Sejak masa-masa awal sebagai intelektual, saya telah sibuk
dengan problem tindakan sosial dan tertib sosial dan dengan kemungkinan
mengembangkan pendekatan untuk problem-problem ini yang bisa menghindari
pemikiran ekstrem satu dimensi. Saya selalu yakin bahwa dikotomi ini, meski
penting sebagai aliran ideologis di dalam masyarakat demokrasi, dapat diatasi
dalam dunia teoritis.
Perhatian teoritisku pertama kali muncul pada akhir 1960-an dan
awal 1970-an, ketika saya berpartisipasi dalam gerakan protes mahasiswa di
Harvard College dan Universitas California, Berkeley. Marxisme Kiri Baru (New Left Marxism)
merepresentasikan usaha canggih untuk mengatasi ekonomisme Marxisme vulgar.
Karena ia mendeskripsikan bagaimana struktur material saling berpenetrasi dengan
kultur, personalitas dan kehidupan sehari-hari, Marxisme Kiri Baru yang kita
pelajari sendiri menyediakan pelatihan penting pertamaku di jalan menuju
sintesis teoritis, yang menandai karir intelektualku.
Pada awal 1970-an, saya kecewa dengan Marxisme Kiri Baru,
sebagian karena alasan politik dan empiris. Kiri Baru beralih ke sektarianisme
dan kekerasan yang membuatku takut dan tertekan, sedangkan krisis Watergate
menunjukkan kapasitas Amerika untuk mengkritisi diri sendiri. Saya memutuskan
masyarakat demokrasi kapitalis memberi kesempatan untuk inklusi, pluralisme,
dan reformasi yang tidak dapat dibayangkan bahkan dalam versi Kiri Baru dari
pemikiran Marxian.
Tetapi ada juga alasan teoritis yang lebih abstrak kenapa saya
meninggalkan pendekatan Marxian. Karena saya semakin terlibat dalam teori
klasik dan kontemporer, saya menyadari bahwa sintesis ini tercapai lebih karena
hyphenating-Marxisme-psikoanalitik, Marxisme-kultural,
Marxisme-fenomenologi-ketimbang dengan membuka kategori-kategori sentral dari
tindakan dan tatanan. Sesungguhnya, kategori-kategori sentral dari tindakan dan
tatanan. Sesungguhnya, kategori-kategori neo-Marxis untuk kesadaran, aksi,
komunitas dan kultur adalah semacam kotak hitam. Pengakuan ini membuat saya
menuju ke tradisi yang memberi sumber teoritis dari Marxisme Kiri Baru. Saya
beruntung dalam upaya ini karena dibimbing oleh Robert Bellah dan Neil Smelser,
yang ide-idenya tentang kultur, struktur sosial, dan teori sosiologi sangat
mengesankanku dan terus menjadi sumber intelektual hingga kini.
Dalam Theoretical Logic in Sociology (1982-1983) saya memublikasikan hasil
dari upaya ini. Ide untuk karya multivolume ini mulai tumbuh pada 1972, setelah
pertemuan yang mengesankan dengan masterpiece Talcott Parson, The
Structure of Social Action, yang membuat saya bisa melihat problem
saya dengan Marxian dengan cara baru. Kelak, dibawah pengawasan Bellah,
Smelser, dan Leo Lowenthal, saya bekerja melalui teori klasik dan kontemporer
dengan kerangka baru ini.
Ambisi saya dalah Theoretical Logic adalah menunjukkan bahwa Durkheim dan
Weber menyediakan teori yang ekspansif tentang kultur yang diabaikan oleh Marx
dan Weber sesungguhnya mengembangkan sintesis sosiologis pertama yang riil.
Akan tetapi, saya berkesimpulan bahwa Durkheim pada akhirnya bergerak dalam
arah idealistik dan bahwa Weber mengembangkan pandangan mekanistik terhadap
masyarakat modern. Saya menyatakan bahwa karya Parsons mesti dilihat sebagai
usaha modern yang bagus untuk melakukan sintesis ketimbang sebagai teori dalam
mode fungsionalis. Tetapi, Parsons juga gagal mencapai sintesis secara
meyakinkan, dan membuat teorinya menjadi sangat formal dan berbasis normatif.
Dalam karya saya selama dekade terakhir, saya mencoba mencipta
kembali kerangka untuk sintesis tersebut yang saya anggap sebagai harapan karya
saya sebelumnya yang belum terpenuhi. Dalam Twenty Lectures: Sociological
Theory Since World War II (1987b), saya mengatakan bahwa divisi dalam sosiologi
pasca Parsonsian antara teori konflik dan teori ketertiban, pendekatan mikro dan
makro, pandangan struktural dan kultural tidak bermanfaat. Pengelompokan ini
mengaburkan proses sosial dasar, seperti pergeseran dan dimensi masyarakat yang
saling bertentangan, yang selalu saling kait-mengait.
Respon saya terhadap jalan buntu ini adalah kembali ke perhatian
asli dari Parsons (Alexander, 1985b; Alexander dan Colomy, 1990a) dan ke
perhatian klasik awal (Alexander, 1988a).
Tetapi, dalam mencoba untuk mendorong teori ke dalam fase
“pasca-Parsonian” baru, saya juga mencoba untuk melampaui teori klasin dan
modern. Pertemuan saya dengan kelompok fenomenologis yang kuat di UCLA,
khususnya dengan Harold Garfinkel, merupakan pemicu yang penting. Dalam Action
and Its Environment (1987a), yang masih saya anggap tulisan karya teoritis
terpenting, saya menyusun kerangka untuk artikulasi kaitan mikro-makro yang
baru.
Saya juga berkonsentrasi pada pengembangan teori kultural baru.
Pembacaan awal atas karya Cliford Geertz meyakinkan saya bahwa pendekatan ilmu
sosial tradisional terhadap kultur adalah terlalu terbatas. Sejak saat itu,
pendekatan saya sangat dipengaruhi oleh semiotika, hermenutika, dan pemikiran
post-strukturalis. Dengan memasukkan teori-teori dari luar sosiologi, saya
mencoba menyusun teori dimana struktur sosial dirasuki oleh kode-kode simbolik
dan makna simbolik (lihat Alexander, 1988).
Saya
percaya gerakan menuju sintesis teoritis ini sedang dilakukan di seluruh dunia.
Dalam dunia pascakomunis, tampaknya penting untuk mengembangkan model-model
yang membantu kita memahami demokrasi kita yang kompleks dan inklusif tetapi
rapuh. Saya baru-baru ini menyusun teori demokrasi yang menekankan pada dimensi
komunal yang saya sebut “masyarakat sipil”. Saya juga memublikasikan koleksi
esai yang saya tulis untuk mengkritik berkembangnya relativisme dalam
studi-studi manusia. Saya percaya, meski banyak bukti yang bertentangan, bahwa
kemajuan adalah dimungkinkan bukan hanya dalam masyarakat tetapi juga dalam
sosiologi. Hanya melalui pandangan multidimensional dan sintesis terhadap
masyarakatlah kemajuan itu dapat dicapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar