Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, 21
April 1864, berasal dari keluarga kelas menengah. Perbedaan penting antara
kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan
perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya
relatif penting, dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan
sebagai akibatnya menjauhkan diri dari setiap aktivitas dan dan idealisme
yang memerlukan pengorbanan pribadi atau yang dapat menimbulkan ancaman
terhadap kedudukannya dalam sistem. Lagi pula sang ayah adalah seorang yang
menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam berbagai hal lainnya,
ia bertolak belakang dengan istrinya. Ibu Marx Weber adalah seorang Calvinis
yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan prihatin (asetic)
tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan suaminya. Perhatiannya
kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat; ia terganggu oleh
ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia terganggu oleh
ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia tak ditakdirkan
akan mendapat keselamatan di akhirat. Perbedaan mendalam antara kedua pasangan
ini menyebabkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak besar
terhadap Weber.
Karena tak mungkin menyamakan diri
terhadap pembawaan orang tuanya yang bertolak belakang itu, Weber kecil lalu
berhadapan dengan suatu pilihan jelas (Marianne Weber, 1975:62). Mula-mula ia
memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi kemudian tertarik makin mendekati
orientasi hidup ibunya. Apapun pilihannya, ketegangan yang dihasilkan oleh
kebutuhan memilih antara pola yang berlawanan itu berpengaruh negatif terhadap
kejiwaan Weber. Ketika berumur 18 tahun Weber minggat dari rumah, belajar di
Universitas Heildelberg. Weber telah menunjukkan kematangan intelektual, tetapi
ketika masuk universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemalu dalam
bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup ayahnya dan
bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa ayahnya dulu.
Secara sosial ia mulai berkembang, sebagian karena terbiasa minum bir dengan
teman-temannya. Lagipula ia dengan bangga memamerkan parutan akibat perkelahian
yang menjadi cap kelompok persaudaraan mahasiswa seperti itu. Dalam hal ini Weber
tak hanya menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan hidup ayahnya tetapi
juga pada waktu itu memilih karir bidang hukum seperti ayahnya.
Setelah kuliah tiga semester Weber
meninggalkan Heidelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke Berlin,
ke rumah orang tuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Ia tetap disana
hampir 8 tahun untuk menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph.D., dan
menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam proses itu
minatnya bergeser ke ekonomi, sejarah dan sosiologi yang menjadi sasaran
perhatiannya selama sisa hidupnya. Selama 8 tahun di Berlin, kehidupannya masih
tergantung pada ayahnya, suatu keadaan yang segera tak disukainya. Pada waktu
bersamaan ia beralih lebih mendekati nilai-nilai ibunya dan antipatinya
terhadapnya meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan prihatin (ascetic) dan
memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi. Misalnya, selama satu semester
sebagai mahasiswa, kebiasaan kerjanya dilukiskan sebagai berikut : “Dia terus
mempraktikkan disiplin kerja yang kaku, mengatur hidupnya berdasarkan pembagian
jam-jam kegiatan rutin sehari-hari ke dalam bagian-bagian secara tepat untuk
berbagai hal. Berhemat menurut caranya, makan malam sendiri dikamarnya dengan 1
pon daging sapi dan 4 buah telur goreng” (Mitzman, 1969/1971:48; Marianne
Weber, 1975:105).
Jadi, dengan mengikuti ibunya, Weber
menjalani hidup prihatin, rajin, bersemangat kerja, tinggi dalam istilah modern
disebut Workaholic (gila kerja). Semangat kerja yang tinggi
ini mengantarkan Weber menjadi profesor ekonomi di Universitas Heidelberg pada
1896. Pada 1897, ketika karir akademis Weber berkembang, ayahnya meninggal
setelah terjadi pertengkaran sengit antara mereka. Tak lama kemudian Weber
mulai menunjukkan gejala yang berpuncak pada gangguan safaf. Sering tak bisa
tidur atau bekerja, dan enam atau tujuh tahun berikutnya dilaluinya dalam
keadaan mendekati kehancuran total. Setelah masa kosong yang lama, sebagian
kekuatannya mulai pulih di tahun 1903, tapi baru pada 1904, ketika ia memberikan
kuliah pertamanya (di Amerika) yang kemudian berlangsung selama 6,5 tahun. Weber
mulai mampu kembali aktif dalam kehidupan akademis tahun 1904 dan 1905 ia
menerbitkan salah satu karya terbaiknya. The Protestant Ethic and the
Spirit of Capitalism. Dalam karya ini Weber mengumumkan besarnya pengaruh
agama ibunya di tingkat akademis. Weber banyak menghabiskan waktu untuk belajar
agama meski secara pribadi ia tak religius.
Meski terus diganggu oleh
masalah psikologis, setelah 1904 Weber mampu memproduksi beberapa karya yang
sangat penting. Ia menerbitkan hasil studinya tentang agama dunia dalam
perspektif sejarah dunia (misalnya Cina, India, dan agama Yahudi kuno).
Menjelang kematiannya (14 Juni 1920) ia menulis karya yang sangat
penting, Economy and Society. Meski buku ini diterbitkan, dan telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, namun sesungguhnya karya ini belum
selesai. Selain menulis berjilid-jilid buku dalam periode ini, Weber pun
melakukan sejumlah kegiatan lain. Ia membantu mendirikan German
Sociological Society di tahun 1910. Rumahnya dijadikan pusat pertemuan
pakar berbagai cabang ilmu termasuk sosiologi seperti Georg Simmel, Alfred,
maupun filsuf dan kritikus sastra Georg Lukacs (Scaff, 1989:186:222). Weberpun
aktif dalam aktivitas politik dimasa itu. Ada ketegangan dalam kehidupan Weber
dan, yang lebih penting, dalam karyanya, antara pemikiran birokratis seperti
yang dicerminkan oleh ayahnya dan rasa keagamaan ibunya. Ketegangan yang tak
terselesaikan ini meresapi karya Weber maupun kehidupan pribadinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar