Bila
strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka
Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tak
teratur dan tak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa
penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga sosial tak lain hanya sebagai
tulisan, karena itu tak mampu memaksa orang. Konteks yang berlainan memberikan
kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak
mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoritisi
strukturalis justru memaksa. Karena itu menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan
untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada
umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal
yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya).
Post-strukturalisme
mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek
linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu
melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang
struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner (hitam-putih,
baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu tergelincir
dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks tertentuyang
bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti pendahulunya,
bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu
dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.
Michael
Foucoult adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori
post-strukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori
post-strukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan
karakter ilmiah, universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa
ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam
tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang post-strukturalis Foucoult
tertarik pada cara dimana berbagai bentuk ilmu pengetahuan menghasilkan
cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling signifikan untuk
menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis
(Marx), atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional
(Weber), melainkan cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak
dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan
modern.
Salah satu
karya Foucoult adalah Archeology of Knowledge yang merupakan
tujuan dari studinya mencari struktur pengetahuan, ide-ide dan modus dari
diskursus atau wacana. Ia mempertentangkan arekeologinya itu dengan sejarah
atau sejarah ide-ide. Dalam karyanya itu, Foucoult juga ingin mempelajari
pernyataan-pernyataan baik lisan maupun tertulis sehinga ia dapat menemukan
kondisi dasar yang memungkinkan sebuah diskursus atau wacana bisa berlangsung.
Konsep kunci dari Foucoult adalah arkeologi, geneologi dan kekuasaan. Bila
arkeologi memfokuskan pada kondisi historis yang ada, sementara geneologi lebih
mempermasalahkan tentang proses historis yang merupakan proses tentang jaringan
jaringan diskursus.
Hubungan
secara konseptual antara Strukturalis dan Pos-strukturalis
Berdasarkan
namanya, post-strukturalisme dibangun diatas gagasan strukturalisme, namun
bergerak keluar dan menciptakan mode berpikirnya sendiri. Strukturalisme
dipengaruhi oleh ilmu bahasa, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan
makna yang berlaku secara universal, sedangkan pos-strukturalisme tidak melihat
adanya kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa. Bahkan Derrida berupaya
untuk melakukan “dekonstruksi logosentrisme”. Dia ingin melihat masyarakat
terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan
pemikiran dominan. Sedangkan Foucoult mengemukakan pandangannya tentang
pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Bahwa orang
yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.
Kenyataan
empiris yang terjadi saat ini, dapat diambil contoh penggunaan kartu kredit
sebagai sarana untuk pembayaran dan pembelian suatu produk barang atau jasa.
Pendekatan Strukturalis melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam kartu kredit
yang dikeluarkan oleh sistem perbankan dan berlaku universal. Pemohon kartu
kredit harus memiliki persyaratan tertentu untuk mendapatkannya. Simbol yang
ada di kartu dimaknai bersama, baik oleh pembeli maupun penjual, bahwa
penggunaannya hanya dengan “menggesekkan” kartu ke alat terentu dan bank
akan mengeluarkan kredit pinjaman kepada pemegang kartu. Kata-kata dalam bahasa
“tinggal gesek” dimaknai secara strukturalis sebagai alat kemudahan membayar.
Post-strukturalis melihatnya bahwa kartu kredit tersebut kurang atau tidak
bermanfaat, simbol kartu yang dimaknai sebagai alat tukar bergengsi justru dimaknai
oleh post-strukturalis sebagai penciptaan masalah baru. Ada unsur
ketidakstabilan. Makna “kewajiban” membayar berbeda pemaknaannya oleh pemakai
kartu, karena ketidakmapunannya untuk membayar atau karena ketidakdisiplinannya
dalam membayar cicilan. Bila kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang kartu
kredit untuk melunasi atau mencicil hutang tidak dijalankan, maka ada sanksi
tertentu terhadap pemegang kartu, baik denda maupun sanksi hukum, bila tidak
sanggup membayar.
Bila dilihat dari sudut pandang pengetahuan/kekuasaan,
maka orang-orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan kartu, tentu akan
“menguasai” kartu tersebut, dalam arti dapat memanfaatkan sebaik-baiknya. Dia
akan mempelajari, berapa beban bunganya dalam sebulan atau setahun, berapa
biaya adiministrasinya, berapa dendanya bila terlambat, berapa iuran anggotanya
pertahun, dan setiap tanggal berapa dia harus membayar tagihan serta berapa
yang harus dibayar. Pengetahuan ini yang menurut pandangan Foucoult berkaitan
dengan kekuasaan. Bila nasabah/pemegang kartu memiliki pengetahuan, maka
dia akan berkuasa (kartu tersebut bermanfaat) namun bila tidak, maka pihak bank
yang akan berkuasa (beruntung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar