Di bawah serangan kritik seperti yang
baru dilukiskan itu, fungsionalisme struktural mulai merosot arti pentingnya
sejak pertengahan 1960-an hingga awal 1980-an. Sekitar pertengahan 1980-an
berlangsung upaya besar untuk menghidupkan kembali teori itu dengan tajuk
“neofungsionalisme”. Istilah neofungsionalisme digunakan untuk menandai
kelangsungan hidup fungsionalisme struktural, tetapi juga sekaligus menunjukkan
bahwa sedang dilakukan upaya memperluas fungsionalisme struktural dan mengatasi
kesulitan utamannya. Jeffrey Alexander dan Paul Colomy mendefinisikan
neofungsionalisme sebagai “rangkaian kritik-diri teori fungsional yang mencoba
memperluas cakup intelektual fungsionalisme yang sedang mempertahankan inti
teorinya”. Jadi, tampak jelas bahwa Alexander dan Colomy melihat fungsionalisi
struktural terlampau sempit dan bahwa tujuan mereka adalah menciptakan teori
sintetis yang mereka namakan “neofungsionalisme”. Turner dan Maryanski (1988)
menentang neofungsionalisme dengan mengatakan bahwa orientasinya tak sepenuhnya
fungsional, karena dia mengabaikan berbagai prinsip dasar fungsionalisme
struktural.
Perlu dicatat bahwa ketika
fungsionalisme struktural pada umumnya, dan teori Talcott Parsons pada
khususnya, menjadi ekstrem, ada inti sintesis yang kuat di dalam teori tersebut
sejak awal. Di satu sisi, di sepanjang kehidupan intelektualnya, Parsons
berusaha mengintegrasikan berbagai macam input teoritis. Di lain pihak, dia
tertarik dengan kesalinghubungan domain-domain utama dari dunia sosial, terutama
sistem kultural, sosial, dan personalitas. Akan tetapi, pada akhirnya, Parsons
mengadopsi orientasi fungsionalis struktural yang lebih sempit, dan memandang
sistem kultural sebagai penentu sistem lainnya. Jadi, Parsons mengabaikan
orientasi sintesisnya, dan neofungsionalisme dapat dilihat sebagai usaha untuk
menangkap kembali orientasi tersebut.
Alexander (1985a:10) menyebutkan
problem yang diasosiasikan dengan fungsionalisme struktural yang perlu diatasi
oleh neofungsionalisme, termasuk “anti-individualisme”, “antagonistik terhadap
perubahan”, “konservatisme” “idealisme”, dan “bias antiempiris”. Telah
dilakukan upaya untuk mengatasi persoalan ini secara terencana (Alexander,
1985a) dan pada level teoritis yang lebih spesifik, misalnya usaha Colomy (1986;
Alexander dan Colomy, 1990b; Colomy dan Rhoades, 1994) untuk memperbaiki teori
diferensiasi.
Meski bersemangat terhadap
neofungsionalisme, pada pertengahan 1980-an Alexander terpaksa menyimpulkan
bahwa “neofungsionalisme adalah sebuah tendensi bukan teori yang maju”
(1985a:16).
Meskipun neofungsionalisme mungkin
bukan teori yang maju, Alexander menguraikan beberapa orientasi dasar
neofungsionalisme. Pertama, neofungsionalisme bekerja dengan model masyarakat
deskriptif. Model ini melihat masyarakat tersusun dari unsur-unsur yang saling berinteraksi
menurut pola tertentu. Pola ini memungkinkan sistem dibedakan dari
lingkungannya. Unsur-unsur sistem “berhubungan secara simbiosis” dan iya tak
ditentukan oleh kekuatan semata. Jadi, neofungsionalisme bersifat terbuka dan
plural.
Kedua, Alexander menyatakan bahwa
neofungsionalisme memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap tindakan dan
keteraturan. Ini berarti menghindarkan kecenderungan fungsionalisme struktural
tradisional yang memusatkan perhatian hampir sepenuhnya pada sumber dan
keteraturan tingkat makro struktur sosial dan kultur. Perspektif ini memberikan
perhatian yang cukup terhadap pola tindakan di tingkat yang lebih mikro.
Neofungsionalisme juga mengaku mempunyai perhatian besar terhadap tindakan, tak
hanya yang rasional tetapi juga tindakan yang ekspresif.
Ketiga, neofungsionalisme tetap
memperhatikan masalah integrasi, tetapi bukan dilihat sebagai fakta sempurna
melainkan lebih dilihat sebagai kemungkinan Neofungsionalisme mengakui bahwa
penyimpangan dan kontrol sosial realitas dalam sistem sosial. Neofungsionalisme
memperhatikan keseimbangan, tetapi dalam konteks yang lebih luas ketimbang
perhatian fungsionalisme struktural tradisional. Keseimbangan sosial tak
dilihat sebagai keseimbangan statis. Keseimbangan dilihat sebagai titik rujukan
untuk analisis fungsional tetapi bukan sebagai deskripsi kehidupan individual
sosial yang nyata.
Kempat, neofungsionalisme tetap
menerima penekanan Parsonsian tradisional atas kepribadian, kultur, dan sistem
sosial. Selain sebagai aspek vital struktur sosial, interpenetrasi atas sistem
sosial itu juga menghasilkan ketegangan yang merupakan sumber perubahan dan
kontrol.
Kelima, neofungsionalisme memusatkan
perhatian pada perubahan sosial proses diferensiasi di dalam sistem sosial,
kultural dan kepribadian. Perubahan tak hanya menghasilkan keselarasan dan
konsensus, tetapi juga dapat menimbulkan ketegangan, baik individual maupun
kelembagaan (Alexander, 1985:10).
Terakhir, neofungsionalisme “secara
tak langsung menyatakan komitmennya terhadap kebebasan dalam
mengonseptualisasikan dan menyusun teori berdasarkan analisis sosiologi pada
tingkat lain” (1985a:10).
Alexander dan Colomy (1990a)
mempertahankan klaim yang sangat ambisius. Mereka tidak melihat
neofungsionalisme sebagai sekadar “elaborasi” atau “revisi” fungsionalisme
struktural tetapi lebih sebagai “rekonstruksi” terhadap fungsionalisme
strukttural di mana perbedaannya dengan pendiriannya (Parsons) diakui dengan
jelas dan ada keterbukaan yang eksplisit terhadap teori dan teoritisi lainnya.
Pandangan ini, setidaknya sebagian, tampaknya sesuai dengan klaim Turner dan
Maryansk: bahwa neofungsionalisme tidak banyak kesamaannya dengan
fungsionalisme struktural. Usaha-usaha telah dilakukan untuk mengintegrasikan
pandangan neofungsionalisme dari para pakar, seperti struktur material Marx
dengan simbolisme Durkheim. Dalam usaha untuk mengatasi bias idealis
fungsionalisme struktural Parsonsian, khususnya penekanannya pada
makro-subjektif seperti kultur, pendekatan yang lebih materialis dianjurkan.
Tendensi struktural fungsional untuk menekankan pada keteraturan diimbangi
dengan seruan untuk mendekati kembali teori perubahan sosial. Yang penting,
untuk mengimbangi bias level makro dari fungsionalisme struktural tradisional, dilakukan
usaha untuk mengintegrasikan ide-ide dari teori pertukaran, interaksionisme
simbolik, pragmatisme, fenomenologi, dan sebagainya. Dengan kata lain,
Alexander dan Colomy berusaha menyintesak fungsionalisme struktural dengan
sejumlah tradisi teoritis lainnya. Rekonstruksi semacam itu dapat membangkitkan
kembali fungsionalisme struktural dan memberikan dasar untuk pengembangan
tradisi teoritis yang baru. Alexander dan Colomy mengakui perbedaan penting
antara neofungsionalisme dengan fungsionalisme struktural:
Riset fungsional awal dipandu oleh
skema konseptual tunggal yang serba meliputi yang mengikat area-area riset
khusus ke dalam satu paket ketat. Sebaliknya, karya empiris neofungsionalis
diorganisasikan secara longgar, yaitu diorganisasikan di seputar logika umum
dan memiliki sejumlah “cabang” dan “variasi” yang agak otonom pada tingkat dan
domain empiris yang berbeda-beda (Alexander dan Colomy, 1990a:52).
Pemikiran Alexander dan Colomy
mengindikasikan pergeseran menjaui dari tendensi Parsonsian untuk melihat
fungsionalisme struktural sebagai teori besar. Sebaliknya, mereka menawarkan
teori yang lebih terbatas dan sintetis namun tetap holistik.
Akan tetapi, seperti
ditunjukkan pada awal, masa depan neofungsionalisme diragukan karena fakta
bahwa pendiri dan eksponen utamanya, Jeffrey Alexander, menjelaskan bahwa dia
telah keluar dari orientasi neofungsionalisme. Pergeseran pemikiran ini tampak
dalam judul dari bukunya yang akan segera terbit, Neofunctionalisme and After
(Alexander, 1998). Alexander dalam karya itu mengatakan bahwa salah satu tujuan
utamanya adalah membangun (kembali) legitimasi dan arti penting dari teori
Parsonsian. Sampai pada tingkat di mana neofungsionalisme telah berhasil dalam
upaya ini Alexander menganggap proyek neofungsionalis sudah selesai. Jadi, dia
siap melangkah melampaui Parsons, melampaui neofungsionalisme, meskipun dia
mengatakan bahwa arah teoritis ke depannya akan banyak berhutang kepada
keduanya. Bagi Alexander, neofungsionalisme telah semakin membatasi, dan kini
dia menganggapnya sebagai bagian dari apa yang dia sebut “gerakan teoritis
baru”. Seperti dikatakannya, “Saya menunjuk pada gelombang baru penciptaan
teori yang melampaui arti penting capaian neofungsionalisme” (Alexander,
1998:228). Perspektif teoritis semacam itu akan lebih sintetis ketimbang
neofungsionalisme, dan lebih ekletik, mengambil dari bermacam-macam sumber
teoritis, dan akan menggunakan sumber sintetis dan ekletik itu dengan cara yang
lebih praktis. Secara khusus, Alexander tengah berusaha mengembangkan
mikrososiologi dan teori kultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar