Jaringan sosial
merupakan salah satu dimensi sosial selain kepercayaan dan norma. Konsep
jaringan dalam kapital sosial lebih memfokuskan pada aspek ikatan antar simpul
yang bisa berupa orang atau kelompok (organisasi). Dalam hal ini terdapat
pengertian adanya hubungan social yang diikat oleh adanya kepercayaan yang mana
kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada. Pada konsep
jaringan ini, terdapat unsur kerja, yang melalui media hubungan social menjadi
kerja sama. Pada dasarnya jaringan social terbentuk karena adanya rasa saling
tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam
melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu.intinya, konsep jaringan dalam capital
social menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang
memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara efisien dan efektif (Lawang, 2005).
Granovetter
(2005) mengetengahkan gagasan mengenai pengaruh struktur social terutama yang
terbentuk berdasarkan jaringan terhadap manfaat ekonomis khususnya menyangkut
kualitas informasi. Menurutnya terdapat empat prinsip utama yang melandasi
pemikiran mengenai adanya hubungan pengaruh antara jaringan social dengan
manfaat ekonomi, yakni : pertama, norma dan kepadatan jaringan (network
density). Kedua, lemah atau kuatnya ikatan (ties) yakni manfaat ekonomi
yang ternyata cenderung didapat dari jalinan ikatan yang lemah. Dalam konteks
ini ia menjelaskan bahwa pada tataran empiris, informasi baru misalnya, akan
cenderung didapat dari kenalan baru dibandingkan dengan teman dekat yang
umumnya memiliki wawasan yang hamper sama dengan individu, dan kenalan baru
relative membuka cakrawala dunia luar individu. Ketiga, peran lubang struktur (structur
holes) yang berada diluar ikatan lemah ataupun ikatan kuat yang ternyata
berkontribusi untuk menjembatani relasi individu dengan pihak luar. Keempat,
interpretasi terhadap tindakan ekonomi dan non ekonomi, yaitu adanya
kegiatan-kegiatan non ekonomis yang dilakukan dalam kehidupan social individu
yang ternyata mempengaruhi tindakan ekonominya. Dalam hal ini, Granovetter
menyebutkan keterlambatan tindakan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi sebagai
akiat adanya jaringan social.
Dimensi Utama Kapital Sosial Dalam Jaringan Sosial
Pada
dasarnya capital social terdiri dari tiga dimensi utama yakni kepercayaan
(trust), norma, dan jaringan (network). Berdasar sifatnya, capital
social dapat bersifat mengikat (Bonding), menyambung
(Bridging), dan yang bersifat mengait (Linking).
Demikian
halnya dalam mengenai keterlambatan kegiatan ekonomi dalam struktur, budaya,
politik, bahkan agama. Satu hal lagi yang juga dikemukan adalah mengenai adanya
pengaruh yang dfemikian kuat dari struktur atau jaringan social terhadap
pengembangan ekonomi yang menyangkut masalah pengaruh struktur social terhadap
distribusi tenaga kerja, dala hal ini dijelaskan bagaimana jaringan kerja
memainkan peranan penting dalam pasar tenaga kerja. Selain itu, disebutkan juga
peranan jaringan kerja dalam dinamika pasar, terutama dalam hal pergeseran atau
bahkan penetapan harga antara pembeli dan penjual yang timbul sebagai akibat
jaringan social. Terakhir juga diuraikan oleh granovetter, bagaimana jaringan
social berperan sebagai sumber inovasi beserta adopsinya, sebagai gambaran
adanya interpenetrasi kegiatan social dalam tindakan ekonomi. Pada dasarnya
jaringan social dan perannya dalam pengembangan agribisnis berbasis komunitas
erat kaitannya dengan teori difusi inovasi yang diperkenalkan oleh Roger
(1983). Menurutnya teori ini, masuknya suatu inovasi dalam suatu system social
sangat dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain berupa factor internal yang
berupa ciri-ciri atau karakteristik individu yang akan berkonsekuensi pada
terjadinya perubahan dalam system social itu, sebagai akibat dari pengadopsian
ataupun penolakan suatu inovasi dalam pengembangan agribisnis.
Schoolr
(1980) mengemukakan bahwa perkembangan agraria yang pada hakekatnya
pengembangan agribisnis ditentukan oleh sejumlah actor yang satu sama lain
banyak saling berhubungan. Dalam model itu, tujuan utama dari kebijakkan
pemerintah adalah memperbesar produksi dan melakukan perubahan-perubahan
agraria untuk member jaminan social dan ekonomi yang mantap bagi petani. Pada
tataran operasional, tujuan kedua ini diterima meskipun banyak yang hanya
sebatas kata-kata. Factor-faktor penting yang mempengaruhi terhadap kedua
tujuan utama kebijakkan pemerintah adalah :
1) Perbandingan
manusia terhadap sumber daya lahan, yang tidak semata-mata menyangkut rata-rata
tetapi lebih kepada luas lahan yang tersedia bagi petani untuk keperluan
pengembangan agribisnis.
2)
Kepadatan dan pertambahan penduduk.
3)
Perkembangan industry dan urbanisasi.
4)
Sistem kebudayaan.
5)
Struktur sosial.
6)
Struktur agraria, terutama aspek distribusi tanah
pertanian secara adil dan adanya jaminan yang mantap dalam hubungan dengan hak
guna atau sewa dan pajak secara adil.
7)
Fasilitas komunikasi dan informasi.
8)
Infrastruktur agraria.
9) Penggunaan
metode dan tekhnik baru, terkait dengan inovasi teknologi.
Menurut
schoolr (1980) adopsi inovasi teknologi sangat esensial untuk perkembangan
agraria dan sangat tergantung dari kebanyakan factor-faktor lain. Adopsi
inovasi merupakan konsep yang merujuk kepada suatu proses, yakni proses mental
yang terjadi pada diri individu sejak pertama kali mengenal inovasi sampai
mengadopsinya. Inovasi menurut Price (1972) merujuk kepada dimensi waktu dalam
menentukan suatu gagasan atau ide-ide baru. Inovasi merupakan bagian dari
konsep perubahan social yang mengandung adanya gejala modifikasi system
struktur dan kultur. Semua inovasi merupakan perubahan social, tetapi perubahan
social bukan inovasi.
Penyebaran
atau diseminasi inovasi teknologi pada dasarnya merupakan transfer teknologi
dari hasil-hasil penelitian kepada pengguna. Proses penyebaran inovasi tentunya
sangat tergantung dari beberapa hal, termasuk kondisi social, ekonomi, dan
budaya masyarakat. Salah satu prakondisi yang sangat diperlukan dalam
percepatan diseminasi inovasi teknologi adalah dengan penguatan terhadap proses
dan kondisi yang diperlukan, termasuk pemanfaatan potensi sumber daya local
(Lionberger dan Gwin, 1991). Adapun factor-faktor yang mempengaruhi tingkat
adopsi inovasi antara lain adalah sifat-sifat inovasi itu sendiri, dan saluran
komunikasi yang digunakan dalam diseminasi inovasi. Disamping itu, diketahui
bahwa terdapat factor lain yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi meliuti :
kondisi social ekonomi, karaterisitik personal yang mencakup aspek rasionalitas
dan sikap terhadap perubahan (Rogers, 1983; Roling, 1988; Van den Ban, A.W dan
Hawkin H.S, 1988). Menurut Lawsons (2000), pengaruh inovasi teknologi dan
ekonomi menyebabkan perubahan struktur, atau lebih konkritnya adalah perubahan
kelas social sebagai akibat adanya mobilitas social. Terutama mobilitas
vertical anggota masyarakat.
Pada sisi
lain tidak dapat di pungkiri bahwa di masyarakat sering ditemui adanya hambatan
structural dalam mengintegrasikan lingkungan kebijakan dengan karakteristik
organisasi maupun individu anggota masyarakat di level mikro. Hal ini sejalan
dengan teori neo capital yang dikemukan oleh Lin (2000)
yang menekankan ketidakmerataan (inequality) capital social dengan
menganalisis hambatan structural antara lain berupa ketidakseimbangan posisi
ekonomi diantara individu, yang cenderung akan menggunakan kekuatan ikatan
social mengikat dan factor kekerabatan dalam mengakses sumber-sumber sosial. Proposisi
yang cukup menarik dikemukakannya bahwa ketidakmerataan sumber daya (temasuk
capital social) akan menyebabkan ketidakseimbangan social (inequality).
Capital social konsepsikan sebagai kuantitas atau kualitas sumber daya yang
oleh actor (individu, kelompok, atau komunitas) dapat diakses dan dimanfaatkan
melalui posisi atau lokasinya dalam jaringan social. Konsep diatas menjelaskan
bahwa yang pertama mengandung pengertian mengenai sumber capital social yang
dapat diakses pada relasi social. Sedangkan konsep yang kedua memberikan
penekanan mengenai lokasi atau sumber capital social berada pada jaringan
social atau karateristik jaringan social.demikian hal mengenai proposisi bahwa
semakin kuat jaringan social (semakin lemah ikatan social) akan berasosiasi
positif dengan sumber daya social. Pandangan Lin (2000) tentunya sangat
kontibutif dalam menganalisis distribusi sumber-sumber social dalam masyarakat.
Fenomena elitisme agribisnis merupakan satu contoh implikasi dari implementasi
kebijakkan pembangunan pertanian di Indonesia yang kurang memberikan perhatian
kepada interaksi lingkungan kebijakkan (policy environment) dengan
karateristik individu, organisasi social, pada komunitas. Sejalan dengan pandangan
itu, Granovetter (2005) mengutarakan mengenai teori jaringan social dengan
menjelaskan hubungan pengaruh antara jaringan social dengan manfaat ekonomi
seperti yang telah diutarakan di awal.
Dalam hal ini Granovetter menyebutkan keterlambatan
tindakan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi, seperti halnya, bagaimana jaringan
social berperan sebagai sumber inovasi yang terkait dengan teori difusi
inovasi. Sayangnya dalam dinamika pembangunan pertanian di Indonesia ada
anggapan bahwa inovasi yang didesiminasikan kepada masyarakat akan selalu
melalui tahapan yang linier dan homogen. Karakteristis sosiologis yang mencakup
struktur dan kultur masyarakat kurang di cermati,sehingga teori di fusi inovasi
sering di terapkan dengan model yang sama di setiap wilayah.dalam konteks
Indonesia, hal ini terjadi saat maraknya program penyuluhan pertanian yang di
tujukan untuk mendongkrak produktivitas. Para penyuluh ataupun bahkan birokrasi
pembangunan pertanian memberlakukan pedoman dan petunjuk teknis dalam
penyuluhan dengan persepsi bahwa tahapan yang dilalui dalam proses itu adalah
sama di seluruh daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar