Figurasi adalah proses sosial yang menyebabkan
terbentuknya jalinan hubungan antara individu. Figurasi bukanlah
sebuah struktur yang berada diluar dan memaksa relasi antara
individu. Figurasi adalah antar hubungan itu sendiri. Individu dipandang
sebagai terbuka dan saling tergantung. Figurasi tersusun dari kumpulan individu
tersebut. Kekuasaan adalah hal penting dalam figurasi sosial dan karena itu berada
dalam keadaan terus menerus berubah.
Menurut Elias (1978 :131) bahwa inti figurasi sosial
yang senantiasa berubah adalah fluktuasi, keseimbangan yang dapat tegang dan
kendur, keseimbangan kekuasaan yang berubah, mula-mula kearah satu sisi dan
kemudian kesisi lain. Fluktuasi keseimbangan kekuasaan ini adalah ciri-ciri
struktural aliran setiap figurasi sosial. Pada umumnya figurasi sosial muncul
dan berkembang menurut cara tak kelihatan dan tanpa rencana.
Konsep figurasi sosial dapat diterapkan baik pada kelompok
kecil maupun pada masyarakat yang beranggotakan ribuan atau jutaan
orang yang saling tergantung. Guru dan murid di kelas, dokter dan pasien di
rumah sakit, pengunjung disebuah tempat hiburan, anak-anak di taman
kanak-kanak. Mereka semuanya dapat dipandang membentuk figurasi satu sama lain.
Tetapi penduduk sebuah desa, kota, bahkan satu bangsa juga merupakan figurasi
meski dalam contoh ini tak dapat dirasakan secara langsung karena rantai saling
ketergantungan yang menghubungkan orang secara bersama adalah lebih panjang dan
lebih berlainan (Elias ,1978 : 131 ).
Elias menolak menerangkan hubungan antara
individu dan masyarakat, tetapi lebih memusatkan perhatian pada hubungan antara
orang yang dibayangkan sebagai individu dan orang yang dibayangkan sebagai masyarakat.
Dengan kata lain, baik individu, baik individu maupun masyarakat melibatkan
orang (manusia).
Pemikiran Elias tentang figurasi berkaitan dengan
pemikiran bahwa individu adalah terbuka terhadap dan saling
berhubungan dengan individu lain. Ia menyatakan bahwa kebanyakan sosiolog
beroperasi dengan pemahaman tentang homo clauses, yakni gambaran bahwa setiap
orang akhirnya bebas secara mutlak dari semua orang, setiap orang menjadi
individu didalam dirinya. Gambaran demikian tak memberikan kemungkinan untuk membangun
sebuah teori figurasi, gambaran tentang aktor yang terbuka dan saling tergantung
diperlukan untuk sosiologi figurasi.
Elias memusatkan perhatian pada peradaban
negeri barat dan mengaplikasikan gagasannya pada Negara
lain yaitu Singapura, Elias tak hendak menyatakan bahwa
ada sesuatu yang sudah menjadi sifat baik atau lebih baik mengenai peradaban
seperti yang terjadi di barat atau tempat lain manapun. Ia pun tak hendak menyatakan bahwa peradaban mempunyai sifat
buruk meski ia mengakui bahwa berbagai kesulitan telah muncul dalam
peradaban barat. Lebih umum lagi Elias tak hendak
menyatakan bahwa semakin beradab adalah lebih baik, atau sebaliknya, semakin kurang beradab adalah
lebih buruk. Ia menyatakan bahwa orang menjadi makin beradab, kita tak perlu menyatakan bahwa mereka telah menjadi makin baik (atau makin
buruk ) kita semata-mata hanya menyatakan
fakta sosiologis. Demikian Elias memusatkan
perhatian pada studi sosiologi mengenai apa yang ia sebut “sosiogenesis” pada
peradaban di Barat.
Secara khusus Elias memusatkan
perhatian pada perubahan bertahap yang terjadi dalam prilaku dan susunan
psikologis orang Barat. Secara menyeluruh Elias
memusatkan perhatian pada hubungan antara perubahan dalam struktural perilaku dan susunan psikologis orang.
Dalam studinya tentang sejarah
tata karma, Elias tertarik pada transformasi
historis bertahap dari berbagai jenis perilaku biasa menurut arah yang
kini akan kita sebut sebagai perilaku yang diadabkan (civilized). Ia memulai analisisnya dari abad pertengahan, ia menjelaskan bahwa tak ada dan tak akan dapat
ditemukan titik awal (atau titik akhir) dari
perkembangan peradaban. Hal ini artinya, proses peradaban dapat ditelusuri
kebelakang, ke zaman kuno, ke hari ini dan akan berlanjut ke masa depan.
Peradaban adalah proses sebuah proses
perkembangan terus menerus, yang untuk mudahnya dipelajari Elias di abad pertengahan. Elias tertarik menelusuri hal-hal seperti apa yang menyulitkan kita
meningkatkan kepekaan kita, mengapa kita suka memperhatikan
orang lain dan mempertajam pemahaman kita terhadap orang lain.
Tatakrama ini akan berjalan dengan
baik dan dilaksanakan oleh masing-masing individu terlebih dahulu harus ada
norma-norma. Menurut sosiolog Soerjono
Soekanto (1990 : 199 – 200) norma-norma ini dirumuskan bertujuan untuk supaya
hubungan antar individu manusia dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana
diharapkan. Mula-mula norma-norma tersebut
dibentuk tidak dengan sengaja, namun lama kelamaan norma-norma
tersebut dibuat secara sadar.
Selanjutnya Soerjono Soekanto mengatakan bahwa tata karma atau tata kelakuan (mores)
mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan
sebagai alat pengawas, secara sadar maupun
tidak sadar oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya (Soerjono Soekanto ,1990 :201).
Beberapa Tatakrama yang dikemukakan oleh Elias :
1) Perilaku di Meja
Makan
Menurut Elias sikap dan prilaku
dimeja jamuan makan malam yang dinilai sedikit sekali atau tidak
memalukan di abad 13 ternyata menjadi aib besar atau sangat memalukan di abad
19. Apa yang dianggap tidak disukai, melalui perjalanan waktu semakin lenyap
dibelakang layer kehidupan sosial (Elias 1939/1994 :99). Sebagai contoh, seorang
penyair abad 13 memperingatkan sejumlah orang menggrogoti sebuah tulang dan
kemudian meletakanya kembali kedalam piring, perilaku ini merupakan pelanggaran
berat (Elias,1939/1994 :68). Buku lain terbitan abad 13 memperingatkan tak
sopan mengorek-ngorek telinga atau mata dengan jari, sebagaimana menjadi
kebiasaan beberapa orang atau mengupil ketika makan. Peringatan ini jelas
mengisaratkan bahwa di zaman itu banyak orang yang berperilku demikian dan
umumnya tidak menyebabkan orang yang melakukan itu atau orang lain yang berada
di jamuan makan malam itu merasa malu. Karenanya dirasa perlu adanya peringatan
seperti itu karena orang tak mengetahui bahwa perilaku seperti itu adalah tak
beradab. Melalui perjalanan waktu semakin kurang diperlukan peringatan mengenai
sesuatu hal sambil makan.
Salah satu pendapat Elias dalam konteks ini adalah
bahwa perubahan tersebut tidak diciptakan secara rasional. Menurut
Elias perubahan ini lebih bersumber pertimbangan emosional ketimbang rasional.
2) Membuang
Ingus
Proses figurasi serupa terlihat dalam pengendalian
membuang ingus. Sebagai contoh dokumen abad 15 memperingatkan jangan membuang
ingus dengan tangan yang digunakan untuk memegang makanan atau dokumen abad 16
memperingatkan bahwa setelah menghapus ingus jangan membentangkan sapu
tangan pengelapnya dan menatapinya seolah-olah mutiara dan batu delima
rontok dari kepala anda ( Elias,1939/1994 : 118 – 119).Tetapi diakhir abad 18
peringatan secara rinci demikian sudah disingkirkan dari sumber nasihat. Setiap
perbuatan sengaja membuang ingus adalah perbutan tak sopan, mencungkil hidung
dengan jari adalah menjijikan dan tak pantas. Dalam membuang ingus anda harus
mematuhi semua peraturan tentang kesopanan dan kebersihan (Elias,1939/1994 :121).
3) Hubungan
Seksual
Elias melukiskan kecenderungan umum yang sama dalam
hubungan seksual dalam hubungan seksual. Di abad pertengahan terbiasa bagi
kebanyakan orang termasuk lelaki dan wanita, tidur bersama sepanjang malam
dalam satu kamar. Namun tak terbiasa mereka tidur bertelanjang. Sejak itu
bertelanjang didepan orang yang berbeda jenis kelamin semakin dipandang sebagai
perbuatan yang memalukan. Sebagai contoh perilaku seksual yang tak beradab, Elias
melukiskan pakaian pengantin diawal abad pertengahan sebagai berikut : Arak-arakan
memasuki kamar pengantin dipimpin laki-laki terbaik. Pengantin wanita dilepas
pakaiannya oleh gadis-gadis pengiring, seluruh dandanannya ditanggalkan. Ranjang
pengantin harus dijaga dihadapan saksi-saksi agar perkawinan menjadi sah.
Mereka dibaringkan bersama, setelah berada diranjang, kalian sudah kawin
sebagaimana mestinya, demikian dikatakan.Di akhir abad pertengahan adap ini
secara bertahap berubah hingga tahap tertentu, dimana pasangan pengantin
diperbolehkan tidur diranjang dalam keadaan berpakaian. Bahkan ketika
masyarakat Pranis berada dibawah kekuasaan pemerintahan absolute pengantin
wanita dan laki-laki dibawa keranjang oleh tetamu, menanggalkan pakaian
pengantin, dan memasangkan pakaian tidur mereka (Elias,1934/1994 : 145 – 146).
Jelaslah perubahan ini berlanjut seiring dengan
kemajuan peradaban, kini segala sesuatu yang terjadi di ranjang pengantin
disembunyikan, terjadi dibelakang layar dan diluar penglihatan semua pengamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar