Senin, 08 April 2013

Perkembangan Sosiologi Jerman


Bila sejarah awal sosiologi Perancis berkaitan dengan riwayat kemajuan dari pencerahan dan Revolusi Perancis, reaksi konservatif, dan makin besarnya pengaruh gagasan sosiologi Saint Simon, Comte dan Durkheim, maka sosiologi Jerman sedari awal perkembangannya sudah terbagi-bagi. Perpecahan berkembang antara Marx (dan pendukungnya), yang tetap berada di tepi bidang sosiologi, dengan tokoh besar aliran utama sosiologi Jerman, Weber, dan Georg Simmel. Meski teori Marxian itu sendiri dianggap tak dapat diterima, tetapi gagasannya masuk ke dalam aliran utama sosiologi Jerman. Bahasan kita di sini dibedakan antara teori Marxian dan non-Marxian.

Akar dan Sifat dari Teori Mane (1818-1883)
Pemikiran G.W.F. Hegel (1770-1831) merupakan pemikiran dominan yang memengaruhi Karl Marx.
Hegel. Menurut Ball, “Sulit bagi kita memahami seberapa besar pengaruh Hegel terhadap pemikiran Jerman di perempat kedua abad 19. Sebagian besar orang terpelajar Jerman termasuk pemuda Marx mempelajari filsafat sejarah, politik, dan kultur dalam kerangka pemikiran Hegel” (1991:25). Pendidikan Marx di Universitas Berlin dibentuk oleh gagasan Hegel dan oleh perpecahan yang berkembang antara pengikut Hegel setelah kematiannya. “Hegelian Tua” terus menganut gagasan gurunya, sedangkan “Hegelian Muda”, meski masih berkarya menurut tradisi Hegelian, mengkritik berbagai segi sistem filsafat Hegel.
Dua konsep yang mencerminkan esensi filsafat Hegel adalah dialektika dan idealisme (Hegel 1807/1967:821/1967). Dialektika adalah cara berpikir dan citra tentang dunia. Sebagai cara berpikir, dialektika menekankan arti penting dari proses, hubungan, dinamika, konflik dan kontradiksi cara berpikir yang lebih dinamis. Di sisi lain, dialektika adalah pandangan bahwa dunia bukan tersusun dari struktur yang statis, tetapi terdiri dari proses, hubungan, dinamika, konflik dan kontradiksi. Meski gagasan dialektika dihubungkan dengan Hegel, namun ia sudah ada dalam filsafat sejak dulu. Marx, yang terdidik dalam tradisi Hegelian, mengakui arti penting dialektika. Namun, ia mengkritik beberapa aspek dari cara yang dipakai Hegel. Misalnya, Hegel cenderung menerapkan dialektika hanya pada dunia gagasan, sedangkan Marx merasa bahwa dialektika dapat diterapkan pula pada aspek kehidupan yang lebih bersifat material seperti pada aspek ekonomi.
Hegel juga selalu dikaitkan dengan filsafat idealisme yang lebih menekankan pentingnya pikiran dan produk mental ketimbang kehidupan material. Yang penting bagi kehidupan fisik dan material adalah definisi sosial, bukan kehidupan iu sendiri. Dalam bentuknya yang ekstrem, idealisme menegaskan bahwa hanya konstruksi pikiran dan psikologislah yang ada. Beberapa orang idealis yakin bahwa proses mental mereka akan tetap seperti biasa meski kehidupan sosial dan fisik sudah tidak ada lagi. Idealis tak hanya menekankan pada proses mental, juga pada gagasan yang dihasilkan oleh proses mental itu. Hegel mencurahkan perhatian yang sangat besar pada perkembangan gagasan seperti itu terutama pada apa yang ia rujuk sebagai ruh (spirit) masyarakat.
Sebenarnya Hegel menawarkan sejenis teori evolusi tentang kehidupan dalam artian idealistik. Mula-mula manusia hanya dibekali kemampuan panca indera untuk memahami dunia di sekitar mereka. Manusia mampu memahami hal-hal seperti melihat, mencium, dan merasakan kehidupan fisik dan sosial. Kemudian manusia mengembangkan kemampuan untuk menyadari dan memahami diri mereka sendiri. Berbekal pengetahuan dan pemahaman tentang diri sendiri itulah manusia mulai memahami bahwa mereka dapat menjadi lebih daripada keadaan semula. Menurut pendekatan dialektika Hegel, kontradiksi berkembang antara keadaan manusia sebagaimana adanya dan kadaan yang mereka rasakan seharusnya ada. Penyelesaian kontradiksi ini terletak dalam perkembangan kesadaran individu mengenai tempatnya dalam ruh masyarakat yang lebih luas. Individu mulai menyadari bahwa penyelesaian kontradiksi terakhir terletak dalam perkembangan dan perluasan ruh masyarakat sebagai keseluruhan. Menurut pendekatan dialektika Hegel, individu berkembang mulai dari memahami sesuatu ke memahami diri sendiri dan kemudian memahami tempat mereka dalam konteks yang lebih luas.
Hegel kemudian mengemukakan teori umum tentang evolusi kehidupan. adalah sebuah teori subjektif yang berpendirian bahwa perubahan terjadi pada tingkat kesadaran. Perubahan sebagian besar terjadi di luar kontrol aktor. Aktor diturunkan derajatnya ke tingkat seperti bejana yang dihanyutkan oleh kesadaran yang tak terelakkan.
Feuerbach. Ludwig Feuerbach (1804-1872) adalah jembatan penting yang menghubungkan antara Hegel dan Marx. Sebagai Hegelian Muda, Feuerbach banyak mengkritik Hegel, di antaranya terhadap penekanan berlebihan Hegel pada kesadaran dan semangat masyarakat. Feuerbach menerima filsafat materialis dan karenanya ia menegaskan bahwa yang diperlukan adalah meningkatkan idealisme subjektif Hegel untuk kemudian memusatkan perhatian bukan pada gagasan, tetapi pada realitas material kehidupan manusia. Dalam mengkritik Hegel ia menekankan pada agama. Menurut Feuerbach, Tuhan adalah esensi kehidupan manusia yang mereka proyeksikan menjadi sebuah kekuatan impersonal. Manusia menempatkan Tuhan di atas dan di sekeliling mereka sendiri yang menyebabkan mereka menjadi terasing dari Tuhan dan membangun seperangkat ciri positif bagi Tuhan (bahwa Dia maha sempurna, maha kuasa, dan maha suci). Sementara mereka merendahkan diri, mereka sendiri lantas menjadi manusia tidak sempurna, tanpa kuasa, dan penuh dosa. Menurut Feuerbach masalah keyakinan agama seperti itu harus diatasi dan kelemahannya itu harus dibantu dengan filsafat materialis yang menempatkan manusia (bukan agama) menjadi objek tertinggi diri mereka sendiri, menjadi tujuan di dalam diri mereka sendiri. Filsuf materialistis mendewakan manusia nyata, bukan gagasan abstrak seperti agama.
Marx, Hegel, dan Feuerbach. Marx dipengaruhi oleh dan sekaligus mengkritik Hegel dan Feuerbach. Mengikuti Feuerbach, Marx mengkritik kesetiaan Hegel terhadap filsafat idealis. Marx berpendirian demikian bukan hanya karena ia menganut orientasi materialis tetapi juga karena minatnya dalam aktivitas praktis. Fakta sosial, seperti kekayaan dan negara, oleh Hegel dibicarakan lebih sebagai gagasan ketimbang sebagai sesuatu yang nyata sebagai kesatuan material. Bahkan ketika ia membahas proses material yang tampak seperti tenaga kerja pun, perhatian Hegel hanya tertuju pada mental tenaga kerja yang abstrak itu. Pandangan Hegel ini sangat berbeda dari perhatian Marx yang tertuju pada tenaga kerja yang nyata. Hegel melihat pada masalah yang keliru sejauh yang menjadi sasaran perhatian Marx. Marx merasa idealisme Hegel mengarah ke orientasi politik yang sangat konservatif. Menurut Hegel, proses evolusi terjadi di luar kontrol individu dan di luar aktivitas mereka. Karena dalam diri manusia terjadi perubahan ke arah kesadaran yang makin besar tentang kehidupan seperti yang diharapkan, manusia tak memerlukan perubahan revolusioner: proses telah berlangsung menurut arah yang diinginkan. Masalah apa pun yang muncul terletak dalam kesadaran dan karena itu jawabannya pun terletak dalam perubahan pikiran.
Pendirian Marx sangat berbeda. Ia menyatakan bahwa masalah kehidupan modern dapat dirujuk ke sumber materialnya yang riil (misalnya, struktur kapitalisme). Karena itu penyelesaiannya hanya dapat ditemukan dengan menjungkir balikkan struktur kapitalisme itu melalui tindakan kolektif sejumlah besar orang (Marx dan Engels, 1845/1956:254). Sementara Hegel meletakkan “dunia di atas kepalanya” (ia memusatkan perhatian pada kesadaran bukan pada kehidupan material yang nyata), Marx benar-benar meletakkan dialektikanya dalam landasan material.
Marx mendukung kritik Feuerbach terhadap sejumlah pemikiran Hegel misalnva, materialisme dan penolakannya terhadap keabstrakan teori Hegel), tetapi ia jauh dari puas terhadap pendapat Feuerbach sendiri. Feuerbach memusatkan perhatian pada kehidupan keagamaan, sedangkan Marx yakin bahwa seluruh dunia sosial, dan khususnya kehidupan ekonomilah yang harus dianalisis. Meski Marx menerima materialisme Feuerbach, ia merasa bahwa Feurbach terlalu jauh memusatkan perhatian pada sisi nondialektis kehidupan materi. Feuerbach telah gagal memasukkan dialektika selaku sumbangan pemikiran Hegel terpenting ke dalam orientasi materialisme, terutama hubungan antara manusia dan kehidupan material. Terakhir, Marx menyatakan bahwa Feuerbach, seperti kebanyakan filsuf lainnya, gagal menekankan praksis (praxis) aktifitas praktis khususnya aktivitas revolusioner. Seperti dikatakan Marx, “filsuf hanya menginterprestasikan kehidupan dalam berbagai cara; padahal utamanya adalah bagaimana cara mengubahnya.” (dikutip dalam Tucker, :109).
Marx memungut apa yang dianggapnya unsur terpenting dari dua pemikir ektika Hegel dan materialisme Feuerbach dan meleburnya menjadi orientasi filsafatnya sendiri, yakni materialisme dialektika yang menekankan pada hubungan dialektika dalam kehidupan material.
Ekonomi Politik. Materialisme Marx dan penekanannya pada sektor ekonomi menyebabkan pemikirannya sejalan dengan pemikiran kelompok ekonomi politik (seperti Adam Smith dan David Ricardo). Marx sangat tertarik pendirian para ekonom politik itu. Ia memuji premis dasar mereka yang menvatakan bahwa tenaga kerja merupakan sumber seluruh kekayaan. Pada dasarnya premis inilah yang menyebabkan Marx merumuskan teori nilai tenaga kerja. Dalam teori ini ia menegaskan bahwa keuntungan kapitalis menjadi eksploitasi tenaga kerja. Kapitalis melakukan muslihat sederhana dengan membayar upah tenaga kerja kurang dari yang selayaknya mereka terima, karena menerima upah kurang dari nilai barang yang sebenarnya mereka hasilkan dalam suatu periode bekerja. Nilai surplus ini, yang disimpan dan diinvestasikan kembali oleh kapitalis, merupakan basis dari seluruh sistem sistem kapitalis tumbuh melalui tingkatan eksploitasi terhadap tenaga kerja yang terus-menerus meningkat (dan karena itu jumlah nilai surplus pun meningkat) dan dengan menginvestasikan keuntungan untuk mengembangkan sistem.
Marx juga dipengaruhi oleh para ekonom politik yang melukiskan kehidupan sistem kapitalis dan eksploitasi kapitalis terhadap kaum buruh. Tetapi, mereka ini melukiskan kejahatan kapitalisme, Marx mengecamnya karena anggap mereka hanya melihat kejahatan ini sebagai unsur kapitalisme yang tak terelakkan. Marx meneliti semua dukungan umum mereka terhadap kapitalisme dan cara mereka mendesak buruh bekerja untuk mencapai kesuksesan ekonomi di dalam perusahaan kapitalis. Ia pun mengecam para ekonom politik yang lupa melihat konflik bawaan antara kapitalis dan buruh, dan karena mereka menyangkal perlunya perubahan radikal dalam tatanan ekonomi. Pemikiran ekonomi konservatif demikian sukar diterima Marx, dan karena itu ia bertekad mengadakan perubahan radikal dari kapitalisme ke sosialisme.
Marx dan Sosiologi. Marx bukanlah seorang sosiolog dan tak menganggap dirinya sosiolog. Meskipun karyanya terlalu luas untuk dicakup dalam pengertian sosiologi, namun ada satu teori sosiologi yang ditemukan dalam karya Marx. Memang sejak awal ada sosiolog yang sangat dipengaruhi oleh Marx dan telah ada serangkaian panjang sosiologi Marxian, terutama di Eropa. Tetapi bagi kebanyakan sosiolog awal, karya Marx merupakan sebuah kekuatan negatif, sesuatu yang bertentangan dengan sosiologi yang mereka kembangkan. Hingga akhir-akhir ini teori sosiologi, terutama di Amerika, telah ditandai oleh permusuhan terhadap, atau ketidaktahuan tentang, sosiologi Marxian. Meskipun keadaan seperti itu berubah secara dramatis selama tiga dekade terakhir, namun reaksi negatif terhadap karya Marx masih menjadi kekuatan utama dalam penyusunan beberapa teori sosiologi (Gurney, 1981).
Alasan mendasar penolakan terhadap pemikiran Marx ini bersifat ideologis. Banyak di antara para teoritisi sosiologi awal adalah pewaris reaksi konservatif atas kekacauan yang ditimbulkan era Pencerahan dan Revolusi Perancis. Gagasan radikal Marx dan perubahan sosial radikal yang ia ramalkan, dan yang ia coba kembangkan, jelas menakutkan dan dibenci oleh pemikir konservatif. Pemikiran sosiologi Marx ditolak karena dianggap berbau ideologi. Ada tuduhan yang menyatakan bahwa ia bukanlah seorang teoritisi sosiologi yang serius. Namun, ideologi per se tak dapat dijadikan alasan nyata untuk menolak Marx karena karya Comte, Durkheim, dan pemikir konservatif lain pun banyak kadar ideologinya. Yang ditolak oleh banyak teoritisi sosiologi sebenarnya bukan eksistensi ideologinya, tetapi ciri-ciri ideologi tertentu. Teoritisi sosiologi itu siap dan ingin sekali membeli ideologi konservatif yang terbungkus dalam mantel teori sosiologi, tetapi bukan sosiologi radikal yang ditawarkan oleh Marx dan para pengikutnya.
Tentu ada alasan lain mengapa Marx tak diterima oleh banyak teoritisi awal. Ia rupanya lebih dekat sebagai ekonom ketimbang sosiolog. Meski para sosiolog awal pasti mengakui arti penting ekonomi, namun mereka menyatakan bahwa ekonomi hanyalah salah satu komponen saja dari kehidupan sosial.
Alasan lain bagi penolakan awal terhadap Marx adalah ciri dari perhatian Marx. Sementara para sosiolog awal bereaksi terhadap kekacauan yang diciptakan pencerahan dan Revolusi Perancis dan kemudian Revolusi Industri, Marx tak merasa terganggu oleh kekacauan itu atau oleh kekacauan pada umumnya. Justru yang sangat diperhatikan Marx adalah penindasan sistem kapitalis yang dilahirkan oleh Revolusi Industri. Marx ingin mengembangkan teori yang dapat menjelaskan penindasan ini dan yang dapat membantu merobohkan sistem kapitalis itu. Perhatian Marx tertuju kepada revolusi, yang bertolak belakang dengan perhatian sosiolog konservatif yang menginginkan reformasi dan perubahan secara tertib.
Perbedaan lain yang menonjol adalah perbedaan landasan filosofis antara teori sosiologi Marxian dan sosiologi konservatif. Sebagian besar teoritisi konservatif sangat dipengaruhi oleh filsafat Immanuel Kant. Inilah antara lain yang menyebabkan mereka berpikir linear, menurut hukum sebab akibat. Artinya, cenderung menegaskan bahwa perubahan yang dialami A (katakanlah perubahan gagasan selama era Pencerahan) menyebabkan perubahan yang dialami B (katakanlah perubahan politik Revolusi Perancis). Sebaliknya, Marx sangat dipengaruhi oleh Hegel yang lebih menganut dialektika ketimbang menurut hukum sebab dan akibat. Dialektika, antara lain, dapat membiasakan kita membayangkan pengaruh timbal balik terus-menerus dari kekuatan sosial. Jadi, pemikir dialektika akan mampu mengonseptualisasikan ulang contoh yang dikemukakan di atas sebagai keadaan saling memengaruhi secara terus-menerus antara gagasan dan politik.
Teori Marx. Secara garis besarnya saja, dapat dikatakan bahwa Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat mendasar manusia. Marx yakin bahwa manusia pada dasarnya produktif, artinya untuk bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dan dengan alam. Dengan bekerja seperti itu mereka menghasilkan makanan, pakaian, peralatan, perumahan, dan kebutuhan lain yang memungkinkan mereka hidup. Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki. Dorongan ini diwujudkan bersama-sama dengan orang lain. Dengan kata lain manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Mereka perlu bekerja bersama untuk menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup.
Melalui perjalanan sejarah, proses alamiah ini dihancurkan, mula-mula oleh kondisi peralatan masyarakat primitif dan kemudian oleh berbagai jenis tatanan struktural yang diciptakan masyarakat selama perjalanan sejarah. Tatanan struktural ini mengganggu proses produktif alamiah melalui berbagai cara. Tetapi, penghancuran ini terjadi paling parah di dalam struktur masyarakat kapitalis. Penghancuran proses produktif alamiah mencapai titik puncaknya dalam kapitalisme.
Kapitalisme pada dasarnya adalah sebuah struktur (atau lebih tepatnya serangkaian struktur) yang membuat batas pemisah antara seorang individu dan produksi, produk yang diproses dan orang lain; dan akhirnya juga memisahkan diri individu itu sendiri. Inilah makna mendasar dari konsep alienasi. Hal ini menghancurkan keterkaitan alamiah antar manusia individual serta antara manusia individual dengan apa-apa yang mereka hasilkan. Alienasi terjadi karena kapitalisme telah berkembang menjadi sistem dua kelas di mana sejumlah kecil kapitalis menguasai proses produksi, produk, dan jam kerja dari orang yang bekerja untuk mereka. Semula dalam keadaan alamiah manusia memproduksi untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri; dalam masyarakat kapitalis manusia memproduksi untuk kelompok kecil kapitalis. Pemikiran Marx sangat terpusat pada struktur kapitalisme dan dampak penindasannya terhadap buruh. Secara politis perhatiannya tertuju pada upaya untuk membebaskan manusia dari penindasan struktur kapitalisme.
Marx sebenarnya sedikit sekali memimpikan keadaan masyarakat seperti yang diimpikan pemikir sosialis utopian (Lovell, 1992). Ia lebih memikirkan upaya untuk membantu mematikan kapitalisme. Ia yakin bahwa kontradiksi dan konflik di dalam kapitalisme menurut dialektika akan menyebabkan kehancurannya, tapi ia tak berpikir bahwa prosesnya tak terelakkan. Untuk menciptakan sistem sosialisme, orang harus bertindak pada waktu dan dengan cara yang tepat. Kapitalis mempunyai sumber daya yang sangat besar yang dapat digunakan untuk mencegah munculnya sosialisme tetapi mereka dapat dikuasai melalui tindakan bersama dari kaum proletariat yang mempunyai kesadaran kelas. Apa yang akan diciptakan proletariat dalam proses tindakan bersama itu? Apakah itu sosialisme? Sosialisme menurut pengertian paling mendasar adalah suatu masyarakat di mana mula-mula orang akan mendekati citra ideal Marx tentang produktivitas. Dengan bantuan teknologi modern orang dapat berinteraksi dengan alam dan dengan orang lain secara selaras untuk menciptakan segala sesuatu yang mereka butuhkan untuk hidup. Dengan kata lain, dalam masyarakat sosialis manusia takkan lagi teralienasi.

Akar dan Sifat dari Teori Max Weber (1864-1920) don Georg Simmei (1858-1918)
Meski Marx dan pengikutnya di akhir abad 19 dan awal abad 20 tetap berada di luar aliran utama sosiologi Jerman, hingga taraf tertentu sosiologi Jerman awal dapat dilihat sebagai pengembangan penentangan terhadap teori Marxian.
Weber dan Marx. Albert Solomon, misalnya, mengklaim bahwa sebagian besar dari teori Weberian berkembang “dalam perdebatan sengit dan panjang dengan hantu Marx” (1945:596). Ini barangkali merupakan pernyataan yang berlebihan, tetapi dalam berbagai cara teori Marxian berperan negatif terhadap teori Weberian. Akan tetapi, dengan cara lain, Weber yang bekerja menurut tradisi Marxian, mencoba “menyelesaikan” teori Marx. Teori Weberian pun mendapat bahan dari teori Marxian (Burger, 1976). Kita dapat menjernihkan mengenai sumber sosiologi Jerman dengan menguraikan setiap pandangan tentang hubungan antara Marx dan Weber (Antonio dan Glassman,1985; Schoreter, 1985). Perlu diingat bahwa Weber tak akrab dengan karya Marx (banyak di antara karya Marx belum ditertibkan hingga sesudah Weber meninggal) dan Weber lebih banyak bereaksi terhadap karya pengikut Marx ketimbang terhadap karya Marx sendiri (Antonio, 1985:29; Turner, 1981:19-20).
Weber memandang Marx dan para penganut Marxis pada zamannya sebagai determinis ekonomi yang mengemukakan teori-teori berpenyebab tunggal tentang kehidupan sosial. Artinya, teori Marxian dilihat sebagai upaya pencarian perkembangan historis pada basis ekonomi dan memandang semua kontemporer dibangun di atas landasan ekonomi semata. Meski pendirian ini bukan berasal dari teori Marx sendiri, namun pendirian itu dianut oleh kebanyakan Marxian yang tampil kemudian.
Salah satu contoh determinisme ekonomi yang rupanya sangat mengganggu pikiran Weber adalah pandangan yang mengatakan bahwa ide-ide hanyalah kepentingan material (terutama kepentingan ekonomi), dan bahwa kepentingan materi menentukan ideologi. Dilihat dari sudut pandangan ini, dianggap telah membalikkan Marx (seperti Marx telah membalikkan Hegel). Ketimbang memusatkan perhatian pada faktor ekonomi dan pengaruhnya terhadap gagasan, Weber lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Weber memandang gagasan sebagai otonom yang besar pengaruhnya terhadap dunia ekonomi. Weber memang banyak mencurahkan perhatian pada berbagai gagasan, terutama pada sistem ide-ide keagamaan. Dalam hal ini ia terutama memusatkan perhatian pada pengaruh gagasan keagamaan terhadap ekonomi. Dalam karyanya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-05/1958), ia memusatkan perhatian pada Protestantisme terutama sebagai sebuah sistem gagasan, dan pengaruhnya terhadap kemunculan sistem gagasan yang lain, yakni semangat kapitalisme, dan akhirnya terhadap sistem ekonomi kapitalis. Weber mencurahkan perhatian terhadap agama dunia yang lain, mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan itu merintangi perkembangan kapitalisme dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan karya-karya Weber ini, para pakar berkesimpulan bahwa Weber mengembangkan gagasan yang bertentangan dengan gagasan Marx.
Pandangan kedua mengenai hubungan Weber dan Marx adalah bahwa ia tak banyak menentang Marx, tetapi ia mencoba membalikkan perspektif teoritisnya. Di sini Weber dipandang lebih banyak bekerja menurut tradisi Marxian ketimbang menentangnya. Karyanya tentang agama bila diinterpretasikan menurut sudut pandang ini adalah semata merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa faktor material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat memengaruhi gagasan, tetapi gagasan itu sendiri memengaruhi struktur material. Interpretasi karya Weber ini jelas menempatkannya sangat dekat dengan teori Marxian.
Contoh yang lebih baik dari pandangan bahwa Weber terlihat dalam proses membalikkan teori Marxian adalah dalam bidang teori stratifikasi. Dalam karya tentang stratifikasi ini Marx memusatkan perhatian pada kelas sosial, salah satu dimensi stratifikasi ekonomi. Meski Weber mengakui pentingnya faktor ini, ia menegaskan bahwa dimensi stratifikasi lain juga penting. Ia menyatakan bahwa gagasan tentang stratifikasi sosial harus diperluas sehingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestise (status) dan kekuasaan. Pemasukan dimensi lain ini bukan merupakan pembuktian kesalahan Marx, tetapi semata-mata perluasan dari gagasannya.
Kedua pandangan yang dilukiskan di atas sama-sama mengakui pentingnya teori Marxian bagi Weber. Ada unsur kebenaran dalam kedua pandangan itu. Dalam hal tertentu Weber menentang Marx, sedangkan dalam hal yang lain ia memperluas gagasan Marx. Pandangan ketiga mengenai masalah ini memberikan ciri terbaik hubungan antara Marx dan Weber. Menurut pandangan ini Marx semata hanya dilihat sebagai salah seorang yang berpengaruh terhadap pemikiran Weber.
Pengaruh-pengaruh Lain Terhadap Weber. Kita dapat mengidentifikasi sejumlah sumber teori Weberian, antara lain sejarawan, filsuf, ekonom dan teoritisi politik Jerman. Immanuel Kant (1724-1804) adalah tokoh yang paling besar pengaruhnya terhadap Weber. Namun, kita juga tak boleh meremehkan pengaruh Nietzsche (1844-1900) terhadap karya Weber tentang kebutuhan individu untuk bertahan terhadap pengaruh birokrasi dan struktur masyarakat modern yang lain.
Pengaruh Kant terhadap Weber dan terhadap sosiologi Jerman pada umumnya terlihat dari akar filsafat yang berbeda. Adalah Hegel, bukan Kant, yang pengaruh filsafatnya terhadap teori Marxian sangat penting. Sementara filsafat Hegel menuntun Marx dan kaum Marxis meneliti hubungan konflik dan kontradiksi, filsafat Kant menuntun sebagian sosiolog Jerman untuk menerima perspektif yang lebih statis. Menurut Kant, kehidupan adalah kejadian membingungkan yang tak pernah dapat dipahami secara langsung. Kehidupan hanya dapat dipahami melalui proses berpikir yang menyaring, memilih, dan menggolong-golongkan berbagai kejadian. Kant membedakan antara isi dan kehidupan nyata. Isi dapat dipahami melalui bentuk. Penekanan pada bentuk menyebabkan kualitas karya sosiolog penganut tradisi filsafat Kant lebih statis daripada karya sosiolog Marxis penganut tradisi Hegel.
Teori Weber. Marx pada dasarnya mengemukakan teori kapitalisme, sedangkan karya Weber pada dasarnya adalah teori tentang proses rasionalisasi (Brubaker,1984; Kalberg, 1980,1990,1994). Weber tertarik pada masalah umum seperti mengapa institusi sosial di dunia Barat berkembang semakin rasional sedangkan rintangan kuat tampaknya mencegah perkembangan serupa di bumi lain. Meski konsep rasionalitas digunakan dengan berbagai cara yang berlainan dalam karya Weber, yang menjadi sasaran perhatian kita disini adalah salah satu dari empat jenis proses yang diidentifikasi oleh Kalrberg (1980, : lihat juga Brubaker, 1981) yakni rasionalitas formal. Rasionalitas formal meliputi proses berpikir aktor dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan. Dalam hal ini pilihan dibuat dengan merujuk pada kebiasaan, peraturan dan hukum vang diterapkan secara universal. Ketiganya berasal dari berbagai struktur besar, terutama struktur birokrasi dan ekonomi. Weber mengembangkan dalam konteks studi perbandingan sejarah masyarakat Barat, Cina, India, dan beberapa masyarakat lain. Dalam studi ini ia mencoba melukiskan faktor membantu mendorong atau merintangi perkembangan rasionalisasi.
Weber melihat birokrasi (dan proses historis birokrasi) sebagai contoh klasik rasionalisasi, tetapi mungkin contoh terbaik rasionalisasi dewasa ini adalah restoran cepat saji (Ritzer, 2000a). Restoran cepat saji (fast-food) adalah sistem formal di mana seorang pekerja dan pelanggan digiring untuk mencari paling rasional dalam mencapai tujuan. Mendorong makanan melalui jendela, misalnya, adalah cara rasional karena dengan cara demikian pelayan menyodorkan dan pelanggan memperoleh makanan secara cepat dan kecepatan dan efisiensi didiktekan oleh restoran cepat saji dan aturan operasionalnya.
Weber memasukkan diskusinya mengenai proses birokratisasi ke dalam yang lebih luas tentang lembaga politik. Ia membedakan antara tiga jenis sistem otoritas tradisional, karismatik, dan rasional legal. Sistem otoritas legal hanya dapat berkembang dalam masyarakat Barat modern dan hanya dalam sistem otoritas rasional legal itulah birokrasi modern dapat berkembang penuh. Masyarakat lain di dunia tetap didominasi oleh sistem otoritas tradisional atau karismatik yang umumnya merintangi perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi modern. Singkatnya, sistem otoritas tradisional berasal dari Sistem kepercayaan di zaman kuno. Contohnya adalah seorang pemimpin yang berkuasa karena garis keluarga atau sukunya selalu merupakan pemimpin kelompok. Pemimpin karismatik mendapatkan otoritasnya dari kemampuan atau ciri-ciri luar biasa, atau mungkin dari keyakinan pihak pengikut bahwa pemimpin itu memang mempunyai ciri-ciri seperti itu. Meski kedua jenis otoritas itu mempunyai arti penting di masa lalu, Weber yakin bahwa masyarakat Barat, dan akhirnya masyarakat lainnya, cenderung akan berkembang menuju sistem otoritas rasional-legal. Dalam sistem otoritas semacam ini, otoritas berasal dari peraturan yang diberlakukan secara hukum dan rasional. Jadi, Amerika memperoleh otoritasnya yang tertinggi dari peraturan hukum masyarakat. Evolusi otoritas hukum rasional yang diiringi evolusi birokrasinya hanyalah merupakan sebagian dari argumen umum Weber tentang rasionalisasi masyarakat Barat.
Weber juga membuat analisis rinci dan canggih tentang rasionalisasi fenomena seperti agama, hukum, kota, dan bahkan musik. Kita dapat melukiskan cara berpikir Weber dengan satu contoh lain rasionalisasi institusi ekonomi. Diskusi ini tertuang dalam analisis Weber yang lebih luas tentang hubungan antara hukum dan kapitalisme. Dalam studi sejarah bercakupan luas, Weber berupaya memahami mengapa sistem ekonomi rasional (kapitalisme) berkembang di Barat dan mengapa gagal berkembang di masyarakat lain di luar mayarakat Barat. Dalam studi ini Weber mengakui peran sentral agama. Di satu tingkat, ia terlibat dialog dengan Marxis dalam upaya untuk menunjukkan bahwa, bertentangan dengan keyakinan kebanyakan Marxis di masa itu, agama bukanlah sebuah epifenomena semata. Agama telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan kapitalisme Barat, tetapi sebaliknya gagal mengembangkan kapitalisme di masyarakat lain. Weber menegaskan bahwa sistem agama rasionallah (Calvinisme) yang memainkan peran sentral dalam menumbuhkan kapitalisme di Barat. Sebaliknya, di belahan dunia lain yang ia kaji, Weber menemukan sistem agama yang lebih irrasional (misalnya, Konfusianisme, Taoisme, Hinduisme) merintangi perkembangan sistem ekonomi rasional. Tetapi, pada akhirnya agama-agama itu hanya memberikan rintangan sementara, karena sistem ekonomi dan bahkan seluruh struktur sosial masyarakat pada akhirnya akan menjadi rasional.
Rasionalisasi terletak di jantung teori Weberian. Kini persoalan utama dalam perkembangan teori sosiologi adalah: Mengapa teori Weber terbukti lebih menarik bagi para teoritisi sosiologi selanjutnya ketimbang teori Marxian?.
Penerimaan Teori Weber. Salah satu alasannya adalah karena teori Weber terbukti secara politik lebih mudah diterima ketimbang radikalisme Marxian. Weber lebih berpandangan liberal terhadap masalah tertentu dan konservatif terhadap masalah lain (misalnya, tentang peran negara). Meskipun Weber mengakui kecaman keras terhadap berbagai aspek masyarakat kapitalis modern, dan ia sampai pada kesimpulan penting yang sama dengan Marx, tapi ia tidak menganjurkan cara penyelesaian masalah secara radikal (Heins, 1993). Ia merasa bahwa pemberontakan radikal yang ditawarkan oleh kebanyakan Marxis dan sosiolog lain lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.
Teoritisi sosiologi selanjutnya, terutama para sosiolog Amerika, melihat masyarakat mereka diserang oleh teori Marxian. Karena sebagian besar sosiolog itu berorientasi konservatif, mereka mencari pilihan teori selain Marxisme. Salah seorang di antara tokoh yang terbukti menarik adalah Weber (yang lainnya Durkheim, dan Vilfredo Pareto). Bagaimanapun juga rasionalisasi tak hanya memengaruhi masyarakat kapitalis, tetapi juga masyarakat sosialis. Dilihat dari sudut pandang Weber, rasionalisasi merupakan masalah yang lebih besar dalam masyarakat sosialis ketimbang dalam masyarakat kapitalis.
Yang disukai dari Weber adalah cara ia menyajikan pendapatnya. Ia menghabiskan sebagian besar usianya untuk mempelajari sejarah secara rinci dan kesimpulan politis yang dibuatnya selalu dalam konteks risetnya. Karena itu kesimpulan yang disajikan sangat ilmiah dan akademis. Marx, meski juga banyak melakukan riset serius, menulis banyak materi yang mengundang polemik. Juga kebanvakan karya akademisnya direnda dengan pertimbangan politis. Misalnya, dalam The Capital (1867/1967) ia melukiskan kapitalis sebagai “vampir” dan “serigala rakus”. Gaya Weber yang lebih akademis membantu membuatnya lebih dapat diterima oleh sosiolog selanjutnya.
Alasan lain yang membuat Weber lebih dapat diterima adalah karena ia menurut tradisi filsafat yang juga membentuk karya sosiolog yang kemudian. Weber berkarya menurut tradisi filsafat Kant yang antara lain berarti bahwa ia cenderung berpikir dalam hubungan sebab akibat. Cara berpikir ini lebih dapat diterima oleh sosiolog yang kemudian, yang sebagian besar tak akrab dan tak menyenangi logika dialektika yang ditunjukkan karya Marx.
Terakhir, Weber tampil dengan menawarkan pendekatan terhadap kehidupan sosial yang jauh lebih bervariasi ketimbang Marx. Marx hampir secara total memasuki kajian ekonomi sedangkan Weber tertarik pada berbagai aspek fenomena sosial. Kebanyakan karya besar Weber dihasilkan di penghujung 1800 dan awal 1900-an. Di awal karirnya Weber lebih dikenal sebagai sejarawan yang memusatkan perhatian pada masalah sosiologi. Memang ia menjadi sosiolog Jerman vang dominan pada zamannya. Pada 1910 Weber (bersama dengan, antara lain, George Simmel, yang akan didiskusikan di bawah) mendirikan Masyarakat Sosiologi Jerman (Glatzer, 1998). Rumahnya di Heidelberg menjadi pusat intelektual tak hanya untuk para sosiolog, tetapi juga untuk sarjana dari berbagai bidang. Karya Weber berpengaruh besar di Jerman, dan lebih besar lagi pengaruhnya di Amerika terutama setelah Parsons memperkenalkan gagasan (dan gagasan teoritisi Eropa lainnya terutama Durkheim) kepada mahasiswa Amerika. Sementara gagasan Marx tak berpengaruh positif yang terhadap teoritisi sosiologi Amerika hingga tahun 1960-an, Weber telah sangat berpengaruh di akhir 1930-an.
Teori Simmel. Georg Simmel sezaman dengan Weber dan bersama-sama mendirikan Masyarakat Sosiologi Jerman. Ia adalah teoritisi sosiologi yang luar biasa (Frisby, 1981; Levin, Carter, dan Gorman, 1976a, 1976b). Salah satu keistimewaannya adalah dia cepat berpengaruh besar terhadap perkembangan teori sosiologi Amerika, sedangkan Marx dan Weber diabaikan selama beberapa tahun. Karya Simmel membantu menentukan perkembangan salah satu pusat kajian sosiologi Amerika Universitas Chicago dan teori utamanya, yakni interaksionisme simbolik (Jaworski, 1995; 1997). Aliran Chicago dan interaksionisme simbolik mendominasi sosiologi Amerika di tahun 1920-an dan awal 1930-an (Bulmer,1984). Gagasan Simmel berpengaruh di Chicago terutama karena tokoh dominan di tahun-tahun awal di Chicago, Albion Small dan Robert Park, telah membeberkan teori-teori yang disusun Simmel saat masih di Berlin dipenghujung tahun 1800-an. Park menghadiri kuliah Simmel pada 1899 dan 1900 berhubungan surat menyurat dengan Simmel selama 1890-an. Small dan Park adalah tokoh penting yang membawa gagasan Simmel kepada mahasiswa dan fakultas di Chicago, menerjemahkan beberapa karyanya, dan menarik perhatian sejumlah besar khalayak Amerika terhadap Simmel (Frisby, 1984;29).
Segi istimewa lain karya Simmel adalah tingkat analisisnya atau setidaknya tingkat yang menyebabkan ia menjadi terkenal di Amerika. Bila Weber dan Marx asyik dengan masalah besar seperti rasionalisasi masyarakat dan ekonomi kapitalis, Simmel sangat terkenal karena karyanya tentang masalah-masalah berskala lebih kecil, terutama tindakan dan interaksi individual. Ia menjadi terkenal pada mulanya karena pemikirannya tentang bentuk-bentuk interaksi (misalnya konflik) dan tipe-tipe orang yang berinteraksi (misalnya orang asing), yang didasarkan pada filsafat Kant. Simmel melihat bahwa salah satu tugas utama sosiologi adalah memahami interaksi antara individu. Akan tetapi, sejumlah besar interaksi dalam kehidupan sosial mustahil akan dapat dikaji tanpa peralatan konseptual tertentu. Simmel merasa bahwa ia dapat memisahkan sejumlah terbatas bentuk-bentuk interaksi yang dapat ditemukan dalam sejumlah besar situasi sosial. Jadi, dengan berbekal peralatan konseptual, dia dapat menganalisis dan memahami situasi interaksi yang berbeda. Pengembangan sejumlah jenis-jenis interaksi juga bermanfaat dalam menerangkan situasi interaksi. Karya ini berpengaruh besar terhadap interaksionisme simbolik yang sangat memusatkan perhatian pada interaksi. Namun, ironisnya, Simmel juga memusatkan perhatian pada masalah berskala besar seperti yang dilakukan Marx dan Weber. Karyanya mengenai masalah berskala besar ini sangat kurang berpengaruh ketimbang karyanya tentang interaksi.
Gaya Simmel dalam karyanya tentang interaksi itulah sebagian yang menyebabkan ia mudah diterima oleh teoritisi sosiologi Amerika awal. Meski ia menulis buku-buku tebal seperti yang ditulis Marx dan Weber, ia pun menulis esai tentang topik-topik menarik seperti kemiskinan, pelacuran, orang kikir dan pemboros, dan orang asing. Keringkasan esai dan daya tarik materinya menyebabkan penyebaran gagasan Simmel bertambah mudah. Sayangnya esai itu berpengaruh negatif karena mengaburkan karya-karya Simmel yang lebih masif (misalnya Philosophy of Money, diterjemahkan tahun 1978; lihat Poggi, 1993), yang mengandung potensi signifikan bagi sosiologi. Namun demikian, sebagian karena esai-esai pendeknya itulah Simmel berpengaruh lebih signifikan terhadap teori sosiologi awal Amerika ketimbang Marx dan Weber.
Kita tak bisa meninggalkan Simmel tanpa membicarakan sesuatu mengenai Philosophy of Money karena terjemahan Inggrisnya membuat karya Simmel menarik perhatian banyak para teoritisi baru yang berminat terhadap kultur dan masyarakat. Meski orientasi makro tampak lebih jelas dalam Philosophy of Money, sesungguhnya orientasi semacam itu selalu muncul dalam setiap karya Simmel. Misalnya, hal ini jelas dalam karya terkenalnya tentang hubungan antara dua orang (dyad) dan hubungan antara tiga orang (triad). Menurut Simmel, perkembangan sosiologis penting tertentu terjadi jika sekelompok yang beranggota dua orang diubah menjadi tiga orang karena tuntutan pihak “ketiga itu. Kemungkinan-kemungkinan sosial yang muncul jelas takkan muncul dalam dua orang. Misalnya, dalam kelompok triad, salah seorang anggota dapat menjadi arbitrator atau mediator dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang muncul antara dua anggota lainnya. Ciri sosiologis yang lebih penting adalah bahwa dua orang anggota dapat bersatu dan mendominasi anggota lain. Apa yang tercermin pada skala kecil ini dapat pula terjadi dalam kemunculan struktur berskala luas yang menjadi terpisah dari individu dan mulai mendominasi individu.
Tema ini ada di basis Philosophy of Money. Simmel terutama memusatkan perhatian pada kemunculan perekonomian uang dalam masyarakat modern yang terpisah dari individu dan mendominasi individu. Tema ini selanjutnya menjadi lebih luas dan lebih pervasif di antara karya Simmel tentang dominasi kultur sebagai suatu keseluruhan terhadap individu. Menurut Simmel, kultur masvarakat modern dan seluruh komponennya yang beraneka ragam itu (termasuk ekonomi uang) akan berkembang, dan begitu sudah berkembang maka arti penting (peran) individu mulai menurun. Misalnya, begitu teknologi industri yang menyertai ekonomi modern berkembang dan tumbuh makin canggih, maka dan kemampuan tenaga kerja secara individual menjadi makin kurang penting. Akhirnya tenaga kerja dikonfrontasikan dengan mesin-mesin industri. Akibatnya, pengendalian tenaga kerja terhadap mesin itu menjadi makin Lebih umum lagi, Simmel berpendapat bahwa dalam kehidupan modern, perkembangan kultur yang lebih luas menyebabkan peran individu makin merosot.
Meski para sosiolog semakin terbiasa memikirkan implikasi lebih luas dari karya Simmel namun pengaruh awal Simmel terutama adalah melalui studinya tentang fenomena sosial berskala kecil, seperti bentuk-bentuk interaksi dan jenis-jenis yang berinteraksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar