Jumat, 31 Mei 2013

Sekilas tentang Mereka - Mata Najwa on Campus Universitas Airlangga

Najwa Shihab adalah salah satu wartawan atau reporter populer Metro TV yang kemudian menjadi presenter atau pembawa acara Metro TV. Najwa lahir di Makassar (Sulawesi Selatan) 16 September 1977. Acara yang dipandu oleh Najwa antara lain menjadi anchor program berita prime time Metro Hari Ini dan program talk show Today’s Dialogue. Najwa adalah puteri kedua Quraisy Shihab, Menteri Agama era Kabinet Pembangunan VII. Nana menikah dengan Ibrahim Assegaf, dan sudah memiliki satu orang anak laki-laki yang akrab dipanggil Izzat. Najwa Shihab sendiri akrab dengan panggilan Nana.
Najwa adalah alumni Fakultas Hukum UI tahun 2000. Semasa SMA ia terpilih mengikuti program AFS, yang di Indonesia program ini dilaksanakan oleh Yayasan Bina Antarbudaya, selama satu tahun di Amerika Serikat. Merintis karier di RCTI, tahun 2001 ia memilih bergabung dengan Metro TV karena stasiun TV itu dinilai lebih menjawab minat besarnya terhadap dunia jurnalistik.
Pada tahun 2005, ia memperoleh penghargaan dari PWI Pusat dan PWI Jaya untuk lapora-laporannya dari Aceh, saat bencana tsunami melanda kawasan itu, Desember 2004. Liputan dan laporannya dinilai memberi andil bagi meluasnya kepedulian dan empati masyarakat luas terhadap tragedi kemanusiaan tersebut.
Najwa tiba di Aceh pada hari-hari pertama bencana, menjadi saksi mata kedahsyatan musibah itu, berada di tengah tumpukan mayat yang belum terurus, dan menjadi saksi pula betapa pemerintah tidak siap menghadapinya. Tak heran beberapa laporan live-nya amat emosional. Meski demikian ia tidak kehilangan daya kritis dan ketajamannya, kendati orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas penanganan pasca-bencana adalah Alwi Shihab, Menko Kesra waktu itu, yang tak lain adalah pamannya. Pakar komunikasi UI, Effendi Ghazali yang terkesan dengan laporan-laporannya, menyebut fenomena itu sebagai Shihab vs Shihab.
Tahun 2006 ia terpilih sebagai Jurnalis Terbaik Metro TV, dan masuk nominasi Pembaca Berita Terbaik Panasonic Awards. Pada tahun yang sama, bersama sejumlah wartawan dari berbagai negara, Najwa terpilih menjadi peserta Senior Journalist Seminar yang berlangsung di sejumlah kota di AS, dan menjadi pembicara pada Konvensi Asian American Journalist Association.
Tahun 2007, pengakuan terhadap profesionalisme Najwa tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga manca negara. Terbukti, selain kembali masuk nominasi Pembaca Berita Terbaik Panasonic Awards, ia juga masuk nominasi (5 besar) ajang yang lebih bergengsi di tingkat Asia, yaitu Asian Television Awards untuk kategori Best Current Affairs/Talkshow presenter. Pengumuman pemenang dilangsungkan bulan November 2007 di Singapura. Jika pada Panasonic Awards pemenang dipilih dari jumlah sms terbanyak, maka penentuan pemenang pada Asian TV Awards dilakukan oleh panel juri yang beranggotakan TV broadcaster senior dari berbagai negara di Asia.
Salah satu acara yang dipandu Najwa Shihab dan cukup membekas di benak publik, adalah debat kandidat Gubernur DKI Jakarta. Debat yang mempertemukan pasangan Fauzi Bowo-Priyanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar itu diselenggarakan oleh KPUD DKI Jakarta, disiarkan secara langsung oleh Metro TV dan Jak TV. Najwa terpilih sebagai pemandu debat menyisihkan sejumlah pembawa acara yang diseleksi KPUD DKI Jakarta.
Kendati telah memutuskan untuk total di dunia jurnalistik dan TV broadcast, Najwa terus menerus berupaya memperkuat dan memperkaya wawasan keilmuannya. Awal 2008 mendatang dia akan terbang ke Australia sebagai peraih Full Scholarship for Australian Leadership Awards. Ia akan mendalami hukum media.
Tahun 2010, kembali Najwa Shihab masuk sebagai nominasi Presenter Berita Terbaik Panasonic Awards. Walaupun pada akhirnya Putra Nababan lah sebagai pemenangnya.
Najwa termasuk wartawan yang pertama mewawancarai Presiden SBY, tidak lama setelah pelantikan. Hampir semua tokoh politk nasional pernah ia wawancarai. Tokoh mancanegara yang pernah ia wawancarai, antara lain adalah mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.
Presenter Najwa Shihab dari MetroTV meraih penghargaan Young Global Leader (YGL) 2011 dari World Economic Forum (WEF) yang berkedudukan di Geneva, Swiss.
Penghargaan YGL diberikan WEF setiap tahun terhadap para profesional muda berusia di bawah 40 tahun dari seluruh dunia.
Ribuan kandidat diseleksi secara ketat oleh sebuah Komite Seleksi yang diketuai Ratu Rania Al Abdullah dari Yordania. Najwa Shihab terlilih sebagai YGL 2011 setelah Komite Seleksi melakukan penyaringan yang sangat ketat terhadap ribuan profesional muda di berbagai disiplin ilmu dan profesi, dari seluruh dunia.
Dalam surat yang ditandatangani oleh Executive Chairman The Forum of Young Global Leaders, Klaus Schwab dan Senior Director Head of The Forum of Young Global Leaders, David Aikman, Najwa Shihab terpilih sebagai YGL 2011 karena pencapaian profesional, komitmen terhadap masyarakat dan kontribusinya yang potensial dalam membentuk masa depan dunia dengan kepemimpinannya yang memberi inspirasi terhadap kaum muda lainnya.
Dengan pencapaian itu, Najwa Shihab diundang untuk menjadi anggota aktif dari The Forum of Young Global Leaders. Forum ini merupakan jaringan profesional muda pilihan dari seluruh dunia yang diharapkan mampu memberikan dampak yang signifikan bagi penyelesaian masalah global. Najwa Shibab bergabung dengan Metro TV sebagai news presenter sejak 2000 dan kini ia menjadi anchor program Mata Najwa.
Pujian untuk Nana pun meluncur dari pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendy Gazali. Dia menyitir judul film drama komedi terkenal Amerika, Kramer Vs Kramer yang dianalogikannya menjadi “Shihab Vs Shihab”.
Shihab pertama adalah Najwa Shihab, kedua Alwi Shihab, yang masih punya hubungan saudara dengan Nana. “Najwa mengkritik penanganan bencana yang dilakukan pemerintah yang diwakili oleh Menko Kesra Alwi Shihab,” kata Effendy Ghazali. Dalam reportasenya, Najwa menyampaikan bahwa bantuan terlambat dan tak terkoordinasi, sementara mayat-mayat bergelimpangan tidak tertangani.
“Shihab Vs Shihab”, kata Effendy, untuk menggambarkan bagaimana Najwa Shihab sebagai wartawan tetap garang dalam menyuarakan kepentingan publik dan korban tsunami di Aceh.
Wanita kelahiran 16 september 1977 ini hidup dalam keluarga religius. Nana kecil, saat di Makasar, sudah masuk TK Al-Quran. Dia masih ingat betul, kalau melakukan kesalahan, sang guru memukulnya dengan kayu kecil. Sekolah Dasar di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hidayah (1984-1990), lalu SMP Al-Ikhlas, Jeruk Purut, Jakarta Selatan, pada 1990-1993. Aktivitas sampai SMU, dipimpin ibunya, Nana dengan lima orang saudaranya sejak magrib harus ada di rumah. “Jadi berjamaah magrib, ngaji Al-Quran, lalu ratib Haddad bersama. Itu ritual keluarga sampai saya SMU.” Setelah kuliah, karena banyak kegiatan, Nana baru boleh keluar setelah magrib.
Keluarganya memang sangat memprihatikan faktor pendidikan. “Pendekatan pendidikan di keluarga tidak pernah dengan cara-cara yang otoriter. Saya rasa itu sangat mempengaruhi, bagaimana pola didik orang tua ke anak akan mempengaruhi perilaku,” ujarnya.
Pendidikan, bagi keluarga Shihab, adalah nomor wahid, tidak bisa ditawar-tawar. Dulu waktu kelas dua SMU, Nana dapat kesempatan AFS (America Field Service), program pertukaran pelajar ke Amerika. Sempat keluarga menolak karena harus melepas selama setahun anak cewek yang baru usia 16 tahun tinggal di keluarga asuh. “Sempat terjadi perdebatan keluarga. Waktu itu yang paling mendukung ayah saya. Apa pun untuk pendidikan akan diperbolehkan, dalam usia itu pun beliau sudah memberikan kepercayaan, walaupun di sana dia sudah dibekali agama, mereka percaya shalatnya tidak akan ditinggal. Dan alhamdulillah saya bisa menjaga kepercayaan itu,” cerita Nana.
Quraish Shihab, pakar tafsir itu, bagi Nana, adalah sosok bapak yang santai. “Seneng joke-joke Abu Nawas, ketawa-ketawa,” kisahnya. Jadi beliau, kata Nana, membebaskan pilihan kepada anak-anaknya untuk sekolah ke mana saja.
Tidak hanya persoalan pendidikan, kebebasan juga diberikan oleh sang bapak untuk menentukan pasangan hidupnya. “Bahkan saat saya memutuskan untuk nikah muda, 20 tahun, ayah memberi kepercayaan. Bagi beliau yang penting kuliah selesai.” Menjelang pernikahan, kata Nana, keluarga sempat ragu, tapi karena pengalaman kakak yang nikah saat usia 19 tahun akhirnya diizinkan. Tapi sebelum itu mereka sekeluarga umroh dulu. “Di sana ayah bertanya, ‘udah mantep?’ saya jawab, ‘udah’. Ya sudah diizinkan,” tutur Nana.
Kendati dalam keluarga religius, soal pakai jilbab tak menjadi keharusan. Menurut Nana, kalau orang pakai jilbab itu bagus, kalau tak berjilbab juga tidak apa-apa. “Saya sih seperti itu dan saya percaya itu.”
Karena memang, kata Nana, alasan ayahnya yang lebih penting adalah terhormat. Karena bukan berarti yang berjilbab tidak terhormat dan yang berjilbab sangat terhormat, karena kan masih banyak interpretasi tentang hal itu. Menurut Nana, yang penting tampil terhormat dan banyak cara untuk terhormat selain dengan jilbab. “Tidak pernah ada keharusan untuk berjilbab,” ucapnya.
Dengan cara berpakaian seperti itu, kata Nana, tak pernah ada yang komplain. “Karena mungkin melihat ayah, kalau ditanya orang pendapatnya membolehkan, membebaskan berjilbab atau tidak. Jadi banyak alasan dari ayah saya. Kalau ada yang komplain, paling pas bercanda. Dan saya selalu bilang: ya insyaallah mudah-mudahan suatu saat. Yang pasti hatinya berjilbab kok.”
Nana kagum pada yang pakai jilbab dan menutup aurat. Dia ingin juga pakai jilbab, mungkin suatu saat. “Sampai saat ini saya tidak merasa ada kewajiban atau beban untuk berjilbab,” katanya, “Karena sejauh saya bisa menjalankan kewajiban saya sebagai muslimah tidak masalah berjilbab atau tidak.”
Meski kini ada rekan reporter yang mengenakan jilbab, Nana tidak terpengaruh. Sampai saat ini, dia merasa apa yang dilakukannya sudah berada pada jalur yang benar. Kalau nanti ada hidayah lebih lanjut, atau kemantapan memakai jilbab, tanpa ragu Nana akan memakainya. “Apa yang dilakukan orang kan bukan berarti kita akan terpengaruh. Kalau sekarang ada yang berjilbab kemudian saya ikut. Menurut saya, rugi kalau berjilbab alasannya itu,” ujarnya.

Bambang Widjojanto merupakan seorang pengacara, pernah memimpin Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan merupakan pendiri Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) bersama almarhum Munir. Pada tahun 1993 pemegang gelar master hukum dari University of London, Inggris ini pernah mendapat penghargaan Robert F. Kennedy Human Right Awards karena dinilai konsisten membela hak-hak warga Papua.
Bambang Widjojanto banyak beraktivitas dalam kegiatan lembaga swadaya masyarakat, meski juga tercatat sebagai advokat.
Latar belakang pendidikannya beragam. Dia menyelesaikan studi di di Universitas Jayabaya pada tahun 1984 dan kemudian menempuh sejumlah pendidikan formal dan non formal terkait dengan hak azasi manusia di Amerika Serikat, Belanda dan Inggris.
Sepak terjangnya dalam bidang HAM, membuatnya meraih penghargaan Kennedy Human Rights Award. Dia juga aktif dalam gerakan antikorupsi di Indonesia Corruption Watch dan Partnership of Governance Reform. Dia bahkan aktif dalam berbagai aktifitas Yayasan Tifa dan Kontras.
Bambang Widjojanto memiliki kualitas yang lebih tinggi untuk memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dr. Bambang Widjojanto, kelahiran Jakarta 18 Oktober 1959, seorang advokat pembenci koruptor. Mantan Ketua Dewan Pengurus Yayasan LBH Indonesia (1995-2000), ini lebih rela menangani kasus perceraian daripada menjadi pengacara untuk tersangka korupsi. Di mata dia, korupsi adalah kejahatan terbesar terhadap rakyat dan kemanusiaan.
Sikap yang menunjukkan kebencian kepada koruptor ini tampaknya telah menjadi 'kekuatan' yang membuat dirinya layak dijagokan menjadi salah satu calon kuat ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dia memang dikenal seorang
Aktivis antikorupsi. Dia salah seorang advokat yang ikut mendirikan Indonesian Corruption Watch (ICW). Di mata publik dia terkesan sebagai seorang advokat yang punya sikap tegas dan berani memerangi korupsi.
Publik yang awam hukum sangat terkesan dengan sikap lebih rela menangani kasus perceraian daripada menjadi pengacara untuk tersangka korupsi itu. Namun, bagi orang yang melek hukum, sikap mengharamkan diri menjadi pengacara untuk tersangka korupsi, yang bermakna sangat membenci tersangka korupsi, itu justru menunjukkan strata pemahamannya tentang prinsip hukum untuk menegakkan keadilan, belum mencapai tingkat yang mumpuni. Apalagi untuk memimpin sebuah lembaga yang mempunyai kewenangan luar biasa, seperti KPK, yang terkesan superbody (superpower), jika tidak dilaksanakan sesuai prinsip hukum untuk menegakkan keadilan, sangat berpotensi melanggar hak azasi manusia.
Tidak ada manusia yang sempurna, demikian juga Bambang Widjojanto, bukanlah malaikat. Walaupun semangat pada awal pembentukan KPK, ada harapan memilih 'manusia setengah malaikat' untuk memimpin KPK. Tapi semangat 'membenci koruptor' yang telah dimilikinya bisa bernilai positif bila diterapkan dengan filosofi dan cita hukum serta asas penegakan hukum yang berkeadilan. Sehinga penegakan hukum (peberantasan korupsi) tidak didikte oleh publik, LSM, dan pers (trial by the public pressure dan trial by the press).
Padahal, sangat diyakini, sebagai seorang doktor ilmu hukum, Bambang sangat hafal asas praduga tak bersalah atau "presumption of innocence". Apalagi seorang advokat dan pimpinan KPK, sangat mutlak untuk memahami asas praduga tak bersalah itu. Asas di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah. Bukankah asas ini sangat penting pada demokrasi modern di negara berasas hukum? Bukankah seorang tersangka penjahat yang diancam hukuman di atas lima tahun diwajibkan didampingi pengacara? Bukankah sebuah asas hukum bahwa seorang tersangka penjahat (korupsi atau teror sekalipun) layak didampingi pengacara. Justru itulah tugas mulia pengacara (pembela), sebagaimana mulianya tugas jaksa (penuntut umum) dan hakim (pengadil).
Sekadar mengingatkan, dalam konsiderans UU tentang Bantuan Hukum yang baru disahkan DPR dan pemerintah, disebut bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.
Maka selain keberanian, ketegasan, komitmen dan ke-Aktivisan antikorupsi (yang tentu sangat penting), juga terpenting kedalaman pemahaman tentang filosofi dan cita hukum yang diamanatkan dalam UU Antikorupsi dan UU KPK itu sendiri. Bagaimana pimpinan KPK memahami dan mengimplementasikan UU tersebut harus menjadi landasan keberanian memerangi korupsi.
Perjalanan waktu, selama proses seleksi, diharapkan membuat Bambang lebih matang. Banyak pihak tidak meragukan hal ini, walaupun ada juga pihak yang meragukannya. Sepak terjang Bambang sebagai seorang advokat, penggiat LBH dalam menegakkan hak asasi manusia dan aktivitasnya dalam kegiatan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi sebuah jaminan tentang komitmennya memberantas korupsi. Apalagi karena ketekunannya di bidang hak azasi manusia, dia telah memperoleh penghargaan Kennedy Human Rights Award pada 1993.
Nama Bambang semakin melambung saat aktif sebagai Tim Pembela Bibit dan Chandra. Selain itu, dia juga pernah aktif sebagai panitia seleksi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi (Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 154/2009); Anggota Gerakan Anti Korupsi (Garansi); Anggota Koalisi untuk Pembentukan UU Mahkamah Konstitusi (MK); Anggota Tim Gugatan Judicial Review untuk kasus Release and Discharge; Anggota Tim Pembentukan Regulasi Panitia Pengawas Pemilu; Pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN); Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras); dan Pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW).
Bambang Widjojanto meraih gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jayabaya pada 1984. Sebelumnya, dia sempat nyambi kuliah Sastra Belanda di Universitas Indonesia (UI). Kemudian, dia menempuh berbagai pendidikan formal maupun non formal terkait hak azasi manusia, di Amerika Serikat dan Belanda. Dia juga menempuh program postgraduate di School of Oriental and Africand Studies, London University. Lalu pada tahun 2009 telah memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.
Karir hukumnya diawali sebagai advokat (Aktivis) lembaga bantuan hukum (LBH), di LBH Jakarta dan LBH Jayapura pada 1986 sampai 1993.Kemudian, dia menggantikan Adnan Buyung Nasution menjadi Ketua Dewan Pengurus Yayasan LBH Indonesia (1995-2000).
Tidak ada manusia yang sempurna, demikian juga Bambang Widjojanto, bukanlah malaikat. Walaupun semangat pada awal pembentukan KPK, ada harapan memilih 'manusia setengah malaikat' untuk memimpin KPK. Tapi semangat 'membenci koruptor' yang telah dimilikinya bisa bernilai positif bila diterapkan dengan filosofi dan cita hukum serta asas penegakan hukum yang berkeadilan. Sehinga penegakan hukum (peberantasan korupsi) tidak didikte oleh publik, LSM, dan pers (trial by the public pressure dan trial by the press).

Mahfud MD terlahir dengan nama lengkap Mohammad Mahfud dilahirkan pada 13 Mei 1957 di Omben, Sampang Madura, Mahfud MD saat ini tercatat sebagai Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) Indonesia, Mahfud MD terlahir dari pasangan Mahmodin dan Suti Khadidjah. Mahmodin, pria asal Desa Plakpak, Kecamatan Pangantenan ini adalah pegawai rendahan di kantor Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang. Mahmodin lebih dikenal dengan panggilan Pak Emmo (suku kata kedua dari Mah-mo-din, yang ditambahi awalan em). Dalam bislit pengangkatannya sebagai pegawai negeri, Emmo diberi nama lengkap oleh pemerintah menjadi Emmo Prawiro Truno. Sebagai pegawai rendahan, Mahmodin kerap berpindah-pindah tugas. Setelah dari Omben, ketika Mahfud berusia dua bulan, keluarga Mahmodin berpindah lagi ke daerah asalnya yaitu Pamekasan dan ditempatkan di Kecamatan Waru. Di sanalah Mahfud menghabiskan masa kecilnya dan memulai pendidikan sampai usia 12 tahun. Dimulai belajar dari surau sampai lulus SD.
Mahfud MD adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, Tiga kakaknya antara lain Dhaifah, Maihasanah dan Zahratun. Sementara ketiga adiknya bernama Siti Hunainah, Achmad Subkhi dan Siti Marwiyah. Latar kehidupan keluarganya yang berada di lingkungan taat beragama membuat pemberian nama arab tersebut penting. Khusus bagi Mahfud, arti dari nama “Mahfud” sendiri adalah “orang yang terjaga”. Dengan nama itu diharapkan Mahfud senantiasa terjaga dari hal-hal yang buruk. Adapun inisial MD di belakang nama Mahfud adalah singkatan dari nama ayahnya, Mahmodin, dan bukan merupakan gelar akademik seperti sebagian orang menganggapnya. Sebenarnya sampai lulus SD tidak ada inisial MD di belakang nama Mahfud. Baru ketika ia memasuki sekolah lanjutan pertama, tepatnya masuk ke Pendidikan Guru Agama (PGA), tambahan nama itu bermula. Saat di kelas I sekolah tersebut ada tiga murid yang bernama Mohammad Mahfud. Hal itu membuat wali kelasnya meminta agar di belakang setiap nama Mahfud diberi tanda A, B, dan C. Namun karena kode tersebut dirasa seperti nomer becak, wali kelas lalu memutuskan untuk memasang nama ayahnya masing-masing dibelakang nama mahfud. Jadilah Mahfud memakai nama Mahfud Mahmodin sedangkan teman sekelasnya yang lain bernama Mahfud Musyaffa’ dan Mahfud Madani. Dalam perjalanannya, Mahfud merasa bahwa rangkaian nama Mahfud Mahmodin terdengar kurang keren sehingga Mahmodin disingkatnya menjadi MD. Tambahan nama inisial itu semula hanya dipakai di kelas, tetapi pada waktu penulisan ijazah kelulusan SMP (PGA), inisial itu lupa dicoret sehingga terbawa terus sampai ijazah SMA, Perguruan Tinggi, dan Guru Besar. Hal itu disebabkan karena nama pada ijazah di setiap tingkat dibuat berdasarkan nama pada ijazah sebelumnya. Berangkat dari situlah nama resmi Mahfud menjadi Moh. Mahfud MD.
Secara umum, pendidikan atau sekolah Mahfud MD cenderung zig-zag. Maksudnya, rangkaian pendidikannya merupakan kombinasi dari pendidikan agama dan pendidikan umum. Mahfud mengenyam pendidikan dasar dengan belajar agama Islam dari surau dan madrasah diniyyah di desa Waru, utara Pamekasan. Masuk usia tujuh tahun, Mahfud disibukkan dengan belajra setiap harinya. Pagi hari menjalani pendidikan Sekolah Dasar, belajar di madrasah ibtidaiyah pada sorenya, dan menghabiskan waktu malam hingga pagi di surau. Setamat dari SD, Mahfud dikirim belajar ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan. Pada masa itu, ada kebanggaan tersendiri bagiorang Madura kalau anaknya bisa menjadi guru ngaji, ustadz, kyai atau guru agama. Lulus dari PGA setelah 4 tahun belajar, Mahfud terpilih mengikuti Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sebuah sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama yang terletak di Yogyakarta. Sekolah ini merekrut lulusan terbaik dari PGA dan MTs seluruh Indonesia.
Mahfud tamat dari PHIN pada 1978, rencananya hendak melanjutkan sekolah ke PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an) di Mesir. Sementara menunggu persetujuan beasiswa, Mahfud coba-coba kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Fakultas Sastra (Jurusan Sastra Arab) UGM. Tapi rupanya karena telanjur betah di Fakultas Hukum, Mahfud memutuskan meneruskan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang dirangkapnya dengan kuliah di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada Jurusan Sastra Arab. Namun kuliahnya di Fakutas Sastra tidak berlanjut karena merasa ilmu bahasa Arab yang diperoleh di jurusan itu tidak lebih dari yang didapat ketika di pesantren dulu. Mengingat kemampuan ekonomi orang tua yang pas-pasan, Mahfud giat mencari biaya kuliah sendiri termasuk gigih mendapatkan beasiswa. Hal itu tidak sulit bagi Mahfud, melalui tulisan-tulisan yang dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Masa Kini, Mahfud berhasil mendapatkan honorarium. Begitu juga, beasiswa Rektor UII, Yayasan Supersemar dan Yayasan Dharma Siswa Madura berhasil diperolehnya.
Sejak SMP MD, Mahfud remaja tertarik menyaksikan hingar bingar kampanye pemilu. Disitulah bibit-bibit kecintaannya pada politik terlihat. Pada masa kuliah kecintaannya pada politik semakin membuncah dan disalurkannya dengan malang melintang diberbagai organisasi kemahasiswaan intra universiter seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan Pers Mahasiswa. Sebelumnya Mahfud juga aktif di organisasi ekstra universiter Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pilihannya pada HMI didorong oleh pemahamannya terhadap medan politik di UII. Saat itu untuk bisa menjadi pimpinan organisasi intra kampus harus berstempel sebagai aktivis HMI. Namun dari beberapa organisasi intra kampus yang pernah ia ikuti, hanya Lembaga Pers Mahasiswa yang paling ia tekuni. Sejarah mencatat ia pernah menjadi pimpinan di majalah Mahasiswa Keadilan (tingkat fakultas hukum), ia juga memimpin Majalah Mahasiswa Muhibbah (tingkat universitas). Karena begitu kritis terhadap pemerintah Orde Baru, Majalah Muhibbah yang pernah dipimpinnya pernah dibreidel sampai dua kali. Pertama dibreidel oleh Pangkopkamtib Soedomo (tahun 1978) dan terakhir dibreidel oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo pada tahun 1983.
Lulus dari Fakultas Hukum pada tahun 1983, Mahfud tertarik untuk ikut bekerja, mengajar di almamaternya sebagai dosen dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sekian waktu menggeluti ilmu hukum, Mahfud menemukan berbagai kegundahan terkait peran dan posisi hukum. Kekecewaannya pada hukum mulai terungkap, Mahfud menilai hukum selalu dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik. Berangkat dari kegundahan itu, Mahfud termotivasi ingin belajar Ilmu Politik. Menurut Mahfud, hukum tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi oleh politik. Dia melihat bahwa energi politik selalu lebih kuat daripada energi hukum sehingga ia ingin belajar ilmu politik. Oleh sebab itu, ketika datang peluang memasuki Program Pasca Sarjana S-2 dalam bidang Ilmu Politik pada tahun1985 di UGM, Mahfud tanpa ragu-ragu segera mengikutinya. Di UGM, Mahfud menerima kuliah dari dosen-dosen Ilmu Politik terkenal seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhamin, Amien Rais, dan lain-lain.
Keputusannya mengambil Ilmu Politik yang notabene berbeda dengan konsentrasinya di bidang hukum tata negara bukan tanpa konsekuensi. Sebab sebagai dosen (PNS), bila mengambil studi lanjut di luar bidangnya tidak akan dihitung untuk jenjang kepangkatan. Karena itulah selepas lulus dari Program S-2 Ilmu Politik, Mahfud kemudian mengikuti pendidikan Doktor (S-3) dalam Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM sampai akhirnya lulus sebagai doktor (1993). Disertasi doktornya tentang “Politik Hukum” cukup fenomenal dan menjadi bahan bacaan pokok di program pascasarjana bidang ketatanegaraan pada berbagai perguruan tinggi karena pendekatannya yang mengkombinasikan dua bidang ilmu yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.
Dalam sejarah pendidikan doktor di UGM, Mahfud tercatat sebagai peserta pendidikan doktor yang menyelesaikan studinya dengan cepat. Pendidikan S-3 di UGM itu diselesaikannya hanya dalam waktu 2 tahun 8 bulan. Sampai saat itu (1993) untuk bidang Ilmu-Ilmu Sosial di UGM hampir tidak ada yang bisa menyelesaikan secepat itu, rata-rata pendidikan doktor diselesaikan selama 5 tahun. Tentang kecepatannya menyelesaikan studi S-3 itu Mahfud mengatakan bukan karena dirinya pandai atau memiliki keistimewaan tertentu, malainkan karena ketekunan dan dukungan dari para promotornya yaitu Prof. Moeljarto Tjokrowinoto, Prof. Maria SW Sumardjono, dan Prof. Affan Gaffar. Selain selalu tekun membaca dan menulis di semua tempat untuk keperluan disertasinya, ketiga promotor tersebut juga mengirim Mahfud ke Amerika Serikat, tepatnya ke Columbia University (New York) dan Northern Illinois University (DeKalb) untuk melakukan studi pustaka tentang politik dan hukum selama satu tahun.
Ketika melakukan studi pustaka di Pusat Studi Asia, Columbia University, New York Mahfud berkumpul dengan Artidjo Alkostar, senior dan mantan dosennya di Fakultas Hukum UII yang sekarang menjadi hakim agung, sedangkan ketika menjadi peneliti akademik di Northern Illinois University, DeKalb Mahfud berkumpul dengan Andi A. Mallarangeng yang sekarang menjadi juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu Andi Mallarangeng menjadi Ketua Perhimpunan Muslim di wilayah itu sehingga Mahfud diberi satu kamar tanpa menyewa di sebuah kamar yang dijadikan masjid dan tempat berkumpulnya keluarga mahasiswa muslim di berbagai negara. Perjalanan karier pekerjaan dan jabatan Mahfud MD termasuk langka dan tidak lazim karena begitu luar biasa. Bagaimana tidak, dimulai dari karier sebagai kemudian secara luar biasa mengecap jabatan penting dan strategis secara berurutan pada tiga cabang kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Mahfud MD memulai karier sebagai dosen di almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada tahun 1984 dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pada 1986-1988, Mahfud dipercaya memangku jabatan Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara FH UII, dan berlanjut dilantik menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Hukum UII dari 1988 hingga 1990. Pada tahun 1993, gelar Doktor telah diraihnya dari Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Berikutnya, jabatan sebagai Direktur Karyasiswa UII dijalani dari 1991 sampai dengan 1993. Pada 1994, UII memilihnya sebagai Pembantu Rektor I untuk masa jabatan 1994-1998. Di tahun 1997-1999, Mahfud tercatat sebagai Anggota Panelis Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Mahfud sempat juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UII pada 1998-2001. Dalam rentang waktu yang sama yakni 1998-1999 Mahfud juga menjabat sebagai Asesor pada Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Puncaknya, Mahfud MD dikukuhkan sebagai Guru Besar atau Profesor bidang Politik Hukum pada tahun 2000, dalam usia masih relatif muda yakni 40 tahun.
Mahfud tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih derajat Doktor pada tahun 1993. Dia meloncat mendahului bekas dosen dan senior-seniornya di UII, bahkan tidak sedikit dari bekas dosen dan senior-seniornya yang kemudian menjadi mahasiswa atau dibimbingnya dalam menempuh pendidikan pascasarjana. Didukung oleh karya tulisnya yang sangat banyak, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun makalah ilmiah, dari Lektor Madya, Mahfud melompat lagi, langsung menjadi Guru Besar. Jika dihitung dari awal menjadi dosen sampai meraih gelar guru besar, Mahfud hanya membutuhkan waktu 12 tahun. Hal itu menjadi sesuatu yang cukup berkesan baginya. Sebab umumnya seseorang bisa merengkuh gelar Guru Besar minimal membutuhkan waktu 20 tahun sejak awal kariernya. Dengan rentang waktu tersebut, Mahfud memegang rekor tercepat dalam sejarah pencapaian gelar Guru Besar. Pencapain itu diraih Mahfud saat usianya baru menginjak 41 tahun. Tidak heran jika pada waktu itu, Mahfud tergolong sebagai Guru Besar termuda di zamannya. Satu nama yang dapat disejajarkan adalah Yusril Ihza Mahendra, yang juga meraih gelar Guru Besar pada usia muda.
Karier Mahfud MD kian cemerlang, tidak saja dalam lingkup akademik tetapi masuk ke jajaran birokrasi eksekutif di level pusat ketika di tahun 1999-2000 didaulat menjadi Pelaksana Tugas Staf Ahli Menteri Negara Urusan HAM (Eselon I B). Berikutnya pada tahun 2000 diangkat pada jabatan Eselon I A sebagai Deputi Menteri Negara Urusan HAM, yang membidangi produk legislasi urusan HAM. Belum cukup sampai di situ, kariernya terus menanjak pada 2000-2001 saat mantan aktivis HMI ini dikukuhkan sebagai Menteri Pertahanan pada Kabinet Persatuan Nasional di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya, Mahfud ditawari jabatan Jaksa Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid tetapi menolak karena merasa tidak memiliki kemampuan teknis. Selain menjadi Menteri Pertahanan, Mahfud sempat pula merangkap sebagai Menteri Kehakiman dan HAM setelah Yusril Ihza Mahendra diberhentikan sebagai Menteri Kehakiman dan HAM oleh Presiden Gus Dur pada 8 Februari 2001. Meski diakui, Mahfud tidak pernah efektif menjadi Menteri Kehakiman karena diangkat pada 20 Juli 2001 dan Senin, 23 Juli, Gus Dur lengser. Sejak itu Mahfud menjadi Menteri Kehakiman dan HAM demisioner.
Ingin mencoba dunia baru, Mahfud MD memutuskan terjun ke politik praktis. Mahfud sempat menjadi Ketua Departemen Hukum dan Keadilan DPP Partai Amanat Nasional (PAN) di awal-awal partai itu dibentuk dimana Mahfud juga turut membidani. Sempat memutuskan untuk kembali menekuni dunia akademis dengan keluar dari PAN dan kembali ke kampus. Meski memulai karier di PAN, Mahfud tak meneruskan langkahnya di partai yang dia deklarasikan itu, justru kemudian bergabung dengan mentornya, Gus Dur di Partai Kebangkitan Bangsa. Tidak menunggu lama, Mahfud dipercaya menjadi Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 2002-2005. Di tengah-tengah kesibukan berpolitik itu, Universitas Islam Kadiri (Uniska) meminang Mahfud MD untuk menjadi Rektor periode 2003-2006. Meski bersedia, namun beberapa waktu kemudian Mahfud mengundurkan diri karena khawatir tidak dapat berbuat optimal saat menjadi Rektor akibat kesibukan serta domisilinya yang di luar Kediri. Kiprahnya terus berlanjut, kali ini di dunia politik, Mahdud terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2004-2008. Mahfud MD bertugas di Komisi III DPR sejak 2004.bersama koleganya di Fraksi Kebangkitan Bangsa. Namun sejak 2008, Mahfud MD berpindah ke Komisi I DPR. Di samping menjadi anggota legislatif, sejak 2006 Mahfud juga menjadi Anggota Tim Konsultan Ahli pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham).
Belum puas berkarier di eksekutif dan legislatif, Mahfud MD mantap menjatuhkan pilihan mengabdi di ranah yudikatif untuk menjadi hakim konstitusi melalui jalur DPR. Setelah melalui serangkaian proses uji kelayakan dan kepatutan bersama 16 calon hakim konstitusi di Komisi III DPR akhirnya Mahfud bersama dengan Akil Mochtar dan Jimly Asshiddiqie terpilih menjadi hakim konstitusi dari jalur DPR. Mahfud MD terpilih menggantikan hakim Konstitusi Achmad Roestandi yang memasuki masa purna tugas. Pelantikannya menjadi Hakim Konstitusi terhitung sejak 1 April 2008, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 14/P/Tahun 2008, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Maret 2008. Selanjutnya, pada pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang berlangsung terbuka di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa 19 Agustus 2008, Mahfud MD terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2011 menggantikan ketua sebelumnya, Jimly Asshiddiqie. Dalam pemungutan suara, Mahfud menang tipis, satu suara yakni mendapat 5 suara sedang Jimly 4 suara. Secara resmi, Mahfud MD dilantik dan mengangkat sumpah Ketua Mahkamah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, pada Kamis 21 Agustus 2008.

Agus Hadi Sudjiwo atau lebih dikenal dengan nama Sujiwo Tejo adalah seorang budayawan Indonesia. Ia adalah lulusan dari ITB. Sempat menjadi wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu berubah arah menjadi seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang. Selain itu ia juga sempat menjadi sutradara dan bermain dalam beberapa film seperti Janji Joni dan Detik Terakhir. Selain itu dia juga tampil dalam drama teatrikal KabaretJo yang berarti “Ketawa Bareng Tejo”. Ia lahir di Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1962.
Dalam aksinya sebagai dalang, dia suka melanggar berbagai pakem seperti Rahwana dibuatnya jadi baik, Pandawa dibikinnya tidak selalu benar dan sebagainya. Ia seringkali menghindari pola hitam putih dalam pagelarannya.
Saat kuliah di jurusan Matematika dan jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, hasrat berkesenian Sujiwo mulai berkembang. Saat itu Sujiwo Tejo menjadi penyiar radio kampus, main teater, dan mendirikan Ludruk ITB bersama budayawan Nirwan Dewanto. Sujiwo Tejo juga menjabat Kepala Bidang Pedalangan pada Persatuan Seni Tari dan Karawitan Jawa di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1981-1983 dan pernah membuat hymne jurusan Teknik Sipil ITB pada Orientasi Studi tahun 1983.
Sujiwo Tejo yang mendalang wayang kulit sejak anak-anak, mulai mencipta sendiri lakon-lakon wayang kulit sebagai awal profesinya di dunia wayang dengan judul Semar Mesem (1994). Ia juga menyelesaikan 13 episode wayang kulit Ramayana di Televisi Pendidikan Indonesia tahun 1996, disusul wayang acappella berjudul Shinta Obong dan lakon Bisma Gugur. Pergumulannya dengan komunitas Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI), memberinya peluang untuk mengembangkan dirinya secara total di bidang kesenian. Selain mengajar teater di EKI sejak 1997, Sujiwo Tejo juga memberikan workshop teater di berbagai daerah di Indonesia sejak 1998. Berlanjut pada tahun 1999, Tejo memprakarsai berdirinya Jaringan Dalang. Tujuannya adalah untuk memberi nafas baru bagi tumbuhnya nilai-nilai wayang dalam kehidupan masyarakat masa kini. Bahkan pada tahun 2004, Sujiwo Tejo mendalang keliling Yunani.
Pada tahun 1998, Sujiwo Tejo mulai dikenal masyarakat sebagai penyanyi (selain sebagai dalang) berkat lagu-lagunya dalam album Pada Suatu Ketika. Video klip “Pada Suatu Ketika” meraih penghargaan video klip terbaik pada Grand Final Video Musik Indonesia 1999, dan video klip lainnya merupakan nominator video klip terbaik untuk Grand Final Video Musik Indonesia tahun 2000. Kemudian diikuti labum berikutnya yaitu Pada Sebuah Ranjang (1999), Syair Dunia Maya (2005), dan Yaiyo (2007).
Selain ndalang, Sujiwo Tejo juga aktif dalam menggelar atau turut serta dalam pertunjukan teater. Antara lain, membuat pertunjukan Laki-laki kolaborasi dengan koreografer Rusdy Rukmarata di Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Utan Kayu, 1999. Sujiwo Tejo juga menjadi Sang Dalang dalam pementasan EKI Dancer Company yang bertajuk Lovers and Liars di Balai Sarbini, Sabtu dan Minggu, 27-28 Februari 2004.
Selain teater, Sujiwo Tejo juga bermain dan menjadi sutradara film. Debut filmnya adalah Telegram (2001) arahan Slamet Rahardjo dengan lawan main Ayu Azhari. Film ini bahkan meraih Best Actress untuk Ayu Azhari dalam Asia-Pacific Film Festival. Kemudian dilanjutkan Kafir (2002), Kanibal (2004) menjadi Dukun Kuntetdilaga, Janji Joni (2005), dan Kala (2007). Bersama Meriam Bellina, Sujiwo Tejo membintangi Gala Misteri SCTV yang berjudul Kafir-Tidak Diterima di Bumi (2004).
Sujiwo Tejo juga menggarap musik untuk pertunjukan musikal berjudul Battle of Love-when love turns sour, yang digelar 31 Mei sampai 2 Juni 2005 di Gedung Kesenian Jakarta. Hasil pertunjukan karya bersama Rusdy Rukmarata (sutradara & koreografer) dan Sujiwo Tejo (komposer musik) akan digunakan untuk membiayai program pendidikan dan pelatihan bagi anak-anak putus sekolah yang dikelola oleh Yayasan Titian Penerus Bangsa. Sujiwo Tejo juga menyutradarai drama musikal yang berjudul ‘Pangeran Katak dan Puteri Impian’ yang digelar di Jakarta Convention Center tanggal 1 dan 2 Juli 2006.

Pandji Pragiwaksono, Lahir di Singapura, 18 Junu 1979 adalah seorang penyiar radio, presenter televisi, dan aktor Indonesia. ia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB angakatan 1997 dan merupakan salah satu alumni SMA Kolese Gonzaga angakatan ke 8. Pandji menikah dengan Gamila pada tahun 2006. Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo mengawali karir sebagai penyiar radio, sebelum kemudian terkenal sebagai pembawa acara reality show KENA DEH dan kuis HOLE IN THE WALL.
Pria yang biasa dipanggil Pandji ini, kemudian juga merilis album perdananya bertajuk PROVOCATIVE PROACTIVE PANDJI. Album yang bergenre Rap dan R&B itu, melibatkan penyanyi jazz Tompi dan istri Pandji sendiri, Gamila Arif yang nimbrung dengan menyanyikan lagu You Think You Know.
Album berisikan dua belas lagu itu merupakan hasil obsesi karyanya yang menurutnya tidak memperhitungkan utung maupun rugi. Bahkan setengah dari tiap pembelian CD akan disumbangkan kepada anak-anak yang menderita kanker melalui C3 atau Community for Children with Cancer.
Lagu ciptaan ayah satu anak yang diproduksi Rizky Record ini di antaranya Bajak Lagu Ini, Morning People feat Steny Agustaf, Dulu Dia Bukan Siapa-Siapa, Ghost Song, Ada Yang Salah feat Tompi, Untuk Indonesia feat Joeniar Arief, Drusteelo, Tabib Qiu, HipHop Help, Mulanya Biasa Saja feat Angga 'Maliq & D`Essentials' Puradireja, Di Bayang Masa Lalu, Kembali Tertawa dan I Know (Kan Kembali).
Pada 2009, Pandji kembali merilis album keduanya, YOU'LL NEVER KNOW WHEN SOMEONE COMES IN AND PRESS PLAY ON YOUR PAUSED LIFE. Dan di awal 2010, pada 21 Januari bersama para penyiar yang tergabung di MRA, Pandji menyumbangkan suaranya di album THIS IS ME, yang merupakan album charity. Penjualan dan keuntungan album ini akan diberikan pada yayasan Onkologi Anak Indonesia.
Pandji Pragiwagsono, menulis sebuah buku di blognya, yang berjudul "Nasional Is Me" dalam tulisan itu saya merasakan bahwa semangat Nasional yang sangat membara dari tulisan-tulisan dia, tulisan-tulisan sangat sederhana tapi itu sangat inspiratif, di dalam bukunya itu dia sangat menonjolkan rasa nasionalisme yang dia punya dan kesederhanaan-kesederhanaan dari dia. Rasa Nasionalisme dijaman sekrang memang sudah sangat menurun, rasa peduli kita tentang namanya nasionalisme itu sudah sangat kurang sekali. seiring perkembangan zaman, rasa nasionalisme itu pun pudar, kebudayaan baru yang sekarang ini masuk jadinya mulai menipis nasionalisme dengan bangsa kita.
Pandji Pragiwaksono merupakan sosok yang membuat saya kagum, dimana dia masih bertahan dengan rasa nasionalisme dia, dan selalu mendengungkan itu dimana-mana, dia pun mempunyai cara sendiri untuk menerbitkan lagu-lagu yang baru saja ia relise, seorang yang kritis dalam menanggapi masalah-masalah yang sedang update sekarang, apalagi dia sekarang ngebawain acara Provoactive proactive beuhh makin keren aja si mas Pandji.

Sabtu, 18 Mei 2013

Presiden di Titik Nol Kekuasaan


Oleh Novri Susan (Sosiolog Unair dan Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia)

Ruang publik Indonesia mengalami eskalasi kegelisahan atas kondisi negara yang semakin parah karena digerogoti oleh jejaring parasit pembangunan, seperti mafia hukum, politikus korup, dan pejabat lemah integritas.

Jejaring parasit tersebut mengacak-acak sistem demokrasi melalui praktik suap, manipulasi hukum dan kebijakan negara. Salah satu tujuannya, mencuri kekayaan negara yang mestinya dimanfaatkan untuk pendanaan pembangunan nasional. 

Pada kondisi ini, di manakah kekuasaan eksekutif presiden? Rakyat tak merasakan hadirnya presiden yang seharusnya mengoptimalkan sumber daya kekuasaan eksekutifnya untuk menyelamatkan negara dari jejaring parasit pembangunan. Rakyat melihat presiden seolah ada di titik nol kekuasaan. Tak bisa berbuat apa-apa; terlihat loyo di hadapan jejaring parasit pembangunan yang kian percaya diri menggerogoti negara. 

Sosok pemimpin negara bisa disebut punya kekuasaan transformatif ketika tak ragu memanfaatkan sumber kekuasaannya untuk melakukan perubahan pada kondisi yang dianggap lebih ideal. Ketidakraguan itu diindikasikan oleh reproduksi praktik politik kreatif dan tegas untuk mencapai perubahan yang divisikan. Sumber-sumber kekuasaan transformatif presiden di Indonesia paling tidak bisa ditemukan dari konstitusi dan legitimasi pemilu. Kedua sumber kekuasaan presiden perlu diterjemahkan secara kreatif ke dalam praktik politik tegas menghadapi jejaring parasit pembangunan. 

Berhadapan dengan jejaring parasit pembangunan seperti Nunun Nurbaeti atau Nazaruddin, misalnya, presiden bisa memandatkan secara tegas kepada Kapolri dan Ketua KPK untuk segera menangkapnya dengan batasan waktu yang jelas. Melalui sumber kekuasaan konstitusinya, presiden bisa memberi Kapolri dan Ketua KPK sanksi jika gagal melaksanakan mandat itu. 

Praktik politik presiden tersebut tak boleh sekadar imbauan, tetapi merupakan praktik politik konkret dan ketegasan seorang pemimpin negara yang memiliki kekuasaan eksekutif. Selama ini, ketika dituntut mengoptimalkan kekuasaan eksekutifnya kepada kepolisian, kejaksaan, atau KPK, Presiden SBY justru menolaknya dengan alasan harus mengikuti prosedur, sesuai mekanisme lembaga, atau taat pada konstitusi. 

Secara normatif alasan-alasan tersebut benar, tetapi salah besar pada perspektif evaluasi tentang konstitusional atau tidak dari praktik politik presiden. Fakta legalnya, kepala dari lembaga-lembaga hukum tersebut diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada kekuasaan presiden. Langkah menekan mereka sebagai permintaan pertanggungjawaban tugas dari presiden adalah konstitusional. 

Tanpa demarkasi 
Fred R Dallmayr (The Promise of Democracy, 2010) secara pedas mengatakan, kekuasaan yang dihasilkan oleh demokrasi sering kali gagal menyelamatkan kondisi negara karena tidak segera menciptakan demarkasi tegas terhadap kekuatan politik jahat. Akibatnya, kekuasaan demokrasi sesungguhnya dimuati dan dipengaruhi oleh kekuatan politik jahat yang licin dan gesit. 

Pada kondisi tersebut, kekuasaan demokrasi hanya mampu menciptakan ilusi tanpa harapan bagi rakyatnya. Kekuasaan menabur janji manis untuk menenangkan kegelisahan rakyat. Namun negara tetap berada dalam keadaan lemah atau gagal menciptakan kemakmuran rakyat karena digerogoti kekuatan politik jahat yang menyatu dengan kekuasaan demokrasi. Melalui teori Dallmayr, tampaknya SBY tak mampu mempraktikkan kekuasaan transformatif karena tak punya demarkasi dengan kekuatan politik jahat, termasuk di dalamnya dengan jejaring parasit pembangunan. 

Faktanya, pemerintahan SBY melakukan koalisi politik tidak berdasarkan pada kesamaan visi menciptakan negara kuat demokratis, tetapi sebagai hasil dari transaksi politik yang sarat skandal kekuasaan. Bagaimana mungkin presiden mempraktikkan kekuasaan transformatif jika di dalam lingkaran kekuasaannya tumbuh kuat jejaring parasit pembangunan? Pada realitas inilah presiden memang berada di titik nol kekuasaan eksekutif, yang tidak mampu menciptakan negara kuat dan demokratis. 

Pada kenyataannya, kekuasaan hasil demokrasi Indonesia sekarang ini tak memiliki demarkasi dengan kekuatan politik jahat, bahkan jejaringnya menyatu dalam lingkaran kekuasaan. Upaya membangun demarkasi jelas membutuhkan improvisasi radikal praktik politik presiden. 

Misalnya, presiden harus berani memberikan komando penindakan tegas para elite politik dan pejabat semua lembaga yang terindikasi melakukan praktik korupsi tanpa pandang bulu. Perlawanan pasti akan muncul, apalagi jika presiden dianggap punya dosa malapraktik kekuasaan selama periode pemerintahannya. Namun, demi kepentingan menyelamatkan negara, presiden seharusnya berdiri paling depan menghadapi segala risiko.

Peringatan Dini Sosial


Sebagai negara dengan penduduk dari berbagai kelompok dan kelas sosial, sejak awal Indonesia rawan mengalami berbagai bentuk disintegrasi sosial.
Dua dekade terakhir konflik sering terjadi karena berbagai sebab. Konflik horizontal ataupun vertikal bahkan terjadi dalam skala yang sangat keras, menyebabkan kerusakan fasilitas publik dan hilangnya nyawa.
Apa sebetulnya penyebab terjadinya konflik? Adakah mekanisme deteksi dini yang bisa dikembangkan untuk meredam terjadinya konflik dan menumbuhkan hubungan sosial yang damai dan saling menghargai?
Persepsi sumber konflik
Sepuluh tahun terakhir konflik bisa terjadi dalam berbagai bentuk dengan berbagai dimensi pemicu: ekonomi, politik, budaya, dan ideologi. Konflik-konflik yang berdimensi ekonomi dan politik acap kali terkait dengan siapa mendapat apa, siapa kehilangan apa, dan berapa banyak kehilangannya. Konflik berdimensi ekonomi cenderung bersifat riil. Konflik yang berdimensi budaya dan ideologi memiliki aspek yang lebih fundamental dan karena itu cenderung abstrak.
Bentuk-bentuk aksi para pihak yang terlibat konflik sangat bergantung pada bagaimana mereka melihat sumber, tujuan konflik, dan cara penyelesaian konflik. Secara teoretis, apa pun jenis konfliknya, ada dua elemen utama yang sering berkombinasi menjadi sumber hakiki konflik.
Pertama, elemen identitas atau potent identity-based factors. Kelompok-kelompok sosial dimobilisasi dengan membawa identitas komunal kelompok, seperti ras, agama, ideologi, dan kepentingan kelompok.
Kedua, elemen persepsi terhadap distribusi sumber ekonomi, politik, dan sosial dalam masyarakat. Ketika elemen potent identity-based factors dan elemen persepsi tentang ketidakadilan ekonomi-sosial ini bercampur, potensi konflik menjadi sangat tinggi dan memicu konflik yang mengakar (deep-rooted conflict).
Di Indonesia, konflik identitas yang berlatar belakang isu SARA paling potensial meledak. Isu Kristenisasi, pelarangan pembangunan gereja di sejumlah wilayah, syak wasangka antarkelompok pemeluk agama, isu pribumi versus nonpribumi, dan sejenisnya adalah hal-hal yang masih sering muncul.
Karakteristik konflik horizontal yang berdimensi identitas adalah sifatnya yang persisten dan sering tumpang-tindih dengan isu-isu kesenjangan ekonomi. Konflik-konflik yang berbasis SARA ini bercampur dengan konflik distribusi sumber produksi, wilayah, ekonomi, dan prospek lapangan kerja sehingga penanganannya lebih rumit.
Dalam konflik (latent) ideologi, seperti di Temanggung, Jawa Tengah, dan Pandeglang, Banten, salah satu faktor penting adalah menyangkut persepsi. Inilah penentu apakah hubungan antarkelompok mengarah pada tindak kekerasan atau tidak.
Di berbagai daerah, ada kecenderungan kelompok agama tertentu dianggap ancaman terhadap stabilitas, kelangsungan hidup, kedaulatan, kultur, sosial, dan kepentingan vital lain sehingga pada tingkat kelompok kompromi sulit dicapai.
Sistem peringatan dini
Agar konflik tidak berkembang, yang dibutuhkan adalah mekanisme sistem peringatan dini sosial (social early warning system). Prinsip dasar mekanisme deteksi dini adalah pemerintah secara proaktif mendeteksi, memantau, menganalisis, dan menangani setiap benih konflik sedini dan secepat mungkin.
Deteksi dini diutamakan pada titik-titik kelompok strategis di tingkat lokal ataupun pada titik-titik persentuhan pemerintah dengan masyarakat lokal. Dalam pengembangan mekanisme peringatan dini, beberapa hal perlu mendapat perhatian.
Pertama, menentukan siapa yang pantas menjadi penghubung dan pendeteksi kemungkinan terjadinya keresahan sosial di masyarakat. Pendeteksi tidak harus aparat keamanan, tetapi bisa juga berasal dari orang-orang yang benar-benar mengenali daerahnya.
Dalam hal ini, kelompok-kelompok sekunder di masyarakat, seperti organisasi berbasis komunitas (community based organization), tokoh masyarakat, dan tokoh agama potensial menjadi pemantau. Tugas pendeteksi menjadi mata dan telinga atas berbagai desas-desus dan ketidakpuasan warga masyarakat.
Kedua, menentukan dan menawarkan kepada masyarakat bentuk penyaluran keluhan keresahan sosial. Dari yang informal, semi-informal, hingga formal. Yang penting, saluran benar-benar dipercaya masyarakat, transparan, serta melindungi identitas dan keselamatan warga masyarakat yang melaporkan keresahan di wilayahnya.
Posisi pemerintah daerah, baik di tingkat desa, kecamatan, maupun tingkat yang lebih tinggi, tidak boleh serba dominan, apalagi represif. Pejabat setempat harus bijak dan apa pun keluhannya justru harus direspons secara proporsional.
Tentang penulis:
Bagong Suyanto, Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

Negara Mabuk


Makin lemah negara memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, makin rentan masyarakat oleh menjamurnya kekerasan sosial. Bila negara tak mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyat—pangan, identitas, pengakuan sosial, dan keamanan—akan muncul gerakan individu atau masyarakat mengambil alih dengan caranya sendiri. Cara yang cenderung muncul adalah praktik liar yang menegasi norma dan hukum negara: 
perampokan, penodongan, pemerasan, bahkan separatisme. 

Adalah fakta selama ini bahwa negara yang direpresentasikan lembaga-lembaga kekuasaan tak berbuat banyak memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Kebijakan negara banyak bertentangan dengan kepentingan umum dan hukum negara hanya memberi keadilan kepada yang bisa membeli. Kita seperti hidup di negara mabuk yang kehilangan akal sehat dan rasa kemanusiaan. 

Desakralisasi demokrasi 
Kekuasaan negara di Indonesia adalah hasil implementasi demokrasi melalui pemilu yang diakui dan dikagumi dunia internasional. Sebagai bukti, pada 2007 Indonesia meraih penghargaan dari Asosiasi Konsultan Politik Internasional sebagai negara demokratis. Pujian para pemimpin dunia sering muncul di podium resmi kenegaraan. Namun, pada dasarnya mereka berada di luar kehidupan politik Indonesia, hanya melihat kulit kekuasaan yang dibalut pakaian indah demokrasi bernama pemilu. 

DPR, presiden, dan lembaga hukum sebagai perwujudan negara demokrasi sesungguhnya tak benar-benar demokratis sebab elite kekuasaan terlepas dari rakyat sebagai sumber kekuasaannya. Mereka kini menggunakan kekuasaan semaunya menyangkut kebijakan negara dan bagaimana hukum dilaksanakan. 
Elite kekuasaan di negeri ini telah memutus ikatan transendental dengan rakyat yang meniupkan roh kekuasaan melalui pemilu, seperti antara Sang Pencipta dan hamba-Nya. Jika ikatan transendental itu masih kuat, tentu elite kekuasaan akan selalu mengikuti dan menaati suara umum rakyat. Namun, ikatan itu telah putus. Mereka yang ditiupkan roh kekuasaan telah berkhianat dengan menjadi penguasa-penguasa yang melawan rakyat. Mereka seperti Lucifer, malaikat yang melawan Tuhan di surga. 

Itu sebabnya berbagai praktik kekuasaan selalu bertentangan dengan rakyat. Pemutusan ikatan transendental dengan rakyat bisa dilihat dari meruaknya praktik jahat selama ini di dalam negara. Korupsi M Nazaruddin hanya setitik kasus terbaru dari menyemutnya kasus praktik jahat kekuasaan di Indonesia. 
Saat ikatan transendental elite kekuasaan dengan rakyat terputus, menurut James Hovard dalam Desacralizing Democracy to Save Liberty (2010), demokrasi mengalami desakralisasi. Demokrasi telah didangkalkan dari maknanya sebagai sistem dan nilai yang menjadi penghubung antara rakyat sang peniup roh kekuasaan dan para elite sang hamba. 

Pemilu telah melahirkan elite kekuasaan yang menentang kehendak umum rakyat tentang kemaslahatan. Saat bersamaan rakyat tak mampu mengendalikan elite kekuasaan, entah karena apatis, entah karena gagal menyuarakan tuntutannya sehingga putus asa. Akibatnya, sebagian rakyat berhalusinasi bahwa hidup di masa Orde Baru lebih menyenangkan ketimbang di masa demokrasi yang terdesakralisasi ini. 

Entropi kekuasaan 
Pengabaian negara memenuhi kebutuhan dasar rakyat itu menciptakan entropi kekuasaan, yaitu kerusakan sistem kekuasaan. Entropi kekuasaan mengakibatkan legislatif tak menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan secara optimal, pemerintah eksekutif bekerja lamban mengatasi kemiskinan dan perlindungan sosial, dan lembaga hukum tidak menegakkan hukum secara transparan dan adil. Maka, rakyat seperti hidup di negara mabuk. 

Menurut Pierre Rosanvallon pada Counter Democracy (2008), entropi kekuasaan selalu meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat kepada kekuasaan. Rakyat tak lagi merasa terwakili oleh para legislator dan presiden yang mereka pilih langsung dalam pemilu. Peningkatan ketidakpercayaan ini menemukan pengalaman empirisnya pada kehidupan sehari-hari: miskin, lapangan kerja sempit, hingga lemahnya perlindungan terhadap eksistensi identitas oleh negara. 

Ketidakpercayaan kepada negara merupakan kimia sosial dari berbagai individu atau kelompok sosial untuk mengubah dirinya menjadi ”pejuang liar”. Mereka berupaya memenuhi kebutuhan dasar dengan cara sendiri dan tidak merasa perlu lagi hormat pada aturan negara yang mengharuskan mereka tak mencuri, tak merampok, tak berjudi, atau tak menjadi kurir jual beli narkotika. Jalan utama mengembalikan ikatan transendental antara elite kekuasaan dan rakyat adalah menghapus kekerasan yang meneror negeri. 

Novri Susan Pengajar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

Menuju Ke Arah Hukum Nasional Yang Modern


Soetandyo Wignjosoebroto
Masyarakat manusia berbentuk dalam ujud kesatuan-kesatuan. Di kesatuan-kesatuan itulah manusia-manusia terhimpun, berspesialisasi, dan berkomunikasi. Di situ puluhan anak-anak manusia disosialisasi, dikembangkan kepribadiannya, dan didudukkan ke dalam peran-peran dan status atau posisi masing-masing. Dalam kesatuan-kesatuan itulah anak-anak manusia – yang kini telah menjadi pemegang peran yang memiliki status-status itu – berperilaku menurut kaidah-kaidah yang telah diajarkan dan diketahui olehnya dan kemudian daripada itu juga harus ditaati olehnya. Itulah ketaatan yang tidak selalu bermula karena kesadaran dan kesediaan yang ikhlas untuk patuh, melainkan bisa juga karena “ketakutannya” akan terkena kontrol sosial dan ancaman sanksi yang melekat pada setiap kaidah itu. Berbicara mengenai kesatuan-kesatuan sosial tempat manusia hidup itu, kita tidak dapat membedakannya ke dalam dua tipe ideal paling dasar. Ialah tipe kesatuan sosial yang kecil sebagaimana dicontohkan dalam wujud komunitas-komunitas lokal, dan tipe kesatuan sosial yang berskala besar dan berformat kompleks sebagaimana dicontohkan dalam wujud masyarakat-masyarakat yang teroganisasi dalam bentuk kehidupan bernegara. Kesatuan-kesatuan yang kecil berisi warga-warga yang berjumlah tak lebih dari beberapa belas, atau beberapa puluh, atau sebanyak-banyaknya beberapa ratus saja, sedangkan yang besar berjumlah sampai ratusan ribuan atau bahkan jutaan orang. Dalam perbedaan ini, yang sebenarnya yang paling penting untuk diperhatikan dari sudut kajian sosiologi hukum sesungguhnya bukan besar kecilnya kesatuan-kesatuan itu, akan tetapi konsekuensinya. Apakah itu ? Ialah ciri-ciri pokok yang akan menandai peran-peran dan interaksi-interaksi antar manusia pemegang perang yang terjadi di dalam kesatuan-kesatuan tersebut. Mengkajinya sebagai bahasan teoritik, Emile Durkheim (0958-1917) mengenai masyarakat yang tersusun dari kesatuan-kesatuan kecil itu sebagai kesatuan-kesatuan sosial yang homogen berupa (serupa), namun dengan interaksi dan derajat integrasi antar kesatuan itu yang tidak intensif dan tidak pula erat. Sebabnya tak lain ialah karena masing-masing kesatuan ini amat nyata kalau berkedudukan otonom. Sementara itu, di lain pihak, kesatuan-kesatuan sosial yang kecil-kecil, yang satu sama lain tidak menampakkan keseragaman atau keserupaan. Alih-alih demikian, kesatuan-kesatuan tersebut merupakan unsur-unsur yang heterogen, tak lain karena masing-masing kesatuan.
Hukum dalam Masyarakat Lokal-Tradisional
Telah acapkali dikemukakan bahwa kaidah-kaidah hukum di masyarakat lokal – praindustrial yang tradisional itu – karena tak dikenalnya budaya baca tulis – hanya akan berupa asas-asas umum belaka, yang karena itu pula tak pernah bisa dirumuskan secara eksplisit dan baku. Eksis sebagai asas-asas umum belaka, kaidah-kaidah itu umumnya pula hanya diterima sebagai petunjuk pembeda buruk baik saja, dan hanya bisa disimpan dalam benak ingatan sementara pemuka masyarakat saja untuk kemudian di tafsir-tafsir menurut kebutuhan yang sering bervariasi dari kasus ke kasus. Sementara itu, seiring dengan ciri dan coraknya yang tak tertulis ini, hukum dalam kehidupan masyarakat yang lokal-praindustrial itu mempunyai pula coraknya yang kurang struktural. Dikatakan demikian tak lain ialah karena struktur atau organisasi kekuasaan (yang disebut juga organisasi pemerintahan) yang menunjang eksistensi dan kapasitas operasional hukum dalam masyarakat yang lokal-tradisional ini terbilang masih amat sederhananya. Struktur pemerintahan dalam masyarakat tradisional ini demikian sederhananya, sehingga boleh dibilang bahwa tertib kehidupan di masyarakat ini lebih tampak di kontrol oleh pribadi-pribadi yang diakui sebagai pemuka-pemuka yang karismatik daripada memberikan kesan telah dikontrol oleh suatu sistem organisasi yang impersonal. Tiada kaidah hukum yang tertulis secara pasti, dan tiadanya pula struktur pemerintahan yang terkembang, membawa pula konsekuensi bahwa kebijakan-kebijakan dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pemerintahan di masyarakat-masyarakat praindustrial ini akan lebih condong tertampak sebagai refleksi kepribadian –kepribadian (dari para tokoh pemukanya) dari pada cermin tata perkaidahan yang baku dan berkepastian. Maka, karena lebih terikat pada – -dan diwarnai oleh – - kepribadian pribadi-pribadi pemegang tampuk kekuasaan, tidaklah mengherankan apabila hukum yang diterapkan di dalam masyarakat-masyarakat tradisional ini lebih merupakan “Interpasi-interpasi subyektif yang tak konsisten atas kaidah-kaidah sosial yang berlaku” daripada merupakan “ketentuan-ketentuan yang positif dan relatif baku dan karenanya juga akan terapkan secara konsisten” Dapatlah kemudian dimengerti mengapa tiadanya atau lemahnya organisasi pengolahan hukum dalam masyarakat-masyarakat pra-industri yang berstruktur sederhana itu akan ikut serta merta menyebabkan peran individu dan keluarga tampak lebih menonjol, mengatasi peran lembaga-lembaga kekuasaan yang berposisi mengatasi keluarga-keluarga. Peran keluarga ini tampak sekali dalam berbagai upaya mensosialisasikan kaidah-kaidah sosial ke dalam sanubari generasi keturunan, dan kemudian dari pada itu juga dalam hal melaksanakan kontrol dan penjatuhan sanksi atas dasar kaidah-kaidah adat yang berlaku. Hanya saja kontrol sosial yang mereka laksanakan lazimnya hanya efektif terhadap sesama warga di lingkungannya sendiri. Terhadap keluarga atau warga keluarga lain, keefektifan itu amatlah kecilnya, kecuali apabila keluarga yang bersangkutan merupakan keluarga yang amat jaya dan dapat menundukkan – umumnya atas dasar kekuatan dan kekerasan fisik – keluarga-keluarga lain yang akan dikontrolnya itu). Karena tiadanya organisasi politik yang mengatasi keluarga-keluarga yang ada, maka kontrol-mengontrol antar keluarga-kalaupun tak dikerjakan lewat adu kekuatan dalam proses-proses yang disebut self-redress – akan banyak dikerjakan lewat cara negoisasi (berunding langsung) atau cara mediasi (berunding dengan perantaraan orang ketiga yang berfungsi sebagai juru damai). Penyelesaian sengketa lewat cara adjudikasi, yaitu pemeriksaan perkara dan penjatuhan keputusan peradilan oleh pihak ketiga atas dasar legitimasi kekuasaan pemerintahan yang disebut badan yudisial) tidaklah ditemukan disini. Di tengah kenyataan dan kehidupan yang belum terlalu kompleks dan belum pula mengenal spesialisasi yang berlanjut itu, bolehlah dikatakan bahwa setiap orang di dalam kehidupan komunitas itu adalah “ahli hukum”. Diketahuilah bahwa setiap orang dalam komunitas itu selalu mengetahui – sebagai bagian dari pengetahuan tradisionalnya (yang di dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial disebut the local knowledge) – - apa yang harus dihukumkan dan apa pula yang tidak pernah dipandang oleh khalayak di tempat itu sebagai sesuatu yang selayaknya dihukumkan, baik mengenai ihwal materinya maupun mengenai ihwal prosedur pendayagunaannya. Dari kenyataan inilah datangnya istilah Popular law untuk menyebut hukum yang berkembang sebagai bagian dari adat masyarakat setempat, yang- seperti dikatakan oleh von Savigny – merupakan hukum yang di dalam realitasnya memang ist und wird mit dem Volke. Akan tetapi, karena dunia terus berputar dan alam terus beredar, perubahan-perubahan menuju ke kehidupan baru yang lebih berskala nasional telah menjadikan hukum rakyat seperti itu kehilangan fungsinya. Masyarakat nasional dengan kondisi-kondisi yang lain dan berbeda memerlukan konfigurasi hukum yang lain dan berbeda pula.
Hukum dalam Perkembangannya dalam Kehidupan Nasional Yang Modern
Perkembangan ke arah masyarakat industri telah menumbuhkan kebutuhan akan berlakunya tatanan hukum baru yang lebih memberikan kepastian-kepastian yang memungkinkan prediksi dan perencanaan usaha. Lebih tergerak untuk berorientasi ke masa depan daripada hendak berpaling dan bertahan saja secara konservatif ke keselamatan masa lampau, masyarakat industrial amat mengharapkan terciptanya kaidah-kaidah hukum yang tertulis dan berkepastian, tidak hanya dalam hal rumusan-rumusannya belaka akan tetapi juga dalam hal pemaknaan interpretatifnya. Masyarakat industrial modern yang dikelola secara rasional memang tidak akan dapat bertahan tanpa konsistensi-konsistensi yang mantap. Ditengah kenyataanya seperti itulah tampil mendesaknya kebutuhan dan tuntutan akan dikembangkannya. Sementara itu, tumbuhkembangnya berbagai organisasi kerja yang terspesialisasi di dalam masyarakat industrial, yang serta merta akan meningkatkan heterogenitas kehidupan di dalamnya. Telah menyebabkan berbagai aktivitas di dalam masyarakat industrial, ini tak akan mungkin dilangsungkan tanpa kemampuan pengelolaan sentral yang terorganisasi bersaranakan rujukan normatif yang berotoritas sentral pula. Kemampuan mengorganisasi kehidupan yang tinggi ini pulalah yang menyebabkan masyarakat industri mampu mengembangkan – atau setidak-tidaknya menenggang hadirnya – heterogenitas pada tataran unsur-unsurnya, namun pada saat yang bersamaan mampu pula mengintegrasikan semua yang unsur yang hitrogen itu ke dalam suatu sistem yang berformat besar. Multiplikasi organisasi ini pulalah yang menyebabkan masyarakat industrial kian bersifat struktural, dan berseiring dengan itu juga kian memerlukan pengendalian oleh hukum yang telah dipositifkan, dalam arti tidak hanya terumus jelas-jelas akan tetapi juga berlaku dan diberlakukan baku. Kebutuhan akan kontrol oleh hukum yang baku dan menurut doktrinnya menjamin kepastian ini pada gilirannya berbalik mengharuskan terkembangnya organisasi-organisasi dalam institusi hukum, ialah berbagai badan yang secara klasik dibedakan atas badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudisial. Kompeksitas kehidupan – dari yang lokal – praindustrial ke yang nasional – industrial – telah menyebabkan pula hadirnya kompleksitas dalam konfigurasi institusional hukum. Maka benarlah kiranya apa yang dikatakan oleh Donald Black, The Behavior of law, hlm.86, sebagai salah tesisnya, bahwa Law varies directly with organization. Ini berarti bahwa kian berganda-ganda jumlah dan ragam organisasi di dalam (seperti misalnya yang terjumpai di dalam komunitas-komunitas lokal praindustrial yang tak kompleks) akan kian kecil pula jumlah ragam hukum yang ada dan digunakan didalamnya. Maka dalam kenyataan seperti itu komunitas-komunitas tradisional akan lebih banyak dikuasai oleh kaidah-kaidah sosial yang non- hukum itu dari pada oleh kaidah-kaidah hukum yang berfungsi sebagai rujukan dalam setiap proses adjudikasi. Berbeda dengan masyarakat pra-industrial yang tradisional dan berkeadaan lebih sedenter ( tidak banyak bergerak pindah), kehidupan bermasyarakat industrial dalam tatanan kehidupan bernegara nasional yang modern itu terbilang benar dalam bilangan kehidupan yang bermobilitas tinggi. Hidup di tengah kehidupan bermasyarakat industrial memungkinkan (atau bahkan mengharuskan !) setiap orang untuk selalu bergerak dan berpindah sepanjang waktu, tidak hanya dalam maknanya yang geografik unntuk melintas-lintasi perbatsan negeri, akan tetapi juga acap dalam maknanya yang sosial dan okupasional. Orang-orang kini tidak hanya mudah berpindah tempat tinggal, akan tetapi juga berpindah kegiatan atau pekerjaan, diiringi oleh perubahan posisi serta status sosial yang melekat pada jenis kegiatan dan pekerjaan itu. Maka, berbeda dengan kehidupan dalam komunikasi lokal yang praindustrial yang condong “memaku” orang disuatu tempat dan di suatu posisi, yang lalu mencenderungkan pola hubungan antar – manusia disitu akan lebih mengesankan sifatnya yang seba kontraktual. Menyimak kenyataan mengenai tipe kehidupan yang berbeda seperti yang terpapar di muka itu dapatlah dengan segera dimengerti mengapa nyata pula perbedaan asal-muasal dan fungsi hukum di kedua tipe kehidupan itu. Sebagaimana dikatakan untuk pertama kalinya oleh Henry Maine, hukum dalam masyarakat tradisional itu berorientasi pada status, karena selalu memandang dan memperlakukan seseorang pada posisi atau status tertentu yang telah dipastikan untuknya, dengan segala hak dan Kewajiban yang telah ditetapkan untuk dan melekat pada masing-masing status itu. Sementara itu, hukum dalam masyarakat industrial yang modern itu boleh dipastikan akan selalu berorientasi pada terwujudnya kontrak, karena hukum disini memberikan keluasan kepada masing-masing pelaku hukum untuk secara dinamik menetapkan sendiri hak dan kewajibannya, sesuai dengan posisi hukum yang ingin dipilih dan ditetapkan sendiri oleh masing-masing pihak, lewat kontrak-kontrak yang buat atas dasar kesepakatan bersama secara suka dan rela. Dalam hubungan ini tak salah pulalah apabila dikatakan secara kategorikal bahwa berbeda dengan hukum dalam komunitas lokal yang cenderung berkekuatan eksternal dengan sifatnya yang hendak memaksakan, hukum modern akan cenderung berkekuatan internal (karena berasal dari para pihak sendiri) dengan sifatnya yang hendak tatacara dan syarat-syarat dasar terbentuknya saja.
Doktrin Hukum Modern
Perkembangan hukum yang secara fungsional memenuhi kebutuhan hukum dalam kehidupan masyarakat bernegara nasional yang modern dalam suatu rentang waktu tertentu ternyata tertransformasi dan terkukuhkan sebagai doktrin. Sesungguhnya tertransformasikannya praktik hukum modern – yang semula “cuma” dimaksudkan untuk merespons kebutuhan hukum yang berkembang seiring dengan perubahan zaman – menjadi doktrin ini tak pernah pula lepas dari kenyataan berikut ini. Ialah bahwasannya model hukum yang hendak difungsikan untuk kepentingan kehidupan bernegara nasional yang modern itu adalah juga hasil realisasi cita-cita. Tak ayal sehubungan dengan hal ini, hukum modern adalah sesungguhnya suatu konstruksi konseptual, yang oleh sebab itu tidak hanya bernilai dan bermakna sebagai tradisi yang terwujud sebagai hasil pengalaman dan perkembangan suatu masyarakat modern, melainkan juga sebagai hasil refleksi, model ideal yang dicita-citakan, dan bahkan juga sebagai doktrin atau lebih-lebih lagi lalu menjadi semacam ideologi. Sangat mencita-citakan terwujudnya jaminan akan kepastian, mengatasi kesemena-menaan para penguasa otokratik di masa lalu dalam ihwal penciptaan dan pelaksanaan hukum, para pemikir hukum dan filsafat hukum mengetengahkan dan memperjuangkan ide hukum yang harus berstatus positif, dengan menolak berlakunya kaidah-kaidah sosial yang belum dipositifkan alias “disyahkan” tegas-tegas sebagai hukum dalam bentuk produk perundang-undangan. Inilah pemikiran positivisme yang amat marak pada masa pasca revolusi Perancis, yang serta merta menolak segala pemikiran yang serba metafisik dan – dalam alam pemikiran dan praktik hukum – yang serba metayuridis. Inilah era tatkala dalam teori maupun dalam praktik hukum – yang serba mau bicara mengenai hukum sebagai ius, melainkan hukum sebagai lege atau lex (alias ius yang telah constitutum, dan bukan ius yang masih berstatus constituendum). Inilah konstruksi dasar hukum modern yang liberal, yang disiapkan untuk menata kehidupan bernegara nasional dengan membukakan peluang luas bagi individu-individu warga negara untuk ikut serta dalam pengembangan hukum, baik diranahnya yang publik maupun diranahnya yang privat. Inilah konstruksi dasar yang membawa konsekuensi pada tumbuhkembangnya hukum modern dalam hal substansi maupun dalam hal struktur institusionalnya. Dalam hal substansinya, hukum modern tak cuma mengalami positivasinya melainkan juga sistemasinya sebagai suatu corpus juris yang berkoherensi tinggi sebagaimana dirasionalisasikan lewat pengembangan teori – atau tepatnya – doktrin-doktrinnya ! Mengalami positivisasi dan sistematisasi, hukum nasional yang modern inipun serta merta menuntut pengelolaan dan perawatannya – untuk kepentingan adjudikasi dalam proses-proses yudisial – tidak asal-asalan melainkan yang profesional oleh suatu angkatan ahlinya. Inilah ahli-ahli yang disebut jurists di Eropa Kontinental atau lawyers di Amerika. Pada gilirannya, pengadaan ahli-ahli hukum ini menuntut didirikannya pusat-pusat pelatihan dan pendidikan pada tatanannya yang paling tinggi, ialah tatanan universiter. Jaminan akan berlakunya kepastian hukum dengan langkah-langkah positivisasi dan sistemastisasi sebagaimana diutarakan di muka pada akhirnya memerlukan pengukuhan dan penegakannya pada ranahnya yang politik, dan tidak cukup manakala cuma disokong oleh legitimasi-legitimasinya dari dunia akademi dan atau profesi. Dari sinilah awalnya ide dan ideologi negara hukum, yang kemudian berlanjut dengan positivisasinya Grundnorm di dalam konstitusi-konstitusi. Akan tetapi, baik sebagai konsep maupun sebagai doktrin, apa yang selama ini diketengahkan oleh kaum legis profesional yang liberal dengan aliran positivismenya itu bukannya bisa berlangsung begitu saja tanpa cabaran. Oleh para pengkritiknya, ajaran positivisme yang mengidealkan hukum sebagai suatu institusi yang dapat dikonstruksi dan dikelola sebagai suatu otoritas yang mampu bertindak netral amatlah diragukan kebenarannya. Oleh para pengkritiknya ini, idealisasi hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma yang telah disepakati, yang dengan demikian – berdasarkan prinsip rule of law, dan tidak berdasarkan rule of men (yang para penciptanya sekalipun!) – dipastikan akan mempunyai otoritas internal yang akan mengikat sesiapapun dari pihak manapun, tidaklah bisa diterima begitu saja. Amat dipertanyakan apakah hukum positif seperti ini, sekalipun merupakan hasil kesepakatan (baik sebagaimana terjadi di ruang publik sebagai undang-undang maupun di ruang privat sebagai kontrak) akan benar-benar dipercaya akan bersifat bersifat netral dan akan dapat ditegakkan dengan mudah oleh badan yudisial yang konon berposisi independen dan karena itu tidak akan memihak.