awal ada sosiolog
yang sangat dipengaruhi oleh Marx dan telah ada serangkaian panjang sosiologi
Marxian, terutama di Eropa. Tetapi bagi kebanyakan sosiolog awal, karya Marx
merupakan sebuah kekuatan negatif, sesuatu yang bertentangan dengan sosiologi
yang mereka kembangkan. Hingga akhir-akhir ini teori sosiologi, terutama di
Amerika, telah ditandai oleh permusuhan terhadap, atau ketidaktahuan tentang,
sosiologi Marxian. Meskipun keadaan seperti itu berubah secara dramatis selama
tiga dekade terakhir, namun reaksi negatif terhadap karya Marx masih menjadi
kekuatan utama dalam penyusunan beberapa teori sosiologi (Gurney, 1981).
Alasan
mendasar penolakan terhadap pemikiran Marx ini bersifat ideologis. Banyak di
antara para teoritisi sosiologi awal adalah pewaris reaksi konservatif atas
kekacauan yang ditimbulkan era Pencerahan dan Revolusi Perancis. Gagasan
radikal Marx dan perubahan sosial radikal yang ia ramalkan, dan yang ia coba
kembangkan, jelas menakutkan dan dibenci oleh pemikir konservatif. Pemikiran
sosiologi Marx ditolak karena dianggap berbau ideologi. Ada tuduhan yang
menyatakan bahwa ia bukanlah seorang teoritisi sosiologi yang serius. Namun, ideologi
per se tak dapat dijadikan alasan nyata untuk menolak Marx karena karya Comte,
Durkheim, dan pemikir konservatif lain pun banyak kadar ideologinya. Yang
ditolak oleh banyak teoritisi sosiologi sebenarnya bukan eksistensi
ideologinya, tetapi ciri-ciri ideologi tertentu. Teoritisi sosiologi itu siap
dan ingin sekali membeli ideologi konservatif yang terbungkus dalam mantel
teori sosiologi, tetapi bukan sosiologi radikal yang ditawarkan oleh Marx dan
para pengikutnya.
Tentu ada
alasan lain mengapa Marx tak diterima oleh banyak teoritisi awal. Ia rupanya
lebih dekat sebagai ekonom ketimbang sosiolog. Meski para sosiolog awal pasti
mengakui arti penting ekonomi, namun mereka menyatakan bahwa ekonomi hanyalah
salah satu komponen saja dari kehidupan sosial.
Alasan lain
bagi penolakan awal terhadap Marx adalah ciri dari perhatian Marx. Sementara
para sosiolog awal bereaksi terhadap kekacauan yang diciptakan pencerahan dan
Revolusi Perancis dan kemudian Revolusi Industri, Marx tak merasa terganggu
oleh kekacauan itu atau oleh kekacauan pada umumnya. Justru yang sangat
diperhatikan Marx adalah penindasan sistem kapitalis yang dilahirkan oleh
Revolusi Industri. Marx ingin mengembangkan teori yang dapat menjelaskan
penindasan ini dan yang dapat membantu merobohkan sistem kapitalis itu.
Perhatian Marx tertuju kepada revolusi, yang bertolak belakang dengan perhatian
sosiolog konservatif yang menginginkan reformasi dan perubahan secara tertib.
Perbedaan lain
yang menonjol adalah perbedaan landasan filosofis antara teori sosiologi
Marxian dan sosiologi konservatif. Sebagian besar teoritisi konservatif sangat
dipengaruhi oleh filsafat Immanuel Kant. Inilah antara lain yang menyebabkan
mereka berpikir linear, menurut hukum sebab akibat. Artinya, cenderung
menegaskan bahwa perubahan yang dialami A (katakanlah perubahan gagasan selama
era Pencerahan) menyebabkan perubahan yang dialami B (katakanlah perubahan
politik Revolusi Perancis). Sebaliknya, Marx sangat dipengaruhi oleh Hegel yang
lebih menganut dialektika ketimbang menurut hukum sebab dan akibat. Dialektika,
antara lain, dapat membiasakan kita membayangkan pengaruh timbal balik
terus-menerus dari kekuatan sosial. Jadi, pemikir dialektika akan mampu
mengonseptualisasikan ulang contoh yang dikemukakan di atas sebagai keadaan
saling memengaruhi secara terus-menerus antara gagasan dan politik.
Teori
Marx. Secara
garis besarnya saja, dapat dikatakan bahwa Marx menawarkan sebuah teori tentang
masyarakat kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat mendasar manusia. Marx
yakin bahwa manusia pada dasarnya produktif, artinya untuk bertahan hidup
manusia perlu bekerja di dalam dan dengan alam. Dengan bekerja seperti itu
mereka menghasilkan makanan, pakaian, peralatan, perumahan, dan kebutuhan lain
yang memungkinkan mereka hidup. Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang
memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki.
Dorongan ini diwujudkan bersama-sama dengan orang lain. Dengan kata lain
manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Mereka perlu bekerja bersama
untuk menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup.
Melalui
perjalanan sejarah, proses alamiah ini dihancurkan, mula-mula oleh kondisi
peralatan masyarakat primitif dan kemudian oleh berbagai jenis tatanan
struktural yang diciptakan masyarakat selama perjalanan sejarah. Tatanan
struktural ini mengganggu proses produktif alamiah melalui berbagai cara.
Tetapi, penghancuran ini terjadi paling parah di dalam struktur masyarakat
kapitalis. Penghancuran proses produktif alamiah mencapai titik puncaknya dalam
kapitalisme.
Kapitalisme
pada dasarnya adalah sebuah struktur (atau lebih tepatnya serangkaian struktur)
yang membuat batas pemisah antara seorang individu dan produksi, produk yang
diproses dan orang lain; dan akhirnya juga memisahkan diri individu itu
sendiri. Inilah makna mendasar dari konsep alienasi. Hal ini menghancurkan
keterkaitan alamiah antar manusia individual serta antara manusia individual
dengan apa-apa yang mereka hasilkan. Alienasi terjadi karena kapitalisme telah berkembang
menjadi sistem dua kelas di mana sejumlah kecil kapitalis menguasai proses
produksi, produk, dan jam kerja dari orang yang bekerja untuk mereka. Semula
dalam keadaan alamiah manusia memproduksi untuk memenuhi kebutuhan mereka
sendiri; dalam masyarakat kapitalis manusia memproduksi untuk kelompok kecil
kapitalis. Pemikiran Marx sangat terpusat pada struktur kapitalisme dan dampak
penindasannya terhadap buruh. Secara politis perhatiannya tertuju pada upaya
untuk membebaskan manusia dari penindasan struktur kapitalisme.
Marx
sebenarnya sedikit sekali memimpikan keadaan masyarakat seperti yang diimpikan
pemikir sosialis utopian (Lovell, 1992). Ia lebih memikirkan upaya untuk
membantu mematikan kapitalisme. Ia yakin bahwa kontradiksi dan konflik di dalam
kapitalisme menurut dialektika akan menyebabkan kehancurannya, tapi ia tak
berpikir bahwa prosesnya tak terelakkan. Untuk menciptakan sistem sosialisme,
orang harus bertindak pada waktu dan dengan cara yang tepat. Kapitalis
mempunyai sumber daya yang sangat besar yang dapat digunakan untuk mencegah
munculnya sosialisme tetapi mereka dapat dikuasai melalui tindakan bersama dari
kaum proletariat yang mempunyai kesadaran kelas. Apa yang akan diciptakan
proletariat dalam proses tindakan bersama itu? Apakah itu sosialisme?
Sosialisme menurut pengertian paling mendasar adalah suatu masyarakat di mana
mula-mula orang akan mendekati citra ideal Marx tentang produktivitas. Dengan
bantuan teknologi modern orang dapat berinteraksi dengan alam dan dengan orang
lain secara selaras untuk menciptakan segala sesuatu yang mereka butuhkan untuk
hidup. Dengan kata lain, dalam masyarakat sosialis manusia takkan lagi
teralienasi.
Akar dan Sifat dari Teori Max Weber
(1864-1920) don Georg Simmei (1858-1918)
Meski Marx dan
pengikutnya di akhir abad 19 dan awal abad 20 tetap berada di luar aliran utama
sosiologi Jerman, hingga taraf tertentu sosiologi Jerman awal dapat dilihat
sebagai pengembangan penentangan terhadap teori Marxian.
Weber
dan Marx. Albert
Solomon, misalnya, mengklaim bahwa sebagian besar dari teori Weberian
berkembang “dalam perdebatan sengit dan panjang dengan hantu Marx” (1945:596).
Ini barangkali merupakan pernyataan yang berlebihan, tetapi dalam berbagai cara
teori Marxian berperan negatif terhadap teori Weberian. Akan tetapi, dengan
cara lain, Weber yang bekerja menurut tradisi Marxian, mencoba “menyelesaikan”
teori Marx. Teori Weberian pun mendapat bahan dari teori Marxian (Burger,
1976). Kita dapat menjernihkan mengenai sumber sosiologi Jerman dengan menguraikan
setiap pandangan tentang hubungan antara Marx dan Weber (Antonio dan
Glassman,1985; Schoreter, 1985). Perlu diingat bahwa Weber tak akrab dengan
karya Marx (banyak di antara karya Marx belum ditertibkan hingga sesudah Weber
meninggal) dan Weber lebih banyak bereaksi terhadap karya pengikut Marx
ketimbang terhadap karya Marx sendiri (Antonio, 1985:29; Turner, 1981:19-20).
Weber
memandang Marx dan para penganut Marxis pada zamannya sebagai determinis
ekonomi yang mengemukakan teori-teori berpenyebab tunggal tentang kehidupan
sosial. Artinya, teori Marxian dilihat sebagai upaya pencarian perkembangan
historis pada basis ekonomi dan memandang semua kontemporer dibangun di atas
landasan ekonomi semata. Meski pendirian ini bukan berasal dari teori Marx sendiri,
namun pendirian itu dianut oleh kebanyakan Marxian yang tampil kemudian.
Salah satu
contoh determinisme ekonomi yang rupanya sangat mengganggu pikiran Weber adalah
pandangan yang mengatakan bahwa ide-ide hanyalah kepentingan material (terutama
kepentingan ekonomi), dan bahwa kepentingan materi menentukan ideologi. Dilihat
dari sudut pandangan ini, dianggap telah membalikkan Marx (seperti Marx telah
membalikkan Hegel). Ketimbang memusatkan perhatian pada faktor ekonomi dan
pengaruhnya terhadap gagasan, Weber lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada
gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Weber memandang gagasan sebagai
otonom yang besar pengaruhnya terhadap dunia ekonomi. Weber memang banyak
mencurahkan perhatian pada berbagai gagasan, terutama pada sistem ide-ide
keagamaan. Dalam hal ini ia terutama memusatkan perhatian pada pengaruh gagasan
keagamaan terhadap ekonomi. Dalam karyanya The Protestant Ethic and The Spirit
of Capitalism (1904-05/1958), ia memusatkan perhatian pada Protestantisme terutama
sebagai sebuah sistem gagasan, dan pengaruhnya terhadap kemunculan sistem
gagasan yang lain, yakni semangat kapitalisme, dan akhirnya terhadap sistem
ekonomi kapitalis. Weber mencurahkan perhatian terhadap agama dunia yang lain,
mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan itu merintangi perkembangan
kapitalisme dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan karya-karya Weber
ini, para pakar berkesimpulan bahwa Weber mengembangkan gagasan yang
bertentangan dengan gagasan Marx.
Pandangan
kedua mengenai hubungan Weber dan Marx adalah bahwa ia tak banyak menentang
Marx, tetapi ia mencoba membalikkan perspektif teoritisnya. Di sini Weber
dipandang lebih banyak bekerja menurut tradisi Marxian ketimbang menentangnya.
Karyanya tentang agama bila diinterpretasikan menurut sudut pandang ini adalah
semata merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa faktor material bukanlah
satu-satunya faktor yang dapat memengaruhi gagasan, tetapi gagasan itu sendiri
memengaruhi struktur material. Interpretasi karya Weber ini jelas menempatkannya
sangat dekat dengan teori Marxian.
Contoh yang
lebih baik dari pandangan bahwa Weber terlihat dalam proses membalikkan teori
Marxian adalah dalam bidang teori stratifikasi. Dalam karya tentang
stratifikasi ini Marx memusatkan perhatian pada kelas sosial, salah satu
dimensi stratifikasi ekonomi. Meski Weber mengakui pentingnya faktor ini, ia
menegaskan bahwa dimensi stratifikasi lain juga penting. Ia menyatakan bahwa
gagasan tentang stratifikasi sosial harus diperluas sehingga mencakup stratifikasi
berdasarkan prestise (status) dan kekuasaan. Pemasukan dimensi lain ini bukan
merupakan pembuktian kesalahan Marx, tetapi semata-mata perluasan dari
gagasannya.
Kedua
pandangan yang dilukiskan di atas sama-sama mengakui pentingnya teori Marxian
bagi Weber. Ada unsur kebenaran dalam kedua pandangan itu. Dalam hal tertentu
Weber menentang Marx, sedangkan dalam hal yang lain ia memperluas gagasan Marx.
Pandangan ketiga mengenai masalah ini memberikan ciri terbaik hubungan antara
Marx dan Weber. Menurut pandangan ini Marx semata hanya dilihat sebagai salah
seorang yang berpengaruh terhadap pemikiran Weber.
Pengaruh-pengaruh
Lain Terhadap Weber.
Kita dapat mengidentifikasi sejumlah sumber teori Weberian, antara lain
sejarawan, filsuf, ekonom dan teoritisi politik Jerman. Immanuel Kant
(1724-1804) adalah tokoh yang paling besar pengaruhnya terhadap Weber. Namun,
kita juga tak boleh meremehkan pengaruh Nietzsche (1844-1900) terhadap karya
Weber tentang kebutuhan individu untuk bertahan terhadap pengaruh birokrasi dan
struktur masyarakat modern yang lain.
Pengaruh Kant
terhadap Weber dan terhadap sosiologi Jerman pada umumnya terlihat dari akar
filsafat yang berbeda. Adalah Hegel, bukan Kant, yang pengaruh filsafatnya
terhadap teori Marxian sangat penting. Sementara filsafat Hegel menuntun Marx
dan kaum Marxis meneliti hubungan konflik dan kontradiksi, filsafat Kant
menuntun sebagian sosiolog Jerman untuk menerima perspektif yang lebih statis.
Menurut Kant, kehidupan adalah kejadian membingungkan yang tak pernah dapat
dipahami secara langsung. Kehidupan hanya dapat dipahami melalui proses
berpikir yang menyaring, memilih, dan menggolong-golongkan berbagai kejadian.
Kant membedakan antara isi dan kehidupan nyata. Isi dapat dipahami melalui
bentuk. Penekanan pada bentuk menyebabkan kualitas karya sosiolog penganut
tradisi filsafat Kant lebih statis daripada karya sosiolog Marxis penganut
tradisi Hegel.
Teori
Weber. Marx pada
dasarnya mengemukakan teori kapitalisme, sedangkan karya Weber pada dasarnya
adalah teori tentang proses rasionalisasi (Brubaker,1984; Kalberg,
1980,1990,1994). Weber tertarik pada masalah umum seperti mengapa institusi
sosial di dunia Barat berkembang semakin rasional sedangkan rintangan kuat
tampaknya mencegah perkembangan serupa di bumi lain. Meski konsep rasionalitas
digunakan dengan berbagai cara yang berlainan dalam karya Weber, yang menjadi
sasaran perhatian kita disini adalah salah satu dari empat jenis proses yang
diidentifikasi oleh Kalrberg (1980, : lihat juga Brubaker, 1981) yakni rasionalitas
formal. Rasionalitas formal meliputi proses berpikir aktor dalam membuat
pilihan mengenai alat dan tujuan. Dalam hal ini pilihan dibuat dengan merujuk
pada kebiasaan, peraturan dan hukum vang diterapkan secara universal. Ketiganya
berasal dari berbagai struktur besar, terutama struktur birokrasi dan ekonomi.
Weber mengembangkan dalam konteks studi perbandingan sejarah masyarakat Barat,
Cina, India, dan beberapa masyarakat lain. Dalam studi ini ia mencoba
melukiskan faktor membantu mendorong atau merintangi perkembangan
rasionalisasi.
Weber melihat
birokrasi (dan proses historis birokrasi) sebagai contoh klasik rasionalisasi,
tetapi mungkin contoh terbaik rasionalisasi dewasa ini adalah restoran cepat
saji (Ritzer, 2000a). Restoran cepat saji (fast-food) adalah sistem formal di
mana seorang pekerja dan pelanggan digiring untuk mencari paling rasional dalam
mencapai tujuan. Mendorong makanan melalui jendela, misalnya, adalah cara
rasional karena dengan cara demikian pelayan menyodorkan dan pelanggan memperoleh
makanan secara cepat dan kecepatan dan efisiensi didiktekan oleh restoran cepat
saji dan aturan operasionalnya.
Weber
memasukkan diskusinya mengenai proses birokratisasi ke dalam yang lebih luas
tentang lembaga politik. Ia membedakan antara tiga jenis sistem otoritas
tradisional, karismatik, dan rasional legal. Sistem otoritas legal hanya dapat
berkembang dalam masyarakat Barat modern dan hanya dalam sistem otoritas
rasional legal itulah birokrasi modern dapat berkembang penuh. Masyarakat lain
di dunia tetap didominasi oleh sistem otoritas tradisional atau karismatik yang
umumnya merintangi perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi modern.
Singkatnya, sistem otoritas tradisional berasal dari Sistem kepercayaan di
zaman kuno. Contohnya adalah seorang pemimpin yang berkuasa karena garis
keluarga atau sukunya selalu merupakan pemimpin kelompok. Pemimpin karismatik
mendapatkan otoritasnya dari kemampuan atau ciri-ciri luar biasa, atau mungkin
dari keyakinan pihak pengikut bahwa pemimpin itu memang mempunyai ciri-ciri
seperti itu. Meski kedua jenis otoritas itu mempunyai arti penting di masa
lalu, Weber yakin bahwa masyarakat Barat, dan akhirnya masyarakat lainnya,
cenderung akan berkembang menuju sistem otoritas rasional-legal. Dalam sistem
otoritas semacam ini, otoritas berasal dari peraturan yang diberlakukan secara
hukum dan rasional. Jadi, Amerika memperoleh otoritasnya yang tertinggi dari
peraturan hukum masyarakat. Evolusi otoritas hukum rasional yang diiringi
evolusi birokrasinya hanyalah merupakan sebagian dari argumen umum Weber
tentang rasionalisasi masyarakat Barat.
Weber juga
membuat analisis rinci dan canggih tentang rasionalisasi fenomena seperti
agama, hukum, kota, dan bahkan musik. Kita dapat melukiskan cara berpikir Weber
dengan satu contoh lain rasionalisasi institusi ekonomi. Diskusi ini tertuang
dalam analisis Weber yang lebih luas tentang hubungan antara hukum dan
kapitalisme. Dalam studi sejarah bercakupan luas, Weber berupaya memahami
mengapa sistem ekonomi rasional (kapitalisme) berkembang di Barat dan mengapa
gagal berkembang di masyarakat lain di luar mayarakat Barat. Dalam studi ini
Weber mengakui peran sentral agama. Di satu tingkat, ia terlibat dialog dengan
Marxis dalam upaya untuk menunjukkan bahwa, bertentangan dengan keyakinan
kebanyakan Marxis di masa itu, agama bukanlah sebuah epifenomena semata. Agama
telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan kapitalisme Barat, tetapi
sebaliknya gagal mengembangkan kapitalisme di masyarakat lain. Weber menegaskan
bahwa sistem agama rasionallah (Calvinisme) yang memainkan peran sentral dalam
menumbuhkan kapitalisme di Barat. Sebaliknya, di belahan dunia lain yang ia
kaji, Weber menemukan sistem agama yang lebih irrasional (misalnya,
Konfusianisme, Taoisme, Hinduisme) merintangi perkembangan sistem ekonomi
rasional. Tetapi, pada akhirnya agama-agama itu hanya memberikan rintangan
sementara, karena sistem ekonomi dan bahkan seluruh struktur sosial masyarakat
pada akhirnya akan menjadi rasional.
Rasionalisasi
terletak di jantung teori Weberian. Kini persoalan utama dalam perkembangan
teori sosiologi adalah: Mengapa teori Weber terbukti lebih menarik bagi para
teoritisi sosiologi selanjutnya ketimbang teori Marxian?.
Penerimaan
Teori Weber.
Salah satu alasannya adalah karena teori Weber terbukti secara politik lebih
mudah diterima ketimbang radikalisme Marxian. Weber lebih berpandangan liberal
terhadap masalah tertentu dan konservatif terhadap masalah lain (misalnya,
tentang peran negara). Meskipun Weber mengakui kecaman keras terhadap berbagai
aspek masyarakat kapitalis modern, dan ia sampai pada kesimpulan penting yang
sama dengan Marx, tapi ia tidak menganjurkan cara penyelesaian masalah secara
radikal (Heins, 1993). Ia merasa bahwa pemberontakan radikal yang ditawarkan
oleh kebanyakan Marxis dan sosiolog lain lebih banyak mudaratnya ketimbang
manfaatnya.
Teoritisi
sosiologi selanjutnya, terutama para sosiolog Amerika, melihat masyarakat
mereka diserang oleh teori Marxian. Karena sebagian besar sosiolog itu
berorientasi konservatif, mereka mencari pilihan teori selain Marxisme. Salah
seorang di antara tokoh yang terbukti menarik adalah Weber (yang lainnya
Durkheim, dan Vilfredo Pareto). Bagaimanapun juga rasionalisasi tak hanya
memengaruhi masyarakat kapitalis, tetapi juga masyarakat sosialis. Dilihat dari
sudut pandang Weber, rasionalisasi merupakan masalah yang lebih besar dalam
masyarakat sosialis ketimbang dalam masyarakat kapitalis.
Yang disukai
dari Weber adalah cara ia menyajikan pendapatnya. Ia menghabiskan sebagian
besar usianya untuk mempelajari sejarah secara rinci dan kesimpulan politis
yang dibuatnya selalu dalam konteks risetnya. Karena itu kesimpulan yang
disajikan sangat ilmiah dan akademis. Marx, meski juga banyak melakukan riset
serius, menulis banyak materi yang mengundang polemik. Juga kebanvakan karya
akademisnya direnda dengan pertimbangan politis. Misalnya, dalam The Capital
(1867/1967) ia melukiskan kapitalis sebagai “vampir” dan “serigala rakus”. Gaya
Weber yang lebih akademis membantu membuatnya lebih dapat diterima oleh sosiolog
selanjutnya.
Alasan lain
yang membuat Weber lebih dapat diterima adalah karena ia menurut tradisi
filsafat yang juga membentuk karya sosiolog yang kemudian. Weber berkarya
menurut tradisi filsafat Kant yang antara lain berarti bahwa ia cenderung berpikir
dalam hubungan sebab akibat. Cara berpikir ini lebih dapat diterima oleh
sosiolog yang kemudian, yang sebagian besar tak akrab dan tak menyenangi logika
dialektika yang ditunjukkan karya Marx.
Terakhir,
Weber tampil dengan menawarkan pendekatan terhadap kehidupan sosial yang jauh
lebih bervariasi ketimbang Marx. Marx hampir secara total memasuki kajian
ekonomi sedangkan Weber tertarik pada berbagai aspek fenomena sosial.
Kebanyakan karya besar Weber dihasilkan di penghujung 1800 dan awal 1900-an. Di
awal karirnya Weber lebih dikenal sebagai sejarawan yang memusatkan perhatian
pada masalah sosiologi. Memang ia menjadi sosiolog Jerman vang dominan pada
zamannya. Pada 1910 Weber (bersama dengan, antara lain, George Simmel, yang
akan didiskusikan di bawah) mendirikan Masyarakat Sosiologi Jerman (Glatzer,
1998). Rumahnya di Heidelberg menjadi pusat intelektual tak hanya untuk para
sosiolog, tetapi juga untuk sarjana dari berbagai bidang. Karya Weber
berpengaruh besar di Jerman, dan lebih besar lagi pengaruhnya di Amerika
terutama setelah Parsons memperkenalkan gagasan (dan gagasan teoritisi Eropa
lainnya terutama Durkheim) kepada mahasiswa Amerika. Sementara gagasan Marx tak
berpengaruh positif yang terhadap teoritisi sosiologi Amerika hingga tahun
1960-an, Weber telah sangat berpengaruh di akhir 1930-an.
Teori
Simmel. Georg
Simmel sezaman dengan Weber dan bersama-sama mendirikan Masyarakat Sosiologi
Jerman. Ia adalah teoritisi sosiologi yang luar biasa (Frisby, 1981; Levin,
Carter, dan Gorman, 1976a, 1976b). Salah satu keistimewaannya adalah dia cepat
berpengaruh besar terhadap perkembangan teori sosiologi Amerika, sedangkan Marx
dan Weber diabaikan selama beberapa tahun. Karya Simmel membantu menentukan
perkembangan salah satu pusat kajian sosiologi Amerika Universitas Chicago dan
teori utamanya, yakni interaksionisme simbolik (Jaworski, 1995; 1997). Aliran
Chicago dan interaksionisme simbolik mendominasi sosiologi Amerika di tahun
1920-an dan awal 1930-an (Bulmer,1984). Gagasan Simmel berpengaruh di Chicago
terutama karena tokoh dominan di tahun-tahun awal di Chicago, Albion Small dan
Robert Park, telah membeberkan teori-teori yang disusun Simmel saat masih di
Berlin dipenghujung tahun 1800-an. Park menghadiri kuliah Simmel pada 1899 dan
1900 berhubungan surat menyurat dengan Simmel selama 1890-an. Small dan Park
adalah tokoh penting yang membawa gagasan Simmel kepada mahasiswa dan fakultas
di Chicago, menerjemahkan beberapa karyanya, dan menarik perhatian sejumlah
besar khalayak Amerika terhadap Simmel (Frisby, 1984;29).
Segi istimewa
lain karya Simmel adalah tingkat analisisnya atau setidaknya tingkat yang
menyebabkan ia menjadi terkenal di Amerika. Bila Weber dan Marx asyik dengan
masalah besar seperti rasionalisasi masyarakat dan ekonomi kapitalis, Simmel sangat
terkenal karena karyanya tentang masalah-masalah berskala lebih kecil, terutama
tindakan dan interaksi individual. Ia menjadi terkenal pada mulanya karena
pemikirannya tentang bentuk-bentuk interaksi (misalnya konflik) dan tipe-tipe
orang yang berinteraksi (misalnya orang asing), yang didasarkan pada filsafat
Kant. Simmel melihat bahwa salah satu tugas utama sosiologi adalah memahami
interaksi antara individu. Akan tetapi, sejumlah besar interaksi dalam
kehidupan sosial mustahil akan dapat dikaji tanpa peralatan konseptual
tertentu. Simmel merasa bahwa ia dapat memisahkan sejumlah terbatas
bentuk-bentuk interaksi yang dapat ditemukan dalam sejumlah besar situasi
sosial. Jadi, dengan berbekal peralatan konseptual, dia dapat menganalisis dan
memahami situasi interaksi yang berbeda. Pengembangan sejumlah jenis-jenis
interaksi juga bermanfaat dalam menerangkan situasi interaksi. Karya ini
berpengaruh besar terhadap interaksionisme simbolik yang sangat memusatkan
perhatian pada interaksi. Namun, ironisnya, Simmel juga memusatkan perhatian
pada masalah berskala besar seperti yang dilakukan Marx dan Weber. Karyanya
mengenai masalah berskala besar ini sangat kurang berpengaruh ketimbang
karyanya tentang interaksi.
Gaya Simmel
dalam karyanya tentang interaksi itulah sebagian yang menyebabkan ia mudah
diterima oleh teoritisi sosiologi Amerika awal. Meski ia menulis buku-buku
tebal seperti yang ditulis Marx dan Weber, ia pun menulis esai tentang
topik-topik menarik seperti kemiskinan, pelacuran, orang kikir dan pemboros,
dan orang asing. Keringkasan esai dan daya tarik materinya menyebabkan
penyebaran gagasan Simmel bertambah mudah. Sayangnya esai itu berpengaruh
negatif karena mengaburkan karya-karya Simmel yang lebih masif (misalnya
Philosophy of Money, diterjemahkan tahun 1978; lihat Poggi, 1993), yang
mengandung potensi signifikan bagi sosiologi. Namun demikian, sebagian karena
esai-esai pendeknya itulah Simmel berpengaruh lebih signifikan terhadap teori
sosiologi awal Amerika ketimbang Marx dan Weber.
Kita tak bisa
meninggalkan Simmel tanpa membicarakan sesuatu mengenai Philosophy of Money
karena terjemahan Inggrisnya membuat karya Simmel menarik perhatian banyak para
teoritisi baru yang berminat terhadap kultur dan masyarakat. Meski orientasi
makro tampak lebih jelas dalam Philosophy of Money, sesungguhnya orientasi
semacam itu selalu muncul dalam setiap karya Simmel. Misalnya, hal ini jelas
dalam karya terkenalnya tentang hubungan antara dua orang (dyad) dan hubungan
antara tiga orang (triad). Menurut Simmel, perkembangan sosiologis penting
tertentu terjadi jika sekelompok yang beranggota dua orang diubah menjadi tiga
orang karena tuntutan pihak “ketiga itu. Kemungkinan-kemungkinan sosial yang
muncul jelas takkan muncul dalam dua orang. Misalnya, dalam kelompok triad,
salah seorang anggota dapat menjadi arbitrator atau mediator dalam menghadapi
perbedaan-perbedaan yang muncul antara dua anggota lainnya. Ciri sosiologis
yang lebih penting adalah bahwa dua orang anggota dapat bersatu dan mendominasi
anggota lain. Apa yang tercermin pada skala kecil ini dapat pula terjadi dalam
kemunculan struktur berskala luas yang menjadi terpisah dari individu dan mulai
mendominasi individu.
Tema ini ada
di basis Philosophy of Money. Simmel terutama memusatkan perhatian pada kemunculan
perekonomian uang dalam masyarakat modern yang terpisah dari individu dan
mendominasi individu. Tema ini selanjutnya menjadi lebih luas dan lebih
pervasif di antara karya Simmel tentang dominasi kultur sebagai suatu
keseluruhan terhadap individu. Menurut Simmel, kultur masvarakat modern dan
seluruh komponennya yang beraneka ragam itu (termasuk ekonomi uang) akan
berkembang, dan begitu sudah berkembang maka arti penting (peran) individu
mulai menurun. Misalnya, begitu teknologi industri yang menyertai ekonomi
modern berkembang dan tumbuh makin canggih, maka dan kemampuan tenaga kerja
secara individual menjadi makin kurang penting. Akhirnya tenaga kerja
dikonfrontasikan dengan mesin-mesin industri. Akibatnya, pengendalian tenaga
kerja terhadap mesin itu menjadi makin Lebih umum lagi, Simmel berpendapat
bahwa dalam kehidupan modern, perkembangan kultur yang lebih luas menyebabkan
peran individu makin merosot.
Meski para sosiolog
semakin terbiasa memikirkan implikasi lebih luas dari karya Simmel namun pengaruh
awal Simmel terutama adalah melalui studinya tentang fenomena sosial berskala
kecil, seperti bentuk-bentuk interaksi dan jenis-jenis yang berinteraksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar