Akibat kecaman keras, determinisme
ekonomi mulai memudar perannya dan sejumlah teoritisi mengembangkan teori
Marxian jenis lain. Sebuah kelompok Marxis kembali ke akar Hegelian dari teori
Marx dalam meneliti orientasi subjektif untuk melengkapi kekuatan mencoba
memperbaiki hubungan dialektika antara aspek subjektif dan aspek objektif
kehidupan sosial. Perhatian mereka terhadap faktor subjektif memberikan basis
bagi perkembangan teori kritis selanjutnya, yang semula hampir sepenuhnya
memusatkan perhatian secara eksklusif pada faktor subjektif. Sejumlah pemikir
(misalnya, Karl Korsch) dapat diambil sebagai ilustrasi Marxisme Hegelian,
namun kita akan memusatkan perhatian pada karya Georg Lukacs yang sangat
terkenal terutama bukunya History and Class Consciousness (1922/1968).
Pemikiran Antonio Gramsci juga akan dibahas.
Georg Lukacs
Perhatian terhadap pemikiran Marxian
awal abad 20 adalah terbatas hanya terutama pada karya ekonomi Marx yang
belakangan, seperti das Kapital (1867/1967). Karya awal Marx, khususnya The
Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 (1932/1964), umumnya tak dikenal
oleh pemikir Marxian. Penemuan kembali The Manuscripts dan penerbitannya tahun
1932 merupakan titik balik utama. Namun, sekitar tahun 1920-an Lukacs telah
menulis karya besarnya yang menekankan sisi subjektif teori Marxian. Seperti
dinyatakan Martin Jay, History and Class Consciousness telah mengantipasi
implikasi filosofis Manuscripts of 1844 dari Marx yang dipublikasikan hampir
seabad lebih dahulu (1984:102). Sumbangan utama Lukacs terhadap teori Marxian
berupa dua gagasan besar yakni tentang reifikasi (Dahms, 1998) dan kesadaran
kelas.
Reifikasi
Lukacs dari awal menjelaskan bahwa ia
tak menolak pemikiran ekonomi Marxis mengenai reifikasi, tetapi mencoba
memperluas dan mengembangkan pemikiran tersebut. Lukacs memulai dengan konsep
komoditi Marxian yang ia akui sebagai sebuah masalah struktural penting dalam
masyarakat kapitalis (1922/1968:83). Komoditi yang mereka yakini berbentuk
barang dan berkembang menjadi objek itu menjadi basis hubungan antarindividu.
Dalam masyarakat kapitalis, interaksi manusia dengan alam menghasilkan berbagai
macam produk atau komoditi (misalnya roti, mobil, film). Tetapi, manusia
cenderung tak mampu melihat fakta bahwa merekalah sebenarnya yang menghasilkan
komoditi itu dan memberikan nilai. Nilai justru mereka pahami sebagai produk
pasar, terlepas dari aktor. Pemujaan mutlak (fetishisme) terhadap komoditi
merupakan proses berpikir yang mengakui komoditi dan pasar dalam masyarakat
kapitalis sebagai objek yang keberadaannya terlepas dari aktor. Konsep Marx
tentang pemujaan mutlak komoditi ini menjadi basis dari konsep reifikasi
Lukacs.
Perbedaan penting antara pemujaan
mutlak komoditi (Marx) dan konsep reifikasi Lukacs terletak pada keluasan kedua
konsep itu. Pemujaan mutlak komoditi terbatas penerapannya pada lembaga ekonomi
saja. Sedangkan konsep reifikasi diterapkan oleh Lukacs terhadap seluruh
masyarakat, negara, hukum, dan sektor ekonomi. Konsep ini dapat diterapkan
secara dinamis dalam semua masyarakat kapitalis. Orang menjadi yakin bahwa
struktur sosial mempunyai kehidupannya sendiri dan akibatnya orang meyakini
bahwa struktur itu mempunyai ciri objektif. Proses ini dilukiskan Lukacs
demikian : Manusia dalam masyarakat kapitalis menghadapi realitas “ciptaannya”
sendiri (seperti kelas) yang tampil di hadapannya sebagai fenomena alamiah yang
terasing dari dirinya sendiri. Manusia menjadi tergantung sama sekali kepada
belas kasihan hukum ciptaannya itu, aktivitasnya terbatas pada eksploitasi
untuk pemenuhan kebutuhan individual tertentu yang tak dapat ditawar-tawar.
Meski berperan aktif ia tetap menjadi objek bukan subjek aktivitasnya (Lukacs,
1922/1968:135).
Dalam mengembangkan gagasannya tentang
reifikasi Lukacs menyatukan pandangan dari Weber dan Simmel. Tetapi, karena
konsep reifikasi terdapat di dalam teori Marxian maka konsep itu terlihat
seakan-akan hanya berlaku dalam masyarakat kapitalis saja, yang berbeda dengan
Weber dan Simmel yang melihat sdfikasi sebagai nasib umat manusia.
Kesadaran Kelas dan Kesadaran Palsu
Sumbangan besar kedua adalah karyanya
tentang kesadaran kelas, yang mengacu kepada sistem keyakinan yang dianut oleh
orang yang menduduki posisi kelas yang sama dalam masyarakat. Kesadaran kelas
bukan rerata atau penjumlahan kesadaran individual; kesadaran kelas adalah
sifat sekelompok orang yang secara bersama menempati posisi serupa dalam sistem
produksi. Pandangan ini mengarah ke pemusatan perhatian terhadap kesadaran
kelas borjuis, dan terutama kelas proletariat. Menurut Lukacs, terdapat
hubungan yang nyata antara posisi ekonomi objektif, kesadaran kelas, dan
“pemikiran psikologis riil orang mengenai kehidupan nyata mereka” (1922/
1968:51).
Konsep kesadaran kelas, setidaknya
dalam sistem kapitalis, secara tersirat menyatakan keadaan sebelumnya, yang
dikenal sebagai kesadaran palsu. Artinya, kelas-kelas dalam masyarakat
kapitalis umumnya tidak menyadari kepentingan kelas mereka yang sebenarnya.
Contoh, hingga tahap revolusioner, anggota kelas proletariat belum menyadari sepenuhnya
sifat dan tingkat pemerasan yang mereka alami dalam sistem kapitalisme.
Kepalsuan kesadaran kelas berasal dari posisi kelas dalam struktur ekonomi
masyarakat: “Kesadaran kelas secara tersirat menyatakan kondisi ketaksadaran
yang dikondisikan kelas dari kondisi sosio historis dan kondisi ekonomi
seseorang… ‘kepalsuan’, ilusi yang tersirat dalam situasi ini, adalah tidak
arbitrer” (Lukacs, 1922/1968:52). Sebagian besar kelas sosial di sepanjang
sejarahnya tak mampu mengatasi kesadaran palsu dan karena itu tak mampu
mencapai kesadaran kelas. Tetapi, posisi struktural kelas proletariat dalam
kapitalisme memberinya kemampuan khusus untuk mencapai kesadaran kelas.
Kemampuan untuk mencapai kesadaran
kelas adalah khusus untuk masyarakat kapitalis. Dalam masyarakat prakapitalis,
berbagai faktor mencegah perkembangan kesadaran kelas. Pertama, negara terlepas
dari ekonomi, memengaruhi strata sosial. Kedua, kesadaran mengenai status
(prestise) cenderung menutupi kesadaran kelas (ekonomi). Akibatnya, seperti
disimpulkan Lukacs “dalam masyarakat yang seluruh hubungan sosialnya
berdasarkan basis ekonomi tak mungkin tercipta kesadaran kelas” (1922/1968:57).
Sebaliknya, basis ekonomi kapitalisme makin jelas dan makin sederhana. Orang
mungkin tak menyadari pengaruhnya, tetapi mereka sekurang-kurangnya menyadari
ketaksadaran mereka. Akibatnya “kesadaran kelas tercapai pada titik di mana ia
dapat menjadi sadar” (Lukacs, 1922/1968:59). Pada tahap ini masyarakat berubah
menjadi arena pertarungan ideologi antara pihak yang berupaya menyembunyikan
ciri masyarakat yang berkelas dan pihak yang berupaya menampakkannya.
Berdasarkan kriteria kesadaran kelas
ini, Lukacs membandingkan berbagai jenis kelas dalam masyarakat kapitalisme.
Menurutnya borjuis kecil dan petani tak dapat mengembangkan kesadaran kelas
karena posisi struktural mereka dalam kapitalisme bersifat mendua. Karena kedua
kelas ini mencerminkan sistem masyarakat di zaman feodal maka mereka tak mampu
mengembangkan pemahaman yang jelas mengenai sifat dasar kapitalisme. Borjuis
dapat mengembangkan kesadaran kelas, tetapi sebaliknya mereka memahami
perkembangan kapitalisme sebagai sesuatu yang bersifat eksternal, tunduk kepada
hukum objektif yang hanya dapat dialami secara pasif.
Proletariat mempunyai kemampuan untuk
mengembangkan kesadarar kelas yang sebenarnya, dan ketika itu digunakan,
borjuis terpaksa berada pada posisi mempertahankan diri. Lukacs menolak
pandangan yang menyatakan bahwa proletariat semata-mata digerakkan oleh
kekuatan eksternal, tetap. sebaliknya memandang proletariat sebagai pencipta
aktif nasibnya sendiri. Dalar konfrontasi antara borjuis dan proletariat, kelas
borjuis memiliki semua senja’ intelektual dan organisasional, sedangkan
proletariat mula-mula mampu memahami masyarakat sebagaimana adanya. Ketika
pertarungan berlangsung proletariat berubah dari “kelas dalam dirinya sendiri”,
yakni sebagai kesatuan yang tercipta secara struktural, menjadi sebuah “kelas
untuk dirinya sendiri yakni kesadaran kelas tentang posisinya dan misinya.
Dengan kata lain “perjuangan kelas harus ditingkatkan dari tingkat tuntutan
ekonomi ke tingkat kelas yang efektif dan menyadari tujuan yang hendak dicapai”
(Lukacs, 1968:76). Bila mencapai titik ini proletariat mampu melakukan tindakan
yang dapat menghancurkan sistem kapitalis.
Lukacs mempunyai teori sosiologi yang
kaya meski tersimpan dalam istilah Marxian. Ia memusatkan pada hubungan
dialektika antara struktur (terutama ekonomi) kapitalisme, sistem gagasan
(terutama kesadaran kelas), pemikiran individual, dan akhirnya tindakan
individual. Perspektif teoritisinya menyediakan jawaban penting antara
pemikiran determinan ekonomi dan Marxis yang lebih modern.
Antonia Gramsci
Antonio Gramsci, seorang Marxis
Italia, juga berperan penting dalam fase transisi dari determinisme ekonomi ke
pemikiran Marxian yang lebih modern (Salamini, 1981). Gramsci mengecam Marxis
yang disebutnya “deterministis, dan mekanistis” (1971:336). Dia menulis sebuah
esai berjudul “The Revolution Against Capital” (Gramsci, 1917/1977). Dalam esai
ini ia menyambut kebangkitan kemauan politik menentang determinisme ekonomi
dari orang-orang yang mereduksi Marxisme menjadi hukum sejarah dari karya
terkenal [das Kapital] (Jay,l 984:155). Meski ia mengakui adanya keteraturan
sejarah, ia menyangkal pemikiran yang menyatakan perkembangan sejarah adalah
otomatis atau tak terelakkan. Jadi, massa harus bertindak untuk menghasilkan
revolusi sosial. Untuk bertindak massa harus menyadari situasi mereka dan harus
menyadari watak masyarakat di mana mereka hidup. Dengan demikian, meski Gramsci
menyadari pentingnya peran faktor struktural terutama ekonomi, ia tak bahwa
faktor struktural itu mendorong massa untuk berevolusi. Massa mengembangkan
ideologi revolusioner, tetapi mereka tidak akan mampu mengembangkannya sendiri.
Gramsci mengemukakan cara berpikir yang agak Gagasan revolusioner menurutnya
dibangkitkan oleh intelektual, kemudian dikembangkan kepada massa dan massa
itulah yang akan melaksanakannya. Mssa tak mampu membangkitkan gagasan seperti
itu, tetapi mereka mampu menghayatinya dan segera setelah gagasan itu muncul ia
akan menjadi satu-satunnya keyakinan mereka. Massa takkan mampu menyadari
sendiri gagasan itu atas upaya mereka sendiri, mereka memerlukan bantuan elite
sosial. Namun demikian segera setelah massa dipengaruhi oleh gagasan
revolusioner itu, mereka akan bertindak yang menimbulkan revolusi sosial.
Seperti Lukacs, Gramsci lebih memusatkan perhatian pada gagasan kolektif
ketimbang pada struktur sosial seperti ekonomi, dan keduanya beroperasi menurut
teori Marxian tradisional.
Konsep sentral Gramsci dan yang
mencerminkan Hegelianismenya adalah hegemoni. Menurut Gramsci, “unsur esensial
filsafat paling modern tentang praksis (menghubungkan pemikiran dan tindakan)
adalah konsep filsafat sejarah tentang hegemoni” (1932/1975:235). Gramsci
mendefinisikan hegemoni sebagai kepemimpinan kultural yang dilaksanakan oleh
kelas penguasa. Ia membedakan hegemoni dari “penggunaan paksaan yang digunakan
oleh kekuasaan legislatif atau eksekutif atau yang diwujudkan melalui
intervensi kebijakan” (Gramsci, 1932/1975:235). Meski ekonom Marxis cenderung
menekankan aspek ekonomi dan aspek penggunaan kekuasaan dominasi negara,
Gramsci menekankan pada “hegemoni dan kepemimpinan kultural” (1932/1975:235).
Dalam analisis mengenai kapitalisme. Gramsci ingin mengetahui bagaimana cara
beberapa pemikir bekerja deiru kepentingan kapitalis, mencapai kepemimpinan
kultural dan persetujuan massa.
Konsep hegemoni tak
hanya dapat membantu kita untuk memahami dominasi dalam kapitalisme, tetapi
juga membantu mengorientasikan pemikiran Gramsci tentang revolusi. Yakni,
revolusi belum cukup untuk mendapatkan pengendalian atas ekonomi dan aparatur
negara; masih perlu mendapatkan kepemimpinan kultural atas aspek masyarakat
lainnya. Di sinilah Gramsci melihat peran kunci intelektual komunis dan partai
komunis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar