Minggu, 28 April 2013

Teori Sosial Postmodern


Judith Butler (1995:51) mengatakan tidak hanya bagi kalangan postmodernis saja, tetapi juga kalangan modern ketika dia memberitahukan: “saya tidak tahu apa itu postmodernisme”. Meskipun hingga saat ini tidak ada konsep yang lebih bergema di antara ilmuwan dalam tingkatan disiplin yang luas kecuali “postmodernisme”, namun ada ambiguitas yang besar dan kontroversial apa yang dimaksud dengan gagasan dan istilah yang terkait. Oleh sebab itu untuk menambah kejernihan, kita perlu membedakan antara teori sosial postmodernitas, postmodernisme, dan postmodern.
Postmodernitas merujuk pada suatu epos, jangka waktu, zaman, masa-sosial dan politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu pemamahan historis (Kumar, 1995; Crook, Pakulski, dan Waters, 1992). Postmodernisme merujuk pada suatu produk kultural (dalam sejarah, film, arsitektur, dan sebagainya) yang terlihat berbeda dari produk kultural modern (Kumar, 1995; Jameson, 1991). Teori sosial postmodern merujuk pada bentuk teori sosial yang berbeda dari teori social modern (Best dan Kellner, 1991). Jadi ide postmodern meliputi suatu espos historis baru, produk kultural baru, dan tipe teorisisasi baru mengenai dunia sosial. Semua elemen postmodern tersebut tentu saja memiliki suatu perspektif yang baru dan pada tahun-tahun terakhir tejadi perbedaan (secara sosial, kultural dan intelektual) yang mana perkembangan postmodern baru tersebut barangkali menjadi alternatif menggantikan realitas-realitas modern.
Poin yang pertama adanya kepercayaan luas bahwa era modernitas berakhir atau sudah berakhir, dan kita sudah masuk dalam epos sosial baru yaitu postmodernitas (Dunn, 1991). Ada banyak cara untuk mengkarakterisasikan perbedaan-perbedaan antara dunia modern dan postmodern, sebagai suatu ilustrasi; salah satunya yang terbaik adalah perbedaanya dalam sudut pandang, apakah ada kemungkinan menemukan suatu solusi rasional (rasionalitas merupakan konsep yang secara dekat diasosiasikan dengan modernitas [Dahrendorf, 1979]) terhadap solusi persoalan-persoalan masyarakat.
Sebagian besar postmodernis kesulitan dan bahkan enggan membicarakan transisi historis dari modernitas ke postmodernitas. Ini merupakan sejenis narasi besar yang sudah diketahui mereka menolaknya. Bagi para postmodernis sesuatu yang jarang itu mungkin pernah berkembang dalam suatu makna yang sederhana dan linear. Menurut mereka, hal itu sangat menjauhkan kemurnian dan menyederhanakan perbedaan antara epos historis. Jadi, meskipun boleh saja memikirkan suatu transisi dari modernitas ke postmodernitas, tatapi banyak dari pemikiran ini didorong oleh teori sosial postmodern. Sedikit, jika tidak sama sekali teoritisi postmodern menerima kesederhanaan, linear dan narasi besar semacam itu. Mereka sepakat bahwa sesuatu yang terjadi, sesuatu yang berubah, itu bukanlah hal sederhana dan linear.
Kedua, postmodernisme tidak dapat dipisahkan dari domain kultural ketika ia menguraikan bahwa produk postmodern cenderung menggantikan produk modern.  Ketiga. Yang langsung berhubungan dengan kita disini, adalah kemunculan teori sosial postmodern dan perbedaannya dengan teori modern. Secara umum, teori sosial modern cenderung menjadi absolute, rasional, dan menerima posibilitas penemuan kebenaran. Sebaliknya teori sosial postmodern cenderung menjadi relatifistik dan terbuka kemungkinan irrasionalitas. Tetapi sebagaimana yang menjadi masalah dalam teori sosial modern, tidak semua teori sosial postmodern seperti itu. 

APAKAH TEORI SOSIAL POSTMODERN ITU?
Mulanya, Pauline Rosenau mendefinisikan teori postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan. Terutama sekali dan sangat nyata, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Karena peristiwa yang mengerikan selama abad ke duapuluh. Postmodern menanyakan bagaimana seorang dapat percaya bahwa modernitas dapat membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Karenanya postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), totalitas dan sebagainya. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Setidak-tidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti “emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentiment keagamaan, dan pengalaman mistik”.
Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, “budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas”. Maka, kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tertentu dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar. Tujuan utama postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal ini juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi.  “perihal apa yang telah diambil begitu saja, apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikasian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidaksensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan” (Rosenau, 1992:8 dalam Ritzer 2010:20).
Sebagaimana Rosenau pahami, teoritisi postmodern “menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplifikasi.

KELEMAHAN SOSIOLOGI DAN TEORI SOSIOLOGI
Teori sosial postmodern mengembangkan sebagaian besar sisi luar sosialogi dan teori sosiologi. Akan tetapi, ilmu pengetahuan sosial secara umum, dan sosiologi secara khusus, mudah terkena serangan teori sosial postmodern dalam pelbagai dasar. Banyaknya kelemahan tersebut dapat diusut pada penerimaan skala luas model saintifik modern dalam ilmu-ilmu sosial dan sosiologi secara khusus. Pertama, banyak sosiologi tidak sabar dengan kegagalan keilmuan mereka terutama yang berhubungan dengan keyakinan hasil yang menjanjikan. Kedua, meningkatnya kesadaran bahwa ilmu yang telah diciptakan sangat responsif pada kebutuhan kekuasaan dan cenderung mendukung posisi mereka di tengah masyarakat.
Ketiga, meningkatnya penelitian yang menunjukkan ketidaksesuaian yang sangat besar antara penerapan cara ilmu seperti yang diharapkan dan cara yang sebenarnya berfungsi.Keempat, keberlanjutan bahkan termasuk percepatan persoalan sosial yang banyak yang semakin jelas bahwa ilmu pengetahuan bukanlah jawabannya. Kelima, ilmu pengetahuan meminimalisasi bahkan meremehkan pentingnya aspek metafisik dan mistik dari kehidupan sosial. Dan yang terakhir adalah ilmu pengetahuan memberikan sedikit atau tidak sama sekali pertanyaan-pertanyaan normatif atau etik atau pertanyaan apa yang sebenarnya dilakukan.
Fuchs dan Ward menyatakan bahwa sosiologi merupakan salah satu bidang kajian pada hal-hal tertentu lemah terhadap kritik postmodern karena sosiologi berparadigma ganda (multyparadigmatic), rangkaiannya yang longgar, terdesentralisasi dan didominasi oleh teks dan “percakapan” diantara para sarjana. Lebih khusus lagi dijelaskan oleh Fuchs dan Ward bahwa sosiologi lemah pada wajah garang dekonstruksionisme. Karena dekonstruksi merupakan salah satu pendekatan kunci postmodernisme terhadap pengetahuan, termasuk juga terhadap teori.
Para dekonstruksionis menggunakan satu bagian teks untuk menunjukkan asumsi dasar dan kontradiksinya. Lebih umum lagi bahwa dekonstruksionisme bertujuan menyingkirkan rongsokan kekusutan teori yang lalu yang telah melekat pada praduga (preconception) yang dianggap tidak bisa lagi diterapkan dalam dunis kontemporer. Tetapi, tujuan dekonstruksionisme bukan kemudian berkedok bentuk revisi, bentuk perbaikan, dan bentuk yang lebih benar. Jadi tugas-tugas rekonstruksi seperti itu tidak berlaku karena para dekonstruksionis menolak gagasan bahwa kebenaran mutlak bisa ditemukan. Tidak ada jawaban mutlak, hanya ada banyak interpretasi, banyak teks yang “dibaca”. Dalam arti lain, hanya yang benar-benar fenomena yang didekonstruksi oleh para dekonstruksionis.
Dalam pandangan Fusch dan Wards bahwa bidang kajian tekstual seperti sosiologi rapuh terhadap wajah beringas dekonstruksi, ada tipe-tipe bidang kajian lain di samping teks yang menggunakan alat lain produksi intelektual, seperti simbolisme matematik, rencana-rencana teknik, peralatan eksperimen dan sejenisnya. Bidang seperti itu, menurut Fucsh dan Wards, merupakan suatu subjek dekonstruksi yang sangat lemah, padahal meskipun disepakati bahwa tidak ada satu kebenaran atau posisi keinstimewaan epistemologis, namun sains beralih pada dasar ketentuan-ketentuan dan kriteria pokok. Sebaliknya, bidang-bidang seperti subjuek sosiologi terhadap bentuk kuat dekonstruksi cenderung pada situasi di saat “segala sesuatunya lenyap”. Karena semuanya adalah teks, maka semuanya adalah subjek dekonstruksi dan reintrepetasi. Jadi tidak ada “kebenaran” tunggal kandungan intepretasi data yang berasal dari berbagai teks.
Seidman, seorang tokoh yang berpaling dari ilmu-ilmu sosial dan sosiologi khususnya, ia mengasosiasikan teori sosiologi dengan modernisme dan menghubungkannya dengan sejumlah karakteristik modern, khususnya saintisme, fondasionisme, totalisasi, esensialisme dan kepicikannya, yang menyebabkan mudah diserang oleh teoretisi sosial postmodern. Pertama, teori sosiologi dituduh sebagai saintisme. Karena itulah, sebagian besar teoretisi sosiologi mempercayai ide universal, jika tidak hukum-hukum sosial. Telah disepakati suatu pandangan bahwa ada akumulasi kandungan ilmu pengetahuan teoretis dan tugas praktisi kontemporer yang salah satunya adalah untuk menambahkan kandungan ilmu pengetahuan teoretis atau mengembangkannya agar bergerak pada tingkat yang stabil, dan dari tempat itu ia sekali lagi bisa memulai proses akumulasi.
Kedua, teori sosiologi dimengerti sebgaia fondasional. Fondasionalisme mencari garis pedoman dasar untuk tingkah laku sosial dan analisa sosial dalam sebuah fondasi filososif yang kuat. Seidman menjelaskan bahwa teori sosiologi bermaksud membongkar logika masyarakat bahwa tujuannya adalah untuk menemukan satu kebenaran kosa kata yang mencerminkan dunia sosial. Ketiga, teori sosilogi cenderung menyepakati sebuah totalisasi pandangan dunia (world view). Sejarah teori sosiologi dikarakterisasikan dengan konflik diantara persaingan totalisasi. Sebagai contoh, proses teori Marx yang menyebabkan revolusi proletarian versus teori progresif rasionalisasi Weber. Untuk hegemoni, dan tidak ada totalisasi tunggal yang pernah memperoleh keunggulan dalam teori sosiologi.
Keempat, teori-teori sosiologi dianggap sebagai esensialis, oleh sebab itu, mereka cenderung melihat manusia sebagai orang yang memiliki karakteristik dasar, rapi dan tidak berubah. Fenomena sosial dipandang sebagai ekspresi esensi-esensi ketimbang sebagai sebuah produk kondisi sosial tertentu. Sebagai contoh pemahaman Marx tentang spesies manusia. Konsep para esensialis gagal menilai perbedaan-perbedaan berdasarkan orientasi “gender, ras, etnisitas, kelas, atau orientasi seksual”. Teori sosiologi dipandang seperti sesuastu yang asing, karenanya yang terlibat dengan persoalan-persoalan tersebut hanyalah teoretisi sosiologi. Dalam lain arti, teori sosiologi makin menjadi metateoretis, disebabkan oleh titik pusat dan perselisihannya. Seidman menegaskan bahwa teori sosial menggambarkan alternatif yang nyata bagi teori sosiologi. Teori sosiologi tidak hanya berorientasi pada pemahaman persoalan-persoalan secara lebih baik, tetapi juga berdampak pada produk-produk sosial. Teori sosial tidak dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan teoretisi asing, tetapi oleh moral, sosial dan politik.
Namun, Antonio membantah bahwa dari sudut pandang postmodernisme, sekurang-kurangnya dari sudut pandang kebanyakan postmodernis radikal, Seidman tidak berpikir terlalu jauh. Kenyataannya, dari sudut yang lebih menguntungkan, Seidman terlihat tidak banyak mengkritisi proyek sosiologi modernis dan teori sosial, bahkan mirip dengan yang lain, meskipun memiliki perbedaan tipis dari praktisi teori sosiologi. Teori sosiologi telah meninggalkan pelbagai keharusan penyelidikan pemikiran postmodern. Mengingat postmodernis mengatakan sesuatu, sesuatu yang kedengarannya seperti teori. Tidak dapat dipungkiri bahwa sangat perlu untuk mengetahui teori postmodern telah mendiami posisi yang luas dan satu sama lain sering terjadi konflik. Ada kebutuhan mendesak untuk memisahkan pelbagai ide yang terdapat dalam postmodernisme. Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, meskipun semuanya mengkritisi teori-teori besar, namun banyak para postmodernis yang melakukan hal itu. 

MAKLUMAT TEORI SOSIAL POSTMODERN DALAM SOSIOLOGI
Teori sosial postmodern merupakan bagian tradisi sosiologi klasik (kontemporer). Salah satu contohnya, kajian reintrepetasi Georg Simmel dalam bukunya yang berjudul Postmodern (ized) Simmel, dia menawarkan bahwa sebuah narasi besar dari kecenderungan historis kepada dominasi budaya objektif atau “tragedi budaya”. Namun Weinstein dan Weinstein membantah bahwa sebuah persoalan yang sama besar bisa diciptakan Simmel ketika dia berposisi sebagai seorang postmodernis. Jadi, Weinstein dan Weinstein mengetahui bahwa kedua alternatif itu memiliki keabsahan (validity) dan tidak bisa dibantah, yang satu tidak terlalu benar dari yang lain.
Alasan singkat Weinstein dan Weinstein membela pandangan Simmel sebagai seorang postmodernis adalah untuk satu hal bahwa Simmel menentang totalitas yang tentu saja ia menolak de-totalitas modernitas. Walaupun, satu sisi dari teori “tragedi kultural”, Simmel merupakan seorang essais dan pendongen, namun dia mengupas berbagai macam persoalan khusus ketimbang membahas persoalan totalitas dunia sosial. Simmel diceritakan oleh Weinstein dan Weinstein seperti seorang sosiolog yang membuang-buang waktunya hanya untuk menganalisa fenomena sosial yang sangat luas. Pendekatan ini menjauhkan Simmel dari pandangan totalitas dunia dan lebih menitikberatkan pada bagian-bagian dunia yang khas, namun penting.
Bricoleur adalah istilah lain yang dipakai untuk menggambarkan Simmel. Bricolurmerupakan seorang intelektual handyman (orang yang ahli dalam berbagai macam pekerjaan) yang menciptakan segala sesuatunya menjadi kenyataan (available). Menurut Simmel sesuatu yang nyata adalah bagian-bagian dunia sosial yang sangat luas atau “serpihan-serpihan kultur objektif” sebagaimana Weinstein dan Weinstein menggambarkan dalam terma Simmelian. Sebagai seorang bricoleur Simmel merangkum apapun ide-ide guna membuka makna mengenai dunia sosial.
Untuk menengok maklumat postmodern di antaranya adalah kritik teori modern dalam teori sosiologi.  Satu hal, Mills sebenarnya menggunakan istilah “postmodern” untuk menjelaskan erapost-enlightenment yang sedang berjalan. Mills adalah seorang kritikus besar dari teori besar modern dalam sosiologi, khususnya seperti yang telah diamalkan oleh Talcott Parson. Secara sosial dan moral Mills senang menggunakan sosiologi. Dalam pemahamannya, dia ingin sosiologi dikaitkan dengan persoalan masyarakat luas pada masalah yang sangat pribadi. Meskipun pada kajian Mills ada sugesti postmodernisme, namun tidak ditemukan teori postmodern itu sendiri.

Poststrukturalisme


Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tak teratur dan tak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga sosial tak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tak mampu memaksa orang. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoritisi strukturalis justru memaksa. Karena itu menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya).
Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.
Michael Foucoult adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori post-strukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori post-strukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah, universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang post-strukturalis Foucoult tertarik pada cara dimana berbagai bentuk ilmu pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis (Marx),  atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan modern.
Salah satu karya Foucoult adalah Archeology of Knowledge yang merupakan tujuan dari studinya mencari struktur pengetahuan, ide-ide dan modus dari diskursus atau wacana. Ia mempertentangkan arekeologinya itu dengan sejarah atau sejarah ide-ide. Dalam karyanya itu, Foucoult juga ingin mempelajari pernyataan-pernyataan baik lisan maupun tertulis sehinga ia dapat menemukan kondisi dasar yang memungkinkan sebuah diskursus atau wacana bisa berlangsung. Konsep kunci dari Foucoult adalah arkeologi, geneologi dan kekuasaan. Bila arkeologi memfokuskan pada kondisi historis yang ada, sementara geneologi lebih mempermasalahkan tentang proses historis yang merupakan proses tentang jaringan jaringan diskursus.

Hubungan secara konseptual antara Strukturalis dan Pos-strukturalis
Berdasarkan namanya, post-strukturalisme dibangun diatas gagasan strukturalisme, namun bergerak keluar dan menciptakan mode berpikirnya sendiri. Strukturalisme dipengaruhi oleh ilmu bahasa, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan makna yang berlaku secara universal, sedangkan pos-strukturalisme tidak melihat adanya kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa. Bahkan Derrida berupaya untuk melakukan “dekonstruksi logosentrisme”. Dia ingin melihat masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan. Sedangkan Foucoult mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Bahwa orang yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.
Kenyataan empiris yang terjadi saat ini, dapat diambil contoh penggunaan kartu kredit sebagai sarana untuk pembayaran dan pembelian suatu produk barang atau jasa. Pendekatan Strukturalis melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam kartu kredit yang dikeluarkan oleh sistem perbankan dan berlaku universal. Pemohon kartu kredit harus memiliki persyaratan tertentu untuk mendapatkannya. Simbol yang ada di kartu dimaknai bersama, baik oleh pembeli maupun penjual, bahwa penggunaannya hanya dengan “menggesekkan” kartu ke alat terentu dan bank akan mengeluarkan kredit pinjaman kepada pemegang kartu. Kata-kata dalam bahasa “tinggal gesek” dimaknai secara strukturalis sebagai alat kemudahan membayar. Post-strukturalis melihatnya bahwa kartu kredit tersebut kurang atau tidak bermanfaat, simbol kartu yang dimaknai sebagai alat tukar bergengsi justru dimaknai oleh post-strukturalis sebagai penciptaan masalah baru. Ada unsur ketidakstabilan. Makna “kewajiban” membayar berbeda pemaknaannya oleh pemakai kartu, karena ketidakmapunannya untuk membayar atau karena ketidakdisiplinannya dalam membayar cicilan. Bila kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang kartu kredit untuk melunasi atau mencicil hutang tidak dijalankan, maka ada sanksi tertentu terhadap pemegang kartu, baik denda maupun sanksi hukum, bila tidak sanggup membayar. 
Bila dilihat dari sudut pandang  pengetahuan/kekuasaan, maka orang-orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan kartu, tentu akan “menguasai” kartu tersebut, dalam arti dapat memanfaatkan sebaik-baiknya. Dia akan mempelajari, berapa beban bunganya dalam sebulan atau setahun, berapa biaya adiministrasinya, berapa dendanya bila terlambat, berapa iuran anggotanya pertahun, dan setiap tanggal berapa dia harus membayar tagihan serta berapa yang harus dibayar. Pengetahuan ini yang menurut pandangan Foucoult berkaitan dengan kekuasaan. Bila nasabah/pemegang kartu  memiliki pengetahuan, maka dia akan berkuasa (kartu tersebut bermanfaat) namun bila tidak, maka pihak bank yang akan berkuasa (beruntung).

Strukturalisme


Bahasan dalam topik ini berkaitan denan kemunculan pemikiran setelah adanya teori sosial modern dengan diawali strukturalisme hingga post-strukturalisme dan akhirnya dikenal sebagai teori post-modern. Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang membangun makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang dapat diperkirakan dan berada diluar diri individu. Bersifat antihumanis karena mengesampingkan agen manusia dari inti penyelidikannya. Fenomena hanya memiliki makna ketika dikaitkan dengan sutruktur sistematis yang sumbernya bukan terletak pada individu. Pemahaman strukutalis terhadap kebudayaan memusatkan perhatian pada sistem relasi struktur yang mendasarinya.
Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teori fungsionalisme struktural. Strukturalisme lebih memusatkan perthatian pada struktur linguistik. Terjadi pergeseran dari struktur sosial dan struktur bahasa. Seperti dalam teori sebelumnya, Etnometodolgi yang memusatkan pada teori percakapan dan komunikasi secara umum, makas struturalisme lebih kepada bermacam-macam gerak isyarat. F. De Saussure yang merupakan tokoh strukturalisme memberikan pembedaan antara langue dan parole. Menurutnya, Langue adalah sistem tata bahasa formal, sistem elemen phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap. Langue memungkinkan adalanyaparole yang merupakan percakapan sebenarnya, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan dirinya sendiri.
Strukturalisme muncul di tahun 1960an berbasis karya Ferdinand de Saussure yang diorientasikan untuk memahami struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal dari linguistik. Menurut aliran ini, setiap orang di masyarakat mengetahui bagaimana caranya menggunakan bahasa meskipun mereka tidak peduli akan aturan-aturan berkenaan dengan tata bahasa. Strukturalisme didasarkan pada kepercayaan bahwa obyek budaya itu seperti literatur, seni dan arsitektur. Harus dipahami dalam konteks-konteks yang lebih besar dimana mereka berada dan berkembang. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengemukakan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa strukturalisme melihat makna sebagai hasil struktur atau regularitas, bersifat anti humanis dan berada diluar individu. Hal ini dapat ditelusuri dari penggunaan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia. Sebagai contoh, penggunaan sistem tanda pengaturan lampu lalu lintas. Ada peraturan yang dimaknai bersama, bahwa warna merah kendaraan harus berhenti, kuning, harus hati-hati dan hijau boleh jalan. Hal tersebut dimaknai secara konsisten dan hampir semua masyarakat mengetahuinya. Bahasa manusia disini merupakan hasil rancangan dari pemikiran dan tindakan-tindakannya yang membentuk pola universal yang menghasilkan realitas sosial.

Teori Globalisasi

Dalam perkembangan dunia ini, tidak lepas dari pengaruh globalisasi, dalam perjalannya dapat diambil beberapa teori globalisasi. Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teroritis yang dapat dilihat, antara lain sebagai berikut :
1)    Para globalis percaya bahwa plobalisasi adalah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagai mana orang dan lembaga disluruh dunis berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. Meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut. Globalisasi pasif dan Optimistis menghadapai dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarkat dunia yang toleran dan bertanggung jawab. Globalisasi pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benardi permukaan. Beberapa dari mereka kemudian meberntuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
2)    Para Tradisonal tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau jika ada terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk semata kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan lanjutan atau evoluasi dari produksi dan perdagangan kapital.

Para Transformasionalis berada diantara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalis telah sangat berlebih-lebihan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau tidak dapat dikendalikan.

Informasionalisme dan Masyarakat Jaringan


Masyarakat Informasi adalah sebuah konsep luas yang mulai digunakan sejak tahun 1970-an untuk merujuk pada berbagai perubahan sosial dan ekonomi yang terkait dengan meningkatnya dampak dan peran teknologi informasi. Konsep ini menonjolkan peran yang dimainkan oleh teknologi informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari tempat kerja, perjalanan dan sarana hiburan yang tersedia.
Masyarakat Informasi oleh banyak negara maju (sejak tahun 1970-an) juga diartikan sebagai suatu bentuk kehidupan yang akan dituju dan diraih (bukan terjadi dengan sendirinya). Di Jepang, negara-negara Eropa dan Amerika misalnya, masyarakat informasi dipromosikan sebagai suatu visi abad 21 yang oleh para pembuat kebijakan digunakan sebagai pedoman dalam mengembangkan sektor informasi pada perekonomian tingkat lokal, regional dan nasional. Pada tahun 1990-an, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya mulai meluncurkan program pengembangan infrastruktur informasi modern atau apa yang disebut sebagai "information super highway" yang sebenarnya dilandasi pada visi tersebut.

PERKEMBANGAN KONSEP MASYARAKAT INFORMASI
MASYARAKAT PASCA INDUSTRI : DANIEL BELL
Konsep Masyarakat Informasi sebenarnya dikembangkan oleh sosiolog Amerika Daniel Bell (1974), yang berfokus pada prediksinya akan adanya "Masyarakat Pasca Industri". Bell, ketika itu melihat informasi sebagai input teknologi informasi merupakan kekuatan utama pada masa seusai Perang Dunia Kedua, sedangkan bahan-bahan mentah (sumber daya alam) merupakan kekuatan utama bagi masyarakat agraris, mesin/teknologi menjadi energi dalam masyarakat industri (yang merupakan bentuk-bentuk masyarakat sebelum masyarakat industri).
Bell mengidentifikai berbagai kecenderungan yang meninjol dalam masyarakat pasca industri, dengan fokus Amerika Serikat sebagai contoh kasusnya. Kecenderungan utama yang mengiringi proses terbentuknya masyarakat pasca industri meliputi pesatnya berbagai jenis lapangan kerja yang berhubungan dengan informasi, meningkatnya bisnis dan industri dengan produksi, transmisi dan analisis informasi, serta meningkatnya sentralitas peran para teknolog, yaitu para manajer dan profesional terdidik yang memiliki keahlian khusus dalam mengolah dan memanfaatkan informasi untuk keperluan pembuatan keputusan.
Kecenderungan terpenting adalah bergesernya sebagian besar angkatan kerja dari sektor pertanian (sektor primer) dan manufaktur (sektor sekunder) ke sektor-sektor jasa (sektor tersier). Pengembangan lapangan kerja informasi, khususnya yang bersifat kerah putih ikut menopang pesatnya pertumbuhan sektor-sektor jasa tersebut. Pekerjaan informasi itu sendiri sangat beragam, mulai dari pemrograman dan pembuatan perangkat lunak komputer hingga ke pengajaran dan penelitian berbagai hal yang berkaitan. Industri-industri informasi seperti penyedia jaringan data, dan jasa-jasa komunikasi termasuk di dalamnya dan semua itu membuat pekerjaan informasi sebagai pilar perekonomian, di mana sebelumnya sektor pertanian dan manufaktur yang semula dominan. Dalam hal ini, bergesernya jenis-jenis pekerjaan dalam masyarakat informasi ini tidak harus diartikan bahwa sektor primer dan sekunder telah merosot terutama bagi erekonomian nasional dan perekonomian global. Yang perlu dicermati adalah telah terjadi berkurangnya kebutuhan ketenaga kerjaan bagi sektor-sektor tersebut, karena sebagian aspeknya telah ditopang oleh berbagai teknik manajemen komputasi dan telekomunikasi dalam meredesain setiap prosedur pelaksanaan pekerjaan dalam sektor-sektor tadi.
Kecenderungan yang kedua yang mengiringi munculnya masyarakat pasca industri adalah meningkatnya arti penting pengetahuan termasuk pengetahuan teoritis dan metodologis serta kodifikasinya yang menjelma dalam manajemen institusi-institusi sosial dan ekonomi. Dalam masyarakat pasca industri yang terpenting adalah penyusunan prediksi, perencanaan dan pengelolaan organisasi. Lebih jauh menurut Bell, kompleksitas dan besarnya skala sistem-sistem sosial dan ekonomi menuntut adanya perencanaan dan peramalan sistematik yang lebih baik yang tidak bisa lagi diperoleh dari survei dan eksperimen biasa.
Kecenderungan yang ketiga adalah bergesernya kekuasaan, di mana kalangan profesional dan kelas manajerial (para pekerja pengetahuan) kian dominan. Mereka adalah individu-individu yang memahami bagaimana bekerja dengan pengetahuan, sistem-sistem informasi, simulasi dan berbagai teknik analitis yang terkait. Posisi mereka akan semakin vital dalam proses pembuatan keputusan.

NETWORK SOCIETY (MASYARAKAT JARINGAN) : MANUEL CASTELLS
Salah satu kontribusi terbaru untuk teori sosial modern adalah sebuah trilogi yang ditulis oleh Manuel Castells (1996, 1997, 1998) dengan judul Information Age: Economy, Society and Culture, Castell mengutarakan pandangannya tentang kemunculan masyarakat, kultur dan ekonomi yang baru dari sudut pandang revolusi teknologi informasi (televisi, komputer dsbnya).
Revolusi yang dimulai di Amerika pada tahun 1970an ini mengakibatkan restrukturisasi fundamental terhadap sistem kapitalis yang memunculkan apa yang disebut oleh Castells sebagai “kapitalisme informasional”. Yang memunculkan istilah  "Masyarakat Informasi". Munculnya kapitalisme informasional dan masyarakat informasi ini didasarkan pada "informasionalisme" (sumber utama produksi terletak pada kapasitas dalam penggunaan dan pengoptimalan faktor produksi berdasarkan informasi dan pengetahuan).
Kemunculan 2 fenomena tersebut didasarkan pada “informasionalisme” yaitu sebuah mode perkembangan di mana sumber utama produktivitas terletak pada optimalisasi kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi berbasis pengetahuan dan informasi.
Dalam analisisnya, Castell memberikan pemikirannya tentang paradigma teknologi informasi dengan 5 karakteristik dasar :
1)    Teknologi informasi bereaksi terhadap informasi.
2)    Karena informasi adalah bagian dari aktivitas manusia, maka teknologi ini mempunyai efek pervasif.
3)    Semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh “logika jaringan”.
4)    Teknologi baru sangatlah fleksibel, bisa beradaptasi.
5)    Teknologi informasi sangatlah spesifik, dengan adanya informasi maka bisa terpadu dengan suatu sistem yang terintegrasi.

Pada tahun 1980-an muncul ekonomi informasional global baru yang semakin menguntungkan dan ekonomi ini bersifat informasional karena produktivitas dan daya saing dari unit-unit dan agen-agen dalam ekonomi ini secara mendasar tergantung pada kapasitas mereka untuk menghasilkan, memproses dan mengaplikasikan pengetahuan dan informasi secara efisien.
Ekonomi ini bersifat menglobal karena mempunyai kapasitas untuk bekerja sebagai unit secara real time pada skala dunia (planetary). Dan semua ini terjadi karena adanya teknologi komunikasi dan informasi.
Fungsi-fungsi dan proses dominan pada jaman informasi semakin terorganisir dalam "jaringan" yang didefinisikan sebagai serangkaian "simpul yang terkait satu sama lain". jaringan tersebut bersifat terbuka, mampu melakukan ekspansi  tanpa batas, dinamis dan mampu berinovasi tanpa merusak sistem. Dengan "jaringan" ini, telah memungkinkan kapitalisme dapat mengglobal dan terorganisir berdasarkan aliran keuangan global.
Mengiringi bangkitnya ekonomi informasional global ini muncullah bentuk organisasional baru yaitu perusahaan jaringan (network enterprise). Yang dimaksud perusahaan jaringan adalah bentuk spesifik perusahaan yang sistem sarananya dibangun dari titik temu sejumlah segmen sistem tujuan otonom. Perusahaan jaringan ini adalah perwujudan dari kultur ekonomi informasional global yang memungkinkan transformasi tanda-tanda ke komoditas.
Berseiring dengan tumbuhnya masyarakat informasional, muncul pula perkembangan kebudayaan virtual riil, yaitu satu sistem di mana realitas itu sendiri sepenuhnya tercakup dan sepenuhnya masuk ke dalam setting citra maya, di dunia fantasi, yang di dalamnya tampilan tidak hanya ada di tempat dikomunikasikannya pengalaman. Dunia memasuki era masa tanpa waktu, di mana masyarakat menjadi didominasi oleh proses daripada lokasi fisik. Dalam kaitan ini, kita memasuki era "masa tanpa waktu" yang di dalamnya (sebagai contoh, informasi segera tersedia di manapun di muka bumi ini)

MASYARAKAT INFORMASI DALAM KONSTELASI PERKEMBANGAN TEORI SOSIAL
Munculnya gagasan tentang Masyarakat Informasi (oleh Castells disebut sebagai Network Society atau Masyarakat jaringan) dalam peta perkembangan Teori Sosial terletak pada peralihan dari Teori Sosial Modern ke Teori PostModern, yang disebut dengan Teori Modernitas Kontemporer.
Sebelum munculnya gagasan tentang Masyarakat Informasi, terbangun teori-teori Modernitas Kontemporer lainnya: Modernitas dari Anthony Giddens, Ulrich Beck, George Ritzer, Zygmunt Bauman, Jurgen Habermas, yang semuanya diantaranya terkait dengan ide tentang Globalisasi.
Giddens melihat modernitas sebagai Juggernaut yang menawarkan sejumlah keuntungan namun juga sejumlah bahaya. Beck menawarkan bahaya-bahaya dalam masayarakat modern yaitu berupa Masyarakat Risiko. Ritzer melihat rasionalitas sebagai ciri utama masyarakat kontemporer dengan konsep McDonalisasi. Bauman menaawarkan konsep Holocaust yang mengindikasikan irasionalitas. Habermas memusatkan perhatiannya pada rasionalitas sistem dan keterbelakangan rasionalitas dunia kehidupan. Castells dengan karyanya yang membahas tentang pertumbuhan informasionalisme dan masyarakat jaringan.

Modernitas dan Holocaust


Menurut Ritzer paradigma modern rasionalitas formal adalah restoran cepat saji, menurut Bauman paradigma modern adalah Holocaust, penghancuran sistematis orang Yahudi oleh NAZI. Holocaust itu dapat dipandang sebagai paradigma modern rasionalitas birokrasi, ada batas yang jelas dalam pemikiran sosiologi tentang rasionalitas modern dari birokrasi ke Holocaust dan kemanusian ke restoran saji. Prinsip rasionalitas Webber dapat diterapkan terhadap ketiga bidang itu secara bermakna dan bermanfaat. Pelaku holocaust menggunakan birokrasi sebagai salah satu alat utama mereka. Kondisi yang memungkinkan terciptanya holocaust itu terutama system rasional formula, terus ada hingga kini, proses mcdonaldisasi tak hanya menunjukkan lestarinya system rasional formal, tetapi juga menujukkan bahwa system ini berkembang secara dramatis.

Produk Modernitas
Menurut bauman, holocaust adalah produk modernitas dan bukan akibat kerusakan modernitas seperti pandangan kebanyakan orang. Sebagai contoh, holocaust memerlukan penerapa prinsip dasar industrilisasi pada umumnya dan penerapan system pabrik pada khususnya untuk menghancurkan umat manusia.
Apa yang berhasil dilakukan nazi adalah menggabungkan prestasi rasional industri dan birokrasi rasional dan kemanusian menggunakannya dengan tujuan untuk menghancurkan manusia. Tanpa modernitas dan rasionalitas “holocaust tak mungkin terjadi”.

Peran Birokrasi
Bauman menyatakan bahwa holocaust bukanlah akibat irasionalitas atau akibat kebiadaban pra-modern, tetapi lebih merupakan produk birokrasi rasional yang modern. Bukanlah orang gila yang menciptakan dan mengelola holocaust itu melainkan birokrat yang sangat rasional dan sangat normal. Bauman tak melihat birokrasi sebagai alat netral yang dapat ditegakkan kesetiap arah, lebih menyerupai dadu. Meski dapat digunakan baik untuk tujuan kekejaman maupun kemanusiaan, birokrasi lebih besar kenumbuhkan dan menyokong proses yang berperikemanusiaan. Birokrasi diprogramkan untuk bertindak optimum dalam arti seperti tak dapat membedakan antara tujuan seorang manusia dan tujuan manusia lainnya atau tujuan yang berperikemanusiaan dan tujuan yang tak berperikemanusiaan.
Memang birokrasi dan para pejabat tidak dapat menciptakan holocaust berdasarkan kemauannya sendiri, masih ada factor lain yang diperlukan, pertama, adanya control mutlak aparatur Negara yang memegang monopoli untuk melakukan tindakan kekejaman terhadap anggota masyarakat lain. Kedua adalah paham antisemitisme. Berdasarkan paham ini orang Yahudi secara sistematis dipisahkan darimasyarakat lainnya dan diprogandakan seolah-olah mereka menghalang-halang Jerman menjadi masyarakat sempurna.
Faktor lainnya adalah bahwa didalam struktur masyarakat modern, seperti birokrasi tidak ada tempat bagi pertimbangan moral.

Holocaust dan McDonaldisasi
Holocaust memiliki seluruh ciri-ciri McDonaldisasi. Holocaust mempunyai garis perakitan dengan deretan panjang gerbong kereta api yang mengangkut Yahudi ke kamp kematian, dengan barisan panjang manusia berjejal di bawah pancuran dan produknya adalah anggota yang harus dibuang dipenghujung proses. Holocaust ini menggunakan teknologi non manusia seperti kekuasaan dan peraturan tentang kamp-konsentrast dan pelaksanan garis perakitan dari jalur, untuk mengontrol para tahanan dan penjaga
Ciri-ciri McDonaldisasi yang paling sesuai dengan holocaust adalah irasionalitas dari rasionalitas, terutama dehumanisasi. Bauman menggunakan gagasan tentang pemisahan untuk menunjukan bahwa korban tak dianggap manusia karena birokrat membuat keputusan mengenai nasib mereka tanpa melalui kontak pribadi dengan mereka. Untuk mencegah holocaust lain dibutuhkan moralitas yang kuat dan kekuatan politik pluralistis. Tetapi mungkin pada suatu masa ada kekuatan tunggal yang mendominasi dan tak banyak hal yang membuat kuat percaya bahwa ada system moral yang cukup kuat untuk mencegah pertemuan pemimpin yang kuat dengan birokrasi.

Mcdonaldisasi dan Sasaran Konsumsi Baru


Pada tahun 1937, Amerika di hantui kebiasaan yang baru. Carl N. Karcher adalah seorang penggagas industri fast food. Sekitar tahun ini Anerika menjadi ladang pertama makanan cepat saji. Sejak itu, makanan cepat saji menjadi layaknya makanan primer yang berjalan lurus dengan semakin sempitnya dunia. Makanan cepat saji semakin melanggengkan jalan globalisasi. Setelah sukses di Amerika, makanan cepat saji menembus batas-batas Negara lain, tak terkecuali Indonesia.
Selama tiga dasawarsa terakhir, fast food telah merembes ke semua celah Negara. Makanan cepat saji kini telah hadir di restoran, stadion, bandara, mall, pom bensin, hingga sekolah. Tahun 1970, masyarakat Amerika membelanjakan sekitar 6 miliar dolar untuk fast food, tahun 2001 mereka membelanjakan lebih dari 110 miliar dolar. Orang Amerika kini membelanjakan lebih banyak uang untuk fast food ketimbang untuk pendidikan, computer, atau mobil. Pada hari apapun di Amerika, seperempat penduduk dewasanya mengunjungi restoran fast food. Selama rentan waktu yang relatif singkat, industri ini telah berperan mengubah tidak hanya pangan, tetapi ekonomi, angkatan kerja, dan budaya pop.
Salah satu fast food yang berkembang pesat adalah McDonald’s Corporation. McDonald’s telah menjadi lambing ekonomi USA. Sekitar 90 % lapangan kerja di negeri itu ditanggung oleh McDonalds. Tahun 1968, McDonalds mengoperasikan sekitar seribu restoran. Hari ini ia punya sekitar 30.000 restoran di seluruh dunia dan membuka hampir 2.000 restoran baru tiap tahun­­­­­­­­­­­­­­­. Namun, McDonald’s juga telah memberi ancaman pada kemandirian ekonomi negara-negara yang dituju. Awal 1970-an, aktivis tani Jim Higtower memandang perkembangan industri fast food sebagai ancaman bagi bisnis-bisnis mandiri, sebagai langkah menuju perekonomian yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar, dan sebagai pengaruh homogenisasi.
Negara-negara berkembang menjadi pangsa pasar industri makanan cepat saji. Arus globalisasi menjadi pembawa masuknya industri-industi makanan cepat saji. Perkembangan dunia global mendorong bertambahnya para aktor hubungan internasional. Perkembangan dunia global membuat negara-negara masuk ingin menempuh pembangunan nasionalnya secara bertahap. Untuk itu diperlukan biaya yang sangat besar yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai bentuk dan cara pemanfaatan sumber daya luar negeri ditempuh dari masing-masing negara. Antara lain berupa bantuan keuangan, bantuan ahli, bantuan program dan proyek, bantuan teknologi, pinjaman modal yang berupa kredit, penanaman modal asing dan kegiatan operasional Multinationsal Corporations. Multinasional Corporation merupakan agen globalisasi yang melakukan ekspansi keluar dikarenakan keinginan untuk menginternasionalkan kegiatannya dalam rangka mengisi ketidaksempurnaan pasar. Multinasional yang dimaksud di sini ialah industri fast food seperti McDonald’s, KFC, AW, dan sebagainya. Negara-negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia (Indonesia) menjadi Negara tujuan industri makanan cepat saji.
Meningkatnya kerja sama antar negara, berakhirnya perang dingin, dan menangnya ideology demokrasi liberal yang dimaksud Francis Fukuyama, mengharuskan negara-negara saling berhubungan intens. Pertukaran teknologi, masuknya perusahaan asing, dan pemburuan para buruh murah merupakan akibat dari globalisasi dalam bidang ekonomi. Sudah barang tentu, globalisasi tidak berkembang secara adil, dan tidak berarti semua konsekuensinya menguntungkan atau baik. Buat kebanyakan orang yang tinggal di luar Amerika Utara dan Eropa, terkesan tidak menyenangkan seperti westernisasi. Banyak wujud kultural globalisasi yang berwajah Amerika seperti Coca-Cola, McDonald’s, ataupun CNN.
Munculnya budaya-budaya baru yang asalnya dari barat (westernisasi) telah mengubah perilaku masyarakat yang berada di negara ketiga, tak terkecuali Indonesia. Lahirnya konsumerisme, individualism, dan sekularisme merupakan buah tangan globalisasi. Indonesia sudah tidak di isi dengan semangat gotong royong, saling mengunjungi antar tetangga, dan rasa kekeluargaan yang tinggi. Segala kebiasaan masyarakat Indonesia kini telah hilang dan berganti dengan budaya barat, yang notabene sangat konsumerisme dan individualisme. Dalam hal konsemerisme, masyarakat Dunia ketiga telah terbius oleh fast food seperti McDonald, KFC, A&W, dan lain-lain. Bahkan seorang ahli sosiologi telah membuat istilah McDonaldisasi.
Dalam bukunya The McDonaldization, Ritzer memberikan sasaran perhatian terhadap rasionalitas formal dan fakta bahwa restoran cepat saji mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal. Teori mengenai rasionalitas formal di kembangkan oleh Max Weber. Rasionalitas formal merupakan proses berpikir aktor dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan. Restotan cepat saji (McDonald’s, KFC, A&W, dan lain-lain) merupakan sistem rasional formal dimana seorang pekerja dan pelanggan di giring unruk mencari cara paling rasional dalam mancapai tujuan. Mendorong makanan melalui jendela, misalnya, adalah cara rasional karena dengan cara demikian pelayan dapat menyodorkan dan pelanggan mendapatkan makanan secara cepat dan efisien. Kecepatan dan efisiensi didiktekan oleh restoran cepat saji dan aturan operasionalnya. Ada tiga komponen rasionalitas formal :
1)    Efisiensi, yakni menvari cara yang terbaik untuk mencapai tujuan. Dalam restoran cepat saji, mengulurkan makanan melalui jendela merupakan usaha untuk meningkatkan efesiensi dalam mendapatkan makanan.
2)    Kemampuan untuk diprediksi (predictability), yakni dalam restoran cepat saji, burger yang ada di Los Angeles dan di Tokyo sama.
3)    Lebih menekankan pada kualitas dibanding kualitas, dalam restoran cepat saji lebih menekankan pada teknologi nonmanusia seperti koki yang tidak terampil yang mengikuti petunjuk rinci dan metode perakitan dalam memasak dan menyajikan makanan, daripada koki yang berkualitas.

McDonaldisasi juga di bangun dari konsep alat-alat konsumsi yang lahir dari masa revolusi industri. Masyarakat telah beralih dari memikirkan bagaimana produksi itu dan lebih perhatian pada bagaiman menikmati sesuatu (konsumsi). Marx mendefenisikan alat-alat konsumsi sebagai komoditas yang memiliki suatu bentuk di mana komoditas itu memasuki konsumsi individual dari kelas kapitalis dan pekerja. Apabila komoditas itu mengkonsumsi sesuatu yang mewah maka komoditas itu dapat dikatakan “kelas kapitalis”, dan jika komoditas itu mengkonsumsi sesuatu yang produksi pemilik modal, maka dapat dikatakan kelas “pekerja”. Alat-alat konsumsi merupakan hal-hal yang memungkinkan orang-orang untuk mendapatkan barang dan jasa dan dikontrol serta dieklsploitasi dalam kapasitasnya sebagai konsumen. Alat-alat konsumsi (mall. Restoran cepat saji, hotel, kasino, tempat hiburan, dan lai-lain) merupakan inovasi dari modernisasi, McDonald’s tidak hanya telah mengkonstruksi pemikiran konsumen yang di Amerika, tetapi juga telah tertransformasi ke negara-negara lain. Masyarakat yang menjadi objek McDonaldisasi menjadi kabur terhadap pemikiran bagaimana makanan-makanan itu diproduksi dan bahan produksinya berasal dari mana. Masyarakat dunia ketiga hanya menjadi pangsa pasar dan mendapat julukan “konsumerisme”.
Dalam McDonaldisasi terdapat konsep habitus. Habitus merupakan kebiasaan yang dilakukan seorang atau masyarakat yang menyusun lingkungan yang memiliki makna atau nilai. Habitus erat hubungannya dengan selera, karena habitus membentuk selera. Selera merupakan peluang untuk membentuk atau menegaskan posisi seseorang di dalam lingkungan. Selera juga merupakan praktik yang antara lain membantu memberikan seorang individu maupun orang lain mengenai pemahaman posisinya dalam tatanan sosial. Selera membantu menyatakan orang mengenai memiliki prefensi serupa atau membedakan mereka dari orang lain yang memilki selera berbeda. Jadi melalui penerapan habitus dan selera, orang menggolongkan objek dan sekaligus meraka berada dalam proses menggolongkan diri mereka sendiri. Sederhanya, orang yang memiliki selera makanan McDonald’s merupakan orang yang memiliki posisi yang di atas dalam tatanan social sedangkan orang yang memiliki selera makanan di warung “tegal” memilki posisi yang rendah dalam tatanan sosial. Hal ini terjadi karena kebiasaan (habitus) yang telah dilakukan orang yang memiliki modal dalam memilih tempat makan di restoran cepat saji (McDonaldisasi). Bourdieu mengatakan bahwa selera dibentuk oleh habitus yang berlangsung lama; bukan dibentuk oleh opini dangkal dan retorika. McDonaldisasi juga erat hubungannya dengan distinction (kehormatan). Lingkungan itu menawarkan peluang untuk mengejar kehormatan tidak habis-habisnya. Orang-orang lebih merasa terhormat saat makan di McDonald dibandingkan warung biasa, orang lebih merasa terhormat saat beristirahat di hotel daripada di wisma, orang lebih merasa terhormat saat mengendarai mobil dibandingkan motor, dan masih banyak lagi hal yang lebih mengedepankan kehormatan yang sebenarnya tidak ada makna atau nilai yang bisa membuat kita lebih sadar akan “bobroknya” kepekaan kita.
McDonaldisasi telah mengkonstruksi pemikiran kita mengenai kehidupan sosial. Tempat makan yang dahulunya diisi dengan rasa kebersamaan dan kesetaraan kini telah berubah dengan rasa mencari kehormatan dan eksistensi dalam tatanan sosial. McDonaldisasi faktanya telah menyebar ke berbagai negara. lezatnya makanan itu terganrung dari seberapa laparnya kita.

Masyarakat Risiko


Setiap pilihan ataupun tindakan pastilah memiliki resiko atau konsekuensi yang harus ditanggung, dalam hal baik atau buruk. Adanya krisis dapat dikatakan sebagai resiko di tahap awal dari perbuatan yang telah dilakukan. Namun, resiko yang dimaksud tentu saja pada pemikiran negatif. Kemudian dengan adanya krisis tersebut akan menimbulkan bencana yang dapat hadir secara tiba-tiba. Entah dapat diperkirakan sebelumnya, atau tidak sama sekali. Dalam bahasa Yunani Kuno, krisis memiliki arti akan kondisi yang dapat terjadi pada diri sendiri atau di tingkat masyarakat. Sehingga, dampak dari adanya krisis dapat mempengaruhi pada banyak aspek kehidupan, yaitu sistem sosial, politik, dan ekonomi. Maka, jika manusia mengalami krisis, hal tersebut akan berdampak pada sistem yang ada di sekitar ruang lingkupnya. Seperti beberapa tahun terakhir ini sangat mencuat sekali fenomena tawaran atau iklan yang ada di mana mana, baik kota maupun daerah tentang pekerjaan di Kapal Pesiar dan menjajinkan gaji yang melimpah. Tawaran tersebut didapat dan dapat diakses dengan mudah di sekolah – sekolah perhotelan adapun lewat kursus – kursus singkat disebuah hotel berbintang. Pelatihan tersebut memberi bekal secara khusus untuk bekerja di kapal, ada juga yang menyalurkan secara langsung untuk bekerja di kapal pesiar.
Menurut Ulrich Beck seorang sosiolog kontemporer asal Jerman, menjelaskan mengenai perbuatan yang mengandung resiko atas meningkatnya teknologi. Adanya ilmu pengetahuan dan industrialisme yang bukannya mengurangi resiko, malah dapat menghadirkan resiko akibat tindakan-tindakan yang menyimpang. Beck yang dikenal sebagai pencipta atas gambaran mengenai “dunia masyarakat resiko” yang tidak dibatasi oleh tempat atau waktu. Pada batas-batas tertentu, resiko dihasilkan oleh masyarakat modern yang telah mengalami banyak perubahan pola kehidupan. Karena, industri yang berlangsung akan menimbulkan berbagai macam efek samping dengan konsekuensi berbahaya, bahkan mematikan bagi masyarakat, sebagai akibat dari adanya globalisasi yang berlangsung. Dari pemikiran-pemikiraan Beck tersebut dapat dikatakan mengenai kelas sosial yang dijadikan sebagai pengorban dan korbannya. Artinya, resiko akan terpusat pada bangsa yang miskin, dan bangsa kaya dapat menjauhkan resiko sejauh mungkin. Adanya materi dan kekuasaan dapat digunakan bangsa kayak sebagai sarana untuk menjauhkan resiko tersebut, dengan mengorbankan bangsa miskin sebagai ‘tumbal’. Parahnya, bangsa kaya dapat memperoleh keuntungan dari resiko yang mereka timbulkan. Mereka dapat mengatasi efek buruk yang ada ketika resiko tersebut muncul, dengan menghasilkan dan menjual teknologi. Sayangnya, bangsa kaya tidak semudah itu untuk kabur dari resiko yang harus diicip juga. Pada konteks ini, Beck menyebutnya dengan “efek bumerang”, yang mana penyerangan dari resiko akan berbalik pada subjek yang menghasilkan mereka. Sehingga, sering kali masyarakat penikmat hasil dari modernisasi yang terjebak atas apa yang telah mereka nikmati. Perubahan – perubahan yang dirasakan dan dijalani dapat dikatakan sebagai topeng dalam menutupi krisis identitas yang terjadi. Manusia haruslah ada karena ia menjadi dirinya sendiri dengan proses pembentukan pribadi yang diyakininya. Manusia yang bertindak atas kehendaknya sendiri akan lebih mengerti posisinya berada di mana, dan bukannya ditentukan oleh situasi kelas sosial manusia. Menurut Ulrich Beck, bahaya yang dihadapi masyarakat berisiko dapat diidentifikasi menjadi tiga bagian yaitu: krisi ekologi, krisis ekonomi global, dan jaringan teroris internasional. Masalah sentral dari modernitas klasik berupa kekayaan, namun pada era modern berubah menjadi bagaimana risiko dicegah, diminimumkan, dan disalurkan. Kebanyakan orang berpandangan bahwa dunia kapal pesiar menjanjikan glamor dan kemewahan. Dalam era modern seperti ini maka semua risiko harus ditangani dengan cara defensive menjauhkan diri dari bahaya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dimana dalam keinginan manusia ingin merubah hidupnya akan ditempuh jalan apa saja yang bisa dilakukan, disini kapal pesiar adalah solusi atas gambaran singkat mengenai angan – angan besar yang ditawarkan dengan gaji tinggi, dan faktor pendorong lainya. Ini diperjuangkan untuk sebuah masa depan yang dianggapnya akan lebih menjanjikan. Mereka tidak lagi memikirkan bagaimana bahaya bekerja jauh dari keluarga. Dorongan ini juga tedak terlepas dari kemajuan modernisasi, dimana setiap manusia akan memiliki logika konsumtif dalam hidupnya, jadi mau tidak mau mereka harus bekerja ekstra untuk kehidupan lebih baik. Situasi inilah yang dimanfaatkan para pemilik modal besar untuk mengiring para pekerja tanpa harus memikirkan resiko yang ada. Kemudian para tenaga kerja ini diberi tawaran-tawaran menarik agar mereka melepaskan rasa takutnya untuk bekerja di kapal pesiar dengan bermodalkan kepercayaan diri yang kuat dan demi meraih mimpinya menjadi orang yang sukses.

Juggernaut Modernitas


Dunia ini yang terus berkembang ini digambarkan Giddens seperti juggernaut dimana sebuah mesin yang terus berjalan dengan kekuatan yang dahsyat, yang dapat terus bergerak sampai kebatas-batas tertentu namun juga dapat lepas kendali,sehingga dapat menimbulkan resiko yang fatal. Dimana seseorang yang mengendarai seringkali membahagiakan yang diikuti dengan sarat harapan. Gerakan dari mesin ini tidak akan sepenuhnya terkontrol.
Dengan ilustrasi diatas menggambarkan waktu dimana sekarang kita berada.Dunia ini sangat dinamis, alur pergerakannya tidak dapat kita control, ada kalanya perubahan serta pergerakannya akan membawa kita kesuatu titik yang dapat memberikan resiko yang besar. Modernitas ini memberikan kita kemudahan tapi pada suatu waktu kita tidak akan merasa nyaman dan aman dengan segala hal yang ada ,karena perubahan yang dilalui penuh dengan resiko yang membawa konsekuensi yang berat.
Giddens menggunakan istilah juggernaut modernitas untuk menunjukan bahwa dunia ini sangat dinamis,kemajuan modernitas yang radikal dan yang terdiri dari beberapa bagian yang saling berkonflik dan kontradiktif satu sama lain.

Kedinamisan Modernitas
Kedinamisan modernitas ditandai adanya pemisahan ruang dan waktu.Pada masyarakat pramodern ruang ddidefinisikan sebagai kehadiran secara langsung atau secara fisik, namun seiringnya modernisasi kehadiran fisik pun tidak dibutuhkan lagi. Kita ketahui pada zaman modern ini segala bentuk teknologi sudah mampir ke dalam kehidupan masyarakat luas,jika dahulu budaya halal bihalal pada hari raya idul fitri , masyarakat saling bertemu secara fisik  dalam suatu tempat untuk saling berinteraksi, namun sekarang ini dengan adanya handphone pertemuan secara langsung dengan teman dan sanak saudara tidak perlu, melainkan mereka menggunakan teknologi untuk berkomunikasi dengan tempat yang terpisah bahkan waktu yang berbeda pula.
Keterlepasan identik dengan alat tukar simbolis yakni uang. Kondisi masyarakat modern adalah masyarakat yang konsumtif, Dengan uang memungkinkan adanya pemisahan ruang dan waktu,yang artinya masyarakat dapat bertransaksi dengan orang lain   walaupun berbeda tempat atau waktu.Terbukti sekarang ini adanya jual beli barang secara online.
Selanjutnya ketika dunia terus berputar dibutuhkan suatu system atau orang-orang yang mengorganisir berbagai hal material dan social dimana masyarakat tinggal. Karena dunia ini semakin kompleks sehingga memunculkan permasalahan dari kebutuhan manusia. Capaian teknis dan keahlian professional pun memberikan sumbangan terbesar di sekitar kehidupan individu..Sistem ahli memberikan jaminan namun juga dengan resiko yang mengikutinya yang berperan disepanjang ruang dan waktu.
Revleksifitas ini berarti masa lalu sudah tidak diperhatikan lagi walaupun awalnya mencoba merevleksikan kembali ke masa lalu namun setelah itu muncul anggapan masa depan lah yang terpenting. Masa lalu yang perubahan sangat lambat dan sudah dianggapa kuno.
Modernitas adalah sebuah perubahan dunia yang terus berjalan  .Modernitas yang ditandai kemajuan teknologi menjadikan segala hal yang ada hadapan kita ini “asli tapi palsu”. Teknologi serta perkembangan dunia telah memanipulasinya. menjadikan manusia akan terjerumus dalam konsekuensi yang akan merugikan manusia sendiri. Seiring modernitas terus berjalan,kepercayaan juga terus dibangun,karena adanya pemisahan ruang dan waktu dibutuhkan suatu rasa percaya.Inilah modernitas  yang Giddens katakana sebagai Juggernaut Modernitas.

Teoretisasi Klasik tentang Modernitas


Salah satu teori yang muncul dalam menjawab perubahan sosial masyarakat menuju modern kemudian dikenal dengan teori modernisasi. Teori ini mendasarkan pada konsep evolusionisme. Secara historis makna modernitas mengacu pada transformasi sosial, politik, ekonomi, kultural, dan mental yang terjadi di Barat sejak abad ke 16 dan mencapai puncaknya pada abad 19 dan 20 (Sztomka, 2008:149). Maka kemudian teori ini lebih pada menunjukkan tahap-tahap perubahan masyarakat pada arah tertentu yang kemudian dianggap mencerminkan manusia modern.
Teori evolusi dan teori fungsionalisme banyak mempengaruhi pemikiran tentang modernisasi sebagai faktor yang mewujudkan realitas perubahan. Dari sudut pandang ini,perkembangan masyarakat terjadi melalui proses peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Teori evolusi memandang perubahab bergerak secara linear dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju. Dan bergerak perubahan itu mempunyai tujuan akhir. Sedangkan teori fungsionalisme, memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang selalu berada dalam keseimbangan dinamis. Perubahan yang terjadi dalam unsur sistem itu akan diikuti oleh unsur sistem lainnya dan membentuk keseimbangan baru.
Dalam teori modernisasi klasik masih berasumsi bahwa negara Dunia ketiga merupakan negara terbelakang dengan masyarakat tradisoonalnya. Sementara negara-negara Barat (Eropa dan Amerika Serikat) dilihat sebagai negara modern. Sehingga gejala dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat diukur menurut pandangan Barat dalam menentukan tingkat modernitas. Sehingga tidak salah kalau Gramsci mengetakan telah terjadi hegemoni budaya terhadap negara Dunia ketiga. Masyarakat kemudian lebih banyak mengadaptasi nilai-nilai gaya hidup Barat sebagai identitas modern sehingga kecenderungan dilihat sebagai westernisasi.
Menurut Chuanqi dalam artikel The Civilization and Modernization yang dipresentasikan di World Congress of International Institute of Sociology Social Change in the Age of  Globalizationmengatakan bahwa teori modern klasik pada periode 1950-1960-an dipelopori oleh munculnya buku-buku seperti The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East(Lerner 1958), Politics of Modernization (Apter 1965), Modernization: Protest and Change (Eisenstadt 1966), Modernization: The Dynamics of Growth (Weiner 1966), Modernization and the Structure of Society (Levy 1966), The Dynamics of Modernization (Black 1966), The Stages of Economic Growth (Rostow 1960), Political Order in Changing Society (Huntington 1968), dan lain-lain. Paling tidak pengertian umum tentang modernisasi adalah proses sejarah pada pada transformasi perubahan besar-besaran dari pertanian tradisional ke masyarakat industri modern sejak masa revolusi industri abad XVIII. Proses modernisasi berlangsung revolusioner, komplek, sistematik, global, jangka panjang dan progresiv. Sehingga akan menghasilkan kristalisasi dan difusi modernitas klasik.
Penganut modernisasi klasik memandang perkembangan masyarakat akan menuju pada suatu tata kehidupan masyarakat modern. Smelser, melihat fungsi kelembagaan modern lebih kompleks dari pada kelembagaan tradisional. Dalam perkembangan ekonomi menurut Rostow, masyarakat modern berada dalam tahap komsumsi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sedangkan masyarakat tradisional mengalami hanya sedikit perubahan baik dibidang ekonomi maupun social budaya.
Teori Modernisasi Rostow ini merupakan teori pertumbuhan tahapan linier (linier stage of growth  models). Dimana pembangunan dikaitkan dengan perubahan dari masyarakat agraris dengan budaya tradisional ke masyarakat rasional, industrial, dan berfokus pada ekonomi pelayanan.  pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh peningkatan secara kuantitas dan kualitas dari faktor produksi dalam sebuah negara yang meliputi tanah, tenaga kerja, modal, dan pengusaha.
Menurutnya terdapat 5 tahapan masyarakat menuju masyarakat modern. Tahap pertama yakni masyarakat tradisional yang mendasarkan pada pertanian, belum banyak menguasai ilmu pengetahuan, adanya kepercayaan terhadap kekuatan yang menguasai manusia, masyarakat cenderung statis dan produksi digunakan untuk konsumsi bukan investasi. Tahap kedua, Prakondisi untuk Lepas Landas dimana campur tangan dari luar telah merubah masyarakat tradisional sehingga muncul ide pembaharuan, ada usaha-usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat.
Tahap ketiga, Lepas Landas dimana mulai hilangnya hambatan proses pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi meningkat, pertanian menjadi usaha komersial untuk mencari keuntungan bukan untuk konsumsi, industri baru berkembang pesat, dimana keuntungan ditanamkan kembali pad apabrik baru. Tahap keempat, Bergerak ke Kedewasaan yang mana teknologi mulai diadopsi secara meluas, negara memantapkan posisinya dalam perekonomian global dimana barang yangtadinya import kemudian diproduksi sendiri, serta peningkatan tabungan dan investasi. Sedangkan tahap terakhirkelima, Konsumsi Massal yg Tinggi, pada tahap ini konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi, perubahan orientasi produksi dari kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi tahan lama, surplus ekonomi tidak lagi digunakan untuk investasi tetapi digunakan untuk kesejahteraan sosial, dan pembangunan sudah berkesinambungan.
Beberapa ahli meneruskan kajian modernisasi klasik dengan mengamati perkembangan di tingkat masyarakat. David Mc.Clelland dalam bukunya The Achieving Society (1961), menggunakan pendekatan psikologi. Bagi dia, kemajuan di bidang ekonomi dipengaruhi tingkat kebutuhan berprestasi. Masyarakat modern di barat memiliki tingkat kebutuhan berprestasi yang tinggi. Teori ini sering disebut sebagai teori N-ach (need for achievement). Bahwa keingian atau kebutuhan berprestasi bukan sekedar untuk mendapatkan imbalan tetapi juga kepuasan. Pada tingkat makro pertumbuhan ekonomi yang tinggi didahului oleh n-ach yang tinggi.
Pendapat Inkeles menyatakan manusia modern tidak memperlihatkan gejala ketegangan atau penyakit psikologis akibat modernisasi, bahkan menunjukkan pola yang stabil. Menurut Alex Inkeles dalam bukunya becoming modern  menyatakan bahwa manusia modern paling tidak memiliki ciri-ciri: sikap membuka diri pada hal-hal yang baru; tidak terikat terhadap ikatan-ikatan institusi maupun penguasa tradisional; percaya pada ilmu pengetahuan; menghargai ketepatan waktu; dan melakukan segala sesuatu secara terencana.
Selanjutnya ahli sosiologi Max Weber juga ikut memperkaya kajian modernisasi melalui studinya tentang pengaruh ajaran agama terhadap kemajuan ekonomi. Bagi Weber nilai agama (etika) Protestan di barat telah menumbuhkan dorongan pada manusia untuk bekerja keras sebagai suatu tugas suci untuk mencapai kesejahteraan hidup.  Dalam Buku:The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1996) Webe Weber menjjelaskan bahwa adanya kemajuan ekonomi yang pesat pada beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat dibawah sistem kapitalisme. Semangat kapitalisme dikarakterisasikan sebagai gagasan bahwa adanya akuisisi terhadap kemakmuran sebagai akhir pencapaian. Man is dominated by the making of money, by the acquisition of wealthas the ultimate purpose of his life. (halaman 53).  Semangat kapitalisme kemudian diterjemahkan sebagai perlakuan etos kerja pada suatu masa dan melampaui sejarah manusia yang disbeut tradisionalisme. A man does not ‘by nature’ wish to earn more and more money, but simply to live as he is accustomed to live and to earn as much as is necessary for that purpose (halaman 60). Makanya dari situ diperlukan suatu usaha untuk lebih mendapatkan uang. Sebagai hasil analisisnya adalah adanya etika Protestan. Dimana menjadi anggapan umum bahwa keberhasilan kerja di duni akan menentukan seseorang masuk surga atau neraka. Berdasarkan kepercayaan tersebut kemudian mereka bekerja keras utuk menghilangkan kecemasan. Sikap inilah yang diberi nama etika protestan. Konsep ini kemudian menjadi konsep umum yang tidak dihubungkanlagi dengan agama. Kajian Weber kemudian dikembangkan oleh Bellah pada masyarakat Jepang. Etika Samurai yang tercermin dalam nilai-nilai agama Tokugawa resisten dalam perkembangan ekonomi industri modern di Jepang.
Perubahan social dalam pandangan modernisasi klasik, menitikberatkan kemajuan masyarakat modern terbentuk melalui suatu proses yang sama. Pandangan ini ditinjau kembali oleh para penganut modernisasi aliran baru. Wong, misalnya menyatakan, kemajuan ekonomi di Hongkong digerakkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki sistem organisasi tradisional yang bersifat nepotis, paternalistic dan kekeluargaan. Kasus Indonesia yang diamati Dove, memperlihatkan bahwa budaya local mengalami perubahan yang dinamis dalam dirinya. Sedangkan, Davis menilai ekonomi kapitalisme di Jepang tumbuh oleh terbentuknya rasionalisasi agama dan moral dalam lingkar barikade budaya. Dari sudut pandang politik, Huntington menyatakan budaya atau agama mempunyai korelasi yang tinggi dengan demokrasi.
Aliran baru teori modernisasi tersebut mengandung pemikiran bahwa nilai tradisional dapat berubah oleh karena dalam dirinya mengalami proses perubahan yang digerakkan oleh perkembangan berbagai factor kondisi setempat misalnya, factor pertumbuhan penduduk, teknik, apresiasi nilai budaya.