Aku mulai menjadi sosiolog sejak berusia
muda. Ayahku bekerja di dinas Intelijen Militer di akhir Perang Dunia II, kemudian
masuk Departemen Luar Negeri Amerika sebagai pejabat dinas Urusan Luar Negeri.
Salah satu kenang-kenanganku di Berlin untuk bergabung dengan ayah di musim
panas tahun 1945. Aku dan saudara wanitaku tak dapat bermain di taman karena di
situ ditanam ranjau darat dan satu hari serdadu Rusia datang ke halaman
belakang rumah kami untuk menggali kuburan korban perang. Kejadian ini memberiku
perasaan bahwa konflik adalah penting dan kekerasan selalu mungkin.
Kepindahan tugas ayahku berikutnya
membawa aku ke Uni Soviet, kembali ke Jerman (kemudian di bawah pendudukan
militer Amerika), ke Spanyol dan Amerika Selatan. Diantara melaksanakan tugas
luar negeri kami tinggal di Amerika, dengan demikian aku kembali dan seterusnya
hidup antara menjadi seorang anak Amerika biasa dan menjadi tamu istimewa luar
negeri. Pengalaman ini menimbulkan sejumlah sikap tertentu dalam memandang
hubungan sosial. Ketika aku makin dewasa kehidupan diplomatis kelihatannya
semakin kurang dramatis dan makin menyerupai sebuah lingkaran etiket formal tak
berujung, dimana orang tak pernah berbicara tentang persoalan politik penting
yang sedang terjadi; pemisahan antara kerahasiaan di belakang layar dan
seremonial di depan layar menyebabkan aku siap menghargai Erving Goffman.
Ketika aku sudah terlalu besar untuk
menyertai orang tuaku di luar negeri aku di kirim ke SMU Swasta di New England.
Ini mengajariku realitas sosiologi besar lainnya; keadaan stratifikasi sosial.
Banyak diantara siswa lain berasal dari keluarga The Social Register (daftar
orang terkemuka dalam masyarakat) dan aku mulai menduga bahwa ayahku tak sama
kelas sosialnya dengan Duta Besar dan Menteri Muda yang anak-anak mereka
kadang-kadang aku temui.
Aku kemudian belajar di Harvard dimana
aku berganti jurusan enam kali. Aku belajar kesusastraan dan mencoba menjadi
seorang dramawan dan penulis novel. Aku pindah dari matematika ke filsafat; aku
membaca karya Freud dan merencanakan menjadi psikiatris. Akhirnya aku memilih
jurusan Hubungan Sosial yang meliputi sosiologi, Psikologi Sosial dan
Antropologi. Setelah mengambil kuliah Talcott Parsons aku masuk jurusan
Hubungan Sosial itu. Kuliah Parsons meliputi bidang kajian yang sangat luas,
mulai dari analisis tingkat mikro ke tingkat makro dan akhirnya menjelaskan
sejarah dunia. Tak banyak yang ku dapat dari teori Parsons kecuali gagasan
tentang apa yang harus dipelajari oleh sosiologi. Iapun memberiku beberapa bagian
penting tentang modal kultural. Parsons mengajariku bahwa Max Weber kurang
perhatiannya mengenai etika protestan ketimbang dirinya sendiri yang
membandingkan dinamika seluruh agama di dunia dan Durkheim yang mengajukan
pertanyaan kunci ketika ia mencoba menjelaskan basis prakontraktual dari
ketertiban sosial.
Kupikir aku ingin menjadi seorang
psikolog dan belajar di Stanford, tetapi setelah setahun menerima ajaran
meyakinkan bahwa sosiologilah tempat yang lebih baik untuk mempelajari
kehidupan manusia, aku berganti universitas dan di musim panas tahun 1964 aku
tiba di Berkeley dan ketika itu juga bergabung dengan gerakan hak-hak sipil.
Musim gugur tahun itu juga gerakan kebebasan berbicara muncul di kampus kami.
Kami para mantan aktor gerakan aksi duduk mulai tertarik kepada faktor penyebab
lain yang membangkitkan emosi ketika orang dapat menciptakan solidaritas
bersama ratusan orang lainnya. Aku mencoba membuat analisis sosiologi konflik
pada saat kami mengalami bersama. Ketika perang Vietnam berlangsung dan konflik
rasial dalam negeri (di Amerika) meningkat, gerakan oposisi mulai tak mau lagi
mengakui prinsip tanpa kekerasannya; kebanyakan mahasiswa menjadi kecewa, putus
sekolah dan berlatih gaya hidup hipis. Bila Anda tak kehilangan kesadaran
sosiologis Anda, fenomena itu dapat dijelaskan. Aku mempelajari karya Erving
Goffman dan Herbert Blumer (ketika itu keduanya adalah profesor Berkeley) dan
mulai memahami mengapa seluruh aspek masyarakat, konflik stratifikasi, dan
lain-lainnya, dibangun dari ritual interaksi kehidupan sehari-hari kita.
Aku tak pernah merencanakan
untuk menjadi profesor, namun hingga kini aku mengajar di berbagai universitas.
Aku mencoba menghimpun kajian sosiologi dalam satu buku, Conflict Sociology
(1975) tetapi gagal dan aku menulis buku lain, the Credential Society (1979)
untuk menjelaskan kemerosotan sistem status dimana kita semua terperangkap
didalamnya. Untuk membuat kajian sendiri secara serius, aku meninggalkan dunia
akademis untuk sementara kehidupanku ditopang oleh hasil menulis novel dan buku
ajar. Akhirnya setelah ditarik oleh beberapa teman, aku kembali mengajar.
Bidang kajianku sangat luas mulai dari gambaran baru sejarah dunia turun
kerincian mikro emosi sosial. Istri keduaku Judith McConnell, adalah salah
seorang yang paling penting pengaruhnya terhadap kehidupanku. Ia mengorganisir
pengacara wanita untuk membongkar rintangan diskriminasi dalam profesi hukum
dan kini aku belajar darinya mengenai politik di belakang layar pengadilan
tinggi. Dalam sosiologi dan dalam masyarakat makin banyak yang harus
dikerjakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar