Salah satu teori yang muncul dalam
menjawab perubahan sosial masyarakat menuju modern kemudian dikenal dengan
teori modernisasi. Teori ini mendasarkan pada konsep evolusionisme. Secara
historis makna modernitas mengacu pada transformasi sosial, politik, ekonomi,
kultural, dan mental yang terjadi di Barat sejak abad ke 16 dan mencapai
puncaknya pada abad 19 dan 20 (Sztomka, 2008:149). Maka kemudian teori ini
lebih pada menunjukkan tahap-tahap perubahan masyarakat pada arah tertentu yang
kemudian dianggap mencerminkan manusia modern.
Teori evolusi dan teori fungsionalisme
banyak mempengaruhi pemikiran tentang modernisasi sebagai faktor yang
mewujudkan realitas perubahan. Dari sudut pandang ini,perkembangan masyarakat
terjadi melalui proses peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern. Teori evolusi memandang perubahab bergerak secara linear dari
masyarakat primitif menuju masyarakat maju. Dan bergerak perubahan itu
mempunyai tujuan akhir. Sedangkan teori fungsionalisme, memandang masyarakat sebagai
sebuah sistem yang selalu berada dalam keseimbangan dinamis. Perubahan yang
terjadi dalam unsur sistem itu akan diikuti oleh unsur sistem lainnya dan
membentuk keseimbangan baru.
Dalam teori modernisasi klasik masih
berasumsi bahwa negara Dunia ketiga merupakan negara terbelakang dengan
masyarakat tradisoonalnya. Sementara negara-negara Barat (Eropa dan Amerika
Serikat) dilihat sebagai negara modern. Sehingga gejala dan kondisi yang
terjadi dalam masyarakat diukur menurut pandangan Barat dalam menentukan
tingkat modernitas. Sehingga tidak salah kalau Gramsci mengetakan telah terjadi
hegemoni budaya terhadap negara Dunia ketiga. Masyarakat kemudian lebih banyak
mengadaptasi nilai-nilai gaya hidup Barat sebagai identitas modern sehingga
kecenderungan dilihat sebagai westernisasi.
Menurut Chuanqi dalam artikel The
Civilization and Modernization yang
dipresentasikan di World
Congress of International Institute of Sociology Social Change in the Age
of Globalizationmengatakan bahwa teori modern klasik pada periode
1950-1960-an dipelopori oleh munculnya buku-buku seperti The
Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East(Lerner
1958), Politics of Modernization (Apter
1965), Modernization: Protest and Change (Eisenstadt 1966), Modernization: The Dynamics
of Growth (Weiner 1966), Modernization and the Structure of Society (Levy
1966), The Dynamics of Modernization (Black 1966), The Stages of Economic
Growth (Rostow 1960), Political Order in Changing Society (Huntington 1968), dan lain-lain. Paling tidak
pengertian umum tentang modernisasi adalah proses sejarah pada pada
transformasi perubahan besar-besaran dari pertanian tradisional ke masyarakat
industri modern sejak masa revolusi industri abad XVIII. Proses modernisasi
berlangsung revolusioner, komplek, sistematik, global, jangka panjang dan
progresiv. Sehingga akan menghasilkan kristalisasi dan difusi modernitas
klasik.
Penganut modernisasi klasik memandang
perkembangan masyarakat akan menuju pada suatu tata kehidupan masyarakat
modern. Smelser, melihat fungsi kelembagaan modern lebih kompleks dari pada
kelembagaan tradisional. Dalam perkembangan ekonomi menurut Rostow, masyarakat
modern berada dalam tahap komsumsi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, sedangkan masyarakat tradisional mengalami hanya sedikit perubahan baik
dibidang ekonomi maupun social budaya.
Teori Modernisasi Rostow ini merupakan
teori pertumbuhan tahapan linier (linier
stage of growth models). Dimana pembangunan dikaitkan dengan
perubahan dari masyarakat agraris dengan budaya tradisional ke masyarakat
rasional, industrial, dan berfokus pada ekonomi pelayanan. pertumbuhan
ekonomi disebabkan oleh peningkatan secara kuantitas dan kualitas dari faktor
produksi dalam sebuah negara yang meliputi tanah, tenaga kerja, modal, dan
pengusaha.
Menurutnya terdapat 5 tahapan
masyarakat menuju masyarakat modern. Tahap pertama yakni masyarakat tradisional
yang mendasarkan pada pertanian, belum banyak menguasai ilmu pengetahuan,
adanya kepercayaan terhadap kekuatan yang menguasai manusia, masyarakat
cenderung statis dan produksi digunakan untuk konsumsi bukan investasi. Tahap kedua, Prakondisi untuk Lepas Landas dimana
campur tangan dari luar telah merubah masyarakat tradisional sehingga muncul
ide pembaharuan, ada usaha-usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat.
Tahap ketiga,
Lepas Landas dimana mulai hilangnya hambatan proses pertumbuhan ekonomi,
tabungan dan investasi meningkat, pertanian menjadi usaha komersial untuk
mencari keuntungan bukan untuk konsumsi, industri baru berkembang pesat, dimana
keuntungan ditanamkan kembali pad apabrik baru. Tahap keempat, Bergerak ke Kedewasaan yang mana
teknologi mulai diadopsi secara meluas, negara memantapkan posisinya dalam
perekonomian global dimana barang yangtadinya import kemudian diproduksi
sendiri, serta peningkatan tabungan dan investasi. Sedangkan tahap terakhirkelima, Konsumsi Massal yg
Tinggi, pada tahap ini konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk
hidup tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi, perubahan orientasi
produksi dari kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi tahan lama,
surplus ekonomi tidak lagi digunakan untuk investasi tetapi digunakan untuk
kesejahteraan sosial, dan pembangunan sudah berkesinambungan.
Beberapa ahli meneruskan kajian
modernisasi klasik dengan mengamati perkembangan di tingkat masyarakat. David
Mc.Clelland dalam bukunya The Achieving Society (1961), menggunakan pendekatan
psikologi. Bagi dia, kemajuan di bidang ekonomi dipengaruhi tingkat kebutuhan
berprestasi. Masyarakat modern di barat memiliki tingkat kebutuhan berprestasi
yang tinggi. Teori ini sering disebut sebagai teori N-ach (need for
achievement). Bahwa keingian atau kebutuhan berprestasi bukan sekedar untuk
mendapatkan imbalan tetapi juga kepuasan. Pada tingkat makro pertumbuhan
ekonomi yang tinggi didahului oleh n-ach yang tinggi.
Pendapat Inkeles menyatakan manusia
modern tidak memperlihatkan gejala ketegangan atau penyakit psikologis akibat
modernisasi, bahkan menunjukkan pola yang stabil. Menurut Alex Inkeles dalam bukunya becoming
modern menyatakan
bahwa manusia modern paling tidak memiliki ciri-ciri: sikap membuka diri pada
hal-hal yang baru; tidak terikat terhadap ikatan-ikatan institusi maupun
penguasa tradisional; percaya pada ilmu pengetahuan; menghargai ketepatan
waktu; dan melakukan segala sesuatu secara terencana.
Selanjutnya ahli sosiologi Max Weber
juga ikut memperkaya kajian modernisasi melalui studinya tentang pengaruh
ajaran agama terhadap kemajuan ekonomi. Bagi Weber nilai agama (etika)
Protestan di barat telah menumbuhkan dorongan pada manusia untuk bekerja keras
sebagai suatu tugas suci untuk mencapai kesejahteraan hidup. Dalam Buku:The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism (1996)
Webe Weber menjjelaskan bahwa adanya kemajuan ekonomi yang pesat pada beberapa
negara Eropa dan Amerika Serikat dibawah sistem kapitalisme. Semangat
kapitalisme dikarakterisasikan sebagai gagasan bahwa adanya akuisisi terhadap
kemakmuran sebagai akhir pencapaian. Man is dominated by the making of
money, by the acquisition of wealthas the ultimate purpose of his life.
(halaman 53). Semangat kapitalisme kemudian diterjemahkan sebagai
perlakuan etos kerja pada suatu masa dan melampaui sejarah manusia yang disbeut
tradisionalisme. A man does not ‘by nature’ wish to
earn more and more money, but simply to live as he is accustomed to live and to
earn as much as is necessary for that purpose (halaman 60). Makanya dari situ
diperlukan suatu usaha untuk lebih mendapatkan uang. Sebagai hasil analisisnya
adalah adanya etika Protestan. Dimana menjadi anggapan umum bahwa keberhasilan
kerja di duni akan menentukan seseorang masuk surga atau neraka. Berdasarkan
kepercayaan tersebut kemudian mereka bekerja keras utuk menghilangkan
kecemasan. Sikap inilah yang diberi nama etika protestan. Konsep ini kemudian
menjadi konsep umum yang tidak dihubungkanlagi dengan agama. Kajian Weber
kemudian dikembangkan oleh Bellah pada masyarakat Jepang. Etika Samurai yang
tercermin dalam nilai-nilai agama Tokugawa resisten dalam perkembangan ekonomi industri
modern di Jepang.
Perubahan social dalam pandangan
modernisasi klasik, menitikberatkan kemajuan masyarakat modern terbentuk
melalui suatu proses yang sama. Pandangan ini ditinjau kembali oleh para
penganut modernisasi aliran baru. Wong, misalnya menyatakan, kemajuan ekonomi
di Hongkong digerakkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki sistem
organisasi tradisional yang bersifat nepotis, paternalistic dan kekeluargaan.
Kasus Indonesia yang diamati Dove, memperlihatkan bahwa budaya local mengalami perubahan
yang dinamis dalam dirinya. Sedangkan, Davis menilai ekonomi kapitalisme di
Jepang tumbuh oleh terbentuknya rasionalisasi agama dan moral dalam lingkar
barikade budaya. Dari sudut pandang politik, Huntington menyatakan budaya atau
agama mempunyai korelasi yang tinggi dengan demokrasi.
Aliran baru teori
modernisasi tersebut mengandung pemikiran bahwa nilai tradisional dapat berubah
oleh karena dalam dirinya mengalami proses perubahan yang digerakkan oleh
perkembangan berbagai factor kondisi setempat misalnya, factor pertumbuhan
penduduk, teknik, apresiasi nilai budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar