Semua
bidang intelektual dibentuk oleh setting sosialnya. Hal ini terutama untuk
sosiologi, yang tak hanya berasal dari kondisi sosialnya, tetapi juga
menjadikan lingkungan sosialnya sebagai basis masalah pokoknya. Kita akan
memusatkan perhatian pada beberapa kondisi sosial terpenting abad 19 dan awal
abad 20 yang sangat signifikan dalam perkembangan teori sosiologi.
Revolusi Politik
Rentetan
panjang revolusi politik yang dihantarkan oleh Revolusi Perancis 1789 dan
revolusi yang berlangsung sepanjang abad 19 merupakan faktor yang paling besar
perannya dalam perkembangan teori sosiologi. Dampak revolusi politik terhadap
masyarakat sangat dahsyat dan banyak perubahan positif yang dihasilkannya.
Tetapi, yang menjadi sasaran perhatian kebanyakan ahli ilu bukan konsekuensi
positifnya, tetapi efek negatifnya. Para pemikir prihatin dengan munculnya
chaos dan kekacauan yang ditimbulkan revolusi terutama di Perancis. Mereka
bertekad untuk berupaya memulihkan ketertiban masyarakat. Sejumlah pemikir yang
lebih ekstrem saat itu benar-benar ingin kembali ke keadaan seperti Abad
Pertengahan yang penuh kedamaian dan ketertiban. Pemikir yang lebih canggih
menyadari bahwa ada kemungkinan untuk menciptakan perubahan sosial yang dapat
mengembalikan kepada hadaan vang didambakan itu. Karena itu mereka mencoba
menemukan landasan tatanan baru dalam masyarakat yang telah dijungkirbalikkan
oleh revolusi politik abad 18 dan 19. Perhatian terhadap masalah ketertiban
sosial ini menjadi salah satu perhatian utama teoritisi sosiologi klasik,
terutama Comte dan Durkheim.
Revolusi Industri don
Kemunculan Kopitolisme
Revolusi
politik dan revolusi industri yang melanda masyarakat Eropa terutama di abad 19
dan awal abad 20 merupakan faktor langsung yang memunculkan teori sosiologi.
Revolusi industri bukan kejadian tunggal, tetapi merupakan berbagai
perkembangan yang saling berkaitan yang berpuncak pada transformasi dunia Barat
dari corak sistem pertanian menjadi sistem industri. Banvak orang meninggalkan
usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industri yang ditawarkan oleh
pabrik-pabrik yang sedang berkembang. Pabrik itu sendiri telah berkembang pesat
berkat kemajuan teknologi. Birokrasi ekonomi berskala muncul untuk memberikan
pelayanan yang dibutuhkan oleh industri dan sstem ekonomi kapitalis. Harapan
utama dalam sistem ekonomi kapitalis adalah sebuah pasar bebas tempat
memperjualbelikan berbagai produk industri. Di dalam sistem ekonomi kapitalis
inilah segelintir orang mendapat keuntungan sangat besar sementara sebagian
besar orang lainnya yang bekerja membanting tulang dalam jam kerja yang panjang
menerima upah yang rendah. Dari situasi seperti itulah munculnya reaksi
menentang sistem industri dan kapitalisme pada umumnya. Reaksi penentangan ini
selanjutnya diikuti oleh ledakan gerakan buruh dan berbagai gerakan radikal
lain yang bertujuan menghancurkan sistem kapitalis.
Revolusi
industri, kapitalisme dan reaksi penentangan tersebut menimbulkan pergolakan
dahsyat dalam masyarakat Barat. Pergolakan ini pula yang sangat memengaruhi
para sosiolog. Empat tokoh utama dalam sejarah awal teori sosiologi (Marx,
Weber, Durkheim dan Simmel) sangat prihatin terhadap perubahan-perubahan sosial
besar dan berbagai masalah yang ditimbulkannya bagi masyarakat sebagai
keseluruhan. Keempat tokoh ini menghabiskan hidupnya untuk mempelajari masalah
tersebut, dan dalam berbagai kasus mereka berupaya keras mengembangkan program
yang dapat membantu menyelesaikan masalah itu.
Kemunculan Sosialisme
Seperangkat
upaya perubahan yang bertujuan menanggulangi ekses sistem industri dan
kapitalisme itu dapat dimasukkan dalam istilah “sosialisme”. Meskipun beberapa
sosiolog lebih menyukai makna sosialisme sebagai solusi atas masalah industri,
namun sebagian besar sosiolog secara pribadi maupun secara intelektual menentang
pengertian yang demikian. Marx adalah pendukung penghancuran sistem kapitalisme
dan hendak menggantikannya dengan sistem sosialis. Meski Marx tak mengembangkan
teori sosialisme namun ia menghabiskan banyak waktunya untuk mengkritik
berbagai aspek masyarakat kapitalis. Ia pun terlibat dalam berbagai aktivitas
politik yang diharapkannya dapat membantu melahirkan masyarakat sosialis.
Marx
tak sendirian di tahun-tahun permulaan perkembangan teori sosiologi. Sebagian
besar teoritisi di tahun permulaan ini, seperti Weber dan Durkheim, menentang
sosialisme (setidaknya menentang sosialisme seperti yang diimpikan Marx).
Kendati mereka menyadari adanya berbagai masalah dalam masyarakat kapitalis
namun, menurut mereka, mencoba melakukan reformasi di dalam sistem kapitalisme
akan jauh lebih baik ketimbang mengadakan revolusi sosial seperti yang
didesakkan Marx. Mereka lebih mengkhawatirkan sosialisme daripada kapitalisme.
Dalam pembentukan teori sosiologi, ketakutan ini memainkan peran yang lebih
besar ketimbang dukungan Marx terhadap sosialisme sebagai pengganti
kapitalisme. Seperti yang akan kita lihat nanti, sebenarnya, dalam berbagai
kasus, pengembangan teori sosiologi lebih merupakan reaksi yang menentang teori
Marxian dan teori sosialis pada umumnya.
Feminisme
Dalam
satu pengertian, selalu ada perspektif feminis. Di mana pun perempuan
disubordinasikan dan mereka disubordinasikan hampir di mana saja mereka
tampaknya telah mengakui dan memprotes situasi itu dalam berbagai bentuk
(Lerner, 1993). Sementara feminis awal dapat dilacak kembali ke 1630-an,
aktivitas dan tulisan feminis mencapai puncaknya pada gerakan liberalis di
dalam sejarah Barat modern. Gelombang pertama produktivitas ini terjadi pada
1780-an dan 1790-an dengan munculnya perdebatan di seputar revolusi Perancis
dan Amerika; usaha yang lebih terorganisir dan terfokus muncul pada 1850-an
sebagai bagian dari mobilisasi menentang perbudakan dan mendukung hak-hak
politik untuk kelas menengah; dan mobilisasi masif untuk hak pilih perempuan
dan reformasi undang-undang kewargaan dan industrial di awal abad 20, khususnya
di Era Progresif di Amerika Serikat.
Semuanya
ini sangat memengaruhi perkembangan sosiologi, khususnya pada sejumlah karya
perempuan yang berkaitan dengan bidang ini, seperti Harriet Martineau, Charlotte
Perkins Gilman, Jane Addams, Florence Kelley, Anna Julia Cooper, Ida
Wells-Barnett, Marianne Weber, dan Beatrice Potter Webb. Tetapi, karya-karya
mereka sering kali terdesak ke pinggiran, dan diserobot, diabaikan, atau
diremehkan oleh lelaki yang menyusun sosiologi sebagai basis kekuatan
profesional. Perhatian feminis hanya masuk ke sisi pinggiran dalam sosiologi,
dalam karya-karya teoritisi pria marginal, atau teoritisi perempuan yang
terus-menerus dipinggirkan. Kaum pria yang memegang pusat kekuasaan dalam
bidang ini mulai dari Spenser, melalui Weber dan Durkheim merespon argumen
feminis tersebut secara konservatif, dan membuat isu jender menjadi topik yang
terpisah (inconsequential). Terhadap topik ini mereka lebih banyak memberi
respon konservatif ketimbang kritis. Mereka merespon dengan cara ini bahkan
ketika kaum perempuan telah menulis teori sosiologi yang signifikan. Sejarah
politik jender dalam profesi, yang juga merupakan bagian dari sejarah respon
lelaki terhadap klaim feminis, baru ditulis belakangan ini (misalnya, lihat
Deegan, 1988; Fitzpatrick, 1990; Gordon, 1994; Lengermann dan Niebrugge
Brantley, 1998; Rosenberg, 1982).
Urbanisasi
Sebagian
sebagai akibat Revolusi Industri, banyak orang di abad 19 dan 20 tercabut
akarnya dari lingkungan pedesaan mereka dan pindah ke lingkungan urban. Migrasi
besar-besaran ini sebagian besar disebabkan oleh lapangan kerja yang diciptakan
sistem industri di kawasan urban. Tetapi, migrasi ini menimbulkan berbagai
persoalan bagi orang yang harus menyesuaikan diri dengan kehidupan urban. Lagi
pula, perluasan kota menimbulkan sederetan masalah urban, seperti kepadatan
yang berlebihan, polusi, kebisingan, kepadatan lalu lintas, dan sebagainya.
Kondisi kehidupan urban dan berbagai masalah yang dihadapinya menarik perhatian
banyak sosiolog awal, terutama Weber dan Georg Simmel. Bahkan, aliran utama
sosiologi Amerika pertama dikenal sebagai mazhab Chicago memberikan perhatian
yang sangat besar terhadap masalah kota Chicago, dan karena ketertarikannya,
aliran ini menjadikan kota Chicago sebagai “laboratorium” tempat untuk meneliti
urbanisasi dan berbagai masalah yang ditimbulkannya.
Perubahan Keagamaan
Perubahan
sosial yang diakibatkan oleh revolusi politik, Revolusi Industri dan ubanisasi,
berpengarnh besar terhadap religiositas. Banyak sosiolog awal yang berlatar
belakang religius dan secara aktif terlibat dalam aktivitas keagamaan
profesional (Hinkle dan Hinkle, 1954). Mereka membawa cara berpikir dalam
kehidupan keagamaan mereka ke dalam sosiologi. Mereka ingin meninggkatkan taraf
hidup manusia (Vidich dan Lyman, 1985). Menurut beberapa rang (seperti Comte)
sosiologi ditransformasikan ke dalam agama; menurut yang lainnya, teori
sosiologi mereka mengandung nilai keagamaan yang tak mungkin keliru. Durkheim
menulis salah satu karya besarnya tentang agama. Moralitas memainkan peran
kunci bukan hanya dalam karya Durkheim, tetapi juga dalam karya Talcott
Parsons. Banyak karya Weber juga dicurahkan untuk membahas agama-agama di
dunia. Marx pun mempunyai perhatian terhadap masalah keagamaan, tetapi
orientasinya jauh lebih kritis.
Pertumbuhan llmu
Pengetahuan (Sains)
Ketika
teori sosiologi sedang dibangun, minat terhadap ilmu pengetahuan (Science)
meningkat pesat, tak hanya di universitas, tetapi juga di dalam masvarakat pada
umumnya. Produk teknologi dari sains tersebar dan meresapi setiap sektor
kehidupan dan seiring dengan itu sains mendapat prestise yang sangat besar. Ini
berkaitan erat dengan sukses besar sains (fisika, biologi, dan kimia) sehingga
mendapat tempat terhormat dalam masyarakat. Para sosiolog awal (terutama Comte
dan Durkheim) semula memang telah berkecimpung dalam sains itu dan banyak yang
menginginkan agar sosiologi meniru kesuksesan ilmu biologi dan fisika. Tetapi,
pendebatan segera berkembang antara orang yang sungguh-sungguh ingin menerima
model sains dengan yang berpendapat bahwa ciri-ciri kehidupan sosial yang
sangat berbeda dengan dri-ciri objek studi sains akan menimbulkan kesukaran dan
tidak bijaksana bila mencontoh model sains secara utuh (Lepenies, 1987).
Masalah hubungan sosiologi dan sains itu hingga kini masih diperdebatkan, meski
di jurnal utama yang memuat perdebatan itu menampakkan kesan adanya keunggulan
pemikiran yang lebih menyukai sosologi sebagai sains.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar