Senin, 08 April 2013

Perkembangan Sosiologi Prancis


Kini kita beralih ke pembentukan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu khususnya pada karya tiga pemikir Perancis, Claude Saint Simon, Auguste Comte, dan, khususnya, Emile Durkheim.

Claude Henri Saint-Simon (1760-1825)
Saint Simon lebih tua dari Auguste Comte. Comte sendiri adalah murid dan pernah menjadi sekretaris Saint Simon. Sangat banyak kesamaan gagasan kedua pemikir ini namun tak jarang berkembang perdebatan sengit antar keduanya yang akhirnya menyebabkan keduanya berpisah (Pickering, 1993; Thompson, 1975).
Sisi terpenting dari Saint Simon adalah peran pentingnya baik terhadap pengembangan teori Sosiologi Konservatif (seperti dilakukan Comte) maupun terhadap teori Marxian Radikal. Di sisi teori konservatif, Saint Simon ingin mempertahankan kehidupan masyarakat seperti apa adanya, tetapi ia tak ingin kembali ke kehidupan seperti di Abad Pertengahan sebagaimana yang di dambakan de Bonald dan de Maistre. Ia adalah seorang positivis (Durkheim 1928,1962:142) yang berarti ia yakin bahwa studi fenomena sosial sebaiknya menggunakan teknik ilmiah yang sama seperti yang digunakan dalam studi sains. Di sisi radikalnya, Saint Simon melihat perlunya reformasi sosialis terutama sentralisasi perencanaan sistem ekonomi. Tetapi, Saint Simon tidak sampai berpikir sejauh yang kelak dilakukan Marx. Meski ia melihat kapitalis akan menggantikan bangsawan feodal sebagaimana Marx melihatnya, namun ia tak membayangkan bahwa kelas buruh akan menggantikan kelas kapitalis. Banyak di antara gagasan Saint Simon yang terdapat dalam karya Comte, tetapi Comte mengembangkannya dengan cara yang lebih sistematis (Pickering, 1997).

Auguste Comte (1798-1857)
Comte adalah orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi. Pengaruhnya besar sekali terhadap para teoritisi sosiologi selanjutnya (terutama Herbert Spencer dan Emile Durkheim). Ia yakin bahwa studi sosiologi akan menjadi ilmiah sebagaimana keyakinan teoritisi klasik dan kebanyakan sosiolog kontemporer (Lenzer, 1975).
Meski Erikson mengakui Comte menciptakan nama sosiologi ia menentang pendapat yang menyatakan Comte sebagai “nenek moyang” sosiologi ilmiah modem. Erikson menganggap orang-orang seperti Adam Smith, atau para Moralis Skotlandia, merupakan sumber sebenarnya dari sosiologi modern. Lihat juga L. Hill (1996) untuk arti penting Adam Ferguson; dan Ullmann Margalit (1997) tentang Ferguson dan Adam Smith; juga Rundell (2001).
Karya Comte sangat prihatin terhadap anarki yang merasuki masyarakat dan mencela pemikir Perancis yang menimbulkan Pencerahan dan revolusi. Ia mengembangkan pandangan ilmiahnya, yakni “positivisme” atau “filsafat positif”, untnk memberantas sesuatu yang ia anggap sebagai filsafat negatif dan destruktif dari Abad Pencerahan. Comte sejalan dengan, dan dipengaruhi oleh, pemikir Katolik Perancis antirevolusi (terutama de Bonald dan de Maistre). Tetapi, pemikiran Comte dapat dipisahkan dari pengaruh kedua pemikir itu setidaknya berdasarkan dua landasan. PERTAMA, ia tak berpikir adanya kemungkinan kembali ke Abad Pertengahan; kemajuan ilmu dan industrilah yang tak memungkinkannya. KEDUA, ia mengembangkan sistem teori yang lebih canggih ketimbang yang dilakukan pendahulunya, yang cukup memadai untuk membentuk kajian yang baik dari sosiologi awal.
Comte mengembangkan fisika sosial atau yang pada 1839 disebutnya sosiologi (Pickering, 2000). Penggunaan istilah fisika sosial jelas menunjukkan bahwa Comte berupaya agar sosiologi meniru model “hard sciences”. Ilmu baru ini, yang anenurut pandangannya akhirnya akan menjadi ilmu dominan, adalah ilmu yang mempelajari social statics (statika sosial atau struktur sosial yang ada) dan social imamics (dinamika sosial atau perubahan sosial). Meski keduanya dimaksudkan antuk menemukan hukum-hukum kehidupan sosial, ia merasa bahwa dinamika sosial lebih penting ketimbang statika sosial. Tekanan pada perubahan sosial ini mencerminkan perhatiannya yang sangat besar terhadap reformasi sosial, Terutama pada penyakit-penyakit sosial yang diciptakan oleh Revolusi Perancis iian Pencerahan. Comte tidak menginginkan perubahan revolusioner karena ia merasa evolusi masyarakat secara alamiah akan membuat segala sesuatu menjadi lebih baik. Reformasi hanya diperlukan untuk membantu proses.
Ini membawa kita kepada landasan pendekatan Comte yakni teori evolusinya atau hukum tiga tingkatan. Teori yang dikemukakannya menyatakan adanya tiga tingkatan intelektual yang harus dilalui dunia di sepanjang arahnya. Menurut Comte, tak hanya dunia yang akan melalui proses ini, tetapi pga kelompok masyarakat, ilmu pengetahuan, individu, dan bahkan pemikiran berkembang melalui tiga tahap yang sama. Pertama, tahap teologis yang menjadi karakteristik dunia sebelum era 1300. Dalam periode ini sistem gagasan utamanya menekankan pada keyakinan bahwa kekuatan adikodrati, tokoh agama dan keteladanan kemanusiaan menjadi dasar segala sesuatu. Dunia sosial dan alam fisk khususnya dipandang sebagai ciptaan Tuhan. Kedua, tahap metafisik yang terjadi kira-kira antara 1300-1800. Era ini ditandai oleh keyakinan bahwa kekuatan abstraklah yang menerangkan segala sesuatu, bukannya dewa-dewa personal. Ketiga, pada tahun 1800 dunia memasuki tahap positivistik yang ditandai oleh keyakinan terhadap ilmu sains (science). Manusia mulai cenderung menghentikan penelitian terhadap penyebab absolut (Tuhan atau alam) dan memusatkan perhatian pada pengamatan terhadap alam fisik dan dunia sosial guna mengetahui hukum-hukum yang mengaturnya.
Jelas bahwa dalam teorinya tentang dunia, Comte memusatkan perhatian pada faktor intelektual. Ia menyatakan bahwa kekacauan intelektual menyebabkan kekacauan sosial. Kekacauan ini berasal dari sistem gagasan terdahulu (teologi dan metafisik) yang terus ada dalam era positif (ilmiah). Pergolakan sosial baru akan berakhir bila kehidupan masyarakat sepenuhnya dikendalikan oleh positivisme. Positivisme akan muncul meski tak secepat yang diharapkan orang.
Dalam hal ini reformisme sosial dan sosiologi Comte bertaut seperti dua mata uang. Sosiologi dapat mempercepat datangnya positivisme dan karena itu membawa ketertiban pada kehidupan sosial. Comte tampaknya tak ingin mendukung revolusi. Menurut pandangannya, kehidupan di dunia ini sudah cukup kacau, dan yang dibutuhkan dunia adalah perubahan intelektual. Karena itu Hampir tak ada alasan untuk melakukan revolusi politik dan sosial.
Kita telah berkenalan dengan beberapa pendirian Comte yang berpengaruh besar terhadap perkembangan sosiologi klasik konservatisme, reformisme, scientism, dan pandangan evolusinya tentang dunia. Ada beberapa aspek lain yang patut mendapat perhatian karena juga berperan penting dalam pengembangan teori sosiologi. Misalnya, dalam sosiologi Comte unit analisi dasarnya tidak berpusat pada individu, tetapi pada kesatuan yang lebih besar, seperti misalnya keluarga. Ia pun menyatakan bahwa kita harus memperhatikan struktur sosial dan perubahan sosial. Yang besar pengaruhnya terhadap teori sosiologi selanjutnya, terutama karya Spencer dan Parsons, adalah penekanan Comte terhadap ciri sistematis masyarakat hubungan antara berbagai komponen masyarakat. Ia pun menekankan besarnya peran konsensus dalam masyarakat. Ia menganggap remeh manfaat dari gagasan yang menyatakan bahwa masyarakat ditandai oleh konflik tak terelakkan antara buruh dan kapitalis. Ia juga menekankan perlunya memahami teori abstrak dan melakukan riset sosiologi. Ia mendorong para sosiolog untuk menggunakan teknik observasi, eksperimen, dan analisis historis komparatif. Comte yakin sosiologi akhirnya akan menjadi kekuatan ilmiah dominan di dunia karena kemampuan istimewanya dalam menafsirkan hukum sosial dan melakukan reformasi yang bertujuan menyelesaikan masalah dalam sistem.
Comte berada di garis terdepan perkembangan sosiologi positif (Bryant, 1985; Halfpenny, 1982). Menurut Jonathan Turner, positivisme Comte menekankan bahwa “semesta sosial menerima perkembangan hukum-hukum abstrak yang dapat diuji melalui pengumpulan data yang hati-hati”, dan “hukum abstrak itu dapat menunjukkan kandungan mendasar dan umum dari semesta sosial, dan akan menspesifikasikan ‘relasi naturalnya’” (1985:24). Seperti akan terlihat, sejumlah teoritisi klasik (terutama Spencer dan Durkheim) sama besar perhatiannya dengan Comte dalam upaya menemukan hukum-hukum kehidupan sosial itu. Sementara positivisme masih tetap penting dalam sosiologi kontemporer, ia telah mendapatkan serangan dari sejumlah kalangan (Morrow, 1994).
Meskipun Comte mempunyai basis akademi yang kurang kuat dalam membangun teori sosiologi alirannya sendiri, tetapi ia telah meletakkan fondasi bagi pengembangan aliran teori sosiologi yang signifikan. Namun pengaruh Comte yang cukup besar itu dikecilkan oleh pengikutnya sendiri dalam sosiologi Perancis dan pewaris sejumlah ide-idenya, yakni Emile Durkheim.

Emile Durkheim (1858-1917)
Hubungan Durkheim dengan Pencerahan jauh lebih mendua ketimbang Comte. Durkheim dipandang sebagai pewaris tradisi Penceraham karena penekanannya pada sains dan reformisme sosial. Akan tetapi, Durkheim juga dipandang sebagai pewaris tradisi konservatif, khususnya seperti tercermin (dalam karya Comte. Bedanya, sementara Comte tetap berada di luar dunia akademi, Durkheim mengembangkan basis akademi yang kokoh untuk kemajuan karirnya. Durkheim melegitimasi sosiologi di Perancis dan karyanya akhirnya menjadi kekuatan dominan dalam perkembangan sosiologi pada umumnya, dan perkembangan teori sosiologi pada khususnya (R. Jones, 2000).
Secara politik, Durkheim adalah seorang liberal, tetapi secara intelektual ia tersolong lebih konservatif. Seperti Comte dan orang Katolik yang menentang Revolusi Perancis, ia cemas dan membenci kekacauan sosial. Karyanya banyak mendapat inspirasi dari kekacauan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial besar secerti Revolusi Perancis dan oleh perubahan sosial lain (seperti pemogokan buruh industri, kekacauan kelas penguasa, perpecahan negara-gereja, dan kebangkitan politik antisemitisme) yang menonjol di Perancis di masa hidup Durkheim (Karady,1983). Sebenarnya sebagian besar karyanya tercurah pada studi tentang tertib sosial. Menurutnya, kekacauan sosial bukan keniscayaan dari kehidupan modern dan dapat dikurangi melalui reformasi sosial. Marx memandang bahwa masalah dunia modern melekat dalam masyarakat, sedangkan Durkheim (dan kebanyakan teoritisi klasik lainnya) tak berpendapat demikian. Akibatnya, gagasan Marx tentang perlunya revolusi sosial bertolak belakang dengan gagasan reformasi Durkheim dan teoritisi lainnya. Ketika teori sosologi klasik berkembang, gagasan Durkheim tentang keteraturan dan reformasi menjadi dominan sedangkan pemikiran Marxian merosot.
Fakta-fakta Sosial. Durkheim mengembangkan konsep masalah pokok sasologi penting dan kemudian diujinya melalui studi empiris. Dalam The Rule of sosiological Method (1895/1982) Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi mempelajari apa yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial. Ia membayangkan fakta sosial sebagai kekuatan (forces) (Takla dan Pope,1985) dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berskala luas ini misalnya, hukum yang melembaga dan keyakinan moral bersama dan pengaruhnya terhadap individu menjadi sasaran studi banyak teoritisi sosiologi di kemudian hari (misalnya Parsons). Dalam bukunya yang berudul Suicide (1897/1951) Durkheim berpendapat bahwa bila ia dapat menghubungkan perilaku individu seperti bunuh diri itu dengan sebab-sebab (fakta sosial) maka ia akan dapat menciptakan alasan meyakinkan tentang pentingnya disiplin sosiologi. Tetapi, Durkheim tak sampai menguji mengapa individu A atau B melakukan bunuh diri; ia lebih tertarik terhadap penyebab yang berbeda-beda dalam rata-rata perilaku bunuh diri di kalangan kelompok, wilayah, negara, dan di kalangan golongan individu yang berbeda (misalnya, antara orang yang kawin dan lajang). Argumen dasarnya adalah bahwa sifat dan perubahan fakta sosiallah yang menyebabkan perbedaan rata-rata bunuh diri. Misalnya, perang atau depresi ekonomi dapat menciptakan perasaan depresi kolektif yang selanjutnya dapat meningkatkan angka bunuh diri. Masih banyak lagi yang dapat dibahas mengenai masalah ini, tetapi tujuan utama kita di sini adalah untuk mengatakan bahwa Durkheim mengembangkan pandangan sosiologi tersendiri dan mencoba menunjukkan kegunaannya dalam studi ilmiah tentang bunuh diri.
Dalam The Rule of Sociological Method ia membedakan antara dua tipe fakta sosial: material dan nonmaterial. Meski ia membahas keduanya dalam karyanya, perhatian utamanya lebih tertuju pada fakta sosial nonmaterial (misalnya kultur, institusi sosial) ketimbang pada fakta sosial material (birokrasi, hukum). Perhatiannya terhadap fakta sosial nonmaterial ini telah jelas dalam karyanya paling awal, The Division of Labor in Society (1893/1964). Dalam buku tersebut perhatiannya tertuju pada upaya membuat analisis komparatif mengenai apa yang membuat masyarakat bisa dikatakan berada dalam keadaan primitif atau modern. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan terutama oleh fakta sosial nonmaterial, khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas bersama, atau oleh apa yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif yang kuat. Tetapi, karena kompleksitas masyarakat modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun. Ikatan utama dalam masyarakat modern adalah pembagian kerja yang ruwet, yang mengikat orang yang satu dengan orang lainnya dalam hubungan saling tergantung. Tetapi, menurut Durkheim, pembagian kerja dalam masyarakat modern menimbulkan beberapa patologi (pathologies). Dengan kata lain, divisi kerja bukan metode yang memadai yang dapat membantu menyatukan masyarakat. Kecenderungan sosiologi konservatif Durkheim terlihat ketika ia menganggap revolusi tak diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Menurutnya, berbagai reformasi dapat memperbaiki dan menjaga sistem sosial modern agar tetap berfungsi. Meski ia mengakui bahwa tak mungkin kembali ke masa lalu di mana kesadaran kolektif masih menonjol, namun ia menganggap bahwa dalam masyarakat modern moralitas bersama dapat diperkuat dan karena itu manusia akan dapat menanggulangi penyakit sosial yang mereka alami dengan cara yang lebih baik.
Agama. Dalam karyanya yang kemudian, fakta sosial nonmaterial menempati posisi yang jauh lebih sentral. Dalam karyanya yang terakhir, The Elementary Forms of Religious Life (1912/1965), ia memusatkan perhatian pada bentuk terakhir fakta sosial nonmaterial yakni agama. Dalam karya ini Durkheim membahas masyarakat primitif untuk menemukan akar agama.
Durkheim yakin bahwa ia akan dapat secara lebih baik menemukan akar agama itu dengan jalan membandingkan masyarakat primitif yang sederhana ketimbang dalam masyarakat modern yang kompleks. Temuannya adalah bahwa sumber Hama adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah yang menentukan bahwa sesuatu itu bersifat sakral dan yang lainnya bersifat profan, khususnya dalam kasus vang disebut totemisme. Dalam agama primitif (totemisme) ini benda-benda seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang didewakan. Selanjutnya totemisme dilihat sebagai tipe khusus fakta sosial nonmaterial, sebagai sebentuk kesadaran kolektif. Akhirnya Durkheim menyimpulkan bahwa masyarakat dan agama (atau lebih umum lagi, kesatuan kolektif) adalah satu dan sama. Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Sedikit banyak Durkheim tampak mendewakan masyarakat dan produk-produk utamanya. Jelasnya, dalam mendewakan masyarakat ia menampakkan pendirian yang sangat konservatif: orang tak mau menjatuhkan sumber ketuhanannya sendiri atau sumber kehidupan masyarakatnya. Karena ia menvamakan masyarakat dengan dewa (Tuhan), maka Durkheim tak berkecenderungan untuk mendorong revolusi. Durkheim adalah seorang reformis yang mencari cara untuk meningkatkan fungsi masyarakat. Dalam hal ini, dan hal lainnya, Durkheim sejalan dengan sosiolog konservatif Perancis. Fakta bahwa ia menghindari berbagai ekses sosiologi Perancis telah menjadikannya sebagai tokoh terpenting dalam sosiologi Perancis.
Buku-buku tersebut di atas dan karya penting lainnya membantu memantapkan posisi sosiologi di dunia akademi di Perancis pada masa percantian abad dan menempatkan Durkheim pada posisi puncak dalam bidang kajian yang sedang tumbuh itu. Pada 1898 Durkheim menerbitkan jurnal ilmiah L’annee Sociologique (Besnard,1983). Jurnal ini sangat berpengaruh dalam perkembangan dan penyebaran pemikiran sosiologi. Durkheim dengan gigih membantu pertumbuhan sosiologi dan ia menggunakan jurnalnya sebagai sarana untuk membangun kelompok muridnya. Muridnya ini kemudian mengembangkan sagasan Durkheim dan menyebarkannya ke berbagai aspek kehidupan sosial yang lain (seperti sosiologi hukum dan sosiologi perkotaan) (Besnard, 1983:1). Tahun 1910 Durkheim mendirikan pusat kajian sosiologi yang kuat di Perancis dbe kalian sosiologi secara akademis melembaga secara baik di Perancis.

1 komentar: