Sementara berbagai perkembangan yang
dibahas terdahulu menjadi semakin penting pada akhir abad 20, pada bagian ini
akan dijelaskan empat gerakan besar yang menjadi sangat penting dalam
dekade-dekade itu, keempatnya adalah integrasi mikro-makro, integrasi agen-struktur,
sintesis teori, dan metateori dalam sosiologi.
Integrasi Mikro-Makro
Banyak sekali karya paling akhir dalam
teori sosiologi Amerika yang memusatkan perhatian pada hubungan antara
teori-teori mikro dan makro serta menyatukan antara berbagai tingkat analisis
(Barnes, 2001). Ritzer (1990a) hendak menegaskan bahwa hubungan mikro-makro
muncul sebagai masalah sentra] dalam teori sosiologi Amerika pada 1980-an dan
terus menjadi sasaran perhatian pada 1990-an. Kontribusi penting untuk
karya-karya Amerika kontemporer tentang hubungan mikro-makro ini adalah
kontribusi sosiolog Eropa, Norbert Elias (1939/1994) terhadap pemahaman kita
mengenai hubungan antara cara analisis tingkat mikro-makro dan keadaan tingkat
makro (Kilminster dan Mennell, 2000; van Krieken, 2001). Ada sejumlah contoh
terakhir dari upaya mengembangkan tingkat analisis dan atau teori mikro-makro
ini. Ritzer (1979,1981a) mencoba membangun sebuah paradigma sosiologi yang
terintegrasi dengan mengintegrasikan tingkat mikro-makro, baik dalam bentuk
objektifnya maupun subjektifnya. Dengan demikian menurut pandangan saya ada
empat tingkatan utama analisis sosial yang harus dijelaskan menurut cara yang
terintegrasi: subjektivitas makro, objektivitas makro, fubjektivitas mikro, dan
objektivitas mikro. Jeffrey Alexander (1982-83) telah menciptakan sosiologi
multidimensional yang, paling tidak sebagian, sependapat dengan model tingkatan
analisis yang sangat menyerupai model yang dikembangkan Ritzer. James Coleman
(1986) berkonsentrasi pada masalah integrasi mikro ke makro, sedangkan Allen
Liska (1990) memperluas pendekatan Coleman untuk membahas problem mikro ke
makro: Coleman (1990) memperluas model mikro makronya dan mengembangkan teori
yang jauh lebih rinci tentang bubungan mikro makro berdasarkan pendekatan
pilihan rasional yang berasal dari ilmu ekonomi.
Integrasi Agen-Struktur
Sejalan dengan pertumbuhan minat
terhadap analisis integrasi mikro makro di Amerika, di Eropa orang memusatkan
perhatian pada analisis integrasi agen struktur (Sztompka, 1994). Sebagaimana
Ritzer melihat masalah mikro-makro sebagai masalah sentral dalam teori di
Amerika, Margaret Archer (1988) melihat topik agen-struktur sebagai sasaran
perhatian utama dalam teori sosial Eropa. Meski banyak kesamaan antara
literatur mikro makro dan agen struktur (Ritzer dan Gindoff, 1992,1994), namun
ada juga perbedaan substansialnya. Misalnya, meski agen biasanya adalah aktor
tingkat mikro, kehidupan kolektif seperti organisasi buruh pun dapat menjadi
agen. Dan meski struktur biasanya merupakan fenomena tingkat makro, kita pun
dapat menemukan struktur di tingkat mikro. Jadi, kita harus hati-hati dalam
menyamakan kedua kumpulan model analisis ini, dan diperlukan ketelitian dalam
menghubungkan keduanya. Ada empat upaya analisis utama dalam teori sosial Eropa
masa kini yang dapat dihimpun di bawah topik integrasi agen struktur. Pertama
adalah teori strukturasi (structuration) Anthony Giddens (1984). Kunci
pendekatan Giddens adalah bahwa ia melihat agen dan struktur sebagai dualitas,
artinya keduanya dapat dipisahkan satu sama lain. Agen terlibat dalam struktur
dan struktur melibatkan agen. Giddens menolak untuk melihat struktur semata
sebagai pemaksa terhadap agen (misalnya, seperti Durkheim), tetapi melihat
struktur baik sebagai pemaksa maupun penyedia peluang. Margaret Archer (1982)
menolak pendapat yang menyatakan agen dan struktur dapat dipandang sebagai
dualitas, tetapi lebih melihatnya sebagai dualisme. Artinya, agen struktur
dapat dan mesti dipisahkan. Dengan memisahkannya kita akan lebih mampu
menganalisis hubungannya satu sama lain. Archer (1988) juga terkenal karena
memperluas literatur agen struktur untuk menganalisis hubungan antara kultur
dan agen dan karena mengembangkan teori agen-struktur umum (Archer, 1995). Giddens
dan Archer adalah orang Inggris, sedangkan tokoh utama ketiga yang terlibat
dalam kajian hubungan agen-struktur ini adalah seorang Perancis, Piere Bourdieu
(Bourdieu, 1977; Bourdieu dan Wacquant, 1992; Swartz, 1997). Dalam buku
Bourdieu, masalah agen struktur diterjemahkan menjadi pemusatan perhatian
terhadap hubungan antara habitus dan bidang atau lapangan (field). Habitus
adalah struktur mental atau kognitif yang diinternalkan (internalized), yang
melaluinya individu memahami kehidupan sosial. Habitus menghasilkan dan dihasilkan
oleh bermasyarakat. Lapangan adalah jaringan hubungan antara berbagai posisi
objektif. Struktur lapangan membantu memaksa atau meng- hambat agen, yang
mungkin individual atau kolektif. Secara menyeluruh, Bourdieu memusatkan
perhatian pada hubungan antara habitus dan lapangan. Sementara lapangan
mensyaratkan adanya habitus, habitus merupakan lapangan. Jadi, ada hubungan
dialektis antara habitus dan lapangan. Teoritisi utama terakhir tentang
hubungan agen-struktur adalah pemikir sosial Jerman, Jurgen Habermas. Di atas
telah ditunjukkan Habermas sebagai penyumbang penting bagi pengembangan teori
kritis. Dalam karyanya yang lebih akhir, Habermas (1987a) menjelaskan masalah
agen struktur di bawah judul “kolonisasi kehidupan dunia”. Kehidupan adalah dunia
mikro tempat individu berinteraksi dan berkomunikasi. Sistem sosial mempunyai
akar di dalam kehidupan dunia, tetapi akhirnya sistem tumbuh dengan
mengembangkan ciri-ciri strukturalnya sendiri. Ketika struktur ini tumbuh
dengan bebas dan kuat ia makin lama makin memaksakan pengendaliannya terhadap
dunia kehidupan. Dalam dunia modern, sistem sosial (struktur) menjadi penjajah
kehidupan dunia memaksakan kontrol terhadap kehidupan dunia. Teoritisi yang
dibahas di seksi ini tak hanya yang menonjol dalam masalah agen struktur,
tetapi juga yang menonjol di seluruh dunia (terutama Bourdieu, Giddens, dan
Habermas). Setelah dalam jangka panjang didominasi oleh teoritisi Amerika
(Mead, Parsons, Merton, Homans, dan lain-lain), pusat teori sosial kembali ke
tempat kelahirannya di Eropa. Selanjutnya, Nedelmann dan Sztompka menyatakan
bahwa dengan berakhirnya perang dingin dan kejatuhan komunisme, kita hampir
menyaksikan “era masa keemasan lain sosiologi Eropa” (1993:1). Ini rupanya
didukung oleh fakta bahwa kini karya yang menarik perhatian sejumlah besar
teoritisi dunia berasal dari Eropa. Satu contoh adalah karya Ulrich Beck, Risk
Society: Toward a New Modernity (1992) yang membahas tentang risiko yang belum
pernah terjadi sebelumnya yang dihadapi masyarakat dewasa ini. Jelaslah,
sekurangnya untuk sekarang, pusat teori sosiologi telah beralih kembali ke
Eropa.
Sintetis Teoritis
Gerakan ke arah integrasi mikro makro
dan agen struktur berawal pada 1980-an dan menguat pada 1990-an. Mereka membuka
jalan untuk gerakan lebih luas menuju sintesis teoritis yang dimulai sekitar
awal tahun 1990-an. Lewis (1991) menvatakan bahwa status sosiologi yang relatif
rendah mungkin akibat fragmentasi berlebihan, dan gerakan menuju integrasi yang
lebih kompak dapat meningkatkan status sosiologi. Yang tersirat di sini adalah
upaya besar-besaran untuk menyintesiskan dua atau lebih teori yang berbeda
(misalnya, fungsionalisme struktural dan interaksionisme simbolik). Upaya
seperti itu telah terjadi sepanjang sejarah teori sosiologi (Holmwood dan
Steward, 1994). Namun, ada dua aspek khusus karya sintesis baru dalam teori
sosiologi. Pertama, sintesis yang sngat luas dan tak terbatas pada upaya
sintesis yang terpisah. Kedua, sintesis yang bertujuan menyintesiskan pemikiran
teoritisi yang relatif sempit dan tidak gembangkan teori sintesis besar yang
meliputi semua teori sosiologi. Karya antesis ini muncul di dalam dan di antara
berbagai teori yang didiskusikan ini. Kemudian ada usaha untuk memasukkan
perspektif dari luar sosiologi ke dalam teori sosiologi. Ada karya-karya yang
berorientasi membawa ide-ide biologi ke dalam sosiologi dalam rangka
menciptakan sosiobiologi (Crippen, 1994; Maryanski dan Turner, 1992). Teori
pilihan rasional didasarkan pada ilmu ekonomi, namun telah masuk ke beberapa
bidang, termasuk sosiologi (Coleman, 1990). Teori sistem berakar pada ilmu
pasti, tetapi di akhir abad 20, Niklas Luhmann (1984/1995) telah berusaha
mengembangkan teori sistem yang dapat diterapkan ke dunia sosial.
Memasuki abad 21 para teoritisi sosial
semakin sibuk dengan persoalan apakah masyarakat, dan juga teori-teori, telah
mengalami perubahan dramatis atau tidak. Di satu sisi ada sekelompok teoritisi
(misalnya, Jurgen Habermas dan Anthony Giddens) yang yakin bahwa kita masih
akan terus hidup dalam masyarakat bertipe modern dan karena itu kita dapat
menata teori menurut cara yang ditempuh para pemikir sosial yang telah lama
meneliti masyarakat. Di sisi lain ada sekelompok pemikir (misalnya, Jean
Baudrillard, Jean Francois Lyotard,dan Fredric Jameson) yang berpendapat bahwa
masyarakat telah berubah secara dramatis dan kini kita hidup dalam masyarakat
yang kualitasnya sangat berbeda, yakni masyarakat post-modern. Lebih lanjut
mereka menyatakan bahwa masyarakat baru ini harus dipikirkan menurut cara baru
dan berbeda.
Pembela Modernitas
Semua teoritisi sosiologi klasik besar
(Marx, Weber, Durkheim, dan Simmel) memikirkan dunia modern, serta keuntungan
dan kerugiannya. Tentu saja, setelah Weber wafat tahun 1920, dunia berubah
pesat. Meski semua teoritisi masa kini mengakui perubahan pesat itu, namun ada
yang yakin bahwa ada lebih banyak kontinuitas ketimbang diskontinuitas antara
dunia kini dan dunia yang muncul di ujung abad 20. Mestrovic (1998:2) memberi
label Anthony Giddens sebagai “pangeran modernitas”. Giddens (1990,1991,1992)
menggunakan istilah seperti modernitas “radikal” atau “tinggi”, untuk
melukiskan masyarakat dewasa ini dan untuk menandai bahwa ineski masyarakat
modern kini tak persis sama dengan masyarakat modern seperti yang dilukiskan
teoritisi klasik, namun ciri-ciri mendasarnya masih berlanjut. Giddens melihat
modernitas sekarang sebagai “juggernaut” yang lepas kontrol. Ulrich Beck (1992)
berpendapat meski modernitas tahap klasik berhubungan dengan masyarakat
industri, modernitas yang baru muncul ini paling tepat dilukiskan sebagai
“masyarakat berisiko”. Sementara dilema utama dalam modernitas klasik adalah
kekayaan dan bagaimana seharusnya didistribusikan, masalah utamanya ini adalah
pencegahan, minimalisasi, dan penyaluran risiko (misalnya, dari kecelakaan
nuklir). Jurgen Habermas (1981, 1987b) melihat modernitas sebagai proyek yang
belum selesai. Artinya, masalah sentral dalam dunia modern adalah rasionalitas,
sebagaimana pada masa Weber. Tujuan utopianya adalah masih memaksimalkan
rasionalitas sistem dan dunia kehidupan Ritzer pun (2002) melihat rasionalitas
sebagai proses kunci di dunia kini. Akan tetapi, Ritzer memusatkan perhatian
pada masalah peningkatan rasionalitas formal dan bahaya kurungan besi
rasionalitas. Sementara Weber memusatkan perhatian pada masalah birokrasi,
Ritzer melihat paradigma birokrasi seperti restoran cepat saji dan ia
melukiskan peningkatan rasionalitas formal seperti memusatkan perhatian pada
McDonaldisasi masyarakat.
Pendukung Post Modernitas
Pemikiran
post-modernisme sangat panas (Crook, 2001; Ritzer, 1997; Ritzer dan Goodman,
2001; Kellner, 1989a) dan sedemikian panasnya sampai terus-menerus didiskusikan
di berbagai bidang ilmu, termasuk sosiologi, sehingga mungkin telah berada
dalam proses kematiannya (Lemert, 1994b). Perlu dibedakan antara teori sosial
post modern dan post modernitas (Best dan Kellner, 1991). Post-modernitas
adalah sejarah baru yang dianggap telah menggantikan era modern atau
modernitas. Teori sosial post modern adalah cara berpikir baru tentang post
modernitas; dunia sudah demikian berbeda sehingga memerlukan cara berpikir yang
sama sekali baru. Teoritisi post modern cenderung menolak perspektif teoritis
yang dijelaskan di bagian-bagian di atas dan juga menolak cara berpikir untuk
menciptakan teorinya. Cara melukiskan post modernitas ini sama banyaknya dengan
teoritisi sosial post modern. Untuk menyederhanakannya akan dirangkum beberapa
elemen kunci gambaran yang dikemukakan oleh salah seorang teoritisi
post-modernitas terkemuka, Fredric Jameson (1984,1991). Pertama, post
modernitas adalah sebuah dunia yang dangkal, dunia superfisial (misalnya hutan
jelajah di Disneyland tak sama dengan hutan sebenarnya). Kedua, post modernitas
adalah dunia yang kekurangan hubungan kasih sayang dan emosi. Ketiga, lenyapnya
makna tempat seseorang dalam sejarah; sukar membedakan antara masa lalu, masa
kini dan nasa datang. Keempat, modernitas ditandai oleh teknologi produktif,
eksplosif dan meluas (misalnya, perakitan mobil), sedangkan post-modernitas
didominasi oleh teknologi yang implosif, mendatar, dan reproduktif (misalnya,
televisi). Dalam hal ini masyarakat post-modern sangat berbeda dari masyarakat
modern. Perbedaan dunia seperti itu memerlukan cara berpikir yang berbeda pula.
Rosenau (1992; Ritzer, 1992) mendefinisikan mode pemikiran post modern dari
segi hal-hal yang ditentangnya. Pertama, teoritisi post modern menolak jenis
teori-teori besar yang menandai kebanyakan teori sosiologi klasik. Mereka lebih
meyakini penjelasan yang lebih terbatas, atau tanpa penjelasan sama sekali.
Kedua, menolak kecenderungan membatasi antara disiplin ilmu terlibat dalam
sesuatu yang dinamakan teori sosiologi (atau sosial) yang berbeda dari,
katakanlah, pemikiran filsafat atau bahkan dari cerita novel. Ketiga, teoritisi
post modern sering lebih tertarik mengejutkan pembaca ketimbang terlibat dalam
diskusi akademis. Keempat, teoritisi post modern lebih cenderung memusatkan
perhatian pada aspek pinggiran masyarakat ketimbang meneliti inti masyarakat
(katakanlah, rasionalitas atau eksploitasi kapitalis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar