Kini kita
beralih ke pembentukan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu khususnya pada
karya tiga pemikir Perancis, Claude Saint Simon, Auguste Comte, dan, khususnya,
Emile Durkheim.
Claude Henri Saint-Simon (1760-1825)
Saint Simon
lebih tua dari Auguste Comte. Comte sendiri adalah murid dan pernah menjadi
sekretaris Saint Simon. Sangat banyak kesamaan gagasan kedua pemikir ini namun
tak jarang berkembang perdebatan sengit antar keduanya yang akhirnya
menyebabkan keduanya berpisah (Pickering, 1993; Thompson, 1975).
Sisi
terpenting dari Saint Simon adalah peran pentingnya baik terhadap pengembangan
teori Sosiologi Konservatif (seperti dilakukan Comte) maupun terhadap teori
Marxian Radikal. Di sisi teori konservatif, Saint Simon ingin mempertahankan
kehidupan masyarakat seperti apa adanya, tetapi ia tak ingin kembali ke
kehidupan seperti di Abad Pertengahan sebagaimana yang di dambakan de Bonald
dan de Maistre. Ia adalah seorang positivis (Durkheim 1928,1962:142) yang
berarti ia yakin bahwa studi fenomena sosial sebaiknya menggunakan teknik
ilmiah yang sama seperti yang digunakan dalam studi sains. Di sisi radikalnya,
Saint Simon melihat perlunya reformasi sosialis terutama sentralisasi
perencanaan sistem ekonomi. Tetapi, Saint Simon tidak sampai berpikir sejauh
yang kelak dilakukan Marx. Meski ia melihat kapitalis akan menggantikan
bangsawan feodal sebagaimana Marx melihatnya, namun ia tak membayangkan bahwa
kelas buruh akan menggantikan kelas kapitalis. Banyak di antara gagasan Saint
Simon yang terdapat dalam karya Comte, tetapi Comte mengembangkannya dengan
cara yang lebih sistematis (Pickering, 1997).
Auguste Comte (1798-1857)
Comte adalah
orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi. Pengaruhnya besar sekali
terhadap para teoritisi sosiologi selanjutnya (terutama Herbert Spencer dan
Emile Durkheim). Ia yakin bahwa studi sosiologi akan menjadi ilmiah sebagaimana
keyakinan teoritisi klasik dan kebanyakan sosiolog kontemporer (Lenzer, 1975).
Meski Erikson
mengakui Comte menciptakan nama sosiologi ia menentang pendapat yang menyatakan
Comte sebagai “nenek moyang” sosiologi ilmiah modem. Erikson menganggap
orang-orang seperti Adam Smith, atau para Moralis Skotlandia, merupakan sumber
sebenarnya dari sosiologi modern. Lihat juga L. Hill (1996) untuk arti penting
Adam Ferguson; dan Ullmann Margalit (1997) tentang Ferguson dan Adam Smith;
juga Rundell (2001).
Karya Comte
sangat prihatin terhadap anarki yang merasuki masyarakat dan mencela pemikir
Perancis yang menimbulkan Pencerahan dan revolusi. Ia mengembangkan pandangan
ilmiahnya, yakni “positivisme” atau “filsafat positif”, untnk memberantas
sesuatu yang ia anggap sebagai filsafat negatif dan destruktif dari Abad
Pencerahan. Comte sejalan dengan, dan dipengaruhi oleh, pemikir Katolik
Perancis antirevolusi (terutama de Bonald dan de Maistre). Tetapi, pemikiran
Comte dapat dipisahkan dari pengaruh kedua pemikir itu setidaknya berdasarkan
dua landasan. PERTAMA, ia tak berpikir adanya kemungkinan kembali ke Abad
Pertengahan; kemajuan ilmu dan industrilah yang tak memungkinkannya. KEDUA, ia
mengembangkan sistem teori yang lebih canggih ketimbang yang dilakukan
pendahulunya, yang cukup memadai untuk membentuk kajian yang baik dari
sosiologi awal.
Comte
mengembangkan fisika sosial atau yang pada 1839 disebutnya sosiologi
(Pickering, 2000). Penggunaan istilah fisika sosial jelas menunjukkan bahwa
Comte berupaya agar sosiologi meniru model “hard sciences”. Ilmu baru ini, yang
anenurut pandangannya akhirnya akan menjadi ilmu dominan, adalah ilmu yang
mempelajari social statics (statika sosial atau struktur sosial yang ada) dan
social imamics (dinamika sosial atau perubahan sosial). Meski keduanya
dimaksudkan antuk menemukan hukum-hukum kehidupan sosial, ia merasa bahwa
dinamika sosial lebih penting ketimbang statika sosial. Tekanan pada perubahan
sosial ini mencerminkan perhatiannya yang sangat besar terhadap reformasi
sosial, Terutama pada penyakit-penyakit sosial yang diciptakan oleh Revolusi
Perancis iian Pencerahan. Comte tidak menginginkan perubahan revolusioner
karena ia merasa evolusi masyarakat secara alamiah akan membuat segala sesuatu
menjadi lebih baik. Reformasi hanya diperlukan untuk membantu proses.
Ini membawa
kita kepada landasan pendekatan Comte yakni teori evolusinya atau hukum tiga
tingkatan. Teori yang dikemukakannya menyatakan adanya tiga tingkatan
intelektual yang harus dilalui dunia di sepanjang arahnya. Menurut Comte, tak
hanya dunia yang akan melalui proses ini, tetapi pga kelompok masyarakat, ilmu
pengetahuan, individu, dan bahkan pemikiran berkembang melalui tiga tahap yang
sama. Pertama, tahap teologis yang menjadi karakteristik dunia sebelum era
1300. Dalam periode ini sistem gagasan utamanya menekankan pada keyakinan bahwa
kekuatan adikodrati, tokoh agama dan keteladanan kemanusiaan menjadi dasar segala
sesuatu. Dunia sosial dan alam fisk khususnya dipandang sebagai ciptaan Tuhan.
Kedua, tahap metafisik yang terjadi kira-kira antara 1300-1800. Era ini
ditandai oleh keyakinan bahwa kekuatan abstraklah yang menerangkan segala
sesuatu, bukannya dewa-dewa personal. Ketiga, pada tahun 1800 dunia memasuki
tahap positivistik yang ditandai oleh keyakinan terhadap ilmu sains (science).
Manusia mulai cenderung menghentikan penelitian terhadap penyebab absolut
(Tuhan atau alam) dan memusatkan perhatian pada pengamatan terhadap alam fisik
dan dunia sosial guna mengetahui hukum-hukum yang mengaturnya.
Jelas bahwa
dalam teorinya tentang dunia, Comte memusatkan perhatian pada faktor
intelektual. Ia menyatakan bahwa kekacauan intelektual menyebabkan kekacauan
sosial. Kekacauan ini berasal dari sistem gagasan terdahulu (teologi dan
metafisik) yang terus ada dalam era positif (ilmiah). Pergolakan sosial baru
akan berakhir bila kehidupan masyarakat sepenuhnya dikendalikan oleh
positivisme. Positivisme akan muncul meski tak secepat yang diharapkan orang.
Dalam hal ini
reformisme sosial dan sosiologi Comte bertaut seperti dua mata uang. Sosiologi
dapat mempercepat datangnya positivisme dan karena itu membawa ketertiban pada
kehidupan sosial. Comte tampaknya tak ingin mendukung revolusi. Menurut
pandangannya, kehidupan di dunia ini sudah cukup kacau, dan yang dibutuhkan
dunia adalah perubahan intelektual. Karena itu Hampir tak ada alasan untuk
melakukan revolusi politik dan sosial.
Kita telah
berkenalan dengan beberapa pendirian Comte yang berpengaruh besar terhadap
perkembangan sosiologi klasik konservatisme, reformisme, scientism, dan
pandangan evolusinya tentang dunia. Ada beberapa aspek lain yang patut mendapat
perhatian karena juga berperan penting dalam pengembangan teori sosiologi.
Misalnya, dalam sosiologi Comte unit analisi dasarnya tidak berpusat pada
individu, tetapi pada kesatuan yang lebih besar, seperti misalnya keluarga. Ia
pun menyatakan bahwa kita harus memperhatikan struktur sosial dan perubahan
sosial. Yang besar pengaruhnya terhadap teori sosiologi selanjutnya, terutama
karya Spencer dan Parsons, adalah penekanan Comte terhadap ciri sistematis
masyarakat hubungan antara berbagai komponen masyarakat. Ia pun menekankan
besarnya peran konsensus dalam masyarakat. Ia menganggap remeh manfaat dari
gagasan yang menyatakan bahwa masyarakat ditandai oleh konflik tak terelakkan
antara buruh dan kapitalis. Ia juga menekankan perlunya memahami teori abstrak
dan melakukan riset sosiologi. Ia mendorong para sosiolog untuk menggunakan
teknik observasi, eksperimen, dan analisis historis komparatif. Comte yakin
sosiologi akhirnya akan menjadi kekuatan ilmiah dominan di dunia karena
kemampuan istimewanya dalam menafsirkan hukum sosial dan melakukan reformasi
yang bertujuan menyelesaikan masalah dalam sistem.
Comte berada
di garis terdepan perkembangan sosiologi positif (Bryant, 1985; Halfpenny,
1982). Menurut Jonathan Turner, positivisme Comte menekankan bahwa “semesta
sosial menerima perkembangan hukum-hukum abstrak yang dapat diuji melalui
pengumpulan data yang hati-hati”, dan “hukum abstrak itu dapat menunjukkan
kandungan mendasar dan umum dari semesta sosial, dan akan menspesifikasikan
‘relasi naturalnya’” (1985:24). Seperti akan terlihat, sejumlah teoritisi
klasik (terutama Spencer dan Durkheim) sama besar perhatiannya dengan Comte
dalam upaya menemukan hukum-hukum kehidupan sosial itu. Sementara positivisme
masih tetap penting dalam sosiologi kontemporer, ia telah mendapatkan serangan
dari sejumlah kalangan (Morrow, 1994).
Meskipun Comte
mempunyai basis akademi yang kurang kuat dalam membangun teori sosiologi
alirannya sendiri, tetapi ia telah meletakkan fondasi bagi pengembangan aliran
teori sosiologi yang signifikan. Namun pengaruh Comte yang cukup besar itu
dikecilkan oleh pengikutnya sendiri dalam sosiologi Perancis dan pewaris
sejumlah ide-idenya, yakni Emile Durkheim.
Emile Durkheim (1858-1917)
Hubungan
Durkheim dengan Pencerahan jauh lebih mendua ketimbang Comte. Durkheim
dipandang sebagai pewaris tradisi Penceraham karena penekanannya pada sains dan
reformisme sosial. Akan tetapi, Durkheim juga dipandang sebagai pewaris tradisi
konservatif, khususnya seperti tercermin (dalam karya Comte. Bedanya, sementara
Comte tetap berada di luar dunia akademi, Durkheim mengembangkan basis akademi
yang kokoh untuk kemajuan karirnya. Durkheim melegitimasi sosiologi di Perancis
dan karyanya akhirnya menjadi kekuatan dominan dalam perkembangan sosiologi
pada umumnya, dan perkembangan teori sosiologi pada khususnya (R. Jones, 2000).
Secara
politik, Durkheim adalah seorang liberal, tetapi secara intelektual ia
tersolong lebih konservatif. Seperti Comte dan orang Katolik yang menentang
Revolusi Perancis, ia cemas dan membenci kekacauan sosial. Karyanya banyak
mendapat inspirasi dari kekacauan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial besar
secerti Revolusi Perancis dan oleh perubahan sosial lain (seperti pemogokan
buruh industri, kekacauan kelas penguasa, perpecahan negara-gereja, dan
kebangkitan politik antisemitisme) yang menonjol di Perancis di masa hidup
Durkheim (Karady,1983). Sebenarnya sebagian besar karyanya tercurah pada studi
tentang tertib sosial. Menurutnya, kekacauan sosial bukan keniscayaan dari
kehidupan modern dan dapat dikurangi melalui reformasi sosial. Marx memandang
bahwa masalah dunia modern melekat dalam masyarakat, sedangkan Durkheim (dan
kebanyakan teoritisi klasik lainnya) tak berpendapat demikian. Akibatnya,
gagasan Marx tentang perlunya revolusi sosial bertolak belakang dengan gagasan
reformasi Durkheim dan teoritisi lainnya. Ketika teori sosologi klasik
berkembang, gagasan Durkheim tentang keteraturan dan reformasi menjadi dominan
sedangkan pemikiran Marxian merosot.
Fakta-fakta
Sosial. Durkheim
mengembangkan konsep masalah pokok sasologi penting dan kemudian diujinya melalui
studi empiris. Dalam The Rule of sosiological Method (1895/1982) Durkheim
menekankan bahwa tugas sosiologi mempelajari apa yang ia sebut sebagai
fakta-fakta sosial. Ia membayangkan fakta sosial sebagai kekuatan (forces)
(Takla dan Pope,1985) dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa
individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berskala luas ini misalnya, hukum
yang melembaga dan keyakinan moral bersama dan pengaruhnya terhadap individu
menjadi sasaran studi banyak teoritisi sosiologi di kemudian hari (misalnya
Parsons). Dalam bukunya yang berudul Suicide (1897/1951) Durkheim berpendapat
bahwa bila ia dapat menghubungkan perilaku individu seperti bunuh diri itu
dengan sebab-sebab (fakta sosial) maka ia akan dapat menciptakan alasan
meyakinkan tentang pentingnya disiplin sosiologi. Tetapi, Durkheim tak sampai
menguji mengapa individu A atau B melakukan bunuh diri; ia lebih tertarik
terhadap penyebab yang berbeda-beda dalam rata-rata perilaku bunuh diri di
kalangan kelompok, wilayah, negara, dan di kalangan golongan individu yang
berbeda (misalnya, antara orang yang kawin dan lajang). Argumen dasarnya adalah
bahwa sifat dan perubahan fakta sosiallah yang menyebabkan perbedaan rata-rata
bunuh diri. Misalnya, perang atau depresi ekonomi dapat menciptakan perasaan
depresi kolektif yang selanjutnya dapat meningkatkan angka bunuh diri. Masih
banyak lagi yang dapat dibahas mengenai masalah ini, tetapi tujuan utama kita
di sini adalah untuk mengatakan bahwa Durkheim mengembangkan pandangan
sosiologi tersendiri dan mencoba menunjukkan kegunaannya dalam studi ilmiah
tentang bunuh diri.
Dalam The Rule
of Sociological Method ia membedakan antara dua tipe fakta sosial: material dan
nonmaterial. Meski ia membahas keduanya dalam karyanya, perhatian utamanya
lebih tertuju pada fakta sosial nonmaterial (misalnya kultur, institusi sosial)
ketimbang pada fakta sosial material (birokrasi, hukum). Perhatiannya terhadap
fakta sosial nonmaterial ini telah jelas dalam karyanya paling awal, The
Division of Labor in Society (1893/1964). Dalam buku tersebut perhatiannya
tertuju pada upaya membuat analisis komparatif mengenai apa yang membuat
masyarakat bisa dikatakan berada dalam keadaan primitif atau modern. Ia
menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan terutama oleh fakta sosial
nonmaterial, khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas bersama, atau oleh apa
yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif yang kuat. Tetapi, karena kompleksitas
masyarakat modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun. Ikatan utama
dalam masyarakat modern adalah pembagian kerja yang ruwet, yang mengikat orang
yang satu dengan orang lainnya dalam hubungan saling tergantung. Tetapi,
menurut Durkheim, pembagian kerja dalam masyarakat modern menimbulkan beberapa
patologi (pathologies). Dengan kata lain, divisi kerja bukan metode yang
memadai yang dapat membantu menyatukan masyarakat. Kecenderungan sosiologi
konservatif Durkheim terlihat ketika ia menganggap revolusi tak diperlukan
untuk menyelesaikan masalah. Menurutnya, berbagai reformasi dapat memperbaiki
dan menjaga sistem sosial modern agar tetap berfungsi. Meski ia mengakui bahwa
tak mungkin kembali ke masa lalu di mana kesadaran kolektif masih menonjol,
namun ia menganggap bahwa dalam masyarakat modern moralitas bersama dapat
diperkuat dan karena itu manusia akan dapat menanggulangi penyakit sosial yang
mereka alami dengan cara yang lebih baik.
Agama. Dalam karyanya yang kemudian, fakta
sosial nonmaterial menempati posisi yang jauh lebih sentral. Dalam karyanya
yang terakhir, The Elementary Forms of Religious Life (1912/1965), ia
memusatkan perhatian pada bentuk terakhir fakta sosial nonmaterial yakni agama.
Dalam karya ini Durkheim membahas masyarakat primitif untuk menemukan akar
agama.
Durkheim yakin
bahwa ia akan dapat secara lebih baik menemukan akar agama itu dengan jalan
membandingkan masyarakat primitif yang sederhana ketimbang dalam masyarakat
modern yang kompleks. Temuannya adalah bahwa sumber Hama adalah masyarakat itu
sendiri. Masyarakatlah yang menentukan bahwa sesuatu itu bersifat sakral dan
yang lainnya bersifat profan, khususnya dalam kasus vang disebut totemisme.
Dalam agama primitif (totemisme) ini benda-benda seperti tumbuh-tumbuhan dan
binatang didewakan. Selanjutnya totemisme dilihat sebagai tipe khusus fakta
sosial nonmaterial, sebagai sebentuk kesadaran kolektif. Akhirnya Durkheim
menyimpulkan bahwa masyarakat dan agama (atau lebih umum lagi, kesatuan
kolektif) adalah satu dan sama. Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan
dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Sedikit banyak Durkheim
tampak mendewakan masyarakat dan produk-produk utamanya. Jelasnya, dalam
mendewakan masyarakat ia menampakkan pendirian yang sangat konservatif: orang
tak mau menjatuhkan sumber ketuhanannya sendiri atau sumber kehidupan masyarakatnya.
Karena ia menvamakan masyarakat dengan dewa (Tuhan), maka Durkheim tak
berkecenderungan untuk mendorong revolusi. Durkheim adalah seorang reformis
yang mencari cara untuk meningkatkan fungsi masyarakat. Dalam hal ini, dan hal
lainnya, Durkheim sejalan dengan sosiolog konservatif Perancis. Fakta bahwa ia
menghindari berbagai ekses sosiologi Perancis telah menjadikannya sebagai tokoh
terpenting dalam sosiologi Perancis.
Buku-buku tersebut di
atas dan karya penting lainnya membantu memantapkan posisi sosiologi di dunia
akademi di Perancis pada masa percantian abad dan menempatkan Durkheim pada
posisi puncak dalam bidang kajian yang sedang tumbuh itu. Pada 1898 Durkheim
menerbitkan jurnal ilmiah L’annee Sociologique (Besnard,1983). Jurnal ini
sangat berpengaruh dalam perkembangan dan penyebaran pemikiran sosiologi.
Durkheim dengan gigih membantu pertumbuhan sosiologi dan ia menggunakan
jurnalnya sebagai sarana untuk membangun kelompok muridnya. Muridnya ini
kemudian mengembangkan sagasan Durkheim dan menyebarkannya ke berbagai aspek
kehidupan sosial yang lain (seperti sosiologi hukum dan sosiologi perkotaan)
(Besnard, 1983:1). Tahun 1910 Durkheim mendirikan pusat kajian sosiologi yang
kuat di Perancis dbe kalian sosiologi secara akademis melembaga secara baik di
Perancis.
Ini dari George ritzer ya mas?
BalasHapus