Kamis, 27 September 2012

Peranan Masyarakat Desa Usia Produktif Terhadap Pembangunan Desa


A.    LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menghadapi masalah kemiskinan dengan segala kompleksitasnya. Sejak pemerintahan orde baru terutama mulai 1970-an, sangat gencar dikumandangkan upaya-upaya mengatasi kemiskinan. Pembangunan adalah proses perubahan yang disengaja dan direncanakan, atau  tujuan untuk mengubah keadaan yang tidak dikehendaki menuju arah yang dikehendaki.
Pembangunan nasional ditujukan pada usaha peningkatan taraf hidup masyarakat pedesaan,menumbuhkan partisipasi aktif setiap anggota masyarakat terhadap pedesaan, dan menciptakan hubungan selaras antara masyarakat dengan lingkungannya. Sedangkan pembangunan masyarakat perdesaan menurut Adisasmita (2006) adalah aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dimana mereka mengidentifikasikan kebutuhan dan masalahnya secara bersama. Pakar lain memberikan batasan bahwa pembangunan masyarakat desa adalah perpaduan antara pembangunan sosial ekonomi dan pengorganisasian masyarakat. Hal tersebut diatas mengimplikasikan bahwa pembangunan perdesaan merupakan bagian integral dari  pembangun nasional.
Indonesia merupakan wilayah dengan sistem pemerintahan disentralisasi.  Pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan desa sebagai unit terkecil dari sistem pemerintahan. Sebagai unit terkecil, jumlah perdesaan di Indonesia sangat banyak. Salah satu unsur penting pembangunan adalah adanya partisipasi dari masyarakat baik berupa partisipasi langsung dan tidak langsung. Pola partisipasi masyarakat desa menjadi penting karena anggota sistem sosial dalam perdesaan tersebut dianggap mengerti tentang demografi, kearifan lokal dan hal-hal pentig lain yang berkenaan dengan perdesaan tersebut.
Sudah menjadi kenyataan bahwa sebagian penduduk miskin di Indonesia berada di wilayah perdesaaan. Meskipun pemerintah  telah membuat kebijakan pembangunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya agar terjadi pemerataan pembangunan bagi seluruh bangsa Indonesia, tetapi sampai saat ini desa masih tetap miskin. Apakah kemiskinan yang dialami warga masyarakat pedesaan itu berhubungan erat dengan keadaan usia produktivitasnya. Strategi pembangunan seperti apa yang sesuai dikembangkan untuk memeberdayakan usia produktivitas.


B.     RUMUSAN MASALAH
1)      Apakah pembangunan di pedesaan tersebut berhubungan erat dengan keadaan usia produktif masyarakat desa tersebut?
2)      Strategi pembangunan seperti apa yang sekiranya lebih sesuai dikembangkan untuk memberdayakan usia produktif masyarakat desa tersebut?
3)      Hasil apa saja yang sudah dicapai oleh pembangunan desa dengan keadaan usia produktif masyarakat desa tersebut?

C.    TUJUAN PENELITIAN
1)      Untuk mengetahui hubungan keadaan usia produktif masyarakat desa dengan keberhasilan pembangunan di desa tersebut.
2)      Untuk mengetahui strategi pembangunan desa yang sesuai untuk memberdayakan usia produktif masyarakat desa tersebut.
3)      Untuk mengetahui hasil yang sudah dicapai oleh pembangunan desa dengan keadaan usia produktif masyarakat desa tersebut

D.    TINJAUAN PUSTAKA
1)      Dinamika Kependudukan Desa
Dipandang dari sudut demografis, Indonesia mengalami kemajuan yang cukup spektakuler. Kemajuan itu tampak dari tingkat atau laju pertumbuhan penduduk yang secara konsisten mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Hasil sensus penduduk menunjukan laju pertumbuhan penduduk Indonesia selama periode 1990-2000 rata-rata sebesar 49% per tahun. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk satu dekade sebelumnya sebesar 97% per tahun. Penurunan laju pertumbuhan penduduk secara nasional ini diyakini merupakan dampak dari menurunnya tingkat fertilitas dan tingkat mortalitas. Berdasarkan perhitungan World Bank (2000) Indonesia berhasil menurunkan tingkat fertilitas total dari 4,3% pada tahun 1980 menjadi 2.7% pada tahun 1999. Apabila laju petumbuhan penduduk selama periode 1990-2000 di desa dibandingkan dengan kota (Hastowiyono, 2008) .
Ternyata laju pertumbuhan penduduk desa mengalami penurunan hingga angka minus, sedangkan kota mengalami laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Tanpa mengingkari adanya penurunan fertilitas penduduk desa sebagai keberhasilan program keluarga berencana, merosotnya pertumbuhan penduduk desa dan melonjaknya pertumbuhan penduduk kota tersebut diyakini lebih banyak diakibatkan karena proses urbanisasi baik dalam pengertian perpindahan penduduk desa ke kota maupun mengkotanya desa (Hastowiyono, 2008) .
Jumlah penduduk merupakan sumber dari ketersediaan tenaga kerja. Dengan demikian menurut logika sederhana, menurunnya jumlah penduduk di daerah pedesaan tentu diikuti menurunnya jumlah angkatan kerja. Berkurangnya jumlah penduduk sampai tingkat tertentu memang dapat berhubungan lansung dengan penurunan jumlah angkatan kerja, akan tetapi yang terjadi di daerah pedesaan Indonesia tidak demikian (Hastowiyono, 2008).

2)      Situasi Angkatan Kerja Desa
Secara garis besar penduduk dikalsifikasikan menjadi penduduk yang melakukan aktifitas ekonomi dan yang tidak melakukan aktifitas ekonomi. Penduduk yang melakukan aktifitas ekonomi dikenal dengan angkatan kerja “yang dimaksud dengan tenaga kerja adalah penduduk pada usia kerja dan yang lazim dipakai adalah penduduk berumur 15 tahun keatas atau 15-64 tahun“ (buku pegangan bidang kependudukan lembaga demografi FE UI, 1980).
Data survei angkatan kerja nasional (SAKERNAS), menunjukkan persentasi setengah pengaguran terpaksa cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2000 dan 2001 masing-masing sebesar 15% kemudian meningkat menjadi 17% pada tahun 2002 dan meningkat lagi 18% pada tahun 2003. Yang dimaksud dengan penganguran terpaksa adalah penduduk yang jam kerjanya kurang dari 35 jam per minggu (Hastowiyono, 2008).
Kebanyakan angkatan kerja di desa memiliki kemampuan yang rendah berkaitan dengan ketrampilan dan kecakapan terutama dalam penguasaan teknologi, kemampuan mengelola informasi dan kemampuan maenajerial. Ketiga bidang kecakapan itu lebih lanjut berhubungan dengan produktifitas tenaga kerja. Produktifitas tenaga kerja pedesaan yang rendah berhubungan sebab akibat dengan banyaknya kemiskinan yang terjadi di desa (Hastowiyono, 2008).
Kemiskinan merupakan salah satu unsur yang membuat tenaga kerja melakukan migrasi. Menurut Tondaro dalam Hastowiyono (2008), penduduk desa bermigrasi ke kota dilatarbelakangi oleh motif ekonomi yang rasional. Migrasi dari desa ke kota merupakan respon atas perbedaan atas upah riil yang lebih tinggi di kota daripada di desa. Banyak peneliti ( antara lain: Mantra, 1978; Kasto, 2002; Abdul Haris, 2002) membuktikan bahwa mobilitas penduduk dari desa keluar desa, baik ke kota maupun ke daerah lain termasuk ke luar negeri, dilatarbelakangi oleh motif ekonomi.

3)      Batasan Pembangunan Masyarakat Pedesaan.
Pembangunan masyarakat pedesaan diartikan sebagai aktifitas yang dilakukan masyarakat dimana mereka mengidentifikasikan kebutuhan dan masalahnya secara bersama. Ada yang mengartikan bahwa pembanguna masyarakat desa adalah kegiatan yang terencana untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi kemajuan sosial ekonomi masyarakat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat. Pembangunan sektor sosial ekonomi masyarakat desa perlu diwujudkan untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat yang didukung oleh organisasi dan partisipasi masyarakat yang terus menerus tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Pembangunan desa merupakan bagian integral dari pembangunan daerah dan pembangunan nasional yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu di seluruh kawasan pedesaan (Adisasmita, 2006).

4)      Sumberdaya Manusia Sebagai Pendukung Pembangunan di Perdesaan.
Penduduk merupakan sumberdaya manusia yang potensial dan produktif bagi pembangunan nasional. Sumberdaya manusia yang berkualitas (GBHN, 1993: 31-32). Sebagai sumberdaya berkualitas yang sesuai dengan GBHN yakni yang memiliki kemampuan bermanfaat, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan manajemen.
Pemerintah dalam rangka meningkatkan sumberdaya manusia yang berkualitas telah melakukan berbagai usaha, antara lain dengan meningkatkan sarana dan pelayanan kesehatan, peribadatan, peningkatan gizi dan pendidikan. Dengan berbagai fasilitas yang tersedia diharapkan masyarakat memanfaatkannya sehingga dapat menigkatkan kemampuannya untuk menunjang proses pembangunan. Sehubungan dengan upaya penduduk dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas telah dilakukan pendidikan sebagai salah satu sumber memperoleh pengetahuan dan tempat manusia belajar agar menjadi cerdas, beriman, mandiri, dan maju.(Mudjiono,dkk., 1996).

5)      Strategi Pemberdayaaan Ketenagakerjaan Desa
Dalam konsep pembangunan berwawasan kependudukan perlu di upayakan secara serius berlangsungnya pembaharuan desa yang diharapkan berdampak pada terciptanya kualitas tenaga kerja desa yang memadai. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi desa menjadi lebih efektif apabila dilakukan melalui pemberdayaan tenaga kerjanya. Pemberdayaan tenaga kerja desa akan menghasilkan kualitas tenaga kerja yang handal serta berdampak langsung terhadap produktivitas tenaga kerja. Mengingat situasi ketenagakerjaan di daerah pedesaan yang masih diliputi banyak kelemahan, maka untuk mencapai transformasi struktural harus ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Peningkatan aset produksi (production assets)
2.      Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan
3.      Peningkatan pengembangan industri berbasis rakyat
4.      Kebijakan ketenagakerjaan yang merangsang tumbuhnya tenaga kerja mandiri sebagai embrio wirausaha baru.
5.      Pemerataan pembangunan antar wilayah dan daerah.
6.      Meningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Dengan demikian, perubahan struktur ekonomi didaerah pedesaan tidak bisa lepas dari sumberdaya manusia yang mendukungnya. Tanpa kekuatan sumberdaya manusia yang memadai maka pembangunan tidak dapat memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan selanjutnya. Oleh karena itu, untuk mempercepat proses transformasi struktural sebagaimana disebutkan, maka perbaikan pendidikan bagi tenaga kerja desa merupakan suatu keharusan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi ketenagakerjaan di daerah pedesaan  hingga saat ini belum cukup memadai untuk memacu pertumbuhan ekonomi secara cepat. Tingkat pendidikan dan ketrampilan yang umumnya masih rendah, pemilikan asset produksi yang sangat terbatas, akses sumberdaya ekonomi yang lemah, pengusaan informasi dan pasar yang lemah, dan berbagai kelemahan lainnya masih mewarnai ketenagakerjaan di desa.
Pendudukan berwawasan kependudukan yang lebih menitikberatkan perhatiannya pada pembangunan manusia yang diyakini lebih sesuai untuk diterapkan di Indonesia, mengingat sebagian besar penduduknya berada di pedesaan dan pada umumnya dalam keadaan yang kurang berdaya dan miskin. Pembangunan berwawasan kependudukan juga lebih memberikan peluang terhadap upaya-upaya pemberdayaan tenaga kerja desa.   Tenaga kerja desa tidak dapat dipandang hanya dari satu sisi sebagai faktor produksi saja, melainkan harus dipandang secara holistik sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

6)      Prinsip-Prinsip Pembangunan Pedesaan
Pembangunan pedesaan seharusnya menerapkan prinsip-prinsip :
1.      Transparansi ( Terbuka )
2.      Partisipatif
3.      Dapat dinikmati masyarakat
4.      Dapat dipertanggungjawabkan ( Akuntabilitas )
5.      Berkelanjutan ( sustainable )
Kegiatan-kegitan pembangunhan yang dilakukan dapaty dilanjutkan dan dikembangkan ke seleruh pelosok daerah,untuk seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan itu pada dasarnya adalah dari,oleh, dan untuk seluruh rakyat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat seharusnya diajak untuk menentukan visi(wawasan) pembangunan masa depan yang akan diwujudkan. Masa depan merupakan impian tentang keadaan masa depan yang lebih baik dan lebih indah dalam arti tercapainya tingkat kemakmuran yang lebih tinggi.

E.     DAFTAR PUSTAKA
·      Bahriadi, Dianto. 1995. Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital : Lima Kasus Intensifikasi Pertanian dengan Pola Contract Farming. Jakarta : Akatiga.
·      Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat desa di Indonesia. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
·      Hastowiyono. 2005. Revolusi Pembangunan Berwawasan Kependudukan dalam Upaya Memperdayakan Tenaga Kerja Desa. Yogyakarta : APMD Pers.
·      Raharjo. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sistem Ekonomi dalam Masyarakat Pedesaan


Hubungan antara manusia (masyarakat desa) dan tanah mencangkup bentuk dan sifat. Terpenting adalah pembagian dan penggunaan tanah (land division and land use), pemilikan serta berbagai bentuk penguasaan tanah (land tenure), dan termasuk luas sempit penguasaan tanah (size of land holding). Cara bagaimana dibagi (land division) dan digunakan (land use) diantara dan oleh penduduk tertentu (desa) sangat menentukan pengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat (desa) tersebut. Besaran pengaruh tergantung kepada tingkat perkembangan masyarakat itu. Untuk masyarakat desa yang masih tradisional, land division dan land use tidak begitu terlihat bentuk maupun peranannya, sebaliknya untuk masyarakat pertanian yang sudah maju. Masyarakat desa yang maju terdapat pola mengenai pembagian tanah diantara penduduk dan digunakan untuk kepetingan umum pula (untuk jalan, tempat umum) contohnya di Amerika Serikat.
AS sebagai Negara berpenduduk imigran dari penjuru dunia memiliki potensi terjadinya “rebutan tanah”. Hal ini karena imigran eropa terbanyak di AS sudah modern telah terdeferensiasi cara hidupnya termasuk para petani disana. Di AS dikenal sejumlah tipe land division seperti: pola-pola hadap sungai (riverfront patterns), system dengan bentuk empat segi panjang (rectangular systems), system papan main dam (checkerboard syatem), dll. land division dan land use menyangkut pula pengalihan dan pewarisan hak dari satu tangan kelainnya, baik vertikal (orang tua ke anak) atau horizontal (transaksi jual beli).
Fenomena lain dari hubungan manusia dan tanah terlihat dari konsep pemilikan dan penguasaan tanah (land tenure), menurut Smith dan Zof adalah hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah, yakni hak sah untuk menggunakan, mengolah, menjual, dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari permukaan tanahnya. Pokok pembicaraan Smith dan Zof berpangkal pada dual hal yakni: sifat dari hak-hak atas kekayaan tanah beserta cara dalam mana sifat itu tercipta, dan klasifikasi dari mereka yang terlibat dalam proses pertanian berdasarkan system land tenure yang ada. Menurut mereka jenis-jenis land tenure didunia bervariasi, namun dalam garis besarnya yakni: system yang dikembangkan dinegara komunis, hak atas tanah ada pada Negara, dan system dalam berbagai variasi menempatkan hak atas tanah dibawak kepemilikin orang perorangan.
Pemilahan status land tenure tersebut tidak hanya dilihat sebagai perbedaan kepemilikan serta fungsi-fungsi yang terlekat padanya, melainkan dilihat dari dimensi sosialnya, dimensi sosial pemilahan tersebut menggambarkan struktur sosial (khususnya stratifikasi sosial) dari masyarakat (desa) yang bersangkutan. Secara garis besar dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepemilikan tanah yang rata-rata sama lebih menguntungkan bagi perkembangan masyarakatnya dibanding keemilikan tanah yang tidak rata atau timpang.
Untuk masyarakat berkembang khususnya di Indonesia sendiri memiliki heterogenitas yang kuat sehingga malah menibulkan kesulitan dalam menggambarkan secara umum system hubungan masyarakat desa dan tanah mereka. Daerah geografis Indonesia yang luas dan beragam juga berpengaruh. Sebelum Indonesia merdeka, banyak daerah yang memiliki adat istiadat tradisi tersendiri, bahkan pemerintahan sendiri (kerajaan). Kondisi geografik dan belum hadirnya teknologi maju menyebabkan isolasi phisik lalu menciptakan isolasi sosial cultural. Ketika Indonesia merdeka lalu menetapkan peraturan-peraturan yang mengatur tata milik dan tata guna tanah secara nasional, terjadi masalah pada ketentuan legal formal dengan hukum adat setempat.
Awal kemerdekaan dan agak lama setelah itu, masyarakat desa Indonesia bisa dikatakan tidak mengalami masalah land division dan land use, karena ada pengaturan adat yang melembaga sebelum Indonesia merdeka, dan jumlah penduduk yang belum padat (khususnya Jawa). Namun setelah terjadi pergeseran pemilikan tanah dari system pemilikan kolektif ke pribadi, meledaknya jumlah penduduk, dan berkembangnya kegiatan diluar sektor pertanian (industri, bangunan) maka permasalahan land division dan land use semakin dirasa.
Di Indonesia sendiri, masalah land tenure lebih dirasa ketimbang land division, terlihat pada masyarakat petani kelas bawah dan tidak begitu terlihat pada petani ladang. Luas area sawah memang sempit dari pada luas area petani pekebun, namun karena petani sawah merupakan petani paling banyak jumlahnya (di Jawa) maka peranannya sangat besar.
Persewaan adalah bentuk ikatan ekonomi antara pemilik tanah dan penyewa yang dimana pemilik tanah menyerahkan hak guna tanahnya kepada penyewa, sedang si penyewa menyerahkan sejumlah uang, untuk jangka waktu tertentu, keuntungan, kerugian, dan biaya produksi berada ditangan penyewa, dan apabila jangka waktu persewaan berakhir maka dengan sendirinya tanah tersebut kembali pada pemiliknya.
Pergadaian adalah suatu bentuk ikata ekonomi antara pemilik tanah dengan pihak lain yang dimana si pemilik tanah menyerahkan hak guna tanahnya kepada pihak lain, pihak lain (pemegang gadai) menyerahkan sejumlah uang yang besarnya sesuai dengan persetujuan, hak guna tanah itu baru bisa dimiliki oleh pemilik tanah lagi setelah si pemilik tersebut dapat mengembalikan uang gadainya. Minimal transaki pergadaian ini satu kali panen.
Penyakapan atau system bagi hasil adalah suatu bentuk ikatan ekonomi sosial yang dimana si pemilik tanah menyerahkan tanahanya untuk digarap orang lain, umumnya mengenai beban dan resiko ditanggung bersama serta mengenai besarnya bagian yang diterima masing-masing pihak, yang kuat posisisnya akan berada pada pihak yang diuntungkan, lebih sedikit menanggung resiko dan tentu mendapat lebih banyak hasil panen.
Maro adalah bagi hasil yang masing-masing pihak (pemilik tanah dan penyakap) mendapat separuh dari hasil panenan. Bentuk lain, yakni Mertelu, bila pembagian hasil antara pemilik tanah dan penyakap adalah sepertiga dari dua pertiga bagian, sedangkan Mrapat yakni bila pembagian hasil menjadi seperempat dari tiga perempat bagian.
Kedokan adalah hampir menyerupai sistem bagi hasil, yakni bahwa si penggarap atau buruh tani memperoleh imbalan berupa hasil panen, bukan hasil upah uang.
Tebasan adalah suatu bentuk transaksi pengalihan hak guna yang dimana dalam tanaman yang telah siap panen dijual kepada pihak lain, sedangkan Ijon adalah suatu bentuk transaksi dalam mana pemilik tanaman menjual tanamannya kepada peihak lain tatkala tanaman itu masih jauh dari usia panen.
Berdasar pola pemilikan dan penguasaan tanah semacam diatas, maka kaum petani dapat digolongkan menjadi : pemilik penggarap murni (petani yang hanya bisa menggarap tanah miliknya sendiri), penyewa dan penyakap murni (yakni mreka yang tidak memiliki tanah tetapi menguasai tanah garapan melalui sewa atau bagi hasil), pemilik penyewa dan atau pemilik penyakap (yakni petani disamping menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain lewat persewaan atau bagi hasil), pemilik bukan penggarap (yakni bila tanah miliknya disewakan atau disakapkan kepada orang lain yakni penyakap, penggarap, atau buruh tani), dan petani tunakisma atau buruh tani.
Karena AS merupakan Negara imigran terbanyak pemerintah perlu lebih teliti dan cermat dalam menyikap hubungan yang terjadi antara masyarakat dengan tanahnya, pemerintah harus lebih selektif mementingkan masyarakat lokal tetapi dilain sisi masyarkat imigran juga tidak terdiskriminasi dengan adanya peraturan yang tegas yang diberlakukan oleh pemerintah AS itu sendiri, perlu adanya peraturan yang tegas pada intinya agar nantinya hal-hal semacam itu nantinya tidak dijakan sebuah keuntungan besar-besaran, politisasi, atau komersil semata. Selain itu juga dengan peraturan-peraturan yang jelas dan tegas serta penangan masalah yang tepat dan tidak keluar dari jalur, hal ini dapat dicatat dalam statis untuk kedepannya memperbaiki masyarakat petani bagaimana baik buruknya atau mencari keuntungan yang lebih besar tanpa terus-terusan dengan hasil yang sama dan kurang maksimal.
Jika di Indonesia sendiri hubungan manusia dengan tanah sudah sangat komplek, bukan hanya manusia dan tanahnya saja yang menjadi masalah, malahan merembet kejalur politik karena dipolitisasi, mencari keuntungan oleh segelintir orang tertntu, dan akhirnya marak terjadi akhir-akhir ini bentrok yang tak lain dan tak bukan disebabkan masalah hubungan manusia (petani) dengan tanah. Lagi-lagi peraturan yang diberlakukan pemerintah tidak tegas, masih saja petani jatuh miskin atau tetap menjadi petani bawah karena kurangnya perhatian dari pemerintah, mereka memasok berbagai hasil pertanian tetapi harga yang ditetapkan pemerintah tidak sebanding dengan jerih payah usaha petani Indonesia sekarang ini, alhasil petani kita tetap menjadi petani bawah, dan itu sudah teurun temurun. Dengan orang-orang tertentu yang ingin berkuasa menyebabkan petani semakin banyak khususnya buruh tani.
Faktor-Faktor Determinan Dalam Sektor Ekonomi Desa
·       Faktor Keluarga
Dalam bukunya “Prakapitalisme di Asia” 1962 oleh J.H Boeke mengemukakan bahwa keluarga merupakan unit swasembada artinya keluarga mewujudkan suatu unit mandiri yang dapat menghidupi keluarga itu sendiri lewat kegiatan pertanian.
Roucek dan Warren (1962) menyatakan juga bahwa fungsi keluarga sebagai unit ekonomi atau produksi (disamping sebagai unit sosial) adalah salah satu karakteristik masyarakat desa. Hal ini sebagai contohnya dapat dilihat di keluarga petani di Jawa tradisional (prakapitalistik atau semi prakapitalistik), dalam keluarga tipe ini suami mengerjakan sejumlah pekerjaan sekaligus seperti membuat persamaian bibit, mengolah lahan, hingga siap tanam bahkan menyiang, dll. Sedang istri mengerjakan sejumlah kegiatan seperti mengirim makanan, menanam padi, menuai padi, menumbuk padi, dll. Lalu anak-anaknya sesuai jenis kelamin membantu mereka disawah.
Pentingnya fungsi ekonomi dalam keluarga petani prakapitalistik juga dikemukakan oleh A.V Chaianov, menurutnya karakteristik yang sangat mendasar dari ekonomi petani prakapitalistik adalah bahwa ekonomi mereka merupakan ekonomi keluarga. Seluruh organisasinya ditentukan ukuran dan komposisi keluarga petani itu dan koordinasi tuntutan-tuntutan konsumsinya dengan jumlah tangan yang bekerja.
Karena keluarga merupakan unit ekonomi swasembada mandiri, maka pada tingkat masyaarakat sebenarnya tidak terdapat sistem ekonomi yang jalin menjalin, saling tergantug seperti dalam masyarakat kota. Maka pada masyarakat desa hakekatnya msyarakat bukanlah merupakan satu kesatuan ekonomi melainkan lebih merupakan kesatuan sosial.
·       Faktor Tanah
Dua karakteristik pemilikan lahan memiliki pengaruh khas terhadap sistem pertanian ekonomi. Karakteristik pemilikan ini adalah menyangkut luas sempitnya pemilikan lahan, dan sistem land tenure. Pengaruh luas sempitnya lahan terhadap sistem pertanian ekonomi : Pemilikan lahan sempit cenderung pada system pertanian yang intensif, terlebih jika ditunjang kesuburan tanah yang tinggi, contohnya pertanian sawah di Jawa umumnya, sedangkan pemilikan tanah yang luas cenderung pada ekstensifikasi, contohnya perkebunan diluar Jawa umumnya. Pengaruh perbedaan dalam luas pemilikan lahan pertanian yang luas. Desa atau lingkungan tertentu yang memiliki lahan pertanian rata-rata sama luasnya (one class system) akan berbeda pengaruhnya terhadap sistem pertanian ekonomi dibanding dengan desa yang rata-rata pemilikan lahan warganya tidak sama (tuan tanah berhadapan dengan petani atau penggarap buruh  disebut two class system).
Petani-petani dalam one class system cenderung menjadi petani pemilik penggarap. one class system dengan pemilikan lahan yang rata-rata luas seprti di AS akan lebih mudah menerima pembaruan sistem pertanian. two class system dilain pihak, akan melahirkan system pertanian yang penggarap. Hubungan keduanya disebut patronclient relationship. Dalam two class system modernisasi petani sulit dikembangkan karena kebanyakan petani tidak memiliki lahan pertanian sendiri, sedangkan tuan tanah tidak begitu tergiur kepada pembaruan pertanian yang menjanjikan peningkatan produksi dan keuntungan, kaarena mereka telah sangat mapan.
·       Faktor Pasar
Pasar secara umum diartikan sebagai tempat terjadinya transaksi jual beli berbagai barang, merupakan faktor yang sangat mempengaruhi sistem ekonomi pertanian. Cocok tanam baru memiliki arti sebagai sistem ekonomi tatkala petani mulai mempertukarkan hasil-hasil pertanian mereka untuk berbagai kebutuhan selain untuk makan. Dengan adanya pasar terjadi hubungan selain ekonomi yakni sosial kultural.
Dalam bukunya Eric R. Wolf “Petani Suatu Tinjauan Antropologi” beberapa ringkasan dapat disimpulkan : masyarakat desa cenderung membentuk dan mempertahankan cirinya sebagai komunitas, ciri-ciri pembedanya bisa berkait dengan jenis tanaman khusus atau produk tertentu yang dihasilkan (sebagian atau seluruh) komunitas itu, dan terjadi pertukaran dipasar berdasar atas kekususan yang dimiliki masing-masing komunitas tersebut.
Peranan pasar tidak hanya menciptakan sistem ekonomi pertanian yang mengarahkan perkembangan ciri-ciri komunitas desa (untuk menyesuaikan peran mereka dalam pertukaran pasar). Peranan pasar juga menyebabkan semakin berkembangnya jaringan ketergantungan antara komunitas desa satu dengan lainnya. Peran yang dimainkan dipasar itu (terutama pasar jaringan) juga semakin banyak penduduk desa yang tidak tergantung pada pertanian. Mulai terlihat penduduk desa yang secara jelas menjadi kelompok pedagang. Secara demikian desa tidak lagi menjadi wilayah yang mandiri secara sosial dan ekonomi, melainkan telah menjadi bagian dalam satuan sosial ekonomi yang lebih luas. Dalam konteks ini sistem ekonomi pertanian semakin kompleks, menampung dan mengakomodasikan pengaruh-pengaruh luar desa.
Dalam sektor ekonomi desa memang mempunyai faktor determinan yang kompleks. Sistem pertanian pada masyarakat desa yang dominan pertanian sangat vital bagi kehidupan mereka para petani.
Pertama faktor keluarga, salah satu faktor yang penting dalam sistem ekonomi pertanian. Karena setiap keluarga berjuang dan bekerja keras mengelola, membagi, menentukan kegiatan-kegiatan guna menunjang kebutuhan keluarga mereka. Kedua faktor tanah, faktor ini menentukan setidaknya besarnya hasil pertanian nantinya yang akan diperoleh, karena semakin luas tanahnya maka hasil pertanian jelas akan melimpah pula. Ketiga adalah faktor pasar, hal yang tidak kalah pentingnya karena pasar ini sebagai tempat mereka untuk menukarkan hasil pertanian mereka dengan kebutunan yang diperluakan (barter) atau dengan alat penukaran barang berupa uang.
Ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Tetapi jika kita benturkan pada keadaan sekarang ini, keadaan modern, hal-hal atau faktor-faktor semacam ini sepertinya semakin luntur. Anggapan menjadi petani akan memiliki nasib yang sama (miskin) membuat generasi muda (anak-anak petani) mulai meninggalkan salah satu faktor diatas tadi. Maka dari itu, tidak ada generasi selanjutnya yang akan menjadi petani, mereka memilih mobilitas yang lebih tinggi dari seorang pekerja petani.
Saling Mempengaruhi Antara Sistem Ekonomi Dan Sistem Sosial
·       Pengaruh Sistem Ekonomi Pertanian Terhadap Sistem Sosial
Pengaruh sistem ekonomi pertanian terhadap sistem ekonomi berkaitan erat dengan faktor teknologi dan sistem uang kapitalisme. Masyarakat petani yang belum menggunakan teknologi modern dan belum menggunakan uang dalam sistem perekonomian mereka, maka dalam kehidupan sosialnya ditandai adanya hubungan-hubungan akrab, informal, serta bebas santai, karena dengan tidak adanya teknologi modern tercipta kondisi yang membuat mereka saling tolong menolong (barter, gotong royong). Kedekatan emosional sangat diperlukan sebab jika tidak hubungan mereka akan tidak pula membuahkan kerjasama langsung.
Namun, kurukunan dan solidaritas yang kuat pada masyarakat desa sebenarnya tidak hanya tercipta oleh adanya tuntutan kerja sama langsung, melainkan juga disebabkan kesamaan yang ada pada mereka seperti sama-sama kaum petani, sama-sama tiggal didesa yang sama, dll. Kerukunan dan gotong royong diantara para petani ini semakin luntur dengan adanya penggunaan teknologi diantara mereka. Hal ini dapat dimengerti karena dengan teknologi modern memudahkan penggunanya dalam bertani dan tidak mengurangi hasil pertanian malah menguntungkannya, serta hanya menggunakan sedikit tenaga kerja manusia. Akibat hubungan emosional diantara para petani ini semakin luntur atau bahkan hilang.
·       Pengaruh Sistem Sosial Terhadap Sistem Ekonomi Pertanian
Petani menyikapi pertanian sebagai way of life (kebudayaan) berarti mereka menggeluti pertanian bukan sekedar sebagai mata pencaharian melainkan menyangkut totalitas kehidupan mereka. Inti dari pola kebudayaan petani bersahaja atau peasan adalah subsistensi dan tradisionalisme. Kedua inilah sebagai faktor penghambat terlaksananya proses modernisasi pertanian dikalangan masyarakat petani  desa.
Komersialisasi sulit dikembangkan dalam masyarakat semacam ini, karena mereka setiap hari dalam hubungannya menggunakan rasionalitas sosial (norma-norma sosial termasuk adat istiadat). Jika seseorang berperilaku menyimpang dari kebanyakan masyarakat desa disana maka akan ada sanksi sosial dari masyarakat tersebut. Ikatan sosial yang kuat terwujud dalam bentuk kerukunan yang tinggi, juga menciptakan semacam keharusan sosial yakni berbagi dalam hal bertani tentunya seperti merelakan sebagian tanah yang dimiliki untuk digarap orang lain.
Ciri khas masyarakat desa yang mempunyai hubungan atau ikatan emosional yang tinggi membuat masyarakat pertanian rukun tanpa adanya suatu masalah yang berarti.
Tetapi ketika sejumlah atau segelintir orang yang ingin memperoleh keuntungan lebih tanpa memperhatikan hubungan sosial masyarakat pertanian menyebabkan hubungan yang terjalin sejak lama bahkan turun temurun semakin renggang karena penggunakan teknologi seeprti sekarang ini, teknologi pertanian modern.
Tetapi masyarakat pertanian sendiri mempunyai aturan yang tak tertulis, yakni suatu sanksi sosial yang tentunya akan berlaku untuk orang-orang yang menyimpang atau keluar dari jalur masyarakat petani pada umumnya.
Bahan Rujukan
·      Bahriadi, Dianto. 1995. Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital : Lima Kasus Intensifikasi Pertanian dengan Pola Contract Farming. Jakarta : Akatiga.
·      Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat desa di Indonesia. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Memahami Desa dan Masyarakat Desa Secara Sosiologis


Terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang fenomena keaslian desa di Indonesia. Beberapa pakar di Belanda seperti Van Den Berg dan Kern berpendapat bahwa desa-desa di Jawa adalah buatan India. Sedangkan pakar Belanda lainnya, yang diwakili oleh Van Vollenhaven, De Louter, Brandes, dan Liefrinck, berpendapat bahwa desa-desa di Indonesia itu bersifat asli, Begitu juga dengan Sutardjo Kartohadikoesoemo, yang berpendapat bahwa desa-desa di Jawa itu asli, bukan buatan India maupun Belanda.
Di samping pendapat di atas, dikemukakan pula bahwa desa-desa tersebut juga bukan buatan Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa sebelum Indonesia merdeka, desa-desa tersebut sudah ada. Desa-desa tersebut mempunyai kedudukan sebagai desa yang mandiri. Akan tetapi setelah Indonesia merdeka maka dilakukan beberapa pembenahan, yang juga menyangkut kedudukan desa sebagai desa yang mandiri tersebut. Melalui beberapa peraturan perundangan, desa mempunyai kedudukan sebagai kesatuan sosial dan hukum (adat) yang masih diberi kebebasan tertentu dan desa sebagai kesatuan administratif yaitu merupakan bagian integral dari Negara Republik Indonesia. Selanjutnya menurut Undang undang Nomor 5 Tahun 1979 pengertian desa dibedakan menjadi “desa” dan “kalurahan”.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang berisi tentang dimungkinkannya tindakan untuk membentuk, memecah, menyatukan dan menghapus desa dan kelurahan, membawa kemungkinan bagi perubahan pada desa dan kelurahan baik dalam hal volume maupun statusnya. Perubahan yang ada menunjukkan bahwa jumlah desa dari tahun ke tahun memperlihatkan adanya gejala kenaikan. 
Berbicara tentang ciri khas desa tidaklah mudah, mengingat bahwa desa-desa di Indonesia sangat beragam. Sehubungan dengan hal itu, Koentjaraningrat mengemukakan perlunya berbagai sistem prinsip yang dapat dipakai dalam mengklasifikasikan aneka warna bentuk desa di Indonesia. Di samping itu, untuk menandai ciri-ciri desa di Indonesia, perlu diperhitungkan pula faktor-faktor antara lain : tingkat teknologi dan kondisi geografis, keberagaman suku bangsa di Indonesia, perbedaan dalam dasar-dasar peradaban suatu kawasan, dan pengaruh kekuasaan luar desa.
Keberagaman desa-desa di Indonesia menyebabkan terjadinya kesulitan dalam usaha untuk menyeragamkan desa-desa tersebut. Salah satu kesulitan adalah kesulitan dalam mencari padanan desa di Jawa dengan fenomena serupa yang ada di luar Jawa. Usaha yang telah dilakukan antara lain adalah pembakuan desa di Indonesia lewat Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 29 April 1969 (Nomor Desa 5/1/29) kepada para gubernur seluruh Indonesia.
Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Menurut C.S. Kansil desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerntahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Bintarto desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain. Paul H. Landis desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa, dengan ciri ciri sebagai berikut : mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa, ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam (seperti : iklim, keadaan, alam, kekayaan alam)  sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan, sistem kehidupannya berkelompok, termasuk kedalam masyarakat homogen dalam hal matapencaharian, agama, adat-istiadat, homogenitas sosial, hubungan primer, kontrol sosial yang ketat, gotong-royong, ikatan sosial, magis religius. Dari beberapa pengertian tentang desa diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa desa adalah sebuah wilayah yang ditempati sejumlah penduduk yang daerahnya masih dipenuhi oleh pepohonan dan lahan kosong, dan kekerabatan diantara penduduknya sangat erat dimana penduduknya memiliki sistem pemerintahan sendiri.
Ciri-ciri Masyarakat desa (karakteristik) Talcot Parsons menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mebngenal ciri-ciri sebagai berikut : Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar. Tetapi sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan kita ini mengenal bermacam macam gejala, diantaranya sebagai berikut : Konflik (pertengkaran). Pertengkaran terjadi biasanya berkisar pada masalah sehari-hari rumah tangga dan sering menjalar keluar rumah tangga.Sedang sumber banyak pertengkaran itu rupa-rupanya berkisar pada masalah kedudukan dan gengsi, perkawinan, dsb. Kontroversi (pertentangan). Pertentangan ini bisa disebabkan oleh perubahan konsep-konsep kebudayaan (adat-istiadat), psikologi atau dalam hubungannya dengan guna-guna (black magic). Kompetisi (persaingan). Masyarakat Pedesaan adalah manusia yang mempunyai sifat-sifat sebagai manusia biasa dan mempunyai saingan dengan manifestasi sebagai sifat ini. Oleh karena itu maka wujud persaingan itu bisa positif dan bisa negatif.
Secara umum sering kali terdapat persepsi yang salah tentang keberadaan masyarakat desa, di mana masyarakat desa cenderung dipandang rendah. Padahal kenyataannya masyarakat desa mempunyai peranan yang penting dalam sejarah pembentukan dan perkembangan peradaban masyarakat manusia.
Sebelum dikenal kegiatan bercocok tanam yang merupakan cikal bakal terbentuknya komunitas masyarakat desa, maka sejarah kehidupan manusia secara umum mengalami proses perkembangan yang sangat lamban. Sekitar 1.990.000 tahun mereka menjalani kehidupan yang sangat bersahaja dengan sistem mata pencaharian food gathering economics (berburu, meramu, dan menangkap ikan). Sifat mata pencaharian semacam ini kurang memungkinkan mereka untuk saling berhubungan dan menjalin kerja sama secara teratur dan permanen karena mereka harus selalu berpindah (mobil) mengikuti pola kehidupan binatang buruannya. Pola kehidupan mereka ini lebih menunjukkan pada bentuk pra-masyarakat, artinya belum mencerminkan kehidupan bermasyarakat yang teratur dan permanen. 
Dikenalnya kegiatan bercocok tanam sekitar 10.000 tahun yang lalu telah mengubah keadaan yang ada. Sifat tanaman yang terikat pada tempat (imobil) dan waktu telah memaksa orang untuk menetap. Biasanya mereka menetap pada tempat-tempat tertentu, yaitu di tempat-tempat yang subur seperti di tepi-tepi sungai dan danau, sehingga terjadilah pengelompokan. Di dalam pengelompokan ini terjadilah hubungan yang teratur di antara mereka. Selanjutnya dalam kondisi ini terciptalah akumulasi simbol-simbol yang merupakan awal dan landasan bagi perkembangan peradaban manusia. Kegiatan bercocok tanam juga menandai lahirnya fenomena desa sebab desa dalam pengertian pokoknya berarti tempat menetap dan bermukim dari sekelompok orang yang memiliki ketergantungan terhadap suatu tempat.
Masyarakat desa sering kali dipahami dalam keterkaitannya dengan kegiatan pertanian. Akan tetapi hal tersebut tidak cukup memadai, sebab kita juga harus mengaitkannya dengan konteks perubahan dan perkembangan dunia karena desa juga merupakan bagian integral dari kehidupan dunia. Agar mampu memahami desa dengan segala dinamikanya maka dibutuhkan teori atau perspektif (wawasan) sebagai kerangka berpikir. Dalam hal ini desa setidak-tidaknya dapat dijelaskan dari teori-teori tentang perubahan dan perkembangan sosial masyarakat. Teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena desa adalah teori dari ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya teori sosiologi.Teori sosiologi yang digunakan adalah yang mengacu pada teori evolusi sosial dari Herbert Spencer, yang merupakan turunan dari teori evolusi biologi Charles Darwin. Teori evolusi sosial ini berusaha menjelaskan fenomena desa sebagai proses perubahan dan perkembangan masyarakat dari yang masih bersahaja menuju masyarakat yang kompleks. Ternyata teori evolusi sosial yang bersifat umum tersebut tidak cukup memadai untuk dapat menjelaskan fenomena masyarakat desa secara lebih komprehensif, sehingga diperlukan teori-teori yang sifatnya lebih khusus.Teori-teori ini mencoba menjelaskan perkembangan masyarakat lewat tahap-tahap tertentu. Teori-teori khusus ini merupakan model dikotomi dan trikotomi yang membagi masyarakat menjadi pilah dua maupun pilah tiga. Teori-teori ini termasuk ke dalam kubu teori modernisme. Terdapat kubu teori lain yang berlawanan dari kubu teori modernisme yaitu kubu teori dependensi. Kalau teori modernisasi berpendapat bahwa semua masyarakat akan berubah dan berkembang menjadi modern, maka teori dependensi berpendapat bahwa kapitalisme modern menyebabkan masyarakat pinggiran menjadi tergantung pada negara-negara maju sehingga mengalami keterbelakangan.
Mengingat bahwa pada kenyataannya terdapat dominasi dari sistem kapitalisme modern, penyebarluasan teknologi modern dan komunikasi informasi maka dalam menggunakan kedua kubu teori tersebut sebaiknya juga harus memperhatikan pendapat Howard Newby. H. Newby berpendapat bahwa studi mengenai masyarakat desa saat ini hendaknya memfokuskan perhatian pada proses penyesuaian masyarakat desa terhadap merasuknya sistem kapitalisme modern. Pada umumnya pengertian desa sering dikaitkan dengan sektor pertanian, alasannya asal-muasal desa karena pengenalan cocok tanam. Secara keilmuan, ahli sosiologi menyatakan bahwa desa merupakan lingkungan di mana warga memiliki hubungan akrab dan bersifat informal. Paul H. Landis yang mewakili pakar sosiologi pedesaan, mengemukakan 3 definisi desa untuk tujuan analisis yang berbeda-beda, yaitu analisis statistik, analisis sosial psikologis, dan analisis ekonomi. Menurut Roucek dan Warren, untuk memahami masyarakat desa dapat dilihat dari karakteristiknya yaitu : besarnya peranan kelompok primer, faktor geografis sebagai dasar pembentukan kelompok, hubungan bersifat akrab dan langgeng, homogen, keluarga sebagai unit ekonomi, populasi anak dalam proporsi lebih besar.
Di dalam konsep struktur sosial terkandung pengertian adanya hubungan-hubungan yang jelas dan teratur antara orang yang satu dengan yang lainnya. Untuk dapat membangun pola hubungan yang jelas dan teratur tersebut tentu ada semacam ‘aturan main’ yang diakui dan dianut oleh pihakpihak yang terlibat. Aturan main tersebut adalah norma atau kaidah ini menjadi lebih konkret dan bersifat mengikat maka diperlukan lembaga (institusi).
Pitirin Sorokin membedakan struktur sosial menjadi struktur sosial vertikal dan horizontal. Struktur sosial vertikal (pelapisan atau stratifikasi sosial) menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang bersifat hierarkis, sedangkan struktur sosial horizontal (diferensiasi sosial) menggambarkan variasi/beragamnya dalam pengelompokan-pengelompokan sosial. Smith dan Zopf mengemukakan pendapat tentang pola pemukiman. Menurut mereka pola pemukiman berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan (spatial) antara pemukiman penduduk desa yang satu dengan yang lain dan dengan lahan pertanian mereka. Sementara itu Paul H. Landis menggambarkan adanya empat tipe pola pemukiman yaitu pola pemukiman : mengelompok murni, mengelompok tidak murni, menyebar teratur, dan menyebar tidak teratur. Menurut tipe pola pemukiman mengelompok murni yang paling dominan di dunia, sedangkan yang paling ideal adalah pola pemukiman tipe menyebar teratur. Di Indonesia, terutama di Jawa cenderung memperlihatkan pola pemukiman tipe mengelompok murni.
Struktur biososial adalah struktur sosial (vertikal maupun horizontal) yang berkaitan dengan faktor-faktor biologis seperti jenis kelamin, usia, perkawinan, suku bangsa dan lainnya. Keterkaitan antara faktor biologis dan struktur sosial diperlihatkan melalui sifat mata pencaharian, di mana ketika masyarakat masih pada taraf food gathering economic sampai dengan ketika bercocok tanam, maka pengalaman dan tenaga fisik menjadi faktor yang dominan. Dengan demikian orang yang lebih tua dan orang yang secara fisik lebih kuat (laki-laki dianggap lebih kuat dibandingkan perempuan) menempati kedudukan sosial yang tinggi.
Struktur sosial vertikal (stratifikasi atau pelapisan sosial) merupakan gambaran dari kelompok-kelompok sosial dalam susunan hierarkis. Untuk mengenalinya maka digunakan lambang status (status symbols). Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! Lambang status adalah semua hal atau benda yang menjadi pertanda dari suatu lapisan sosial seperti kekayaan, gaya hidup, pendidikan, keturunan, dan sebagainya. Lambang status ini dianggap mempunyai ‘nilai’ di dalam masyarakat.
Sutardjo Kartohadikoesoemo mengklasifikasikan penduduk desa Jawa menjadi beberapa lapisan sosial berdasarkan faktor pemilikan/penguasaan lahan pertanian, yaitu : Warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah dan tanah pekarangan. Warga desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan. Warga desa yang mempunyai rumah di atas pekarangan orang lain. Warga desa yang kawin dan mondok di rumah orang lain. Dan pemuda yang belum kawin. Berdasarkan kerangka dari Smith dan Zopf, pelapisan sosial masyarakat desa di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan kriteria yakni : luas atau sempitnya pemilikan atau penguasaan tanah, adanya pihak lain di luar sektor pertanian, sistem persewaan atau penguasaan tanah, dan sifat pekerjaan.
Struktur sosial horizontal merupakan gambaran mengenai keberagaman pengelompokan sosial dalam masyarakat. Secara umum masyarakat desa merupakan komunitas yang kecil sehingga antara orang yang satu dengan yang lainnya terdapat kemungkinan yang besar untuk saling berhubungan secara langsung dan saling mengenal secara “pribadi”. Hubungan semacam ini disebut hubungan primer dan kelompoknya disebut kelompok primer. Kelompok primer yang utama dalam masyarakat adalah keluarga, lalu ketetanggaan dan komunitas. Keluarga merupakan kelompok sosial yang mempunyai peran dan pengaruh yang paling dominan. Smith dan Zopf secara umum membedakan dua pola umum desa yaitu desa sistem satu kelas dan desa sistem dua kelas atau desa di mana pemilikan lahan pertanian penduduk mempunyai luas yang rata-rata sama. Sedangkan desa sistem dua kelas adalah tipe desa di mana terdapat perbedaan yang mencolok dalam luas pemilikan lahan pertanian. Di dalam desa sistem satu kelas terdapat pelapisan/stratifikasi sosial,sedangkan di dalam desa sistem dua kelas terdapat polarisasi sosial.
Pola Kebudayaan Masyarakat Desa Terhadap berbagai definisi tentang kebudayaan, antara lain yang mengemukakan bahwa way of life, yaitu way of thinking, way of feeling, dan way of doing. Untuk menganalisa masyarakat pedesaan yang bersifat bersahaja maka diperlukan konsep kebudayaan yang sederhana pula yaitu kebudayaan dilihat dari aspek kebudayaan dan non-kebudayaan (immaterial culture). Dengan kata lain kebudayaan dilihat sebagai suatu sistem nilai dan norma (adat istiadat) yang mengatur perilaku dan perikehidupan masyarakat desa.
Pola kebudayaan masyarakat desa termasuk pola kebudayaan tradisional, yaitu merupakan produk dari benarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung pada alam. Menurut Paul H. Landis besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan tradisional ditentukan oleh : sejauh mana ketergantungan terhadap alam, tingkat teknologi yang dimiliki, dan sistem produksi yang diterapkan. Paul H. Landis juga mengemukakan ciri-ciri kebudayaan tradisional yaitu : adaptasinya pasif, rendahnya tingkat invasi, tebalnya rasa kolektivitas, kebiasaan hidup yang lamban, kepercayaan kepada takhayul, kebutuhan material yang bersahaja, rendahnya kesadaran terhadap waktu, cenderung bersifat praktis, dan standar moral yang kaku.
Persyaratan bagi eksistensi pola kebudayaan tradisional tidak hanya menyangkut kesembilan ciri-ciri di atas, melainkan juga harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa) seperti pengaruh struktur kekuatan tertentu yang mendominasi desa. Berbagai kerajaan yang tersebar di persada Nusantara memiliki pengaruh yang sangat menentukan bagi pola kebudayaan masyarakat desa. Pengaruh kerajaan juga menyangkut masalah penguasaan kerajaan terhadap tanah pertanian (sistem feodalisme) sehingga masyarakat desa memiliki ketergantungan yang tinggi pada kerajaan. Di daerah-daerah yang tidak terdapat kerajaan maka sistem kekerabatan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi keberadaan pola kebudayaan tradisional. Dengan kata lain, pola kebudayaan mereka identik dengan sistem kekerabatannya.
Tradisi dibedakan dalam pengertian sebagai tradisi sinkronik dan diakronik. Dalam pengertian tradisi diakronik, antara yang tradisional dengan yang modern tidak dapat dipertemukan atau dipersatukan. Sedangkan dalam tradisi sinkronik, tradisi justru bersifat situasional Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! artinya mengikuti perubahan dan perkembangan zaman sehingga antara yang tradisional dengan yang modern tidak bertentangan. Dalam pembahasan tentang masyarakat desa yang bersahaja, maka pengertian.tradisi diakronis yang digunakan. 
Pengertian tradisi dan adat istiadat dikonkretkan lagi menjadi hukum adat. Pengertian hukum adat di sini lebih mengacu pada pengertian hukum asli yang ada di pelbagai daerah di Indonesia. Hukum adat yang mengatur kehidupan masyarakat-masyarakat di pelbagai daerah di Indonesia ini tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya pengaruh dari agama Hindu, Islam, dan pemerintahan kolonial.
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai hukum adat di Indonesia, perlu dibedakan dua tipe desa berdasarkan perbedaan integritas masyarakatnya yaitu desa-desa di luar Jawa dan di Jawa. Integritas desa-desa di luar Jawa didasarkan atas hubungan darah (genealogis), sedangkan integritas desa-desa di Jawa lebih didasarkan pada ikatan hubungan daerah (geografis). Pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah maka hukum adatnya kurang memiliki kekuatan pengikat dan pengendali dibandingkan dengan hukum adat pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah.
Untuk desa-desa di Jawa umumnya, di daerah pedalaman khususnya, melemahnya tradisi serta hukum adat bukan saja karena sifatnya sebagai tipe desa geografis, melainkan terutama untuk intervensi yang dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa). Kekuatan supradesa ini adalah dari kekuatan kerajaan dan pemerintah kolonial.
Terdapat beberapa definisi yang mencoba menjelaskan tentang perbedaan pengertian society dan community. Akan tetapi pada dasarnya komunitas itu mempunyai dua karakteristik yaitu adanya ikatan kedaerahan, dan ikatan emosional di antara warganya. Pada pembahasan ini komunitas desa diartikan sebagai komunitas kecil yang relatif masih bersahaja, yang masih jelas memiliki ketergantungan terhadap tempat tinggal (lingkungan) mereka entah sebagai petani, nelayan atau yang lainnya.
Corak dan sifat komunitas desa didasarkan pada sistem mata pencaharian pokok mereka yaitu sistem pertaniannya. Sistem pertanian lahan kering akan menciptakan tipe komunitas yang berbeda dengan sistem pertanian lahan basah. Di samping itu jenis-jenis tanaman juga akan menyebabkan perbedaan tipe komunitas. Selanjutnya D. Whittlesey mengemukakan tentang sembilan corak sistem pertanian yaitu : bercocok tanam di ladang berpindah, bercocok tanam tanpa irigasi menetap, bercocok tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana dan tanaman pokok padi, bercocok tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana tanpa padi, bercocok tanam sekitar Lautan Tengah, pertanian buah-buahan, pertanian komersial dengan mekanisasi berdasarkan tanaman gandum, pertanian komersial dengan mekanisasi, dan pertanian perkebunan dengan mekanisasi.
Selain komunitas desa pertanian terdapat pula komunitas desa nelayan. Faktor penentu struktur komunitas desa nelayan adalah pemilikan sarana menangkap ikan (perahu, jaring-jaring, harpun, dan lainnya). Secara umum terdapat dua strata pokok dalam struktur masyarakat desa nelayan yaitu juragan dan buruh nelayan. Selain itu terdapat pula strata komando kapal yang posisinya ada di tengah-tengah kedua strata tersebut. Kondisi komunitas desa nelayan ini ternyata lebih miskin dibanding komunitas desa pertanian.
Komunitas Peasan (Peasant). Terdapat bermacam-macam definisi yang mencoba menjelaskan pengertian tentang peasan. Definisi-definisi tersebut pada dasarnya mengacu pada sistem kehidupan peasan yang bersifat subsisten, artinya masyarakat dengan tingkat hidup yang minimal atau hanya sekedar untuk hidup. Sistem kehidupan subsisten ini bisa dikarenakan faktor kultural, yaitu sudah menjadi way of life yang diyakini dan membudaya di antara kelompok masyarakat, bisa pula karena faktor struktural yaitu karena faktor kepemilikan tanah.
Sehubungan dengan pola kebudayaan subsisten peasan, Everett M. Rogers mengemukakan tentang karakteristik dari subkultur peasan yaitu saling tidak mempercayai dalam berhubungan antara satu dengan yang lainnya, pemahaman tentang keterbatasan segala sesuatu di dunia, sikap tergantung sekaligus bermusuhan terhadap kekuasaan, familisme yang tebal, tingkat inovasi yang rendah, fatalisme, tingkat aspirasi yang rendah, kurangnya sikap penangguhan kepuasan, pandangan yang sempit mengenai dunia, dan derajat empati yang rendah. Karakteristik sebagaimana dikemukakan oleh Everett M. Rogers tersebut di atas tidak semua cocok dengan karakteristik peasan di Indonesia. Peasan di Indonesia lebih cenderung saling mempercayai antara satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan kebersamaan atau kolektivitas yang tinggi.

Analisis Komunitas Pendidikan di Indonesia


A.    Pendahuluan
Pendidikan di era globalisasi menghadapi berbagai tantangan yang semakin berat. Cepatnya perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat, di satu sisi dapat membawa kemajuan, namun juga sekaligus melahirkan kegelisahan pada masyarakat. Salah satu hal yang menggelisahkan adalah persoalan moral. Orang sepertinya tidak lagi memiliki pegangan akan norma-norma kebaikan. Dalam situasi ini, terutama dalam pendidikan, dibutuhkan sikap yang jelas arahnya dan norma-norma kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pendidikan tidak hanya dituntut untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan perubahan sosial yang ada, namun lebih dari itu, pendidikan juga dituntut untuk mampu mengantisipasi perubahan dalam menyiapkan generasi muda untuk mengarungi kehidupannya di masa yang akan datang.
Salah satu tantangan pendidikan masa depan adalah tetap berlangsungnya pendidikan nilai, supaya nilai-nilai luhur yang menjadi acuan dalam perilaku, dapat ditransformasikan dari generasi ke generasi, khususnya dalam rangka menepis berbagai dampak negatif dari perubahan sosial. Namun dalam kenyataannya, seperti diungkapkan oleh Sudarminta (Atmadi, 2000:3) sungguhkah kegiatan pendidikan selama ini, baik melalui jalur sekolah maupun luar sekolah sudah kita rancang dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh akan perlunya mempersiapkan generasi muda agar mampu menghadapi tantangan hidupnya di masa depan?. Institusi pendidikan, terutama sekolah, selama ini dianggap sebagai salah satu lembaga sosial yang paling konservatif dan statis dalam masyarakat. Sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sering kurang mampu mengikuti dan menanggapi arus perubahan cepat yang terjadi di masyarakat. Supaya kegiatan pendidikan mampu membekali peserta didik dalam menghadapi tantangan hidupnya di masa depan, harus diantisipasi (berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ada), apa yang menjadi tantangan hidup mereka di masa depan.
Dalam skala mikro, paradigma lama yang dijadikan sebagai dasar praksis pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatian pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang dikembangkan secara sistematis dan pedagogis (Suyanto dalam Sismono, 2006:128). Supaya pendidikan bermakna bagi kehidupan siswa, maka dalam proses pendidikan, guru harus sanggup mengembangkan aspek kognitif siswa (menyangkut knowledge) dan afektif (menyangkut moral and social action) secara simultan.
Pendidikan tidak hanya bertujuan menghasilkan pribadi yang cerdas dan terampil, tetapi juga menghasilkan pribadi yang memiliki nurani dan budi pekerti.Tanpa adanya integritas pribadi, kecerdasan dan ketrampilan bisa saja disalahgunakan untuk hal-hal yang merugikan. Untuk itu, disadari pentingnya pengembangan budi pekerti di pusat-pusat pendidikan, termasuk di sekolah.
Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas sekolah misalnya, sekurangnya ada tiga aspek pokok yang perlu diperhatikan, yaitu : proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan kultur sekolah (Oepdikbud, 1999:10). Dua hal yang disebut pertama sudah banyak menjadi fokus perhatian berbagai pihak yang peduli pada peningkatan kualitas pendidikan. Namun faktor yang ketiga, yaitu kultur sekolah, belum banyak diangkat sebagai salah satu faktor yang menentukan, termasuk dalam upaya pengembangan moral siswa di sekolah.

B.     Pembahasan
Sekolah sebagai satuan institusi pendidikan memiliki fungsi  strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Sebagai satuan terdepan  (the front liner), sekolah memiliki tugas merealisasikan rumusan-rumusan makro pengembangan SDM yang mengacu pada kriteria pemenuhan 8 standar nasional pendidikan ke dalam skala prioritas mikro pengembangan sekolah. Dalam mengusung visi dan misinya sebagai lembaga layanan publik untuk mencerdaskan anak bangsa, maka  diperlukan langkah-langkah kongkret pelaksanaan program sekolah, sehingga visi dan misi yang diusungnya tidak sekedar jargon figuratif etalase sekolah, dan yang dinilai paling fundamental adalah bagaimana program-program yang dilaksanakan tersebut mampu mengokohkan kultur sekolah(school attitude, school culture) dalam konteks upaya-upaya menumbuhkan kesadaran peka budaya belajar dan budaya mutu serta menciptakan masyarakat sekolah yang kondusif (condusive school society) yang dapat membentuk atmosfir pendidikan yang sehat di lingkungan sekolah.
Kultur sekolah pada dasarnya adalah suatu kondisi yang terbentuk dari seluruh sikap dan tindakan individu atau kelompok dalam komunitas sekolah yang cenderung untuk melakukan segala aktivitas berbasis belajar sehingga menjadi ciri, watak dan kebiasaan yang dimiliki. Kokohnya budaya sekolah diawali dengan membangun kesamaan persepsi bahwa sekolah yang didalamnya terdapat anggota komunitas interaktif kegiatan belajar mengajar adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan untuk membangun masyarakat yang berilmu, berbudaya dan berkeadaban (bermoral, beretika, dalam wujud karakter yang berakar kepada nilai-nilai agama, tradisi, adat dan kebiasaan positif) demi mewujudkan cita-cita dan harapan masa depan. Secara konseptual Deal dan Peterson (1999) menyampaikan teorinya bahwa budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, karyawan serta siswa sehingga menjadi ciri khas, karakter atau  watak yang dapat membentuk citra sekolah di masyarakat. Dilain pihak studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr menemukan adanya pengaruh dari lima dimensi budaya sekolah yaitu: tantangan akademik, prestasi, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan. Namun pada intinya penguatan budaya sekolah akan bermuara pada efektivitas pembelajaran yang tidak hanya didasarkan pada seberapa banyak ilmu pengetahuan dapat diserap oleh peserta didik, namun lebih ditekankan pada seberapa jauh ilmu pengetahuan tersebut dirasakan manfaatnya oleh peserta didik dalam wujud kompetensi yang teraplikasi ke dalam bentuk kecakapan hidup (life skills)   yang dapat dipergunakan di lapangan kehidupan nyata.
Saat ini kita perlu mencermati persoalan yang sedang dihadapi berkaitan dengan  desentralisasi pengelolaan pendidikan yang telah menempatkan sekolah sebagai unit utama basis peningkatan kualitas yang tentunya akan sangat berpengaruh pada perubahan kultur sekolah karena mekanisme kerja operasionalnya akan menitikberatkan pada pemberdayaan sekolah itu sendiri. Salah satunya adalah  dalam hal  orientasi kerja dimungkinkan akan mengakar dari inovasi- inovasi kreativitas  serta  mampu menghilangkan orientasi kerja yang serba instruktif (top down oriented) walaupun tampaknya sekolah belum mampu sepenuhnya mengembangkan ke arah itu  karena pengelolaan sekolah saat ini baru bersifat swa-manajemen (self managing school) yang dilaksanakan berdasarkan petunjuk pelaksanaan yang masih sentralistik sehingga belum dapat membangun  penyelenggaraan secara mandiri (self governing school ). Oleh karenanya realitas sekolah masih berada  pada posisi pelaksana operasional kebijakan pendidikan atau user dari juknis juklak yang masih bersifat trial and error. Hal ini diasumsikan mungkin pemerintah belum bisa sepenuhnya memberikan kewenangan manajerial berkerangka manajemen berbasis sekolah sebagai bentuk otonomi yang diamanatkan Undang-undang Sisdiknas karena infrastruktur sekolah  yang dinilai belum siap menyelenggarakannya.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan upaya memperkokoh kultur sekolah Pertama, konsep pengembangan pendidikan yang dibuat oleh para pengambil kebijakan di tingkat pusat harus memiliki kejelasan serta terkondisi dalam bentuk transfer to public ownership (pemahaman mayoritas pelaksana pendidikan). Konsep pendidikan hendaknya berpijak di atas peta masalah sehingga menyentuh aspek-aspek substansial yang harus dikembangkan. Saat ini masalah pendidikan tidak dapat direduksi hanya sebatas masalah institusional pendidikan melainkan sebagai masalah bersegi banyak yang memiliki interdependensi dengan masalah lain dalam bentuk circular causation. Pendidikan dalam hal ini telah menerima imbas dari efek kumulatif problematika sosial-ekonomi-kultural. Dengan keadaan seperti itu maka peta masalah akan mengarah pada tuntutan emosional akan adanya konsep pendidikan yang lebih praktis yang dapat menjembatani dunia teoritis konsepsional dengan kebutuhan praktis yang lebih mendesak  Untuk itu sekolah tidak boleh disibukkan untuk menterjemahkan rumusan kebijakan yang juga sering mengundang kontroversi serta polemik berkepanjangan. KTSP berbaju desentralisasi, paradoks dengan fakta adanya penggiringan ke arah penyeragaman, UN yang mengkamuflase standar kompetensi lulusan dengan nilai batas kelulusan yang nampak dipaksakan, adanya budaya latah SKM, SSN yang dipublikasikan kepada masyarakat oleh sekolah penerima dana block grant, dan banyak lagi contoh persoalan yang mengundang kontroversi dan polemik yang diakibatkan oleh kekurang jelasan konsep pendidikan.
Kedua, secara fenomenal sekolah dihadapkan pada persinggungan encounter of values, pertemuan dua sistem nilai yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pranata sekolah yang dibangun di atas prinsip humanistik edukasional dalam kerangka pembentukan watak dan pengembangan potensi peserta didik berhadapan dengan pranata sosial di luar lingkungan sekolah  yang memiliki problematika multi dimensional. Sekolah sebagai tempat melatih peserta didik untuk memahami arti kehidupan melalui pembentukan karakter, penanaman disiplin serta penggalian potensi berhadapan dengan berbagai keprihatinan sosial di luar lingkungannya yang ditengarai dengan adanya bentuk-bentuk penyimpangan serta pelanggaran hukum dan tata tertib kehidupan. Potret sekolah saat ini agaknya telah terkontaminasi penyakit sosial. Penyalahgunaan obat terlarang, panyimpangan perilaku seksual, tawuran, munculnya geng-geng anak sekolah, merambahnya bentuk pornografi dan pornoaksi serta penyimpangan penggunaan media jejaring sosial facebook yang akhir-akhir ini menjadi berita utama di media masa, merupakan hal yang biasa terjadi di kalangan pelajar. Hal ini berimplikasi pada kebekuan dan kekakuan sistem sekolah dalam proses interaksi sosial edukasional.  Kebekuan sistem nampak dalam rutinitas keseharian sekolah yang menampilkan wajahnya dengan simbol-simbol normatif an sich yang tidak menyentuh kesadaran. Penghormatan kepada guru, pelaksanaan upacara bendera, tata-tertib berpakaian dan kerapian diri, disiplin belajar, dan terkadang masih terjadi pendekatan otoritas dan doktrinitas yang mengarah pada kekerasan dan penekanan mental (fit of depression) serta kamuflase perilaku peserta didik, adalah contoh-contoh symbol an sich yang sering menjadi kendala yang merintangi proses  interaksi belajar mengajar yang pada gilirannya mempengaruhi proses evaluasi untuk menentukan keberhasilan belajar. Untuk itu sekolah harus berupaya melakukan penguatan reciprocal relationship, hubungan timbal balik serta kerjasama yang kuat dengan orang tua dan masyarakat pemangku kepentingan (stakeholder) untuk  memperkokoh kultur sekolah sehingga tidak terkontaminasi berbagai penyakit sosial yang berdampak citra buruk terhadap sekolah.
Ketiga, berkenaan dengan sekolah sebagai kesatuan sosial edukasional. Sekolah yang terstruktur secara hierarkis dalam jabatan fungsional dan struktural serta peserta didik sebagai anggota komunitas interaktif kegiatan belajar mengajar, adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan. Sebagai sebuah sistem interaksi sosial yang dinamis, sekolah dapat dianalogikan dengan organisasi sepakbola. Sekolah diumpamakan sebagai lapangan sepakbola, kepala sekolah diibaratkan sebagai manajer, guru sebagai pelatih, peserta didik sebagai pemain, peraturan tata tertib sebagai wasit dan orang tua beserta masyarakat sebagai penonton yang mendukung terciptanya fairplay dalam pertandingan. Semua yang terkait dalam permainan sepakbola mengharapkan terciptanya gol indah yang diimpikan bersama. Organisasi sekolah dianalogikan sebagai organisasi sepakbola karena sama-sama berbasis masyarakat luas. Sekolah tumbuh dan dibesarkan di tengah-tengah masyarakat serta diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Seperti halnya sepakbola, sekolah pun memiliki ultimate goal, tujuan pendidikan yang menjadi impian yang dapat terwujud melalui partisipasi semua pihak terkait dalam mengkondisikan ‘fair play’ pendidikan dalam konteks penghindaran segala bentuk penyimpangan, pemagaran dan pemasungan kreativitas, penumpulan kemampuan dan kecakapan serta pengalinasian nilai-nilai fundamental kemanusiaan. Mengelola sekolah sebagai kesatuan sosial edukasional, tak ubahnya seperti bermain sepakbola, harus mampu bermain cantik dalam memberikan umpan terobosan ke berbagai lini dan sektor lapangan serta melakukan kerjasama tim dalam menggiring bola dan menyarangkannya ke gawang ‘tujuan pendidikan’.
Keempat, berkenaan dengan pengembangan manajerial sekolah. Benjamin, pakar pendidikan mengibaratkan sekolah sebagai kapal yang akan berlayar di laut lepas, kepala sekolah sebagai nakhoda, menetapkan visi, misi dan strategi, manyusun dan merancang tujuan yang ingin dicapai, memonitor perkembangan dan kemajuan peserta didik, mengevaluasi kinerja guru dan tenaga adminisatif serta melakukan evaluasi introspektif tugas-tugas leadership kepala sekolah yang ia laksanakan. Kepala sekolah juga harus membangun kesatuan komando (unity of command) untuk menciptakan tata kerja organisasi yang dapat menterjemahkan visi, misi, dan strategi yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Guru yang diibaratkan sebagai awak kapal harus mampu mengimplementasikan kebijakan kepala sekolah. Guru adalah variabel yang sangat menentukan. Keberhasilan guru dalam membentuk watak dan mengembangkan potensi siswa dapat dimaknai sebagai kemenangan perang. Hal ini  didasarkan pada fungsi strategis guru dalam perjuangan pendidikan yang digambarkan sebagai perang dalam konteks a battle of wits (perang pencerdasan) dan a battle for survival (perang perjuangan hidup). Peran, profesionalitas serta dedikasi  guru sangat penting dan menentukan dalam setiap pergeseran paradigma pendidikan yang terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dalam kerangka peningkatan kualitas sumber daya manusia. Persoalannya sejauh mana kesiapan guru dalam membunyikan genderang perang melawan kemiskinan ilmu pengetahuan, sejauh mana pula guru memiliki peralatan perang multi media berbasis ICT, penguasaan materi serta metoda dan pendekatan mengajar. Peserta didik yang diibaratkan sebagai penumpang kapal, adalah pemilik kodrat kemanusiaan (the nature of man) dan pemilik kodrat sosial (the nature of society) serta memiliki kecenderungan eksistensialistik dalam bentuk pencarian jati diri.  Seorang penggembala hewan dapat menggembala hewan ternaknya kemana ia suka. Sebuas-buas binatang akan dapat dijinakkan melalui cara-cara tertentu. Lain halnya dengan manusia yang dalam hal ini peserta didik, ia tidak dapat digembala seperti binatang atau dibentuk secara mekanik. Ia adalah manusia yang mendapat anugerah Tuhan berupa akal pikiran, intuisi serta gerak nurani ingin memiliki dirinya sendiri.
Kelima, berkenaan dengan konsensus nilai. Sekolah sebagai sistem sosial akan menciptakan sistem budaya yang terbentuk dari nilai-nilai, sikap, dan keyakinan masing-masing individu. Setiap individu guru memiliki persepsi dan cara pandang yang berbeda dalam menilai seorang siswa dalam hal pelanggaran disiplin, tentang rambut, pakaian, sepatu, aksesori, penggunaan handphone, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya. Hal tersebut akan sangat mempengaruhi aturan tata–tertib disiplin yang akan diterapkan di sekolah, dan tidak menutup kemungkinan terjadi konflik internal yang menghambat proses kegiatan pendidikan. Ketika terjadi perbedaan-perbedaan dalam menilai keputusan dan kebijakan yang diterapkan sekolah. Untuk menyikapi hal tersebut kita memerlukan kesepakatan dalam bentuk konsensus agar terdapat pemahaman yang sama dan sebangun tentang nilai dan ukuran sehingga tidak menghambat  pengembangan sekolah dalam peningkatan kualitas layanan pendidikan, malahan justru diharapkan nilai-nilai dan ukuran yang disepakati tersebut dapat mendukung keberhasilan program-program sekolah. Nilai dan ukuran yang disepakati seyogyanya memiliki fleksibilitas serta mampu mewujudkan kebersamaan dan keseragaman dalam bersikap dan bertindak yang pada gilirannya melahirkan school attitude (sikap dan tindakan sekolah) yang mencerminkan kultur sekolah itu sendiri. Nilai dan ukuran yang diterapkan juga harus mengedepankan prinsip keteladanan melalui sikap dan tindakan awal berupa ajakan self addressed “ lakukan seperti apa yang saya lakukan “ dan bukan ajakan self centered “ lakukan sebagaimana yang saya katakan”.
Keenam, ialah upaya membangun kepercayaan masyarakat (trust building) terhadap sekolah. Hal ini dimungkinkan apabila sekolah memiliki progress dan track record peningkatan kualitasnya. Yang perlu disadari bahwa sekolah masa kini dituntut untuk memiliki profil dan performance yang meyakinkan sehingga menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan di masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan menguat manakala sekolah mampu bertengger di atas kualitas kemampuan layanan publik yang membanggakan sesuai dinamika tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dari kepercayaan yang tumbuh  akan berimplikasi pada saling pengertian, kepedulian, dan tanggung jawab bersama terhadap kemajuan pendidikan.
Membangun dan mengokohkan kultur sekolah pada dasarnya adalah merupakan semangat pembenahan awal dari sebuah perubahan yang dinilai paling fundamental harus dilakukan untuk mengkondisikan sekolah berbudaya mutu dalam menghadapi perkembangan dunia yang semakin kompetitif . Pendidikan sebagai denyut nadi pencerdasan bangsa tidak boleh berhenti sepanjang hayat dan sekolah sebagai organ tubuh pendidikan tingkat satuan dengan kulturnya yang sehat, kualitatif-kompetitif-edukasional adalah miniatur kultur yang diharapkan mampu diterapkan di masyarakat kelak.

C.    Kesimpulan
Kepemimpinan kepala sekolah dan kreatifitas guru yang professional, inovatif, kreatif, merupakan salah satu tolak ukur dalam peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, karena kedua elemen ini merupakan figur yang bersentuhan langsung dengan proses pembelajaran, kedua elemen ini merupakan figur sentral yang dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat (orang tua) siswa, kepuasan masyarakat akan terlihat dari output dan outcome yang dilakukan pada setiap periode. Jika pelayanan yang baik kepada masyarakat maka mereka tidak akan secara sadar dan secara otomatis akan membantu segala kebutuhan yang di inginkan oleh pihak sekolah, sehingga dengan demikian maka tidak akan sulit bagi pihak sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah.
Pendidikan merupakan proses mempersiapkan generasi muda untuk hidup di masa yang akan datang. Tanpa bermaksud mengecilkan berbagai pihak yang telah mengupaya perbaikan pendidikan, kiranya perubahan-perubahan masih perlu terus dilaksanakan. Upaya yang telah dilakukan selama ini, lebih banyak menyangkut pada proses pembelajaran di kelas, kepemimpinan sekolah, sarana prasarana, dan manajemen pendidikan. Pembenahan pendidikan di sekolah melalui kultur sekolah, belum banyak diperhatikan dan dikembangkan. Padahal, pengembangan kultur sekolah tidak saja bermanfaat bagi peningkatan prestasi siswa di bidang akademik melainkan juga prestasi non akademik. Pendidikan merupakan sarana sosialisasi nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat setempat, juga sebagai agen untuk mempertahankan nilai-nilai lama (conservative/maintenance learning), sekaligus mentransmisikan nilai-nilai baru (transformative /innovative learning). Pendidikan di sekolah dalam konteks ini, merupakan salah satu institusi yang berperan menanamkan nilai-nilai yang mendukung peningkatan kualitas dan efektivitas sekolah. Proses pembelajan di sekolah merupakan sarana efektif untuk menanamkan tidak hanya pengetahuan (kognitif) dan ketrampilan (psikomotorik) saja, melainkan juga aspek afektif, yang meliputi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Semua warga sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kultur sekolah untuk mewujudkan pendidikan yang baik (good school atau effective school).

D.    Daftar Pustaka
Sairin, Sjafri. 2003. Kultur Sekolah dalam Era Multikultural. Makalah Seminar Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Pengembangan Kultur Sekolah, Pascasarjana, UNY, 12 Juni.
Vembriarto, St. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Grasindo