Kategorisasi teori-teori
neo-Marxian, dan bahkan semua teori, agak bersifat arbitrer. Hal itu dijelaskan
di sini dengan fakta bahwa karya tentang sistem dunia yang didiskusikan di
bagian “Sosiologi Ekonomi Neo-Marxian” juga dapat didiskusikan di bagian ini.
Misalnya, ide tentang sistem dunia adalah, antara lain, secara inheren bersifat
spasial, berkaitan dengan diferensiasi global ekonomi dunia. Karya tentang
sistem dunia adalah bagian dari kumpulan karya yang lebih luas yang melibatkan
sejumlah kontribusi penting dari teoritisi neo Marxian terhadap pemahaman kita
tentang ruang (space) dan perannya dalam dunia sosial. Dan ini hanya bagian
dari kebangkitan minat yang lebih terhadap ruang dalam sosiologi (Gieryn, 2000)
dan teori sosial. Dalam bagian ini kita akan membahas beberapa kontribusi utama
untuk area ini di mana neo Marxis berada di garis depan.
Titik awal untuk
pertumbuhan minat dalam ruang dalam teori neo-Marxian (dan teori lainnya)
adalah karya Michel Foucault. Yang menunjukkan bahwa banyak teori, tetapi
khususnya teori Marxian, lebih mengutamakan waktu ketimbang ruang: “Devaluasi
ruang telah mengemuka selama beberapa generasi ini.. .ruang yang dianggap mati,
tetap, tak dialektis, tak bergerak. Waktu sebaliknya, adalah kekayaan,
kesuburan, kehidupan, dialektika” (Fouca; 1980b:70). Implikasinya adalah ruang,
bersama waktu, seharusnya diberi hak yang sama dan dianggap kaya, subur, dan
dialektis. Sementara fokusnya mungkin hanya pada waktu (dan sejarah) di masa
lampau, Foucault (1986:22) berpendat “Epos sekarang mungkin terutama akan
berupa epos tentang ruang.” Sesungguhnya, seperti yang akan kita lihat,
Foucault menawarkan sejumlah pandangan penting mengenai ruang dalam diskusinya
tentang topik-topik seperti Carcerfal Archipelago dan Panopticon.
Produksi Ruang
Karya terobosan dalam
teori ruang neo-Marxian adalah The Production of Space karya Henri Lefebvre
(1974/1991). Lefebvre mengatakan bahwa teori Marxian perlu menggeser fokusnya
dari cara-cara produksi ke produksi ruang. Atau dengan kata lain, dia ingin
melihat pergeseran fokus dari hal-hal dalam ruang (misalnya, cara-cara produksi
seperti pabrik) ke produksi ruang aktual itu sendiri. Teori Marxian perlu
memperluas perhatiannya dari produksi (industri) ke produksi ruang. Ini adalah
cerminan dari fakta bahwa fokus perlu digeser dari produksi ke reproduksi.
Ruang berfungsi dengan berbagai macam cara untuk mereproduksi sistem kapitalis,
struktur kelas di dalam sistem ekonomi, dan sebaliknya. Jadi, setiap aksi
revolusioner harus berhubungan dengan restrukturisasi ruang.
Aspek kunci dari argumen
Lefebvre yang kompleks itu terletak dalam tiga perbedaan berikut ini. Dia mulai
dengan praktik spasial (spatial practice), yang menurutnya melibatkan produksi
dan reproduksi ruang. Yang melapisi dan akhirnya mendominasi praktik spasial
adalah apa yang dinamakan Lefebvre sebagai representasi ruang (representation
of space). Ini adalah ruang sebagaimana dibayangkan oleh elite masyarakat
seperti perencana tata kota dan arsitek. Mereka menganggapnya sebagai “ruang sesungguhnya”,
dan dipakai oleh mereka dan oleh yang lainnya untuk mencapai dan mempertahankan
dominasi. Jadi, misalnya, perencana tata kota mendesain, secara teoritis, untuk
menggusur rumah-rumah kaum miskin yang kumuh dan menggantikannya dengan perumahan
yang jauh lebih baik dan modern. Akan tetapi, pembaruan kota itu kemudian
disebut “pembongkaran urban”. Kelompok miskin digusur untuk membuka perumahan
baru, tetapi ketika perumahan baru itu telah dibangun, perumahan itu sering
kali diperuntukkan bagi keluarga kelas menengah atas perkotaan. Sering kali
kelompok miskin ini harus pindah ke daerah baru, dan sering kali mendapatkan
rumah yang tak lebih baik daripada yang mereka tinggalkan. Mereka juga terpaksa
beradaptasi dengan daerah baru, komunitas, dan tetangga baru. Jadi, “praktik
spasial” terhadap kaum miskin secara radikal diubah oleh “representasi ruang”
dari mereka yang mendukung, menciptakan, dan mengimplementasikan pembaruan
urban.
Representasi ruang
mendominasi bukan hanya atas praktik spasial, tetapi ruang-ruang
representasional (representational spaces). Sementara representasi ruang adalah
ciptaan dari kelompok dominan, ruang representasional berasal dari pengalaman
hidup orang khususnya dari kalangan bawah atau klendestin. Seperti yang telah
kita lihat, sementara representasi ruang dianggap sebagai “ruang sesungguhnya”
oleh pemegang kekuasaan, representasi ruang itu lalu menghasilkan “kebenaran
ruang”. Yakni, mereka mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam
pengalaman hidup ketimbang sebuah kebenaran abstrak yang diciptakan oleh
seseorang seperti perencana tata untuk meraih dominasi. Akan tetapi, dalam
dunia kontemporer, representasi ruang, sebagaimana praktik ruang, menderita
karena hegemoni representasi ruang. Dalam kenyataannya, Lefebvre
(1974/1991:398) melanjutkan dengan mengatakan, “ruang representasional lenyap
di dalam representasi ruang”. Jadi problem utama menurut Lefebvre adalah
pradominasi dari elite representasi ruang atas praktik spasial sehari-hari dan
ruang-ruang representasional. Lebih jauh, jika ide-ide baru dan berpotensi
revolusioner yang mengalir dari ruang representasional lenyap, bagaimana
hegemoni elite seperti perencana tata bisa ditandingi, apalagi digoyahkan ? Meski
acara yang dikemukakan di atas adalah cara ideal untuk membahas ruang, Lefebvre
memberikan perbedaan tripartit kedua yang membahasnya dalam sudut pandang yang
lebih material, lebih optimis. Sejajar dengan gagasan Marx tentang spesies
manusia, Lefebvre mulai dengan apa yang dinamakan spesies absolut, atau ruang
natural (yakni area “hijau”) yang tak dapat dikolonsasi, diubah menjadi tak
autentik, atau dihancurkan oleh kekuatan ekonomi dan politik.
Sebagaimana Marx tak
banyak menganalisa species-being (dan komunisme), Lefebvre juga tak banyak
mencurahkan perhatian pada waktu absolut. Sementara Marx mencurahkan sebagian
besar perhatiannya untuk mengkritik kapitalisme, Lefebvre tertarik untuk
menganalisa secara kritis apa yang dia sebut sebagai ruang abstrak. Seperti
representasi ruang, ini adalah ruang dari sudut pandang subjek abstrak seperti
perencana kota atau arsitek, meskipun subjek abstrak juga bisa berupa orang
biasa seperti pengemydi mobil. Tetapi, ruang abstrak bukan hanya ideasional; ia
secara aktual menggantikan ruang historis (yang didirikan di atas ruang
absolut). Ruang abstrak dicirikan oleh ketiadaan sesuatu yang diasosiasikan
dengan ruang absolut (pohon, udara bersih, dan sebagainya). Ia adalah ruang
represif (bahkan melibatkan brutalitas dan kekerasan), otoritarian, terkontrol,
diduduki, dan didominasi. Lefebvre menekankan pada peran negara lebih besar
ketimbang kekuatan ekonomi dalam menjalankan kekuasaan (power) atas ruang
abstrak, meski pelaksanaan kekuasaan itu tersembunyi. Lebih jauh, “ruang
abstrak adalah alat kekuasaan” (Lefebvre, 1974/1991:391). Yakni, bukan hanya
kekuasaan yang dijalankan di dalamnya, ruang abstrak itu sendiri adalah
kekuasaan (power). Sementara pihak yang berkuasa selalu berusaha mengontrol g,
apa-apa yang baru di sini adalah bahwa “kekuasaan berusaha mengontrol ruang secara
menyeluruh” (Lefebvre, 1974/1991:388). Jadi, kelas penguasa menggunakan ruang
abstrak sebagai alat kekuasaan untuk mendapatkan kontrol atas ruang yang
semakin meluas. Sementara Lefebvre mengurangi tekanan pada faktor dan kekuatan
ekonomi, dia mengakui bahwa kekuasaan dari dan atas ruang abstrak menghasilkan
keuntungan. Yakni, bukan hanya pabrik yang menghasilkan keuntungan, tetapi juga
rel kereta dan jalan layang yang menyediakan ke pabrik untuk pengangkutan bahan
mentah dan produk akhir.
Sebagai teoritisi Marxis
yang baik Lefebvre menekankan pada kontradiksi. Sementara ruang abstrak
berfungsi untuk memperhalus kontradiksi, ia secara stimultan memunculkannya,
termasuk yang berpotensi memecahnya. Meski dia heran mengapa orang menerima
jenis kontrol yang dikenakan atas mereka oleh ruang abstrak dan hanya berdiam
diri, dia tampaknya menerima ide bahwa mereka pada akhirnya akan terpicu untuk
bertindak karena adanya kontradiksi-kontradiksi ini. Seperti dalam analisis
kontradiksi dalam kapitalisme oleh Marx, Lefebvre berargumen bahwa benih ruang
jenis baru ini dapat dilihat di dalam konntradiksi-kontradiksi ruang abstrak.
Jenis ruang baru itu, tipe
ketiga dari ruang yang akan didiskusikan di sini, adalah ruang diferensial.
Sementara ruang abstrak berusaha mengontrol dan mendominasi setiap orang dan
segala sesuatu, ruang diferensial mengasentuasikan perbedaan dan kebebasan dari
kontrol. Sementara ruang abstrak memecah kesatuan natural yang ada di dunia,
ruang diferensial memulihkan kesatuan itu. Sekali lagi, Lefebvre lebih banyak
berbicara tentang apa yang dia kritik—ruang abstrak—ketimbang apa alternatif
yang diharapkannya.
Lefebvre mengatakan bahwa
ruang dapat memainkan berbagai peran dalam dunia sosioekonomi. Pertama, dia
dapat mengambil peran dari salah satu kekuatan produksi (yang lainnya, kekuatan
yang lebih tradisional, adalah pabrik, alat dan mesin). Kedua, ruang itu
sendiri dapat menjadi komoditas luas yang dikonsumsi seperti, misalnya, oleh
turis yang mengunjungi Disneyland), atau dapat dikonsumsi secara produktif
(misalnya, tanah tempat pabrik dibangun). Ketiga, ruang adalah penting secara
politik, memfasilitasi kontrol sistem (pembangunan alan untuk memfasilitasi
gerak maju pasukan untuk memadamkan pemberontakan). Keempat, ruang menopang
reproduksi produksi dan relasi properti misalnya, komunitas mahal untuk
kapitalis dan kampung kumuh untuk orang miskin). Kelima, ruang dapat berbentuk
suprastruktur yang, misalnya, tampaknya netral, tapi menyembunyikan basis
ekonomi yang menghasilkan suprastruktur
dan jauh dari netral.
Jadi, sistem jalan layang mungkin tampaknya netral, namun sesungguhnya
menguntungkan pengusaha kapitalis yang bisa memindahkan bahan baku secara mudah
dan murah. Terakhir, selalu ada potensi positif dalam ruang, seperti penciptaan
karya kreatif dan manusiawi, dan kemungkinan pengambilan kembali ruang atas
nama mereka yang dikontrol dan dieksploitasi.
Produksi ruang menduduki
dua posisi dalam karya Lefebvre. PERTAMA seperti didiskusikan di atas, ia
merupakan fokus baru dari analisis dan kritis. Yakni, perhatian kita akan
bergeser dari cara produksi ke produksi ruang. KEDUA Lefebvre menempatkan ini
dalam term arah perubahan sosial yang diharapkan. Yakni, kita hidup dalam dunia
yang dicirikan oleh mode produksi dalam ruang. Ini adalah suatu dunia dominasi
di mana kontrol dipegang oleh negara, kapitalis dan borjuis. Ini adalah dunia
yang tertutup dan steril, dunia yang dikosongkan dari isinya (misalnya, jalan
layang menggantikan dan menghancurkan komunitas lokal). Dalam sebagai
penggantinya kita memerlukan dunia yang dicirikan oleh produksi ruang. Kita
akan mempunyai dunia di mana penyediaan adalah dominan bukan dominasinya.
Yakni, orang bekerja sama dengan orang lain di dalam dan dengan ruang untuk
menghasilkan apa-apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup dan makmur.
Dengan kata lain, mereka memodifikasi ruang natural dalam rangka menyelamatkan
kebutuhan kolektif mereka. Jadi, tujuan Lefebvre (1974/1991:422) adalah
“memproduksi ruang spesies manusia.. .ruang seluas planet sebagai landasan sosial
dari kehidupan sehari-hari yang transformasikan”. Tak perlu dikatakan lagi,
keadaan politik dan kepemilikan privat atas cara-cara produksi bukanlah
satu-satunya fokus Lefebvre, tetapi juga tujuan politiknya yang mirip dengan
tujuan politik Marx, yakni komunisme.
Trialektika
Edward Soja (1989) sangat
dipengaruhi oleh Foucault dan Lefebvre. Misalnya, seperti Foucault, dia
mengkritik fokus pada waktu (dan sejarah) sebagai penciptaan “carceral
historicism” dan “temporal prisonhouse” (Soja, 1989:1). Dia berusaha
mengintegrasikan studi ruang dan geografi dengan studi waktu. Lefebvre sangat
memengaruhi pemikiran Soja, tetapi Soja kritis terhadap beberapa aspek dari
karyanya dan mencoba melampauinya dalam berbagai cara.
Mungkin inti kontribusi
teoritis Soja (1996, 2000) untuk pemahaman tentang ruang adalah gagasannya
tentang trialektika (trialectics). Soja jelas membangun, mengembangkan, gagasan
dialektika Marxian (dan Hegelian). Akan tetapi, sumber yang lebih dekat adalah
karya Lefebvre, khususnya perbedaan antara praktik spasial, representasi ruang,
dan ruang representasional, seperti yang telah diuraikan di atas. Secara umum
Lefebvre membuat perbedaan antara praktik material dan dua tipe ide tentang
ruang. Soja menggunakan perbedaan dasar ini untuk menyusun teori yang disebut
ruang-kota (cityspace), atau “kota sebagai fenomena historis-sosial-spasial,
tetapi dengan spasialitas intrinsik yang ditekankan untuk tujuan penafsiran dan
penjelasan” (Soja, 2000:8). Definisi ini menggarisbawahi salah satu premis
dasar Soja; yakni, sementara dia mengutamakan ruang, dia ingin memasukkan
analisis (atau waktu pada umumnya) dan sosial ke dalam sejarah. Sementara dia
ingin memasukkan ruang ke dalam analisis sosial, hal itu harus dilakukan tidak
dengan merusak analisis sejarah dan waktu. Lebih jauh, pemasukan relasi sosial
membuat perspektif Soja sama dengan tradisi teori sosiologi dan sosial yang
dibahas disini.
Perspektif Firstspace pada
dasarnya adalah berorientasi material yang konsisten dengan pendekatan yang
sering diambil oleh ahli geografi dalam studi perkotaan (dan pemahaman praktik
spasial dari Lefebvre). Demikianlah Soja (2000:lO) mendeskripsikan pendekatan
Firstspace: “Ruang-kota dapat dikaji sebagai seperangkat ‘praktik sosial’ yang
dimaterialisasikan yang bekerja sama untuk memproduksi dan mereproduksi
bentuk-bentuk konkret dan pola-pola urbanisme spesifik sebagai gaya hidup. Di
sini ruang kota secara fisik dan empiris dibayangkan sebagai bentuk dan proses,
sebagai konfigurasi dan praktik kehidupan urban yang dapat diukur dan
dipetakan.” Pendekatan Firstspace berfokus pada fenomena objektif dan
menekankan pada “benda-benda di dalam ruang.”
Sebaliknya, pendekatan
Secondspace (mencakup representasi ruang dan ruang representasional dari
Lefebvre) cenderung lebih subjektif dan berfokus pada “pemikiran tentang
ruang”. Dalam perspektif Secondspace, “ruang-kota menjadi lebih sebagai bidang
mental atau ideasional, dikonseptualisasikan dalam imaji (imagery), pemikiran
refleksif, dan representasi simbolik, sebuah ruang imajinasi yang dibayangkan
(conceived), atau…imajinasi urban” (Soja, 2000:11). Contoh perspektif
Secondspace mencakup peta mental yang kita bawa dalam diri kita, visi utopia
urban, dan metode yang lebih formal untuk mendapatkan dan menyampaikan
informasi tentang geografi kota.
Soja mencoba meringkas
kedua perspektif di atas dalam Thirdspace, yang dilihat sebagai : cara
pemikiran lain tentang produksi sosial atas spasialitas (spatiality) manusia
yang menggabungkan perspektif Firstspace dan Secondspace sementara pada saat
yang sama membuka ruang lingkup dan kompleksitas geografis atau imajinasi
spasial. Dalam perspektif alternatif atau perspektif “ketiga” ini, kekhususan
(spesificity) urbanisme diinvestigasi sebagai ruang yang dihidupkan (lived
space) secara penuh, sekaligus riil dan bayangan, aktual dan virtual, fokus
dari individu yang terstruktur dan pengalaman kolektif dan agen (Soja,
2000:11).
Ini adalah pandangan
tentang ruang-kota (cityspace) yang sangat kompleks. Karena kompleksitasnya dan
karena banyak yang tersembunyi dan tak dapat diketahui, yang bisa kita lakukan
adalah mengeksplorasi ruang-kota secara selektif “melalui dimensi historis,
sosial dan spasial, spasialitasnya, sosialitasnya dan kesejarahannya, yang
saling berkaitan” (Soja, 2000:12). Di sepanjang karirnya ruang kota favorit
Soja adalah Los Angeles, dan dia selalu kembali ke kota itu untuk
menganalisanya dari berbagai perspektif, termasuk pandangan Thirdspacenya yang
integratif.
Ruang-ruang Harapan
Kita memulai bagian ini
dengan poin bahwa kategorisasi teori bersifat agak arbitrer. Sesungguhnya,
karya Edward Soja sesuai dengan satu kategori teori Marxian post modern yang
akan kita bahas di bawah, dan juga cocok untuk kategori analisis spasial
Marxian. Hal sama juga berlaku untuk karya dari pemikir yang akan kita bahas
nanti, David Harvey dan, dalam kenyataannya, kita akan mendiskusikan karyanya
bukan hanya di bawah tajuk ini, tetapi juga tajuk teori Marxian post-modern.
Sesungguhnya Harvey
menghasilkan analisa ruang dalam berbagai bentuk karena karyanya mengalami
beberapa perubahan. Dalam merefleksikan karya awalnya, Harvey menganggap
dirinya lemah dari segi ilmiah, namun mengalami perubahan orientasi pertamanya
pada akhir 1960-an dan menyatakan dirinya seorang positivis yang dibimbing oleh
metode ilmiah dan, akibatnya, berorientasi pada kuantifikasi, pengembangan
teori, penemuan hukum, dan sejenisnya (Harvey, 1969). Akan tetapi, dalam waktu
beberapa tahun Harvey (1973) mengubah paradigmanya dan menolak komitmennya pada
positivisme. Kini dia mendukung teori materialis dengan banyak mengambil dari
Karl Marx.
Seperti yang akan kita
lihat nanti, sementara Harvey bermain-main dengan teori post modern dan jelas
dipengaruhi oleh teori itu dalam banyak hal, mempertahankan komitmennya pada
teori Marxian, dan ini tampak jelas dalam salah satu bukunya yang terbaru,
Spaces of Hope (Harvey, 2000). Salah satu aspek argumen Harvey yang secara
khusus relevan dengan diskusi teori neo Marxian adalah analisis dan kritiknya
terhadap argumen geografis yang disusun dalam Communist Manifesto. Harvey
memandang ide “spatial fix” sebagai ide sentral untuk Manifesto. Yakni,
kebutuhan untuk menciptakan laba tinggi berarti bahwa perusahaan kapitalis
harus, antara lain, terus-menerus mencari area geografis (dan pasar) baru untuk
mengeksploitasi dan menemukan cara yang lebih lengkap untuk mengeksploitasi
area di mana mereka telah beroperasi. Sementara argumen geografis tersebut
menduduki tempat penting dalam Manifesto, mereka secara khas disubordinasikan
dalam “mode retoris yang lebih mementingkan waktu sejarah ketimbang ruang dan
geografi” (Harvey, 2000:24).
Harvey (2000:31) mulai
dengan mengakui kekuatan Manifesto dan pengakuannya bahwa “penataan ulang dan
restrukturisasi geografis, strategi spasial dan elemen geopolitik, perkembangan
geografis yang tak rata, dan sebagainya, adalah aspek-aspek vital untuk
akumulasi modal dan dinamika perjuangan kelas, baik di masa lalu maupun
sekarang.” Akan tetapi, argumen Manifesto tentang ruang (dan soal-soal lainnya)
sangat terbatas, dan Harvey mencoba memperkuatnya dan memperbaruinya.
Misalnya, Harvey
mengatakan bahwa Marx dan Engels beroperasi dengan diferensiasi yang terlalu
sederhana antara area barbad-beradab, dan lebih umum lagi antara
pusat-pinggiran di dunia. Sehubungan dengan itu, Manifesto beroperasi dengan
model difusionis, dengan kapitalisme dilihat sebagai penyebaran dari area
beradab ke barbar, dari pusat ke pinggiran. Sementara Harvey mengakui bahwa ada
contoh difusi seperti itu, ada contoh lainnya, baik di masa lampau maupun
sekarang, di mana perkembangan internal di dalam bangsa-bangsa pinggiran
membuat tenaga kerja dan komoditasnya masuk ke dalam pasar global.
Yang lebih penting, Harvey
(2000:34) mengatakan bahwa “salah satu kekurangan dalam Manifesto adalah ia
kurang memperhatikan organisasi teritorial dunia pada umumnya dan kapitalisme
pada khususnya”. Jadi, pengakuan bahwa negara adalah alat eksekutif dari
kalangan borjuis perlu ditopang dengan pengakuan bahwa “negara harus
didefinisikan secara teritorial, diorganisasikan dan ditata” (Harvey, 2000:34).
Misalnya, provinsi-provinsi yang berhubungan secara longgar harus disatukan
untuk membentuk sebuah bangsa. Akan tetapi, teritori-teritori itu tidak membeku
setelah mereka ditransformasikan menjadi negara. Semua hal mengubah konfigurasi
teritori, termasuk revolusi dalam sarana transportasi dan komunikasi, mengubah
“dinamika perjuangan kelas yang tak seimbang”, dan “anugerah sumber daya yang
tak merata”. Lebih jauh, “aliran komoditas, modal, tenaga kerja, dan informasi
selalu mengubah batas-batas” (Harvey, 2000:35). Jadi, teritori terus-menerus
didefinisikan kembali dan direorganisasikan, dengan akibat bahwa setiap model
yang membayangkan formasi final suatu negara berdasarkan basis teritorial
adalah bayangan yang terlampau menyederhanakan persoalan. Implikasinya adalah
kita perlu menyesuaikan diri terus-menerus terhadap perubahan teritorial di
dunia yang didominasi kapitalisme.
Argumen spasial lainnya
dalam Manifesto adalah bahwa konsentrasi kapitalisme (misalnya, pabrik-pabrik
di kota) menghasilkan konsentrasi proletariat, yang dulunya tersebar di seluruh
negeri. Mungkin tak akan terjadi konflik antara pekerja yang terisolasi dengan
kapitalis, tetapi kemungkinan besar kolektivitas pekerja akan menghadapi
kapitalis, yang diri mereka sendiri mungkin diorganisir dalam kolektivitas.
Jadi, dalam kalimat Harvey (2000:36), “produksi perjuangan spasial tidaklah
netral sehubungan dengan perjuangan kelas.” Akan tetapi, ada banyak yang bisa
dikatakan tentang relasi antara ruang dan perjuangan kelas, dan ini ditunjukkan
dalam sejarah kapitalisme belakangan ini. Misalnya, kapitalis di abad sembilan
belas menyebarkan pabrik dari kota ke sub-urban dalam usaha untuk membatasi
konsentrasi pekerja dan kekuatannva. Dan di akhir abad 20 kita menyaksikan
penyebaran pabrik ke area-area terpencil di dunia dalam usaha untuk memperlemah
proletariat dan memperkuat kapitalis Harvey juga menunjukkan bahwa Manifesto
cenderung berfokus pada proletariat urban dan karena itu mengabaikan daerah
pedesaan dan pekera agrikultural dan petani. Tentu saja, kelompok yang disebut
terakhir itu selama bertahun-tahun telah terbukti aktif dalam gerakan
revolusioner. Lebih jauh, Marx dan Engels cenderung menghomogenkan (homogenize)
buruh dunia, cenderung berargumen bahwa mereka tak punya negara dan bahwa
perbedaan nasional lenyap dalam perkembangan proletariat yang homogen. Harvey
mencatat bahwa bukan hanya perbedaan nasional tetap bertahan, tetapi juga
kapitalisme itu sendiri memproduksi perbedaan nasional (dan lainnya) di antara
pekerja, “terkadang disuburkan oleh perbedaan kultural lama, relasi jender,
kegemaran etnis, dan kepercayaan agama” (Harvey, 2000:40). Selain itu, di sini
tenaga kerja memainkan peran dalam mempertahankan perbedaan spasial dengan,
misalnya, memobilisas. “melalui bentuk organisasi teritorial, pembentukan en
route loyalitas yang terikat oleh tempat” (Harvey, 2000:40). Terakhir, Harvey
memperhatikan seruan terkenal dalam Manifesto untuk pekerja di seluruh dunia
agar bersatu dan menyatakan bahwa mengingat semakin meningkatnya karakter
global dari kapitalisme, seruan itu kini semakin relevan dan lebih penting
ketimbang sebelumnya.
Ini hanyalah bagian kecil
dari berbagai argumen yang dibuat oleh Harvey, tetapi apa yang dia maksudkan
dengan “ruang-ruang harapan”? Pertama, dia ingin menghadapi apa yang
dianggapnya sebagai pesimisme di kalangan sarjana dewasa ini. Kedua, dia ingin
mengakui eksistensi “ruang perjuangan politik” dan karena itu ruang harapan,
dalam masyarakat. Terakhir, dia mendeskripsikan ruang utopian masa depan yang
menawarkan harapan bagi mereka yang peduli pada penindasan ruang dewasa ini.
Jadi,
dalam beberapa cara, Harvey mengembangkan pandangan Marx (dan dalam hal ini
Engels) tentang ruang dan kapitalisme untuk membangun perspektif kontemporer
yang lebih kaya tentang hubungan mereka satu sama lain dalam pengertian itu,
apa yang dilakukan Harvey di sini merupakan contoh yang hampir paradigmatik
dari teori neo-Marxian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar