Kebanyakan pemikir neo Marxian
(misalnya teoritisi kritis) tak banyak membahas lembaga ekonomi, sekurangnya
sebagai reaksi terhadap ekses pemikiran pemikir determinisme ekonomi. Namun
reaksi itu dengan sendirinya telah menggerakkan serentetan reaksi balik. Bagian
ini akan menjelaskan pemikiran beberapa pemikir Marxis yang kembali memusatkan
perhatian pada bidang ekonomi. Pemikiran mereka tak semata ulangan teori
Marxian awal. Pemikiran mereka merupakan upaya menyesuaikan teori Marxian
dengan realitas masyarakat kapitalis modern (Lash dan Urry, 1987; Meszaros,
1995).
Di bagian ini akan dibahas dua
kelompok karya. Pertama berfokus pada isu modal dan tenaga kerja secara luas.
Yang kedua adalah karya kontemporer yang lebih sempit, tentang transisi dari
Fordisme ke post-Fordisme.
Modal dan Tenaga Kerja
Pemahaman asli Marx tentang struktur
dan proses ekonomi, didasarkan atas hasil analisisnya tentang kapitalisme di
zamannya (pertengahan abad 20) yang dapat kita bayangkan sebagai kapitalisme
kompetitif. Industri kapitalis relatif tergolong kecil. Akibatnya tak ada
industri tunggal atau sekelompok kecil industri yang dapat mengendalikan pasar
sepenuhnya dan tanpa persaingan. Kebanyakan pemikiran ekonomi Marx didasarkan
atas premis (yang memang akurat di zamannya) bahwa kapitalisme adalah sebuah
sistem kompetitif. Marx memang membuat ramalan tentang kemungkinan munculnya
sistem monopoli di masa datang, tetapi komentarnya mengenai hal ini hanya
singkat. Kebanyakan teoritisi Marxian terus berpikir seakan-akan kapitalisme
tetap banyak persamaannya dengan kapitalisme di zaman Marx.
Monopoli Modal
Dalam konteks inilah kita harus
memeriksa karya Paul Baran dan Sweezy (1966). Kedua pemikir ini memulai dengan
mengkritik ilmu sosial Marxian karena mengulangi rumusan yang sudah lazim dan
karena gagal menerangkan perkembangan penting terakhir yang terjadi di dalam
masyarakat kapitalis. Mereka menuduh teori Marxian mengalami stagnasi karena
teori itu terus bersandar pada asumsi ekonomi kompetitif. Menurut mereka teori Marxian
modern mestinya menyadari bahwa kapitalisme persaingan sebagian besar telah
digantikan oleh kapitalisme monopoli.
Kapitalisme monopoli dalam satu hal
berarti pengendalian satu atau sedikit kapitalis terhadap sektor ekonomi
tertentu. Jelas dalam kapitalisme monopoli kompetisi jauh lebih sedikit
ketimbang dalam kapitalisme kompetitif. Dalam kapitalisme kompetitif organisasi
usaha bersaing atas dasar harga; artinya kapitalis berupaya menjual barang
lebih banyak dengan menawarkan harga lebih rendah. Dalam kapitalisme monopoli
perusahaan tak lagi bersaing dengan cara seperti itu karena satu atau beberapa
perusahaan mengendalikan pasar; kompetisi bergeser ke bidang penjualan.
Periklanan, pengemasan, dan metode lain yang bertujuan menarik minat kosumen
potensial adalah bidang utama kompetisi.
Pergerakan dari persaingan harga ke
persaingan penjualan adalah bagian proses lain yang menjadi watak kapitalisme
monopoli rasionalisasi progresif. Persaingan harga makin dipandang sangat tidak
rasional. Artinya, dilihat dari sudut pandang kapitalis monopoli, menawarkan
harga yang makin rendah hanya akan menimbulkan kekacauan di pasar; itu belum
lagi membicarakan keuntungan yang makin kecil dan kemungkinan bangkrut.
Sebaliknya, kompetisi penjualan bukanlah sistem persaingan yang tajam, yang
saling membunuh; kenyataarm persaingan penjualan ini menyediakan pekerjaan bagi
industri periklanan. Harga dapat dipertahankan tinggi karena biaya penjualan
dan promosi ditambahkan pada harga. Jadi, kompetisi penjualan juga jauh lebih kecil
risikonya ketimbang kompetisi harga.
Aspek penting lain kapitalisme
monopoli adalah munculnya perusahaan raksasa dan sejumlah kecil perusahaan
besar yang mengendalikan sebagian besar sektor ekonomi. Dalam kapitalisme
kompetitif, organisasi perusahaan hampir seluruhnya dikendalikan oleh seorang
pengusaha. Perusahaan modern dimiliki oleh sejumlah besar pemegang saham, namun
sebagian kecil dari pemegang saham yang besar jumlahnya itu memiliki sebagian
besar saham. Meski pemegang saham memiliki perusahaan, namun para manajer
melaksanakan kontrol sungguhnya sehari-hari. Manajer adalah sentral dalam
kapitalisme monopoli sedangkan pengusaha adalah sentral dalam kapitalisme
kompetitif. Manejer mempunyai kekuasaan sangat besar yang mereka upayakan untuk
mempertahankannya. Mereka juga berupaya secara bebas membiayai perusahaan yang
mereka pimpin dengan mencoba semaksimal mungkin menghasilkan dana apapun yang
mereka butuhkan secara internal ketimbang menggantungkan diri pada sumber dana
dari luar.
Baran dan Sweezy menguraikan secara
luas mengenai posisi sentral manajer perusahaan dalam masyarakat kapitalis
modern. Manajer dipandang sebagai kelompok yang sangat rasional yang berpikir
untuk memaksimalkan keuntungan organisasi. Karena itu mereka tak
berkecenderungan mengambil risiko yang menjadi watak para pengusaha awal.
Kapitalisme awal cenderung tertarik untuk memaksimalkan keuntungan jangka
pendek, sebaliknya manajer menyadari bahwa upaya seperti itu menyebabkan
kekacauan persaingan harga yang sebaliknya mungkin akan memengaruhi keuntungan
jangka panjang perusahaan. Karena itu manajer mungkin akan menangguhkan
keuntungan jangka pendek antuk memaksimalkan keuntungan jangka panjang.
Baran dan Sweezy dikritik karena
berbagai alasan. Misalnya, mereka terlalu rasionalitas manajer. Herbert Simon
(1957), misalnya, menyatakan manajer lebih tertarik untuk menemukan (dan hanya
mampu menemukan) solusi yang memuaskan secara minimal ketimbang menemukan
solusi yang paling rasional dan paling menguntungkan. Masalah lain, apakah manajer
benar-benar adalah tokoh sangat penting dalam kapitalisme modern. Banyak orang
yang akan menyatakan bahwa para pemegang saham mayoritaslah sebenarnya yang
mengontrol sistem kapitalis.
Tenaga Kerja dan Monopoli Modal
Harry Braverman (1974) memandang tenaga
kerja dan eksploitasi buruh merupakan inti teori Marxian, tak hanya bermaksud
memperbarui pemikiran Marx mengenai pekerja manual, tetapi juga hendak meneliti
apa yang terjadi pada pekerja kantoran dan pekerja pelayanan.
Untuk mengembangkan analisis Marx,
Braverman menyatakan bahwa konsep “kelas buruh” tidak mendeskripsikan
sekelompok orang atau kelompok tertentu, tetapi lebih merupakan sebuah
pernyataan tentang proses pembelian dan penjualan tenaga kerja. Dilihat dari
proses itu, Braverman bahwa dalam kapitalisme modern sebenarnya tak seorang pun
di antara tenaga kerja itu memiliki alat produksi; karena itu segolongan besar
orang pekerja kantoran dan pelayan terpaksa menjual tenaga kerja mereka kepada
segolongan kecil yang memiliki alat produksi. Menurut Braverman, pengendalian
dan eksploitasi kapitalis maupun proses yang berasal dari mekanisasi dan
rasionalisasi diperluas ke pekerja kantoran dan pelayan meski dampaknya belum
sebesar yang dialami oleh buruh kasar.
Pengendalian Manajerial
Braverman mengakui adanya eksploitasi
ekonomi menjadi sasaran perhatian Marx, tetapi ia menekankan perhatian pada
pengendalian. Ia mengajukan pertanyaan: “Bagaimana cara kapitalis mengendalikan
tenaga kerja yang mereka pekerjakan?” Jawabannya adalah mereka melaksanakan pengendalian
tenaga kerja melalui manajer. Braverman mendefinisikan manajemen sebagai
“proses memimpin tenaga kerja yang bertujuan mengendalikannya di dalam
perusahaan” (1974:267).
Braverman memusatkan perhatian pada
cara-cara yang lebih bersifat yang digunakan manajer untuk mengendalikan tenaga
kerja. Salah satu sasaran perhatiannya adalah pemanfaatan spesialisasi untuk
mengendalikan tenaga kerja. Di sini ia dengan hati-hati membedakan antara
pembagian kerja ke dalam masyarakat sebagai satu kesatuan dan spesialisasi
pekerjaan di dalam organisasi. Seluruh masyarakat dikenal mempunyai pembagian
kerja (misalnya antara lelaki dan wanita, antara petani dan pengrajin, dan
seterusnya), tetapi spesialisasi pekerjaan di dalam organisasi adalah sebuah
perkembangan khusus kapitalisme meski tampak ada pula dalam masyarakat
sosialis. Braverman yakin bahwa pembagian kerja di tingkat kemasyarakatan dapat
meningkatkan individualisme; sebaliknya spesialisasi di tempat bekerja
menimbulkan malapetaka memecah belah kemampuan utuh manusia: “membagi-bagi
pekerjaan individu dalam bagian-bagian kecil bila dilakukan tanpa menghiraukan
kemampuan dan kebutuhan manusia adalah sebuah kejahatan terhadap perseorangan
dan terhadap kemanusiaan” (1974:73).
Spesialisasi di tempat kerja meliputi pembagian
tugas atau operasi menjadi bagian-bagian kecil dan sangat terspesialiasi, yang
tiap bagian diserahkan kepada pekerja yang “berlainan”. Proses ini merupakan
ciptaan dari apa yang disebut Braverman “pekerja detail”. Kapitalis memilih
sejumlah kecil pekerja yang akan digunakan mengerjakan pekerjaan yang berada di
luar kemampuan individu untuk menyelesaikannya secara utuh. Seperti dikatakan
Braverman, kapitalis awal memerinci proses pekerjaan dan kemudian membagi-bagi
pekerja menggunakan sebagian kecil kemampuan dan ketrampilannya. Menurut
istilah Braverman pekerja “tak pernah dengan sukarela mengubah dirinya sendiri
menjadi pekerja detil seumur hidup. Inilah kontribusi kapitalis” (1974:78).
Mengapa kapitalis melakukan ini ?
PERTAMA, untuk meningkatkan kontrol manajemen. Jauh lebih mudah mengontrol
pekerja yang mengerjakan tugas khusus ketimbang mengontrol pekerja yang
menggunakan keterampilan berskala luas. KEDUA, meningkatkan produktivitas,
yakni sekelompok pekerja yang melaksanakan tugas yang sangat terspesialisasi
dapat menghasilkan lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh sejumlah pekerja
tangan yang sama dengan masing-masing berketerampilan sama dan melaksanakan
seluruh aktivitas produksi. Contohnya, pekerja perakitan mobil dengan
terspesialisasi menghasilkan lebih banyak mobil daripada yang dapat dihasilkan
oleh sejumlah pekerja terampil yang sama yang masing-masing menyelesaikan
perakitan sendirian. KETIGA, spesialisasi memungkinkan kapitalis membayar upah
paling rendah untuk tenaga kerja yang dibutuhkan. Kapitalis cenderung
mempekerjakan tenaga kerja tak terampil dengan upah lebih rendah ketimbang
tenaga kerja terampil dengan upah lebih tinggi. Dengan mengikuti logika
kapitalisme, majikan secara bertahap berupaya mencari tenaga kerja yang lebih murah
yang cadangannya tersedia dalam “tenaga kerja biasa”.
Spesialisasi bukanlah alat kontrol
memadai yang dapat digunakan kapitalis manajer. Alat kontrol penting lainnya
adalah teknik ilmiah, termasuk upaya seperti manajemen ilmiah, yakni upaya
penerapan ilmu untuk mengendalikan cara kerja atas nama manajemen. Menurut
Braverman, manajemen ilmiah ilmu mengenai “cara terbaik untuk mengendalikan
tenaga kerja yang teralienasi” (1974:90). Manajemen ilmiah ditemukan dalam
sederetan tahapan bertujuan mengendalikan tenaga kerja sebagai berikut:
mengumpulkan sejumlah pekerja dalam satu ruangan kerja, menetapkan lamanya hari
kerja dan kerja, mengawasi pekerjaan mereka, melaksanakan peraturan terhadap
gangguan (misalnya, dengan teguran), dan menetapkan tingkat produksi minimal
yang dapat diterima. Ringkasnya manajemen ilmiah memberikan sumbangan terhadap
“pengendalian dengan menetapkan cara bekerja yang tepat yang harus dilaksanakan
oleh pekerja” (Braverman, 1974:90), Misalnya, Braverman bahas karya awal F.W.
Taylor (Kanigel, 1997) tentang cara menyekop batu yang menuntunnya
mengembangkan aturan mengenai jenis sekop yang akan digunakan, cara berdiri,
posisi sekop ketika memasuki tumpukan batu bara, dan berapa banyak batu bara
yang harus terambil sekali sekop. Dengan kata lain Taylor mengembangkan metode
yang menjamin terkendalinya secara total hampir keseluruhan proses pekerjaan.
Pekerja hanya dibiarkan membuat keputusan sendiri sesedikit mungkin. Jadi,
pemisahan mental dan tangan benar-benar sempurna. Manajemen menggunakan
monopolinya terhadap pekerjaan yang berkenaan dengan pengetahuan untuk
mengontrol setiap langkah proses pekerjaan. Akhirnya, pekerja itu sendiri
dibiarkan tanpa keterampilan isi atau pengetahuan yang bermakna; keterampilan
dan keahlian dihancurkan sama sekali.
Braverman pun melihat mesin sebagai
alat kontrol terhadap pekerja. Mesin modern tercipta ketika “peralatan dan atau
pekerjaan cenderung diatur gerakannya oleh struktur mesin itu sendiri”
(Braverman, 1974:188). Keterampilan lebih ditujukan untuk melayani mesin
ketimbang membiarkan didapatkan oleh pekerja. Pekerja menjadi dikontrol oleh
mesin ketimbang mengontrol pekerjaan. Selanjutnya akan jauh lebih mudah bagi
manajemen untuk mengontrol mesin ketimbang mengontrol pekerja.
Braverman menyatakan bahwa melalui
mekanisme seperti spesialisasi pekerjaan, manajemen ilmiah dan mesin, manajemen
mampu memperluas kontrolnya terhadap pekerjaan tangannya. Meski penekanan
terhadap kontrol ini berguna, kontribusi khusus Braverman adalah upayanya
mengembangkan jenis analisis ini ke sektor tenaga kerja yang belum dianalisis
Marx ketika menganalisis proses kerja. Braverman menyatakan pekerja kantoran
dan pekerja pelayanan tunduk pada proses kontrol yang sama dengan yang
digunakan terhadap pekerja tangan di abad terakhir (Schmutz, 1996).
Contoh yang dikemukakan Braverman
adalah pekerja kerah putih yang tergolong klerek. Di suatu ketika klerek ini
dianggap sebagai kelompok yang berbeda dari pekerja tangan karena ciri-ciri
seperti pakaian, keterampilan, pendidikan, dan prospek karir mereka (Lockwood,
1956). Tetapi, kini kedua golongan pekerja itu tunduk pada alat kontrol yang
sama. Demikianlah kini semakin sukar membedakan antara pabrik dan kantor yang
menyerupai pabrik, karena pekerja di kantor menyerupai pabrik ini makin lama
makin diproletariatkan. Pekerjaan pekerja klerek menjadi makin lama makin
dispesialisasikan. Antara lain ini berarti bahwa aspek mental dan tangan
pekerjaan kantor telah dipisahkan. Manajer kantor telah dipisahkan. Manajer
kantor insinyur dan teknisi kini melaksanakan pekerjaan mental, sedangkan
barisan pekerja klerek mengerjakan pekerjaan yang kurang lebih sama dengan
tugas tangan seperti mengetik, mengarsip, dan mengetik dengan mesin ketik
pelubang (keypunch). Akibatnya, tingkat keterampilan yang dibutuhkan untuk
pekerjaan itu telah diturunkan dan pekerjaan itu sedikit sekali atau hampir tak
memerlukan latihan khusus.
Kini manajemen ilmiah juga terlihat
menyerbu kantor. Tugas klerek pun sudah dikaji secara ilmiah dan akibat dari
hasil riset itu tugas klerek telah disederhanakan, dirutinkan, dan
distandarisasi. Akhirnya, mekanisasi mulai melakukan serangan yang berarti ke
dalam kantor terutama melalui peralatan komputer.
Dengan menerapkan mekanisasi ini ke
pekerjaan klerek, manajer makin mudah mengontrol pekerja seperti itu. Mekanisme
kontrol seperti itu tak mungkin sama kuat dan efektifnya di kantor dan di
pabrik; tetapi kecenderungannya adalah menuju perkembangan pabrik pekerja
kantoran. Perlu diingat buku Braverman ditulis sebelum ledakan pemakaian komputer
di kantor, terutama sebelum menyebarnya penggunaan prosesor data. Teknologi
seperti itu mungkin memerlukan latihan dan keterampilan lebih besar ketimbang
yang diperlukan oleh teknologi perkantoran yang lebih tua dan juga meningkatkan
otonomi pekerja (Zuboff,1988).
Ada beberapa kritik yang dapat
ditujukan kepada Braverman. Pertama, ia melebih-lebihkan derajat kesamaan
antara pekerjaan tangan dan pekerjaan klerek. Kedua, pemusatan perhatiannya
terhadap kontrol menyebabkannya relatif sedikit mencurahkan perhatian terhadap
dinamika eksploitasi ekonomi dalam kapitalisme. Namun demikian, ia telah
memperkaya pemahaman kita tentang proses kerja dalam masyarakat kapitalis
modern (Foster, 1994; Meiksins, 1994).
Karya Lain tentang Tenaga Kerja dan
Modal
Masalah kontrol ini lebih dibahas oleh
Richard Edwards (1979). Menurut Edwards, kontrol di jantung transformasi tempat
kerja di abad 20. Dengan mengikuti Marx, Edwards melihat tempat kerja, di masa
lalu maupun kini, sebagai arena konflik menurut istilahnya sendiri sebagai
“arena pertarungan”. Di arena inilah terjadi perubahan dramatis di mana mereka
yang berada di atas mengontrol yang berada di bawah. Dalam kapitalisme
kompetitif abad 19 digunakan kontrol sederhana di mana “para atasan menggunakan
kekuasaan secara pribadi, campur tangan dalam proses kerja sering dengan cara
memaksa pekerja, menggertak dan mengancam pekerja, memberi hadiah atas
pelaksanaan pekerjaan yang baik, mengangkat dan memecat dengan segera,
menyayangi pekerja yang setia dan umumnya bertindak seperti despot atau orang
yang dermawan, atau lainnya” (Edwards, 1979:19). Meski sistem kontrol ini
berlanjut di banyak perusahaan kecil, sistem ini terlalu kasar untuk organisasi
modern berskala besar. Dalam organisasi besar demikian kontrol sederhana cenderung
digantikan oleh kontrol birokratis dan teknis yang lebih canggih dan
impersonal. Pekerja modern dapat dikontrol oleh teknologi yang digunakan di
tempat mereka bekerja. Contoh klasiknya adalah deretan perakitan mobil di mana
tindakan pekerja ditentukan oleh tuntutan yang tak putus-putusnya dari deretan
perakitan itu. Contoh lain adalah komputer modern yang dapat mengawasi dengan
teliti berapa banyak pekerjaan yang dikerjakan seorang pekerja dan berapa
banyak kesalahan yang dibuatnya. Pekerja modern juga dikontrol oleh aturan
birokrasi yang lebih bersifat impersonal ketimbang dikontrol secara personal
oleh pengawas. Kapitalisme terus berubah dan bersamaan dengan itu mengubah cara
mengontrol pekerja.
Penting pula disimak karya Michael
Burawoy (1979) dan kajiannya tentang mengapa pekerja dalam sistem kapitalis
bekerja demikian keras. Ia menolak penjelasan Marx yang menyatakan bahwa kerja
keras itu karena adanya koersi atau paksaan. Kedatangan Serikat buruh dan
perubahan lainnya telah melenyapkan sebagian besar kekuasaan sewenang-wenang.
“Koersi sendiri tak lagi dapat menjelaskan apa yang dilakukan pekerja segera
setelah tiba di tempat kerja” (Burawoy, 1979:xii). Menurut Burawoy, pekerja,
setidaknya sebagian, menyetujui bekerja keras dalam sistem kapitalis dan,
sebagian persetujuannya itu dihasilkan di tempat kerja.
Satu aspek yang diteliti Burawoy
adalah permainan yang dimainkan pekerja ditempat kerja dan lebih umum lagi
praktik informal yang mereka kembangkan ditempat kerja. Kebanyakan analisis
melihat ini sebagai upaya pekerja untuk mengurangi keterasingan dan perasaan
tak senang lainnya sehubungan dengan pekerjaan. Lagi pula perasaan tak senang
itu biasanya telah dipandang sebagai mekanisme sosial yang dikembangkan pekerja
untuk menentang manajemen.
Sebaliknya, Burawoy menyimpulkan bahwa
permainan ini biasanya bukan berdiri sendiri dan bukan untuk menentang
manajemen (1979:80). Kenyataannva manajemen, sekurangnya di tingkat lebih
rendah, benar-benar tak hanya berpartisipasi dalam organisasi permainan itu, tetapi
juga dalam pelaksanaan aturannya (1979:80). Ketimbang menentang manajemen
organisasi atau akhirnya sistem kapitalis, permainan ini benar-benar
mendukungnya. Satu hal memainkan permainan menimbulkan perasaan tak senang di
kalangan pekerja terhadap aturan yang melandasi permainan itu dan lebih umum
lagi terhadap sistem hubungan sosial (pemilik manajer pekerja) yang menetapkan
aturan permainan itu. Hal lainnya adalah karena manajer dan pekerja sama-sama
terlibat dalam permainan, maka pertentangan dalam sistem hubungan sosial
diperkirakan akan mudah dikendalikan.
Burawoy menyatakan metode
membangkitkan kerja sama secara aktif dan persetujuan seperti itu jauh lebih
efektif dalam membawa pekerja untuk bekerja sama dalam mengejar keuntungan
ketimbang metode penggunaan paksaan (seperti memecat pekerja yang tak mau
bekerja sama). Burawoy yakin bahwa metode perlombaan dan praktik informal
lainnya itu dapat membujuk pekerja untuk menerima sistem dan memberikan
kontribusi untuk terus-menerus mengejar keuntungan yang lebih tinggi.
Fordisme dan Post-Fordisme
Salah satu masalah yang paling banyak
menyita perhatian pemikir ekonomi berorientasi Marxis adalah masalah apakah
kita telah mengalami ataukah sedang mengalami transisi dari “Fordisme” ke
“post-Fordisme” (Amin, 1994; Kiely, 1998). Ini berkaitan dengan masalah lebih
luas apakah kita telah mengalami transisi dari masyarakat modern ke post
modern. Umumnya Fordisme dihubungkan dengan era modern, sedang post Fordisme
dikaitkan dengan era yang lebih akhir, era post modern. (Perhatian Marxian
terhadap Fordisme tidak baru; Gramsci (1971) menerbitkan esai tentang Fordisme
ini tahun 1931.)
Fordisme merujuk pada gagasan,
prinsip, dan sistem yang dikembangbiakkan oleh Henry Ford. Ford umumnya berjasa
dalam mengembangkan sistem produksi massal modern, terutama melalui penciptaan
sistem perakitan mobil secara bergilir (assembly line). Ciri-ciri Fordisme itu adalah sebagai berikut :
ü Produksi massal untuk produk sejenis.
ü Menggunakan teknologi yang tidak
fleksibel seperti perakitan bergilir (assembly line).
ü Mengadopsi sistem pekerjaan rutin yang
distandarkan (Taylorisme).
ü Kenaikan produktivitas berasal dari
skala “ekonomi maupun dari penurunan tingkat keterampilan, intensifikasi dan
homogenisasi tenaga kerja (Clarke, 1990:73).
ü Meningkatnya pekerja massal dan serikat
(unions) yang birokratis.
ü Negosiasi oleh serikat mengenai
keseragaman upah berkaitan erat dengan kenaikan keuntungan dan produktivitas.
ü Pertumbuhan pasar untuk produk homogen
industri produksi massal dan homogenisasi pola konsumsi.
ü Kenaikan upah, berkaitan dengan
unionisasi, menyebabkan kenaikan permintaan atas kenaikan suplai produk yang
diproduksi secara massal.
ü Pasar untuk produk yang dipengaruhi
oleh kebijakan ekonomi Keynesian dan pasar untuk tenaga kerja yang ditangani
melalui persetujuan kolektif yang diatur pemerintah.
ü Lembaga pendidikan umum menyediakan
tenaga kerja massal yang diperlukan oleh industri (Clarke, 1990:73).
Sementara Fordisme tumbuh sepanjang
abad 20, terutama di Amerika serikat, ia mencapai puncaknya dan mulai menurun
di tahun 1970-an terutama setelah krisis minyak bumi tahun 1973 dan disusul
kemerosotan industri mobil Amerika dan berkembangnya industri mobil Jepang.
Akibatnya dinyatakan bahwa kita menyaksikan kemerosotan Fordisme dan bangunnya
post-Fordisme ditandai oleh hal berikut :
ü Menurunnya minat terhadap produk
massal diikuti oleh pertumbuhan minat terhadap produk yang lebih
terspesialisasi, terutama produk yang bergaya dan berkualitas tinggi.
ü Produk yang lebih terspesialisasi
memerlukan jangka waktu produksi lebih pendek, yang dapat dihasilkan dalam
sistem yang lebih kecil dan lebih produktif.
ü Produksi yang lebih fleksibel menjadi
menguntungkan dengan datangnya teknologi baru.
ü Teknologi baru memerlukan tenaga kerja
yang selanjutnya mempunyai keterampilan yang makin berbeda dan pendidikan yang
lebih baik, lebih bertanggung jawab dan otonomi makin besar.
ü Produksi harus dikontrol melalui
sistem yang lebih fleksibel.
ü Birokrasi yang sangat besar dan tidak
fleksibel perlu diubah secara dramatis agar beroperasi lebih lentur.
ü Serikat buruh yang dibirokratisasikan
(dan partai politik) tak lagi memadai untuk mewakili kepentingan tenaga kerja
baru yang sangat terdiferensiasi.
ü Perundingan kolektif yang
didesentralisasi menggantikan negosiasi yang disentralisasir.
ü Tenaga kerja menjadi semakin
terdiferensiasi dan memerlukan komoditi, gaya hidup dan saluran kultural yang
makin terdiferensiasi.
ü Kekayaan negara yang tersentralisasi
tak lagi dapat memenuhi kebutuhan (misalnya kesehatan, kesejahteraan, pendidikan)
rakyat yang berbeda-beda dan diperlukan lembaga yang lebih terdiferensiasi dan
lebih fleksibel. (Clarke, 1990:73-74).
Bila diringkas, pergeseran dari
Fordisme ke post Fordisme dapat dilukiskan sebagai transisi dari homogenitas ke
heterogenitas. Ada dua masalah umum yang muncul di sini. PERTAMA: Apakah
transisi dari Fordisme ke post Fordisme itu benar-benar telah terjadi (Pelaez
dan Holloway, 1990) ? KEDUA: Apakah post Fordisme memberikan harapan untuk
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan Fordisme ?.
PERTAMA, belum jelas adanya pemutusan
historis antara Fordisme dan post Fordisme (Hall, 1988). Meski kita ingin
mengakui bahwa unsur post Fordisme telah muncul dalam kehidupan modern, namun
sama jelasnya bahwa unsur Fordisme masih bertahan dan tak ada tanda-tanda yang
menunjukkan kelenyapannya. Contoh, sesuatu yang akan kita sebut McDonaldisme,
sebuah fenomena yang banyak kesamaannya dengan Fordisme, tumbuh pesat dalam
masyarakat masa kini. Berdasarkan model restoran cepat saji, makin lama makin banyak
sektor masyarakat yang memanfaatkan prinsip McDonaldisme (Ritzer. 2000a).
McDonaldisme mempunyai banyak kesamaan ciri-ciri dengan Fordisme: produk yang
homogen, teknologi yang kaku, rutinitas pekerjaan yang distandarisasi,
penurunan keterampilan, homogenisasi tenaga kerja (dan pelanggan), tenaga kerja
massal, homogenisasi konsumsi, dan seterusnya. Jadi Fordisme masih hidup dalam
kehidupan modern meski telah berubah bentuk menjadi McDonaldisme. Lagi pula
Fordisme klasik contohnya dalam bentuk sistem perakitan bergilir tetap muncul
secara signifikan dalam perekonomian Amerika.
KEDUA, meski kita mengakui pemikiran
bahwa pos Fordisme sudah bersama kita apakah itu mencerminkan penyelesaian
masalah masyarakat kapitalis modern? Beberapa pemikir neo-Marxis dan banyak
pendukung sistem kapitalis (Womack, Jones dan Roos, 1990) mempunyai harapan
besar demikian: post Fordisme sebagian besar mengungkapkan harapan bahwa
perkembangan kapitalis di masa depan akan menyelamatkan demokrasi sosial”
(Clarke, 1970:75). Namun, ini hanyalah harapan dan, bagaimanapun juga, telah
ada bukti bahwa post Fordisme menurut beberapa pengamat tidak memberikan
harapan baik.
Model Jepang (yang dinodai oleh
penurunan industri Jepang pada 1990-an) diyakini menjadi basis post Fordisme.
Tetapi, riset tentang industri Jepang (Satoshi, 1982) dan tentang penggunaan
teknik manajemen Jepang dalam industri
Amerika (Parker dan
Slaughter, 1990) menunjukkan bahwa terdapat masalah berkenaan dengan harapan
sistem itu dan bahkan “meninggikan” tingkat eksploitasi terhadap pekerja.
Parker dan Slaughter menamakan sistem Jepang di Amerika itu sebagai “manajemen
dengan ketegangan”: “tujuannya adalah merentangkan sistem seperti tali karet
hingga ke titik putusnya” (1990:33). Pekerjaan dipercepat melebihi kecepatan
berdasarkan sistem perakitan bergilir tradisional Amerika, menanamkan tekanan
hebat pada pekerja yang harus bekerja heroik untuk menyelesaikan gilirannya
secepatnya. Levidow melukiskan di sistem post Fordisme ini sebagai “ditekan
dengan tanpa belas kasihan meningkatkan produktivitas mereka sering dengan upah
nyata yang lebih ketimbang penghasilan buruh pabrik, pedagang pakaian bekas,
pekerja, bahkan guru politeknik” (1990:59). Jadi, ketimbang menawarkan
penyelesaian masalah kapitalis, post Fordisme ini barangkali sebuah fase baru
yang lebih berbahaya dalam meningkatkan eksploitasi pekerja oleh kapitalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar