Rabu, 03 April 2013

Sekilas tentang Jeffrey C. Alexander


Sejak masa-masa awal sebagai intelektual, saya telah sibuk dengan problem tindakan sosial dan tertib sosial dan dengan kemungkinan mengembangkan pendekatan untuk problem-problem ini yang bisa menghindari pemikiran ekstrem satu dimensi. Saya selalu yakin bahwa dikotomi ini, meski penting sebagai aliran ideologis di dalam masyarakat demokrasi, dapat diatasi dalam dunia teoritis.
Perhatian teoritisku pertama kali muncul pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, ketika saya berpartisipasi dalam gerakan protes mahasiswa di Harvard College dan Universitas California, Berkeley. Marxisme Kiri Baru (New Left Marxism) merepresentasikan usaha canggih untuk mengatasi ekonomisme Marxisme vulgar. Karena ia mendeskripsikan bagaimana struktur material saling berpenetrasi dengan kultur, personalitas dan kehidupan sehari-hari, Marxisme Kiri Baru yang kita pelajari sendiri menyediakan pelatihan penting pertamaku di jalan menuju sintesis teoritis, yang menandai karir intelektualku.
Pada awal 1970-an, saya kecewa dengan Marxisme Kiri Baru, sebagian karena alasan politik dan empiris. Kiri Baru beralih ke sektarianisme dan kekerasan yang membuatku takut dan tertekan, sedangkan krisis Watergate menunjukkan kapasitas Amerika untuk mengkritisi diri sendiri. Saya memutuskan masyarakat demokrasi kapitalis memberi kesempatan untuk inklusi, pluralisme, dan reformasi yang tidak dapat dibayangkan bahkan dalam versi Kiri Baru dari pemikiran Marxian.
Tetapi ada juga alasan teoritis yang lebih abstrak kenapa saya meninggalkan pendekatan Marxian. Karena saya semakin terlibat dalam teori klasik dan kontemporer, saya menyadari bahwa sintesis ini tercapai lebih karena hyphenating-Marxisme-psikoanalitik, Marxisme-kultural, Marxisme-fenomenologi-ketimbang dengan membuka kategori-kategori sentral dari tindakan dan tatanan. Sesungguhnya, kategori-kategori sentral dari tindakan dan tatanan. Sesungguhnya, kategori-kategori neo-Marxis untuk kesadaran, aksi, komunitas dan kultur adalah semacam kotak hitam. Pengakuan ini membuat saya menuju ke tradisi yang memberi sumber teoritis dari Marxisme Kiri Baru. Saya beruntung dalam upaya ini karena dibimbing oleh Robert Bellah dan Neil Smelser, yang ide-idenya tentang kultur, struktur sosial, dan teori sosiologi sangat mengesankanku dan terus menjadi sumber intelektual hingga kini.
Dalam Theoretical Logic in Sociology (1982-1983) saya memublikasikan hasil dari upaya ini. Ide untuk karya multivolume ini mulai tumbuh pada 1972, setelah pertemuan yang mengesankan dengan masterpiece Talcott Parson, The Structure of Social Action, yang membuat saya bisa melihat problem saya dengan Marxian dengan cara baru. Kelak, dibawah pengawasan Bellah, Smelser, dan Leo Lowenthal, saya bekerja melalui teori klasik dan kontemporer dengan kerangka baru ini.
Ambisi saya dalah Theoretical Logic adalah menunjukkan bahwa Durkheim dan Weber menyediakan teori yang ekspansif tentang kultur yang diabaikan oleh Marx dan Weber sesungguhnya mengembangkan sintesis sosiologis pertama yang riil. Akan tetapi, saya berkesimpulan bahwa Durkheim pada akhirnya bergerak dalam arah idealistik dan bahwa Weber mengembangkan pandangan mekanistik terhadap masyarakat modern. Saya menyatakan bahwa karya Parsons mesti dilihat sebagai usaha modern yang bagus untuk melakukan sintesis ketimbang sebagai teori dalam mode fungsionalis. Tetapi, Parsons juga gagal mencapai sintesis secara meyakinkan, dan membuat teorinya menjadi sangat formal dan berbasis normatif.
Dalam karya saya selama dekade terakhir, saya mencoba mencipta kembali kerangka untuk sintesis tersebut yang saya anggap sebagai harapan karya saya sebelumnya yang belum terpenuhi. Dalam Twenty Lectures: Sociological Theory Since World War II (1987b), saya mengatakan bahwa divisi dalam sosiologi pasca Parsonsian antara teori konflik dan teori ketertiban, pendekatan mikro dan makro, pandangan struktural dan kultural tidak bermanfaat. Pengelompokan ini mengaburkan proses sosial dasar, seperti pergeseran dan dimensi masyarakat yang saling bertentangan, yang selalu saling kait-mengait.
Respon saya terhadap jalan buntu ini adalah kembali ke perhatian asli dari Parsons (Alexander, 1985b; Alexander dan Colomy, 1990a) dan ke perhatian klasik awal (Alexander, 1988a).
Tetapi, dalam mencoba untuk mendorong teori ke dalam fase “pasca-Parsonian” baru, saya juga mencoba untuk melampaui teori klasin dan modern. Pertemuan saya dengan kelompok fenomenologis yang kuat di UCLA, khususnya dengan Harold Garfinkel, merupakan pemicu yang penting. Dalam Action and Its Environment (1987a), yang masih saya anggap tulisan karya teoritis terpenting, saya menyusun kerangka untuk artikulasi kaitan mikro-makro yang baru.
Saya juga berkonsentrasi pada pengembangan teori kultural baru. Pembacaan awal atas karya Cliford Geertz meyakinkan saya bahwa pendekatan ilmu sosial tradisional terhadap kultur adalah terlalu terbatas. Sejak saat itu, pendekatan saya sangat dipengaruhi oleh semiotika, hermenutika, dan pemikiran post-strukturalis. Dengan memasukkan teori-teori dari luar sosiologi, saya mencoba menyusun teori dimana struktur sosial dirasuki oleh kode-kode simbolik dan makna simbolik (lihat Alexander, 1988).
Saya percaya gerakan menuju sintesis teoritis ini sedang dilakukan di seluruh dunia. Dalam dunia pascakomunis, tampaknya penting untuk mengembangkan model-model yang membantu kita memahami demokrasi kita yang kompleks dan inklusif tetapi rapuh. Saya baru-baru ini menyusun teori demokrasi yang menekankan pada dimensi komunal yang saya sebut “masyarakat sipil”. Saya juga memublikasikan koleksi esai yang saya tulis untuk mengkritik berkembangnya relativisme dalam studi-studi manusia. Saya percaya, meski banyak bukti yang bertentangan, bahwa kemajuan adalah dimungkinkan bukan hanya dalam masyarakat tetapi juga dalam sosiologi. Hanya melalui pandangan multidimensional dan sintesis terhadap masyarakatlah kemajuan itu dapat dicapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar