Tahun 1980-an dan 1990-an membawa
perubahan dramatis bagi teori neo-Marxis (Aronson, 1995; Grossberg dan Nelson,
1988; Jay, 1988). Jenis teori neo-Marxis paling akhir menolak berbagai premis
dasar teori asli Marx maupun premis dasar teori neo-Marxian yang telah dibahas
di awal. Karena itu pendekatan baru ini harus dianggap sebagai teori
post-Marxis (Wright, 1987; Dtandaneau, 1992). Meski teori ini menolak
unsur-unsur dasar teori Marxian, namun masih mempunyai afinitas yang cukup
dengan teori Marxian karena dinggap menjadi bagian teori neo-Marxian. Teori
post-Marxis dibahas di sini karena teori itu sering menggunakan sintensis
teori-teori Marxian dengan teori, gagasan, dan metode lain. Lalu bagaimana cara
menjelaskan perubahan dramatis png dialami teori neo-Marxian ini? Ada dua
kumpulan faktor yang terlibat: PERTAMA, faktor eksternal teori itu dan yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan sosial. Kedua, faktor internal teori itu
sendiri (Anderson, 1984; Ritzer, 1991a).
Pertama, dan bukan berasal dari teori
Marxian, adalah berakhirnya era perang dingin (Halliday, 1990) dan keruntuhan
komunis dunia. Uni Soviet sudah bubar dan Rusia bergeser menuju ekonomi pasar,
setidaknya sebagian menverupai ekonomi kapitalis (Piccone, 1990; Zaslavsky,
1988). Eropa Timur sedang bergeser menuju perekonomian gaya kapitalis, bahkan
pergeserannya itu ada yang lebih cepat daripada yang dialami Rusia (Kaldor,
1990). Cina setelah tragedi Tiananmen bangkrut sebagai model bagi sisa dunia
komunis lain, meski memegang teguh komunisme. Kuba terisolasi, tinggal menunggu
kematian atau kejatuhan Fidel Castro untuk bergeser ke kapitalisme. Jadi,
kegagalan komunisme berskala dunia menyebabkan pemikir Marxis merasa perlu
mempertimbangkan kenbali dan merekonstruksi teori mereka (Burawoy, 1990; Aronson,
1995).
Perubahan-perubahan di dunia ini
berkaitan dengan perubahan kedua, yang ada dalam teori itu sendiri, yakni
serangkaian perubahan intelektual yang pada gilirannya memengaruhi teori
neo-Marxian (Anderson, 1990a, 1990b). Pemikiran teoritisi baru sekarang ini,
seperti post strukturalisme dan post modern berpengaruh besar terhadap teori
neo-Marxian. Lagi pula gerakan yang dikenal sebagai Marxisme analitis
mendapatkan landasan, yakni premis tentang keyakinan bahwa teori Marxian perlu
menggunakan metode yang sama dengan yang digunakan peneliti ilmiah lainnya.
Pendekatan ini mendorong dilakukan penafsiran ulang pemikiran Marx menurut
persyaratan intelektual yang lebih konvensional, suatu upaya untuk menerapkan
teori pilihan rasional terhadap masalah-masalah Marxian dan upaya meneliti
topik-topik Marxian dengan menggunakan metode dan teknik ilmu pengetahuan
positivistik. Seperti dikatakan Meyer bahwa “meningkatkan kerendahan hati
terhadap kaidah ilmu pengetahuan konvensional sama artinya dengan mengurangi
ketaatan terhadap teori Marxis itu sendiri” (1994:296).
Jadi, kombinasi perubahan sosial dan
intelektual secara dramatis mengubah pandangan teori Marxian di tahun 1990-an.
Meski teori yang dibahas terdahulu penting, namun kini teori neo-Marxian lebih
banyak menekankan pada teori yang dibahas berikut ini.
Marxisme Analitis
John Roemer, tokoh aliran ini
mendefinisikannya Marxisme analitis sebagi berikut:
Selama dekade lalu, telah terbentuk
apa yang kini muncul sebagai spesies baru adalah dalam teori sosial: Marxisme
analitis canggih. Praktisi-praktisinya kebanyakan terilhami oleh pertanyaan
Marxian, yang mereka mencoba menjawabnya dengan menggunakan perangkat logika,
matematika, dan dengan penyusunan model. Gaya metodologi mereka adalah konvensional.
Para penulisnya adalah produk tradisi Marxian dan neo-Marxisme (Roemer, 1986a:
1).
Marxis analitis menggunakan metode
analitis filsafat dan ilmu sosial dalaim membahas masalah substantif Marxian
(Mayer, 1994:22). Aliran ini dibahas di sini karena “secara tegas bermaksud
menyintesiskan metode non-Marxis dan teori Marxis” (Weldes, 1989:371).
Marxisme analitis menggunakan
pendekatan neodogmatik terhadap teori Marx. Tidak mendukung teori Marx secara
membabi-buta dan tanpa pikir, tidak menolak fakta-fakta sejarah dalam usahanya
untuk mendukung teori Marxis dan tidak secara total menolak Marx sebagai keliru
secara mendasar. Teori Marx dianggap sebagai kekuatan besar dan berinti yang
sahih meski juga ada kelemahan substantifnya. Teori Marx harus digunakan, namun
perlu memanfaatkan metode dan teknik yang dibangun di akhir abad 20. Aliran ini
menyangkal ada metodologi Marxian yang distingtif dan mengecam mereka yang
mengira metodologi seperti itu ada dan sahih:
Saya tak yakin ada bentuk khusus
logika atau penjelasan Marxis. Marxis terlalu sering berlindung di belakang
istilah dialektika Marxisme yang dikaburkan. Yoga Marxisme adalah dialektika.
Logika dialektika berdasarkan atas beberapa proposisi yang mengandung
pertimbangan induktif tertentu, tetapi mustahil bisa dijadikan hukum untuk
menarik kesimpulan: bahwa sesuatu dapat berubah menjadi kebalikannya dan
kuantitas dapat berubah menjadi kualitas. Dalam ilmu sosial Marxian, dialektika
sering digunakan untuk membenarkan sejenis penalaran teleologis yang malas. Perkembangan
terjadi karena memang harus terjadi agar sejarah dapat berperan seperti yang
diharapkan (Roemer, 1986b: 191).
Elster mengatakan, “tak ada bentuk
analisis Marxis yang khusus…tak ada komitmen terhadap metode analisis khusus
apa pun selain dari metode yang digunakan ilmu sosial pada umumnya” (1986:220).
Bersamaan dengan itu pengnut aliran ini menolak pandangan bahwa fakta dan nilai
tak dapat dipisahkan, bahwa fakta dan nilai berhubungan secara dialektis.
Dengan mengikuti aliran utama filsafat dan cara berpikir ilmu sosial, Marxis
analitis ini mencoba memisahkan antara fakta dan nilai serta berupaya
menerangkan fakta dengan tanpa memihak melalui analisis teoritis, konseptual,
dan empiris.
Orang mungkin bertanya, mengapa
Marxisme analitis mesti disebut Marxis. Dalam menjawab pertanyaan ini Roemer
mengatakan, “saya tak yakin itu harus” (1986a:2). Namun, ia mengemukakan
beberapa alasan mengapa kita dapat menganggapnya sebuah teori (neo-) Marxian.
Pertama, aliran ini menganalisis topik-topik tradisional seperti kelas dan
eksploitasi. Kedua, aliran ini mencoba memahami dan menerangkan masalah yang
berkaitan dengan kapitalisme. tetapi, meski dalam artian ini aliran ini adalah
Marxis mereka juga “mau dan gampang meminjam dari pandangan lain” (Roemer,
1986a:7). Sekali lagi Marxisme analitis sangat banyak kesamaannya dengan teori
sintesis yang dikemukakan.
Tiga jenis Marxisme analitis akan
dibahas, meski secara ringkas di seksi berikut. PERTAMA, dibahas upaya
menganalisis ulang pemikiran Marx yang menggunakan peralatan intelektual aliran
utama. KEDUA, akan dibahas Marxisme teori pilihan rasional dan teori permainan
Marxisme. KETIGA, akan disinggung riset empiris dari sebuah perspektif Marxian
yang menggunakan peralatan metodologi state-of-the-art.
Menganalisis Ulang Marx
Seperti dikemukakan di atas, Marxis
analitis olak penggunaan konsep idiosinkronik seperti dialektika dan sebaliknya
mencoba menganalisis Marx (maupun kehidupan sosial) dengan menggunakan konsep
yang menjadi bagian dari tradisi intelektual yang lebih luas. Contoh utamanya
dan merupakan salah satu dokumen kunci dalam Marxisme analitis adalah buku G.A.
Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence (1978). Dalam bukunya Cohen
menggunakan lebih banyak bentuk penjelasan fungsional yang lazim. Ia mengemukakan
contoh penjelasan fungsional dalam karya Marx sebagai berikut :
ü Hubungan produksi dapat disamakan
dengan kekuatan produktif.
ü Superstruktur hukum dan politik dibangun
di atas fondasi nyata.
ü Proses sosial, politik, dan
intelektual dikondisikan oleh cara produksi kehidupan material.
ü Kesadaran ditentukan oleh kehidupan
sosial (Cohen, 1978/1986:221).
Di setiap contoh-contoh ini, konsep
kedua menerangkan konsep pertama. Menurut pandangan Cohen, sifat penjelasan
adalah fungsional karena “karakter dari apa yang dijelaskan ditentukan oleh
pengaruhnya terhadap apa yang menjelaskannya” (1978/1986:221). Dengan demikian
dalam kasus contoh terahir sifat kesadaran dijelaskan oleh efeknya terhadap
makhluk sosial. Secara lebih umum, fenomena sosial diterangkan berkenaan dengan
akibatnya terhadap fenomena sosial lain. Menurut pandangan Cohen, Marx
mempraktikan pemikiran fungsional dalam contoh di atas, dan di seluruh
karyanya, karena ia mencoba menerangkan fenomena sosial dan ekonomi menurut
cara ini. Jadi Marx bukan penganut logika dialektika; ia adalah pemikir
fungsional. Dalam menerima perspektif seperti ini Cohen menginterpretasi ulang
pemikiran Marx dengan menggunakan pemikiran filsafat aliran utama dan memandang
Marx sebagai bagian dari aliran utama itu.
Cohen dengan hati-hati membedakan
pemikiran fungsional dari jenis fungsionalisme (struktural) sosiologi yang
dibahas. Cohen melihat fungsionalisme (struktural) terdiri dari tiga tesis.
Pertama, seluruh untuk kehidupan sosial adalah saling berhubungan. Kedua,
seluruh komponen masyarakat saling menguatkan. Ketiga, setiap aspek masyarakat
tetap seperti apa adanya karena kontribusinya terhadap masyarakat lebih luas.
Tesis ini tak dapat diterima oleh Marxis karena berbagai alasan, khususnya
karena konservatismenya. Namun, penjelasan fungsional di atas dapat digunakan
Marxis tanpa harus menerima prinsip fungsionalisme struktural. Jadi, penjelasan
fungsional tak selalu konservatif; ia dapat menjadi revolusioner.
Marxisme Pilihan Rasional
Banyak Marxis analitis yang mengambil ekonomi
neoklasik, khususnya teori pertukaran rasional dan teori permainan (bahasan
tentang penggunaan teori pilihan rasional dalam teori sosiologi utama). Roemer
menyatakan bahwa analisis Marxis memerlukan fondasi mikro terutama teori
pilihan rasional dan teori permainan maupun segudang teknik pembuatan model
yang dikembangkan oleh ekonom neoklasik (1986b:192). Dalam mengambil pendekatan
demikian, teori Marxian mengorbankan keinginannya untuk tetap berbeda dan
memanfaatkan pendekatan yang digunakan di seluruh ilmu sosial. Tetapi, meski
teori neo-Marxian dapat dan harus menggunakan teori ekonomi neoklasik, namun
keduanya tetap berbeda. Contoh, neo-Marxian tetap memusatkan perhatian pada
tindakan kolektif untuk mengubah masyarakat dan menerima gagasan bahwa kapitalisme
adalah sistem tak adil.
|on Elster (1982,1986) sama dengan
Roemer, adalah penyokong utama Marxisme analitis. Ia yakin teori neo-Marxian
telah terhambat karena menerima teori fungsional yang dibahas Cohen. Ia juga
yakin teori Marxian seharusnya makin banyak menggunakan teori permainan, sebuah
varian dari teori pertukaran rasional. Teori permainan, seperti tipe teori
pilihan rasional lainnya, beranggapan bahwa aktor adalah rasional dan berupaya
memaksimalkan keuntungan mereka. Meski disadari adanya hambatan struktural, tak
berarti bahwa hambatan itu sama sekali menentukan pilihan aktor. Keistimewaan
teori permainan sebagai salah satu tipe pilihan rasional adalah bahwa teori ini
memungkinkan untuk menganalisis melampaui pilihan rasional aktor tunggal dan
menjelaskan saling pengaruh antara keputusan dan tindakan sejumlah aktor.
Elster (1982) mengidentifikasi tiga saling ketergantungan antara aktor yang
terlibat dalam permainan. pertama, hadiah untuk masing-masing aktor tergantung
pada pilihan yang dibuat oleh semua aktor. kedua, hadiah untuk setiap aktor
tergantung pada hadiah untuk semua. ketiga, pilihan yang dibuat setiap aktor
tergantung pada pilihan yang dibuat oleh semua. Analisis “pertandingan”
(seperti permainan “dilema tahanan” yang terkenal itu, di mana aktor akan
bernasib jauh lebih buruk jika mereka mengikuti kepentingan diri mereka sendiri
ketimbang jika mereka mengorbankannya) membantu menerangkan strategi berbagai
jenis aktor dan kemunculan kolektivitas seperti kelas sosial. Marxisme pilihan
rasional mencari landasan mikro teori Marxis, meski aktor rasional teori ini
sangat berbeda dari aktor teori kritis (yang telah dibahas terdahulu, yang
sebagian besar berasal dari teori Freudian.
Orientasi pilihan rasional Elster juga
jelas terlihat dalam Making Sense of Marx (1985). Dalam hal ini Elster
menyatakan bahwa metode dasar Marx untuk menerangkan fenomena sosial adalah
perhatian pada konsekuensi yang tak diharapkan dari tindakan manusia. Menurut
Elster, dan berbeda dengan teoritis Marxis lainnya, yang memandang Marx sebagai
“holis metodologis” yang membahas struktur makro, Marx mempraktikkan
“individualisme metodologis”, atau “doktrin bahwa semua fenomena sosial
struktur dan perubahannya pada prinsipnya dapat dijelaskan dengan cara yang
hanya melibatkan individu propertinya, tujuannya, keyakinannya, dan
tindakannya” (1985:5). Elster, Marx memusatkan perhatian pada aktor, tujuan,
maksud, dan pilihan rasional mereka. Elster menggunakan perspektif pilihan
rasional untuk mengkritik orientasi Marxis struktural: “Pengusaha kapitalis
adalah agen yang aktif dalam arti sebenarnya. Mereka tak dapat diturunkan ke
tingkat pemegang jabatan semata dalam sistem produksi kapitalis” (1985:130).
Marxisme pilihan rasional memusatkan perhatian pada agen yang rasional ini
(kapitalis dan proletariat) dan antarhubungannya.
Roemer (1982) berada paling depan
dalam mengembangkan pendekatan Marxisme analitis yang menekankan eksploitasi
(untuk kritik. Ia telah jauh meninggalkan pemikiran yang mengira eksploitasi
terjadi di titik produksi (dan karena itu meninggalkan teori nilai tenaga kerja
yang sangat meragukan itu) dan mengarah pada pemikiran bahwa eksploitasi
berkaitan erat dengan penggunaan paksaan yang berhubungan dengan perbedaan
pemilikan kekayaan. Seperti dinyatakan Mayer, “eksploitasi dapat muncul dari
pemilikan sumber produktif yang timpang bahkan tanpa penggunaan paksaan dalam
prses produksi” (1994:62). Perspektif ini antara lain memungkinkan kita untuk
membayangkan eksploitasi, baik itu dalam masyarakat kapitalis maupun dalam
masyarakat sosialis. Pandangan tentang eksploitasi ini juga berkaitan dengan
teori pilihan rasional dalam arti misalnya, bahwa mereka yang tereksploitasi
yang lahir dari distribusi kekayaan yang tidak merata itu dapat menjadi
anggota, gerakan sosial yang direncanakan untuk mendistribusikan kekayaan
secara lebih merata. Orientasi seperti itu juga memungkinkan Marxisme analisis
mempertahankan tujuan etis dan politisnya sambil memasukkan orientasi aliran
utama seperti teori pilihan rasional.
Marxisme Berorientasi Empiris
Tokoh utama yang memasukkan menerapkan
konsep Marxian ke dalam studi empiris adalah Erik Olin Wright (1985; Burawoy
dan Wright, 2001). Ia secara tegas menghubungkan dirinya dengan Marxisme
analitis pada umumnya dan dengan pemikiran Roemer pada khususnya. Pemikiran
Wright meliputi tiga komponen mendasar: (1) menjelalaskan konsep-konsep dasar
Marxian seperti kelas; (2) melakukan studi empiris berdasarkan konsep-konsep
itu; (3), membangun teori yang lebih berkaitan logis berdasarkan konsep-konsep
itu (terutama konsep kelas).
Dalam bukunya Classes (1985) Wright
mencoba menjawab pertanyaan yang dihadapi oleh Marx, tetapi tidak pernah
dijawabnya: apakah kelas itu? Wright menjelaskan bahwa jawaban yang ia berikan
akan benar menurut agenda teoritis asli Marx. Tetapi, jawabannya itu tak akan
sama dengan jawaban yang mungkin dikemukakan Marx karena pemikiran teoritisnya
itu telah berusia lebih dari 1 tahun. Begitulah waktu telah berubah dan secara
teoritis kita makin canggih. Akibatnya, Wright, seperti Marxis analitis
lainnya, memulai dari Marx, tapi menerima pemikirannya sebagai dogma atau
mencoba meramalkan bagaimana cara Marx mendefinisikan kelas, karena Marx dan
pemikiran teoritisnya dirumuskan di masa hidupnya. Marxis masa kini berada
dalam posisi yang lebih baik untuk mengemukakan pertanyaan seperti itu.
Bagaimanapun kita hidup di zaman yang sangat berbeda dangan definisi Marx,
meski dapat kita ramalkan, mungkin takkan cocok untuk masyarakat modern.
Karena hal ini membahas teori, maka
hasil riset Wright dan orientasi Marxis lainnya tak perlu dibahas lebih rinci
lagi. Namun, akan berguna membicarakan sumbangan konseptual Wright yang sangat
terkenal, yakni pemikirannya mengenai “letak pertentangan di dalam hubungan
kelas” (Wright, 1985:43). Premis dasar Wright adalah bahwa posisi tertentu tak
perlu ditempatkan didalam kelas tertentu; posisi itu mungkin terletak di dalam
lebih dari satu kelas secara serentak. Jadi, posisi tertentu mungkin secara
serentak sebagai proletariat borjuis. Sebagai contoh, manajer adalah borjuis
dalam arti bahwa mereka mengawasi bawahan, tetapi mereka juga adalah
proletariat dalam arti mereka diawasi oleh orang lain. Pemikiran mengenai
lokasi pertentangan kelas ini diperoleh melalui analisis konseptual yang teliti
dan kemudian dikaji secara empiris.
Marxisme Analitis Dewasa Ini
Seperti telah terlihat, meski Marxis
analitis menganggap diri mereka sendiri adalah Marxis, namun ada yang berpikir
(misalnya, Callinicos, 1989) apakah ketertarikan mereka terhadap konsep dan
metode aliran utama ini membuat designasi ini menjadi tidak berarti. Elster
menegaskan: “kebanyakan pandangan yang saya anggap benar dan penting saya lacak
kembali ke Marx” (1985:531).
Mayer (1994) mengemukakan ikhtisar
tentang Marxisme analitis yang mencoba membuat tinjauan dan menangkis apa yang
ia lihat sebagai enam kritikan utama atas pendekatan Marxisme analitis. Namun,
sebelum membahas kritikan itu, ada satu kritikan yang berasal dari karya Mayer
itu sendiri: “Marxisme analitis bukanlah sebuah kumpulan pemikiran yang menyatu
atau konsisten secara internal” (1994:300). Perbedaan antara tiga orang
praktisi yang dibahas di sini (Cohen, Roemer, dan Wright) sangat besar dan
sulit membahas pemikiran mereka masing-masing dalam konteks yang sama.
Perbedaannya itu memecah belah Marxisme analitis sebelum berpeluang untuk
berkembang menjadi perspektif yang berkaitan secara logis.
Kritik pertama yang dibahas Mayer
adalah bahwa Marxisme analitis dituduh atomistik dan memusatkan perhatian pada
aktor rasional. Mayer menjawab bahwa Marxis analitis tak membayangkan
masyarakat tersusun dari individu-individu yang terisolasi dan mereka mengakui
bahwa individu tak selalu berperilaku rasional. Kedua, Marxis analitis dituduh
memuat determinisme ekonomi, tetapi jawaban Mayer adalah bahwa pandangan
dominannya adalah faktor ekonominya merupakan faktor primer, bukan faktor yang
menentukan. Kritik ketiga, Marxis analitis dituduh ahistoris, tetapi Mayer tak
melihat ciri ini melekat dalam pendekatan ini. Ini dapat ditelusuri pada
kebaruannya dan pada fakta bahwa pendekatan ini belum pernah sekalipun
berurusan dengan masalah-masalah historis. Keempat, pendekatan ini dituduh
mengalami kesukaran dalam menerangkan perubahan sosial. Meski Mayer mengakui
masalah ini, ia menyatakan bahwa sebenarnya semua ilmuwan sosial menghadapi
kritikan ini. Kelima ada tuduhan pendekatan ini bersifat tautologi,
mengasumsikan apa yang perlu dibuktikan (Mayer, 1994:305). Mayer melihat
masalah ini sebagai ciri bawaan dalam semua pendekatan deduktif. Keenam, Marxisme
analitis dianggap kekurangan semangat moral. Namun Mayer menangkis, “Marxis
analitis cukup besar semangat moralnya dan kecaman moral mereka mengenai
kekurangan kapitalisme lebih besar semangat moralnya ketimbang untuk
mendapatkan telitian dan pemahaman” (1994:315).
Dengan membahas enam tantangan yang
dihadapi Marxisme analitis itu Mayer menyimpulkan bahwa tantangan itu harus
diterima jika pendekatan hendak menjadi kekuatan yang berarti dalam ilmu
sosial. (1) Marxisme analitis harus membangun pendekatan yang lebih dinamis.
Seperti dinyatakan Mayer. “versi Marxisme mana pun yang tak mampu menganalisis
dinamika sosial dapat diharapkan akan berkembang” (1994:317). (2) Teori dari
Marxis analitis harus mampu menganalisis masalah yang berkaitan dengan situasi
dan peristiwa khusus dengan cara yang lebih baik. (3) Praktisi pendekatan ini
harus memperbaiki ketakseimbangan arah teori dan harus lebih banyak melakukan
riset empiris.
(4) Marxis analitis harus memperluas basis mereka dari faktor ekonomi berurusan dengan faktor sosial yang lebih beraneka ragam. (5) Mereka juga harus beralih dari memusatkan perhatian pada masyarakat kapitalis maju menekankan pada masyarakat yang kurang berkembang. (6) Marxis analitis harus menunjukkan adanya pilihan lain terhadap kapitalisme.
(4) Marxis analitis harus memperluas basis mereka dari faktor ekonomi berurusan dengan faktor sosial yang lebih beraneka ragam. (5) Mereka juga harus beralih dari memusatkan perhatian pada masyarakat kapitalis maju menekankan pada masyarakat yang kurang berkembang. (6) Marxis analitis harus menunjukkan adanya pilihan lain terhadap kapitalisme.
Teori Marxian Post-Modern
Teori Marxian sangat dipengaruhi oleh
perkembangan teoritis dalam strukturalisme, post-strukturalisme (Anderson,
1984:33) dan post-modernisme yang menjadi perhatian khusus kita di sini.
(Landry, 2000; Wood dan Foster, 1997).
Hegemoni dan Demokrasi Radikal
Wakil utama post-modernisme adalah
karya Ernesto Laclau dan Muffe, Hegemony and Socialist Strategy (1985). Menurut
Ellen Wood karya ini, dengan menerima fokus pada ilmu bahasa, naskah, dan wacana
dalam post-modernisme, melepaskan ideologi dari basis materialnya athirnya
melarutkan “kehidupan sosial ke dalam ideologi atau diskursus” (1986:47).
Konsep hegemoni yang sangat penting bagi Laclau dan Mouffe adalah yang semula
dikembangkan oleh Gramsci yang lebih menekankan pada kepemimpinan kultural
ketimbang pada pengaruh koersif dominasi negara. Pergeseran pusat perhatian ini
tentu saja menjauhkan kita dari Marxian tradisional yang memusatkan perhatian
pada kehidupan material, gagasan, dan wacana. Seperti dikatakan Wood,
“Singkatnya, argumen Laclau dan Mouffe adalah bahwa tak ada hal-hal semacam
kepentingan material, namun hanya ide-ide tentang kepentingan material yang
disusun secara diskursif.” (1986:61).
Di samping mengganti gagasan dengan
kepentingan material, Laclau dan Mouffe juga memindahkan proletariat dari
posisi keistimewanya di pusat teori Marxian. Seperti dinyatakan Wood, Laclau
dan Mouffe adalah bagian dari dalam “penguraian kelas dari proyek sosialis”
(1986:4). Laclau dan Mouffe menempatkan kelas dalam pengertian subjektif.
Kehidupan sosial ditandai oleh bermacam-macam posisi dan antagonisme. Karena
itu mustahil munculnya semacam “diskursus yang disatukan” seperti yang oleh
Marx dibayangkan berada di sekeliling proletariat. “Diskursus universal tentang
proletariat telah digantikan oleh bermacam-macam suara yang masing-masing
membangun identitasnya sendiri yang tak berhubungan satu sama lain” (Laclau dan
Mouffe, 1985:191). Jadi, ketimbang memusatkan perhatian pada diskursus tunggal
mengenai proletariat, teoritisi Marxian didesak untuk memusatkan dan pada
sejumlah diskursus beraneka ragam yang berasal dari suara golongan yang
terampas haknya seperti golongan wanita, kulit hitam, kaum ekoligis, imigran,
konsumen, dan sebagainya. Akibatnya teori Marxian terdesentralisasi (decentralized)
dan terdetotalisasi (detotalized) karena tak lagi hanya memusatkan perhatian
pada proletariat dan tak lagi melihat masalah proletariat sebagai masalah dalam
masyarakat.
Setelah menolak memusatkan perhatian
pada faktor material dan proletariat, Laclau dan Mouffe kemudian menolak
komunisme, termasuk emansipasi ploretariat, sebagai tujuan teori Marxian.
Sebagai alternatifnya, mereka mengusulkan sistem yang diberi nama “demokrasi
radikal”. Sebagai pengganti pemusatan perhatian pada hak demokrasi individual,
mereka mengusulkan untuk “menciptakan hegemoni baru yang akan menjadi hasil
artikulasi sejumlah perjuangan demokrasi” (Mouffe, 1988:41). Apa yang
dibutuhkan dalam hegemoni baru ini adalah “hegemoni nilai demokrasi dan ini
memerlukan praktik demokrasi yang berulang kali, melembagakannya menjadi
hubungan sosial yang makin beraneka ragam” (Mouffe, 1988:41). Demokrasi radikal
berupaya membangkitkan kesadaran bersama di bawah payung besar perjuangan
demokratis yang meliputi antiras, antiseksis (pembedaan jenis kelamin),
antikapitalis, eksploitasi alam (Eder, 1990), dan banyak lagi lainnya. Jadi,
inilah demokrasi radikal dan plural (Laclau, 1990:27). Perjuangan satu kelompok
tak boleh merugikan kelompok lain. Seluruh perjuangan demokratis harus dilihat
sebagai perjuangan yang sederajat. Dengan demikian perlu membangkitkan
perjuaangan bersama ini dengan memodifikasi identitas mereka sedemikian rupa
sehingga kelompok-kelompok itu melihat diri mereka sendiri sebagai bagian
perjuaangan lebih luas untuk mencapai demokrasi radikal. Seperti dinyatakan
Laclau Muoffe : Alternatif yang ditawarkan aliran kiri terdiri dari upaya
menempatkan diri sendiri di bidang revolusi demokratis dan memperluas ikatan
kesederajatan antara berbagai perjuangan menentang penindasan. Karena itu tugas
aliran kiri tak boleh meninggalkan ideologi demokrasi liberal, tetapi
sebaliknya memperdalam dan memperluas menurut arah demokrasi plural dan
radikal.. .bukan meninggalkan bidang demokrasi, melainkan memperluas bidang
perjuangan demokrasi keseluruh negara dan masyarakat sipil yang kemungkinannya
terleta pada strategi hegemoni aliran kiri (Laclau dan Mouffe, 1985:176).
Sementara demokrasi radikal tetap
bertujuan melenyapkan kapitalisme, mengakui bahwa penghancuran kapitalisme
tidak akan menghilangkan ketimpangan lain dalam masyarakat. Untuk menanggulangi
seluruh ketimpangan sosial diperlukan gerakan yang jauh lebih luas daripada
yang dibayangkan oleh teoritisi Marxis tradisional.
Kontinuitas dan Kompresi Ruang-Waktu.
Perampasan Marxian terhadap teori post-modern tercermin dalam karya David
Harvey, The Condition of Post-modern (1989). Meski Harvey melihat banyak
kebaikan dalam pemikiran post-modern ia melihat kelemahan serius di dalamnya
dilihat dari sudut pandang Marxian. Teori post-modern dituduh terlalu
menekankan masalah kehidupan modern dan kurang memperhatikan prestasi
materialnya. Yang paling penting, tanpaknya teori tersebut menerima
post-modernitas dan persoalan yang berkaitan dengannya ketimbang menyarankan
cara untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut: “Retorika post-modernisme
adalah berbahaya karena menghindar dari realitas ekonomi politik dan kekuasaan
global”(Harvey, 1989:117). Yang perlu dihadapi teori post-modern adalah sumber
pemikirannya: transformasi politik dan ekonomi kapitalisme di akhir abad 20.
Masalah pokok sistem ekonomi politik
adalah pengendalian pasar dan proses kerja (kedua bidang ini menimbulkan
masalah akumulasi dalam kapitalisme). Meski periode sesudah perang antara 1945
dan 1973 ditandai oleh proses akumulasi yang tak fleksibel, namun sejak 1973
kita telah bergerak menuju yang makin fleksibel. Periode sebelumnya dikaitkan
Harvey dengan fordisme (maupun ekonomi Keynesian) dan periode sesudah itu
dihubungkan dengan post-Fordisme, tetapi masalah ini takkan dibahas di sini
karena telah dibahas disini. Sementara Fordisme bersifat tak fleksibel, Harvey
melihat post-Fordisme berhubungan dengan “kelenturan akumulasi proses kerja,
pasar kerja, produk dan pola konsumsi. Kelenturan akumulasi ini ditandai oleh
kemunculan sektor-sektor produksi yang sama sekali baru, cara-cara baru,
penyediaan pelayanan jasa keuangan, pasar baru dan terutama sangat tingginya
tingkat pembaruan di bidang komersial, teknologi dan organisasi” (1989:147).
Meski Harvey melihat perubahan besar
dan menyatakan bahwa perubahan ini menjadi dasar pemikiran post-modernisme, ia
yakin masih banyak kontinuitas antara era Fordisme dan post-Fordisme.
Kesimpulan utama adalah “meski memang telah terjadi perubahan kapitalisme yang
tampak di permukaan sejak 1973…namun logika yang melandasi akumulasi
kapitalisme dan kecenderungan krisisnya tetap sama” (Harvey, 1989:189).
Harvey memusatkan perhatian pada
pendekatan rentang waktu krisis. Ia yakin modernisme mampu memperpendek, waktu
maupun ruang, dan proses itu dipercepat di era post-modernisme yang mengarah ke
suatu perpendekan rentang waktu yang hebat yang berdampak merusak terhadap
praktik ekonomi, kesinambungan kekuatan kelas maupun terhadap kehidupan sosial
dan kultural (Harvey, 1989:284). Perpendekan rentang waktu ini pada dasarnya
tak berbeda dari era sebelumnya dalam kapitalisme: “kita telah menyaksikan
rentetan dahsyat proses pembasmian jarak ruang maupun waktu yang selalu
terletak di pusat dinamika kapitalisme” (Harvey, 1989:293). Contoh pembasmian
ruang melalui waktu adalah keju yang suatu waktu hanya tersedia di Perancis,
kini dijual di seluruh Amerika karena transportasi yang cepat dan murah. Atau
dalam perang dengan Irak tahun 1991 televisi saat itu juga membawa kita ke
peristiwa mulai dari serangan udara di Baghdad, serangan rudal Scud dari Tel
Aviv, sampai ke brifing militer di Riyadh.
Jadi, menurut Harvey, post-modernisme
tak terputus dengan modernisme: keduanya mencerminkan dasar yang sama dari
dinamika kapitalisme. Baik modernisme dan post-modernisme maupun Fordisme dan
post-Fordisme hidup berdampingan dalam dunia kini. Penekanan pada Fordisme dan
post-Fordisme
yang “berubah dari waktu ke waktu dan
dari tempat ke tempat tergantung pada susunan yang mana yang menguntungkan dan
mana yang tidak” (Harvey, 1989:344). Sudut pandang demikian membantu memasukkan
masalah post modernisme ke bawah payung teori neo-Marxian meski kemudian diubah
oleh perkembangan dalam pemikiran post modernisme.
Perubahan dan keretakan yang dilihat
Harvey dalam kehidupan post modernis menandakan bahwa kita telah bergerak ke
era baru, yang harus diteorikan oleh teoritisi neo-Marxian dengan
mengintegrasikannya dengan sistem pemikiran lain.
Pasca-Marxisme
Ada banyak pendapat di kalangan
pemikir Marxis semua tipe, tetapi di sini hanya dibahas satu pendapat yang
lebih ekstrem mengenai pendapat itu.
Aronson yang mengaku dirinya Marxis
menulis After Marxisme (1995). Menurutnya Marxisme sudah berakhir. Kini
teoritisi Marxis menganalisi ? kehidupan sosial dan masalahnya dengan pemikiran
mereka sendiri tanpa bersandar pada pemikiran Marx. Sikap ini berdasarkan
gagasan bahwa pembangunan Marxian memerlukan integrasi teori dan praktik. Meski
beberapa orang Marxis masih terus menggunakan sebagian tesis Marxian, namun
pembangunan Marxian dalam arti transformasi dari kapitalisme ke sosialisme
sudah mati karena jelas gagal mencapai tujuannya. Bukan Aronson, tetapi
sejarahlah yang menilai bahwa pembangunan Marxian telah gagal. Jadi, Marxis
yang masih terus menggunakan teori Marxian berarti menghancurkan keseluruhan
dialektika teori dan praktik yang merupakan bangunan Marxian. Perpecahan ini
adalah malapetaka karena yang memberikan Marxisme kekuatan memaksa adalah fakta
bahwa Marxisme “mencerminkan sebuah bangunan teori dan praktik yang berhubungan
logis” (Aronson, 1995:52).
Tetapi, kenapa bangunan Marxian bisa
berakhir jika kapitalisme terus ada dan, dengan kematian komunisme, kapitalisme
akan lebih kuat daripada sebelumnya? Sebenarnya Aronson mengakui bahwa ada
berbagai argumen yang dapat dibuat untuk menyatakan Marxisme masih relevan.
Contoh, ia mengakui bahwa sebagian besar manusia di dunia kini lebih buruk
keadaannya dibandingkan dengan keadaan di awal perkembangan kapitalisme, dan
meskipun telah terjadi sejumlah perubahan, struktur eksploitatif mendasar kapitalisme
tak berubah. Meski kenyataannya demikian, Aronson menyatakan bahwa berbagai
jenis transformasi mengharuskan kita menyimpulkan bahwa beberapa aspek penting
teori Marxian sudah kuno :
ü Kelas buruh ternyata tidak semakin
melarat.
ü Struktur kelas tidak makin sederhana
menjadi dua kelas yang bertentangan (Borjuis dan Proletariat).
ü Karena transformasi proses manufaktur,
jumlah pekerja industri menurun, kelas pekerja menjadi semakin terbagi-bagi dan
kesadaran mereka mengenai situasi mereka mengalami erosi.
ü Penyusutan secara menyeluruh kelas
pekerja menurunkan kekuatannya, kesadaran kelasnya, dan kemampuannya untuk terlibat
dalam perjuangan kelas.
ü Buruh semakin kurang mengenali diri
mereka sendiri sebagai buruh, mereka mempunyai identitas ganda dan bersaing sehingga
kini menjadi seorang buruh hanyalah salah satu di antara banyak identitas.
Aronson menyatakan meski Marxisme
sudah berakhir namun kita tak perlu menyesali keberadaannya bahkan terhadap
tindakan keterlaluan (contohnya stalinisme) yang dilakukan atas namanya.
Marxisme:
memberi harapan, memberikan pengertian
tentang kehidupan, memberikan arah dan makna terhadap kehidupan bagi banyak
orang. Selama panggilan untuk mengangkat senjata terbesar di abad 20, Marxisme
mengilhami jutaan orang untuk siap berjuang meyakini bahwa di suatu hari
manusia akan mampu menentukan kehidupan dan memenuhi kebutuhan mereka (Aronson,
1995:85).
Aronson selain mencari penyebab
kegagalan Marxisme dalam kehidupan nyata juga mencari penyebab kematian
Marxisme dalam kehidupan teori itu sendiri. Menurutnya masalahnya berawal pada
kenyataan bahwa teori asli Marx diciptakan di awal era modern dan akibatnya
mengandung campuran tak serasi antara pemikiran modern dan pramodern. Masalah
inilah yang telah mengganggu teori Marxian sepanjang riwayatnya. Sebagai
contoh, keyakinan pramodern profetik mengenai emansipasi berdampingan dengan
keyakinan sains dan pencarian fakta: “di bawah lapisan ilmiahnya, ramalan
dogmatis tersebut menampakkan kaitannya yang lebih dalam dengan harapan
keagamaan pramodern tentang kehidupan yang diselamatkan oleh kekuasaan Tuhan di
luar kontrol manusia” (Aronson, 1995:97). Contoh lain, Marxisme cenderung
menekankan proses objektif dan mengabaikan proses subjektif.
Salah satu bgian After Marxisme
berjudul pernyataan provokatif: “Feminisme menghancurkan Marxisme” (1995:124).
Aronson menjelaskan bahwa feminisme tak sendirian dalam menghancurkan Marxisme.
Feminisme menyumbang atas kehancuran Marxisme dengan menuntut agar teori
memusatkan perhatian pada penindasan wanita sebagai wanita” (Aronson,
1995:126). Pemusatan perhatian ini jelas meruntuhkan teori Marxian yang mengaku
menawarkan teori yang dapat diterapkan terhadap seluruh umat manusia. Feminisme
juga membuat tahapan perkembangan kelompok lain yang menuntut teori itu memusatkan
perhatian lebih pada aliran khusus mereka ketimbang terhadap masalah
kemanusiaan universal.
Aronson melukiskan teori-teori post
Marxis seperti Marxisme analitis yang selalu dibahas sebagai Marxisme tanpa
Marxisme. Maksudnya teori-teori itu adalah teori murni yang kekurangan dalam
praktiknya dan karena itu menurutnya, tak seharusnya disebut Marxisme.
Seperti Marxisme analitis, teori-teori
itu mengklaim nama Marxisme, tetapi mereka mengklaim Marxisme tanpa Marxisme.
Pemikiran teoritis mereka sudah jauh berubah, terbatas dan sempit bahkan nada
pesan dan janji mereka sebenarnya mengesankan bahwa mereka hanya memusatkan
perhatian pada lingkaran cahaya Marxisme, tak lebih dari itu. Gagasan mereka
tak dapat menyulap realitas yang sudah layu (Aronson 1995:149).
Teori Marxian seperti itu akan
bertahan, tetapi akan jauh lebih rendah tempatnya di dunia. Teori Marxian hanya
akan mencerminkan satu pernyataan teoritisi.
Aronson menyimpulkan bahwa para analis
kritis dunia modern membuat analisis mereka sendiri tanpa bermaksud membangun
bangunan Marxian. Namun, inilah berkah campuran ketika bangunan Marxian sangat
kuat pun ternyata ada juga “albatros” di sekitar leher analisis kritis.
Haruskah bekas Marxis mencari-cari Marx baru atau bangunan Marxian baru?
Mengingat perkembangan dalam masyarakat dan dalam teori, menurut Aronson
jawabannya adalah tidak karena kita telah bergerak “melampaui kemungkinan
holisme, integrasi, koherensi, dan keyakinan yang ada dalam Marxisme”
(1995:168). Jadi, misalnya, ketimbang gerakan radikal tunggal, yang harus kita
coba kini adalah koalisi radikai dari kelompok dan gagasan. Tujuan koalisi
semacam itu adalah pembebasan kemodernan dari ketegangan di dalam dan berbagai
bentuk penindasannya.
Satu masalah yang dihadapi gerakan
radikal baru seperti itu adalah bahwa gerakan tersebut tak lagi dapat
diharapkan akan digerakkan oleh impian yang mendorong pandangan utopia. Tetapi,
gerakan itu harus mempunyai ikatan emosional bersama dan tetap melangkah maju.
Gerakan itu harus mempunyai basis moral, pengertian mengenai apa yang benar dan
apa yang salah. Juga harus mempunyai harapan meski harapan yang jauh lebih
sederhana ketimbang harapan yang menjadi ciri bangunan Marxian. Meski
sederhana, harapan seperti itu mungkin pula kurang menimbulkan kekecewaan besar
yang menandai bangunan Marxian ketika gagal mencapai tujuan sosialnya.
Kritik Terhadap Post-Modernisme
Perlu diingat bahwa banyak teoritisi
Marxian yang kecewa atas perkembangan. Post-Marxis (contoh, Burawoy 1990; Wood
1986; Wood dan Foster, 1997). Burawoy, misalnya, menyerang pemikiran Marxis
analitis karena menyingkirkan masalah historis dan karena memuja kemurnian dan
kekakuan. Weldes mengecam Marxisme analitis karena membiarkan dirinya dijajah
oleh pemikiran ekonomi aliran utama, menerima mentah-mentah “pendekatan teknis
penyelesaian masalah” menjadi semakin bersifat akademis, kurang bersifat
politis, dan semakin konservatif (1989:354). Wood menyoroti masalah politik dan
mengecam Marxisme analitis dan Marxisme post-modern karena kebungkaman politisnya
dan karena sikap menyerahnya dan “kesinisannya yang mengatakan bahwa setiap
program perubahan radikal pasti gagal” (1989:88). Bahkan pendukung salah satu
cabang Marxisme analitis yang melakukan studi empiris yang sangat teliti
tentang pemikiran Marxian telah mengecam teori pilihan rasional yang mereka
pandang keliru, yang menerima pandangan individualisme paetodologis (Levine,
Sober dan Wright, 1987).
Karya Laclau dan Mouffe mendapat
serangan berat. Misalnya, Allen Hunter mengkritik mereka karena komitmen
menyeluruh mereka terhadap idealisme lebih khusus lagi karena menempatkan diri
mereka “di ujung ekstrem analisis wacana yang memandang segala sesuatu sebagai
wacana” (1988:892). Begitu pula Geras (1987) menyerang Laclau dan Mouffe karena
idealisme mereka, tetapi ia pun melihat mereka jangak, perisau, tak logis, dan
mengaburkan. Laclau dan Mouffe membalas dengan judul artikel mereka
“Post-Marxism Without Apologies” (1987). Burawoy menyerang Laclau dan Mouffe
karena memahami “tersesat dalam jaringan sejarah di mana segala sesuatu adalah
penting dan karena penjelasannya adalah mustahil” (1990:790).
Terakhir, berbeda dengan
Aronson, Burawoy yakin bahwa Marxisme tetap berguna dalam memahami dinamika dan
kontradiksi kapitalisme. Jadi, dengan kematian komunisme dan dengan kapitalisme
yang menguasai seluruh dunia “Marxisme.. .sekali lagi akan menjadi dirinya
sendiri” (Burawoy, 1990:792). Dari sudut perkembangan di era 1990-an, Wood dan
Foster (1997:67) mengatakan bahwa Marxisme lebih dibutuhkan ketimbang
sebelumnya karena “kemanusiaan semakin terkait dalam dimensi global dari
eksploitasi dan penindasan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar