Rabu, 31 Oktober 2012

Hubungan Sosiologi Hukum dengan Aliran Sosiologi dalam Ilmu Hukum


Perubahan serta dinamika masyarakat memiliki peranan penting bagi munculnya sosiologi hukum, dalam hal ini perubahan tersebut terjadi di abad ke-20. Industrialisasi yang berkelanjutan melontarkan persoalan – persoalan sosioloigisnya tersendiri, seperti urbanisasi dan gerakan demokrasi juga menata kembali masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan demokrasi. Kemapanan kehidupan abad kesembilan belas yang penuh dengan kemajuan di banyak bidang bukan akhir dan puncak dari peradaban manusia. Dominasi tradisi pemikiran hukum analitis–positivis sejak abad kesembilan belas perlahan–lahan ditantang oleh pemikiran yang menempatkan studi hukum tidak lagi berpusat pada perundang–undangan, melainkan dalam konteks yang lebih luas. Lebih luas di sini, berarti memungkinkan hukum itu juga dilihat sebagai perilaku dan struktur social. Pemikiran seperti ini bukannya sama sekali asing dalam tradisi berpikir di Eropa, misalnya ada pada Puthta, Savigny, dan lain–lain pada decade pertama abad kesembilan belas. Tetapi pemikiran hukum itu tetap menjadi alternative dan merupakan pemikiran arus bawah, oleh karena pengkajian yang analistis–positivistis tetap dominan. Namun akhirnya, sosiologi hukum memberikan cap dan tempat tersendiri terhadap kajian hukum yang demikian itu secara definitive dalam ilmu pengetahuan. Kita menyaksikan bahwa kajian analistis positivistis mendominasi pemikiran hukum karena dibutuhkan oleh dunia abad kesembilan belas. Kajian social terhadap hukum yang kemudian keluar dari lingkungan akademi dan menjadi metode yang menyebar luas dalam masyarakat juga disebabkan oleh perubahan–perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Kepuasaan dengan ilmu hukum yang ada, yang telah mampu menyusun bahan hukum ke dalam kodifikasi dan penggunaan metode yang spesifik, mulai mengalami guncangan memasuki abad kedua puluh. Perubahan–perubahan dalam masyarakat menampilkan perkembangan baru yang menggugat masa kebebasan abad kesembilan belas. Negara makin mempunyai peran penting dan melakukan campur tangan yang aktif. Struktur politik juga mengalami perubahan besar. Kaum pekerja makin memainkan peran penting dalam polotik dan memperluas demokrasi politik. Cara–cara penahanan hukum yang didominasi oleh kepentingan kaum borjuis digugat oleh kelas pekerja yang sekarang menjadi constituent dalam panggung politik. Perubahan–perubahan tersebut pada gilirannya membuka mata yuris tentang terjadinya tekanan dan beban–beban permasalahan baru yang harus dihadapi oleh system hukum dan karena itu dibutuhkan suatu peninjauan kembali terhadap hukum dan sekalian lembaganya. Hukum tidak dapat mempertahankan lebih lama politik isolasinya dan menjadikan dirinya suatu institusi yang steril. Perubahan–perubahan dalam masyarakat tentu saja dihadapkan pada tradisi dan pemikiran yang sudah mapan, niscaya menimbulkan situasi–situasi konflik. Keadaan seperti itu ditunjuk sebagai factor yang mendorong kehadiran sosiologi hukum. Selain itu, hukum alam juga merupakan basis intelektual dari sosiologi hukum. Hal ini terjadi karena teori tersebut dapat diibaratkan menjadi jangkar dari hukum modern yang semakin menjadi bangunan yang artificial dan teknologis. Teori hukum alam selalu menuntun kembali semua wacana dan institusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu dunia manusia dan masyarakat. Ia lebih memilih melakukan pencarian keadilan secara otentik daripada terlibat ke dalam wacana hukum positif yang berkonsentrasi pada bentuk, prosedur serta proses formal dari hukum. Hukum alam tidak dapat dilihat sebagai suatu norma yang absolute dan tidak berubah. Seperti dikatakan di atas, ia mencerminkan perjuangan manusia untuk mencari keadilan, sesuatu yang mungkin tidak ditemukan secara sempurna di dunia ini. Norma hukum alam, kalau boleh disebut demikian, berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita–cita keadilan yang wujudnya berubah–ubah dari masa ke masa. Dengan demikian, sesungguhnya keadilan merupakan suatu ideal yang isi konkretnya ditentukan oleh keadaan dan pemikiran jamannya. Dari perjalanan sejarah tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa hukum itu sepenuhnya merupakan produk dari masyarakatnya yang tidak mudah untuk direduksi ke dalam peraturan perundangan. Sumbangan besar hukum alam terhadap sosiologi hukum alam terletak pada pembebasannya dari hukum positive. Sosiologi hukum mewarisi peran pembebasan itu, oleh karena itu, ia selalu mengaitkan pembicaraan mengenai hukum kepada basis hukum tersebut. Baik itu berupa perilaku manusia maupun lingkungan sosial. Hal lain yang juga mempengaruhi munculnya sosiologi hukum adalah filsafat hukum. Filsafat hukum mempunyai sahamnya tersendiri bagi kelahiran sosiologi hukum.  Pemikiran filsafat selalu berusaha untuk menembus hal–hal yang dekat dan terus menerus mencari jawaban terhadap pertanyaan–pertanyaan yang tuntas (ultimate). Oleh karena itu, filsafat hukum jauh mendahului sosiologi hukum apabila ia mempertanyakan keabsahan dari hukum positif. Pikiran–pikiran filsafat menjadi pembuka jalan bagi kelahiran sosiologi hukum, oleh karena secara tuntas dan kritis, seperti lazimnya watak filsafat, menggugat system hukum perundang–undangan sebagaimana disebut di atas. Pikiran filsafat tersebut juga dapat dimulai dari titik yang jauh yang secara tidak langsung menggugat hukum positif. Dengan demikian ia merupakan pembuka jalan bagi kajian hukum yang juga memperhatikan interaksi antara hukum dan masyarakatnya. 
Pemikiran hukum dan pendekatan sosiologi ini, banyak mendapatkan pengaruh dari aliran-aliran dari filsafat dan teori hukum. Tempat-tempat pertama patut diberikan kepada dua aliran yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran ini, masing-masing berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Di Eropa, Eugen Ehrlich telah menempatkan dirinya sebagai orang pertama yang menuliskan kitab dengan nama sosiologi hukum. Bersama-sama dengan Kantorowicz, Ehrlich merintis perjuangan untuk merintis pendekatan sosiologi terhadap hukum di Jerman. Perjuangan ini dialamatkan sebagai suatu serangan yang hebat kepada praktik hukum secara analitis, yang pada masa itu mengusai dunia pemikiran hukum. Ehrlich kemudian menjadi sangat terkenal dengan konsep yang mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law), sebagai lawan dari hukum perundang-undangan. Dengan konsepnya itu, pada dasarnya hendak dikatakan bahwa hukum itu tidak kita jumpai di dalam perundang-undangan, di  dalam keputusan hukum, atau ilmu hukum tetapi hukum itu ditemukan dalam masyarakat sendiri. Ehrlich berpendapat bahwa hukum itu merupakan variabel tak mandiri. Dihubungkan dengan fungsi hukum sebagai sarana kontrol sosial, hukum tidak akan melaksanakan tugasnya apabila landasan tertib sosial yang lebih luas tidak mendukungnya. Berakarnya tertib dalam masyarakat ini berakar pada penerimaan sosial dan bukannya paksaan dari negara. Di Amerika Serikat, hal tersebut dipelopori oleh Roscou Pound, Oliver Ondel Holmes, dan Cardozo. Kelahiran sosiologi hukum di Eropa diawali dengan peperangan yang melanda benua Eropa pada abad ke-19. Pada saat itu dibelahan dunia Eropa telah tumbuh suatu cabang sosiologi yang disebut dengan sosiologi hukum. Di Amerika Serikat penelitian-penelitian pada masalah praktis dari tata tertib hukum, telah menumbuhkan ilmu hukum sosiologis. Ilmu ini merupakan suatu cabang dari ilmu hukum. Sosiologi hukum di Eropa lebih memusatkan penyelidikan di lapangan sosiologi hukum, dengan membahas hubungan antara gejala kehidupan kelompok dengan hukum. Di Amerika, sosiologi hukum lebih dirahkan kepada penyelidikan ilmu hukum serta hubungannya dengan cara-cara menyesuaikan hubungan terib tingkah laku dalam kehidupan kelompok. Dengan kata lain, di Eropa sosiologi hukum lebih diarhakan kepada ilmu tentang kelompok, sedangkan di Amerika lebih diarahkan kepada ilmu hukum. Roscoe Pound membentuk aliran hukum sosiologis dari Amerika Serikat, yang disebut the sociological jurisprudence. Ini adalah suatu aliran pemikiran dalam jurisprudence yang berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an. Soetandyo, menandaskan bahwa sociological jurisprudence bukanlah sociology of law. Alasannya adalah ilmu hukum pada awal mulanya adalah bagian dari ajaran filsafat moral, yang pada dasrnya hendak mengkaji soal nilai kebaikan dan keadilan tak salah bila dikatakan bahwa ilmu hukum pada awalnya adalah ilmu tentang etika terapan. Akan tetapi, menurut aliran positivisme, ilmu hukum ini menolak perbincangan soal keadilan dan etika dalam pengambilan keputusan. Bagi aliran Sociological jurisprudence, hukum merupakan suatu yang berproses secara dan cultural dan karenanya steril. Ajaran sosiologi ini kemudian muncul untuk mengkritik dan mengkoreksi aliran Sociological jurisprudence dan sekaligus mendorng kepada kajian hukum untuk lebih mengkaji variable-variabel sosio-kultural. Berbeda dengan Sociological jurisprudence, sosiologi hukum, yang terbilang sebagai salah satu cabang khusus sosiologi, sejak awal mula telah memfokuskan perhatiannya secara khusus kepada ikhwal ketertiban social. kajian-kajian sosiologi hukum dalam hal ini mampu untuk memberkan konstribusi yang cukup bagi perkembangan ilmu hukum khususnya advokasi. Pembentukan sosiologi hukum sangat dipengaruhi oleh filsafat hukum, demikian menurut Satjipto Raharjo. Filsafat hukum adalah cabang filasat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Filsafat adalah merupakan suatu renungan yang mendalam terhadap suatu objek untuk menemukan hakeket yang sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul cabang ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebanaran dikarenakan suatu pertentangan sudut pandang.

Sosiologi Hukum dan Objek Kajiannya


Untuk memahami karakteristik kajian sosiologi hukum, maka berikut ini akan dikemukakan berbagai pandangan dari para pakar sosiologi maupun sosiologi hukum. Antara lain Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, (Soerdjono Soekanto, 1985: 110) menyatakan “Ilmu masyarakat atau sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial”.
Menurut Achmad Ali (1998: 11) :
“….sosiologi hukum menekankan kajian pada law in action, hukum dalam kenyataannya, hukum sebagai tingkah laku manusia, yang berarti berada di dunia sein. Sosiologi hukum menggunakan pendekatan empiris yang bersifat deskriptif…”.
Sosiologi hukum sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri merupakan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan bersama manusia dengan sesamanya, yaitu pergaulan hidup, dengan kata lain sosiologi hukum mempelajari masyarakat khususnya gejala hukum dari masyarakat tersebut.
Karakteristik kajian atau studi hukum secara sosiologis menurut Satjipto Rahardjo (1986: 310-311), yaitu: Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomena hukum yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum. Sosiologi hukum menjelaskan mengapa dan bagaimana praktik-praktik hukum itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity)  dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Bagaimana kenyataannya peraturan itu, apakah sesuai dengan bunyi atau teks dari peraturan itu. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang menaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai antara satu dengan yang lain, perhatian yang utama dari sosiologi hukum hanyalah pada memberikan penjelasan atau gambaran terhadap objek yang dipelajarinya.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo (1979: 19) menambahkan bahwa untuk memahami permasalahan yang dikemukakan dalam kitab ujian ini dengan seksama, orang hanya dapat melakukan melalui pemanfaatan teori sosial mengenai hukum. Teori ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai hukum dengan mengarahkan pengkajiannya keluar dari sistem hukum. Kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat, baik itu menyangkut soal penyusunan sistemnya, memilih konsep-konsep serta pengertian-pengertian, menentukan subjek-subjek yang diaturnya, maupun soal bekerjanya dengan tertib sosial yang lebih luas. Apabila disini boleh dipakai istilah ‘sebab-sebab sosial’, maka sebab-sebab yang demikian itu hendak ditemukan baik dalam kekuatan-kekuatan budaya, politik, ekonomi atau sebab-sebab sosial yang lain.
Menurut pendapat Max Weber (Gerald Turkel, 1996: 10) : “…these three approaches are (1) a moral approach to law, (2) an approach from standpoint of jurisprudence, and (3) a sociologycal approach to law. Each of these approaches has a distinct focus on the relations among law and society and ways in which law should be studied”.
Pendekatan moral terhadap hukum menegaskan bahwa hukum adalah berakar pada kepercayaan-kepercayaan tentang karakter alami manusia (the nature of human being) dan juga berdasarkan pada kepercayaan tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar. Perhatian terhadap hukum adalah terfokus pada tuntutan bahwa hukum harus mengekspresikan suatu moralitas umum (a common morality) yang didasarkan pada suatu konsensus tentang apa yang secara moral dianggap salah dan benar.
Pendekatan ilmu hukum berpandangan bahwa hukum seharusnya otonom. Selanjutnya legitimasi dari pendekatan hukum seharusnya bersandar pada kapasitasnya untuk membangkitkan suatu perangkat hukum yang bertalian secara logis (kohern) yang dapat diaplikasikan baik terhadap tindakan-tindakan individual ataupun terhadap kasus-kasus, yang dapat menimbulkan hal yang bersifat ambiguitas (bermakna ganda).
Baik pada pendekatan moral terhadap hukum maupun pendekatan ilmu hukum terhadap hukum, keduanya mempunyai kaitan dengan bagaimana norma-norma hukum membuat tindakan-tindakan bermakna dan tertib. Pendekatan moral mencakupi hukum dalam suatu arti yang mempunyai makna luas melalui pertalian konstruksi hukum dan kepercayaan-kepercayaan serta asas yang mendasarinya dijadikan sebagai sumber hukum.
Pendekatan ilmu hukum mencoba untuk menentukan konsep-konsep hukum dan hubungannya yang independen dengan asas-asas dan nilai-nilai non hukum. Kedua pendekatan ini meskipun memiliki perbedaan meskipun keduanya memfokuskan secara besar pada kandungan dan makna hukumnya.
Pendekatan sosiologi hukum juga mengenai hubungan hukum dengan moral dan logika internal hukum. Fokus utama pendekatan sosiologi hukum menurut Gerald Turkel (Achmad Ali, 1998: 34) adalah: Pengaruh Hukum terhadap perilaku sosial. Pada kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dalam “the social world” mereka. Pada organisasi sosial dan perkembangan sosial serta pranata hukum. Tentang bagaimana hukum itu dibuat. Tentang kondisi-kondisi sosial yang menimbulkan hukum”.
Apabila kita membuat konstruksi hukum dan membuat kebijakan-kebijakan untuk merealisir tujuan-tujuannya, maka merupakan suatu hal yang esensial bahwa kita mempunyai pengetahuan empiris tentang akibat yang dapat ditimbulkan dengan berlakunya undang-undang atau kebijakan-kebijakan tertentu terhadap perilaku masyarakat. Sesuai dengan pendekatan sosiologis harus dipelajari undang-undang dan hukum itu, tidak hanya berkaitan dengan maksud dan tujuan moral etikanya dan juga tidak hanya yang berkaitan dengan substansinya, akan tetapi yang harus kita pelajari adalah yang berkaitan dengan bagaimana undang-undang itu diterapkan dalam praktik.
Curzon (1979: 139) menjelaskan : “The term ‘legal sociology’ has been used in some texts to refer to a spesific study of situations in which the rules of law operate, and of behavior resulting from the operation of those rules”.
Kajian terhadap hukum dapat dibedakan ke dalam beberapa pandangan di antaranya bahwa selain kajian sosiologi hukum terdapat pula kajian normatif dan kajian filosofis. Jika dalam kajian empiris sosiologis memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kultur dan hal-hal empiris lainnya, maka kajian normatif memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian normatif menekankan kajian pada law in books, hukum sebagaimana mestinya, olehnya itu berada dalam dunia sollen. Di samping itu, juga kajian normatif pada umumnya bersifat preskriptif, yaitu sifat yang menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Kajian normatif terhadap hukum antara lain ilmu hukum pidana positif, ilmu hukum perdata positif, ilmu hukum tata negara, dan lain-lain.
Selanjutnya yang menjadi obyek utama kajian sosiologi hukum sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (1998: 19-32), sebagai berikut : Menurut istilah Donald Black (1976: 2-4) dalam mengkaji hukum sebagaiGovernment Social Control, sosiologi hukum mengkaji hukum sebagai perangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan guna menegakkan ketertiban dalam suatu kehidupan masyarakat. Hukum dipandang sebagai rujukan yang akan digunakan oleh pemerintah dalam hal, melakukan pengendalian terhadap perilaku warga masyarakat. Persoalan pengendalian sosial tersebut oleh sosiologi hukum dikaji dalam kaitannya dengan sosialisasi yaitu proses dalam pembentukan masyarakat. Sebagai makhluk sosial yang menyadari eksistensi sebagai kaidah sosial yang ada dalam masyarakatnya, yang meliputi kaidah moral, agama, dan kaidah sosial lainnya. Dengan kesadaran tersebut diharapkan warga masyarakat menaatinya, berkaitan dengan itu maka tampaklah bahwa sosiologi hukum, cenderung memandang sosialisasi sebagai suatu proses yang mendahului dan menjadi pra kondisi sehingga memungkinkan pengendalian sosial dilaksanakan secara efektif. Obyek utama sosiologi hukum lainnya adalah stratifikasi. Stratifikasi sebagai obyek yang membahas sosiologi hukum bukanalah stratifikasi hukum seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan teori grundnormnya, melainkan stratifikasi yang dikemukakan dalam suatu sistem kemasyarakatan. Dalam hal ini dapat dibahas bagaimana dampak adanya strstifikasi sosial terhadap hukum dan pelaksana hukum. Obyek utama lain dari kajian sosiologi hukum adalah pembahasan tentang perubahan, dalam hal ini mencakup perubahan hukum dan perubahan masyarakat serta hubungan timbal balik di antara keduanya. Salah satu persepsi penting dalam kajian sosiologi hukum adalah bahwa perubahan yang terjadi dalam masayarakat dapat direkayasa, dalam arti direncanakan terlebih dahulu oleh pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum sebagai alatnya.
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas maka lahirlah konsep law as a tool of social engineering yang berati bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara sadar masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena itu, dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan pengoptimalan efektifitas hukumpun menjadi salah satu topik bahasan sosiologi hukum (Achmad Ali, 1998: 98-103).
Jadi fungsi hukum itu pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagai a tool of social control, sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagai a tool of socialengineering. Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial didominasi oleh kekuasaan negara. Apabila kajian sosiologi hukum tentang bagaimana fungsi hukum, sebagai alat pengendalian sosial lebih banyak mengacu pada konsep-konsep antropologis, sebaliknya kajian sosiologi hukum tentang fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial lebih banyak mengacu pada konsep ilmu politik dan pemerintah.
Roscoe Pound sebagai pencetus konsep law as of tool of social engereering, memandang bahwa problem utama yang menjadi perhatian utama bagi para sosiolog hukum adalah untuk memungkinkan dan untuk mendorong pembuatan hukum, dan juga menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum, serta untuk membuat lebih berharganya fakta-fakta sosial di mana hukum harus berjalan dan di mana hukum itu diterapkan (Achmad Ali, 1998: 14). Roscoe Pound memang harus diakui sebagai kekuatan pemikiran baru yang mencoba mengonsepsikan ulang bagaimana hukum dan fungsi hukum harus dipahami. Roscoe Pound merupakan ilmuan hukum yang terbilang orang pertama yang berani menganjurkan agar ilmu pengetahuan sosial didayagunakan demi kemajuan teori-teori yang diperbaharui dan dibangun dalam ilmu hukum (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002: 71).
Selanjutnya karakteristik dan kegunaan sosiologi hukum, menurut Vilhelm Aubert (1969: 10-11), yaitu : “Sosiology of law is here viewed as a branch of general sosiology, just like family sosiology, industrial or medical soiology. It should not be overlooked, however, that sosiology legitimately may also be viewed as auxiliary of legal studies, an aid in executing the tasks of the legal profession. Sosiological analyses of phenomena which are regulated by law, may aid legislators or even the courts in making decisions. Quite important is the critical function of sociology of law, as an aid in enhancing the legal profession’s awareness of its own function in society. …Sosiology is concerned with values, with the preferences and evaluations that underlie basic structural arrgements in a society”.
Sosiologi hukum memperkenalkan banyak faktor-faktor non hukum yang mempengaruhi perilaku hukum tentang bagaimana mereka membentuk dan melaksanakan hukum. Dalam hal ini sosiologi hukum menekankan pada penerapan hukum secara wajar atau patut, yaitu memahami aturan hukum sebagai penuntun umum bagi hakim, yang menuntun hakim menghasilkan putusan yang adil, di mana hakim diberi kebebasan dalam menjatuhkan putusan terhadap setiap kasus yang diajukan kepadanya, sehingga hakim dapat menyelaraskan antara kebutuhan keadilan antara para pihak atau terdakwa dengan alasan umum dari warga masyarakat.
Menurut Baumgartner (Dennis Patterson, 1999: 406) : “Sociology is the scientific study of social life, and the sociology of law is accordingly the scientific study of legal behavior. Its mission is to predict and explain legal variation of every kind, including variation in what is defined as illegal, how cases enter legal system, and how cases are resolved”.
Sosiologi hukum adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial. Salah satu misi sosiologi hukum adalah memprediksi dan menjelaskan berbagai fenomena hukum, antara lain bagaimana suatu kasus memasuki sistem hukum, dan bagaimana penyelesaiannya. Sosiologi hukum menggunakan fakta-fakta tentang lingkungan sosial di mana hukum itu berlaku. Kajian ini bekerja untuk menemukan prinsip-prinsip sosial yang mengatur bagaimana hukum bekerja secara konrit di dalam praktik. Sekalipun demikian, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap fakta-fakta hukum yang ada akan tetapi menjelaskan bagaimana fakta-fakta hukum itu sesungguhnya terjadi dan apa penyebabnya. Sebagaimana penegasan Baumgartner (Dennis Patterson, 1999: 414): “As a scientific enterprise, the sociology of law is not in a potition to pass judgment on the facts it uncovers. Those facts, however, often possess great moral relevance for participants and critics of a legal system”.
Pandangan sosiologi hukum pada dasarnya adalah hukum hanya salah satu dari banyak sistem sosial dan sistem-sistem sosial lain yang juga ada di dalam masyarakatlah yang banyak memberi arti dan pengaruh terhadap hukum. Dengan menggunakan pandangan yang sosiologis terhadap hukum, maka akan menghilangkan kecenderungan untuk selalu mengidentikkan hukum sebagai undang-undang belaka, seperti yang dianut oleh kalangan positivis atau legalistik.
Titik tolak sosiologi hukum sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman (1975: vii), beranjak dari asumsi dasar: “The people who make, apply, or use the law are human beings. Their behavior is social behavior. Yet, the study of law has proceeded in relative isolation from other studies sciences”.
Asumsi dasar yang menganggap bahwa orang yang membuat, menerapkan dan menggunakan hukum adalah manusia. Perilaku mereka adalah perilaku sosial. Inilah yang perlu dipahami bahwa hukum bertujuan untuk manusia dan bukan hukum bertujuan untuk hukum.
Dalam kajian sosiologi hukum, eksistensi pengadilan tidak mungkin netral atau otonom. Bagaimanapun setiap pengadilan yang berada pada suatu negara, sangat wajar jika memiliki keberpihakan pada ideologi dan “political will” negaranya. Oleh karenanya, adalah tidak aneh bagi sosiologi hukum jika pengadilan menjadi ”älat politik”, sebagaimana yang dinyatakan oleh Curzon (1979: 19) : “…the core of political jurisprudence is a vision of the courts as political agencies and judges as political actors…”.
Oleh karena itu, sosiologi hukum bukanlah sosiologi ditambah hukum, sehingga pakar sosiologi hukum adalah seorang juris dan bukan seorang sosiolog. Tidak lain karena seorang sosiolog hukum pertama-tama harus mampu membaca, mengenal dan memahami, berbagai fenomena hukum sebagai objek kajiannya. Setelah itu, ia tidak menggunakan pendekatan ilmu hukum (dogmatik) untuk mengkaji dan menganalisis fenomena hukum tadi, melainkan ia melepaskan diri ke luar dan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial (Achmad Ali, 1998: 18).

Law as a Tool of Social Engineering


Konsep hukum sebagai sarana pembaharu masyarakat mengingatkan kita pada pemikiran Roscea Pound, salah seorang pendukung Sociological Jurisprudence. Pound mengatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa (law as a tool of social engineering), tidak sekadar melestarikan status quo.
Jadi berbeda dengan Mazhab Sejarah yang mengasumsikan hukum itu tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat, sehingga hukum digerakkan oleh kebiasaan, maka Social Jurisprudenceberpendapat sebaliknya. Hukum justru yang yang menjadi instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju kepada tujuan yang diinginkan, bahkan kalau perlu, menghilangkan kebiasaan masyarakat yang dipandang negatif.
Menurut Satjipto Rahardjo (1986: 170-171), langkah yang diambil dalam social engineering bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya, yaitu : Mengenai problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan saksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut, Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam ha; social engineering itu hendak terapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti : tradisional, modern, dan pencernaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sector mana yang dipilih. Membuat hipotesis-hipotesis dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.

Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, hukum di Indonesia tidak cukup berperan sebagai alat, tetapi juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pemikiran ini oleh sejumlah ahli hukum Indonesia disebut-sebut sebagai mahzab tersendiri dalam filsafat hukum, yaitu Mahzab Filsafat Hukum Unpad. Pendekatan sosiologis yang disarankan oelh Mochtar dimaksudkan untuk tujuan praktis, yakni dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan sosial-ekonomi. Ia juga melihat, urgensi penggunaan pendekatan sosialogis dengan mengambil model berpikir Pound ini, lebih-lebih dirasakan oleh Negara-negara berkembang daripada Negara-negara maju. Hal itu tidak lain karena mekanisme hukum di negara-negara berkembang belum semapan di Negara-negara maju. Mengingat pembangunan sosial-ekonomi ini selalu membawa perubahan-perubahan, maka seharusnya hukum itu mengambil peran, sehingga perubahan-perubahan tersebut dapat dikontrol agar berlangsung tertib dan teratur. Dalam hal ini hukum tidak lagi berdiri di belakang fakta (het recht hinkt achter de feiten aan), tetapi justru sebaliknya. Hukum dalam konsep Mochtar tidak diartikan sebagai alat tetapi sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang diinginkan, bahkan dianggap dan bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kea rah yang dikenhendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Untuk itu diperlukan saran berupa peraturan hukum yang berbentuk tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan hukum yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang lain dalam masyarakat sebenarnya, Konsep Mochtar ini tidak hanya dipengaruhi oleh Sociological Jurisprudence, tetapi juga oleh Pragmatic Legal RealismLebih jauh lagi, Mochtar (1976:9-10) berpendapat bahwa pengertian sarana lebih luas dari pada alat (tool). Alasannya di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaruan hukum lebih menonjol, misalnya jika disbanding dengan Amerika Serikat, yang menempatkan yurisrudensi (khususnya putusan Supreme Court) pada tempat lebih penting. Konsep hukum sebagai alat akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dari penerapan legisme sebagaimana pernah diasakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu, dan 3) Apabila hukum di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional. Mochtar (1976:10), kemudian menegaskan, dari uraian diatas kiranya jelas bahwa walaupun secara teoritis konsepsi hukum yang melandasi kebijaksanaan hukum dan perundang-undangan (reschts politik) sekarang ini diterangkan menurut istilah atau konsepsi-konsepsi atau teori masa kini yang berkembang di Eropa dan di Amerika Serikat, namun pada hakekatnya konsepsi tersebut lahir dari masyarakat Indonesia sendiri berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-faktor yang berakar dalam sejarah masyarakat dan bangsa kita. Meskipun Mochtar menegaskan, bahwa gagasannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berakar pada sejarah bangsa, menurut Soetandyo Wignjosoebroto (1994:232-233), Mochtar tidak terlampau percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli rakyat pribumi harus dilestarikan seperti yang pernah dilakukan pada masa-masa pemerintah kolonial. Kebijakan anti-acculturation yang tidak mendatangkan kemajuan apa-apa, sedangkan introduksi hukum Barat dengan tujuan-tujuan yang terbatas pun kenyataannya hanya berdampak kecil untuk proses modernisasi (Indonesia) secara keseluruhannya. Untuk itu, Mochtar mengusulkan agar pembangunan hukum nasional di Indonesia hendaklah tidak secara tegesa-gesa dan terlalu pagi membuat keputusan : hendak hukum colonial berdasarkan pola-pola pemikiran Barat, ataukah untuk secara a priori mengembangkan hukum adat sebagai hukum nasional. Sebelum memutuskan apa yang hendak dikembangkan sebagai hukum nasional, Mochtar menganjurkan agar dilakukan penelitian-penelitian terlebih dahulu untuk menentukan bidnag hukum apa yang perlu diperbarui, dan bidang (ranah) apa yang dibiarkan berkembang sendiri. Mochtar melihat, bahwa untuk hukum-hukum yang yang tidak netral, pembangunannya diupayakan sedekat mungkin behubungan dengan budaya dan kehidupan spiritual bangsa. Di sisi lain, untuk bidnag hukum lain, seperti kontrak, badan usaha, dan tata niaga, dapat diatur melalui hukum perundang-undangan nasional. Untuk ihwal lain yang lebih netral seperti komunikasi, pelayaran, pos dan telekomunikasi model yang telah dikembangkan dalam system hukum asing pun dapat saja ditiru. Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa ide Mochtar tentang kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang terbatas, ialah kodifikasi yang terbatas secara selektif pada hukum yang tidak hendak menjamah ranah kehidupan budaya dan spiritual  rakyat (setidak-tidaknya untuk sementara ini), telah menjadi bagian dari program kerja Bdan Pembinaan Hukum Nasional bertahun-tahun lamanya. Ide law as a iool of social engineering ini rupanya baru ditujukan secara selektif untuk memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional aja, dan tak berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya. Ide seperti ini tentu saja bersesuaian dengan kepentingan pemerintah Orde Baru, karena ide untuk mendahulukan pembangunan hukum yang gayut dengan netral yang juga hukum ekonomi, tanpa melupakan tentu saja hukum tatanegara manakala sempat diselesaikan dengan hasil baik akan sangat doharapkan dapat dengan cepat membantu penyiapan salah satu infrastruktur politik dan ekonomi (Wignjosoebroto,1994:234). Soetandyo lebih jauh mencatat, bahwa dalam perkembangannya tidak semua ahli hukum sependapat dengan perkembangan hukum nasional dengan cara mengembangkan hukum baru atas dasar prinsip-prinsip yang telah diterima dalam kehidupan internasional, dengan maksud untuk memperoleh sarana yang berdayaguna membangun infrastruktur politik dan ekonomi nasional dengan membiarkan untuk sementara infrastruktur social budaya yang tidak netral atau belum dapat dinetralkan. Pihak-pihak yang tidak setuju berpendapat, upaya demikian terlalu menyimpang dari tradisi. Ada dua golongan yang tidak setuju. Pertama, mereka yang percaya harus ada kontinuitas perkembangan hukum dari yang lalu (colonial) ke yang kini (nasional). Golongan kedua adalah mereka yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar dan berangkat dari hukum rakyat yang ada, yaitu hukum adapt. Dengan mengutip John Ball dalam bukunya berjudul Indonesian Law Commentary and Teaaching Materials (1985) dan The Struggle or National Law in Indonesia (1986), golongan pertama ini antara lain tokoh-tokoh Pengacara di Jakarta,seperti Adnan Buyung Nasution Sulistio, dan Thiam Hien. Golongan kedua, merupakan kelanjutan dari gerakan yang telah berumur tua, sudah kehilangan pencetus-pencetus ide barunya yang mampu bersaing. Beberapa nama yang dapat disebut adalah (almarhum) Djojodigoeno dan M. Koesnoe. Suatu tanggapan yang lain mengenai gagasan Mochtar, dating dari S. Tasrif. Ia mengingatkan agar pembinaan hukum tidak diarahkan untuk menghasilkan perundang-undangan baru belaka, tetapi seharusnya juga menghasilakn perundang-undangan yang tidak menyampaikan hak asasi manusia dan martabat manusia, sehingga slogan Rule of law pada hakikatnya akan menjadi rule of just law (Kusumaatmadja,1975:22).    Pendapat S. Tasrif ini perlu untuk digarisbawahi. Hal ini juga sebenarnya disadari sepenuhnya oleh Mochtar Kusumaatmadja, dengan mengatakan bahwa pembinaan hukum nasional secara menyeluruh menghadapi tiga kelompok masalah (problem areas), yaitu Inventarisasi dan kepustakaan hukum, Media dan personil (unsure manusia), dan Perkembangan hukum nasional. Kelompok masalah ketiga, perkembangan hukum nasional, dapat dibedakan dalam dua masalah, yaitu Masalah pemilihan bidang hukum mana yang hendak dikembangkan, dan Masalah penggunaan model-model asing. Masalah pertama dapat diatasi dengan menggunakan berbagai ukuran (kriterium), yaitu : Ukuran keperluan yang mendesak (urgent need), Feasibility, dalam hal ini bidang huku yang terlalu mengandung komplikasi-komplikasi cultural, keagamaan, dan sosiologis, akan ditangguhkan pengembangannya, Perubahan yang pokok (fundamental change), yang maksudnya, perubahan (melalui perundangan-undangan) di sini diperlukan karena pertimbangan-pertimbangan politis,ekonomis dan/atau sosial. Menurut Mochtar (1975:13), perubahan hukum demikian sering diadakan oleh Negara-negara bekas jajahan dengan pemerintah yang memiliki kesadaran politik yang tinggi. Bidang hukum yang biasanya dipilih adalah hukum agrarian, perburuhan, hukum-hukum mengenai pertambangan dan industri. Di mana ada keinginan untuk menarik penanaman modal asing maka aka nada tarikan antara keinginan demikian dengan keinginan untuk mengadakan perubahan dasar (fundamental change) dalam perundang-undangan yang ditinggalkan pemerintah kolonial yang menempatkan pemerintah yang bersangkutan dalam kedudukan yang tidak murah. Masalah kedua adalah penggunaan model-model (hukum) asing. Walaupun ada kalanya menguntungkan untuk menggunakan model-model hukum asing, namun seperti disinggung di muka, Mochtar menyadari bahwa penggunaan model-model tersebut dapat mengalami hambatan. Untuk itu harus dipertimbangkan apakah pemakaian menggunakan wujud semua (adoption) atau dalam bentuk yang sudah diubah (adoption). Berdasarkan uraian dan pertimbangan yang sangat logis seperti yang telah dipaparkan, konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat merupakan konsep pembangunan (atau pembinaan) hukum yang paling tepat dan relevan sampai saat ini. Masalahnya terletak pada seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-undangan baru (dalam bidang-bidang hukum yang dianggap netral) telah diantisipasi dampaknya bagi masyarakat secara keseluruhannya. Ada tiga catatan yang dapat diberikan sebagai pelengkap. Pertama, harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu system, yang keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu, pengembangan satu bidang hukum juga akan berpengaruh pula ke bidang-bidang hukum lainnya. Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal, memiliki keterkaitan dengan masalah hukum pertanahan, yang di Indonesia belum dapat disebutkan sebagai bidang yang netral. Kedua, penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial seringkali menyebabkan dampak negatif yang perlu diperhitungkan. Sebagai contoh, pembentukan Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sesungguhnya dapat dilihat dalam konteks ini. Produk hukum tersebut dapat dikatakan sebagai wujud wujud social engineering untuk mengarahkan masyarakat Indonesia dari kebiasaan tidak disiplin berlalu lintas menjadi berdisiplin. Kendati demikian, kondisi yang ideal seperti yang diharapkan oleh undang-undang tersebut rupanya terlalu jauh dari kenyataan sosial yang ada. Masyarakat merasa belum siap untuk mengikuti instrument hukum itu. Akibatnya, stabilitas social (bahkan politik) terganggu. Sebagai pemecahannya, diberikan beberapa konsensi kepada masyarakat dengan menerapkan isi undang-undang itu secara bertahap, yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan akan terjadi Itulah sebabnya, saran Mochtar Kusumaatmadja untuk melakukan penelitian secara mendalam terlebih dahulu sebelum membentuk peraturan perundang-undangan yang baru, merupakan langkah yang sangat baik. Hal ini juga merupakan salah satu langkah penting mengikuti jalan pikiran social engineering, seperti diungkapkan Satjipto Rahardjo. Tanpa ada penelitian yang jelas, tidak akan pernah diketahui pasti seperti apa living law yang ada, dan bagaimana perencanaan itu harus dibuat secara akurat. Ketiga, konsep social engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan peraturan hukum tertulis karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami keterbatasan. Konsep ini memerlukan peranan aparat penegak hukum yang professional, untuk memberi jiwa pada kalimat-kalimat tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Aparat hukum, khususnya hakim, harus mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, seperti diamanatkan dalam Pasal 27 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian menggunakan nilai-nilai yang baik dalam rangka menerjemahkan ketentuan hukum yang berlaku.

Selasa, 30 Oktober 2012

Pembangunan Berdasarkan Azas Pemerataan dan Keadilan serta Target-targetnya


Asas Adil dan Merata, bahwa pembangunan nasional diselenggarakan sebagai usaha bersama harus merata di semua lapisan masyarakat, dan di seluruh wilayah tanah air dimana setiap warga berhak memperoleh kesempatan berperan dalam menikmati hasil-hasilnya secara adil sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan darma baktinya yang diberikan kepada bangsa dan negara.

Target yang ingin dicapai dalam Asas Adil dan Merata, antara lain:
·         Pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
·         Penegakan kedaulatan rakyat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
·         Penjaminan kondisi aman, damai, tertib, dan ketentraman masyarakat.
·         Perwujudan kehidupan sosial budaya yang berkepribadian dinamis kreatif dan berdaya tahan terhadap pengaruh globalisasi.
·         Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif dan mandiri, maju, berdaya saing, dan berwawasan lingkungan.
·         Perwujudan otonomi daerah dalam rangka pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan dalam wadah negara keatuan Republik Indonesia.
·         Perwujudan kesejahteraan rakyat yang dilandasi oleh meningkatnya kualitas kehidupan  yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja.

Tahapan-tahapan Pembangunan Menurut Rostow dan dalam Konteks Pembangunan di Indonesia


a. Masyarakat tradisional
Sistem ekonomi yang mendominasi masyarakat tradisional adalah pertanian, dengan cara-cara bertani yang tradisional. Produktivitas kerja manusia lebih rendah bila dibandingkan dengan tahapan pertumbuhan berikutnya. Masyarakat ini dicirikan oleh struktur hirarkis sehingga mobilitas sosial dan vertikal rendah.
b. Pra-kondisi tinggal landas
Selama tahapan ini, tingkat investasi menjadi lebih tinggi dan hal itu memulai sebuah pembangunan yang dinamis. Model perkembangan ini merupakan hasil revolusi industri. Konsekuensi perubahan ini, yang mencakup juga pada perkembangan pertanian, yaitu tekanan kerja pada sektor-sektor primer berlebihan. Sebuah prasyarat untuk pra-kondisi tinggal landas adalah revolusi industri yang berlangsung dalam satu abad terakhir.
c. Tinggal landas
Tahapan ini dicirikan dengan pertumbuhan ekonomi yang dinamis. Karakteristik utama dari pertumbuhan ekonomi ini adalah pertumbuhan dari dalam yang berkelanjutan yang tidak membutuhkan dorongan dari luar. Seperti, industri tekstil di Inggris, beberapa industri dapat mendukung pembangunan. Secara umum “tinggal landas” terjadi dalam dua atau tiga dekade terakhir. Misalnya, di Inggris telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-17 atau di Jerman pada akhir abad ke-17.
d. Menuju kedewasaan
Kedewasaan pembangunan ditandai oleh investasi yang terus-menerus antara 40 hingga 60 persen. Dalam tahap ini mulai bermunculan industri dengan teknologi baru, misalnya industri kimia atau industri listrik. Ini merupakan konsekuensi dari kemakmuran ekonomi dan sosial. Pada umumnya, tahapan ini dimulai sekitar 60 tahun setelah tinggal landas. Di Eropa, tahapan ini berlangsung sejak tahun 1900.
e. Era konsumsi tinggi
Ini merupakan tahapan terakhir dari lima tahap model pembangunan Rostow. Pada tahap ini, sebagian besar masyarakat hidup makmur. Orang-orang yang hidup di masyarakat itu mendapat kemakmuran dan keserbaragaman sekaligus. Menurut Rostow, saat ini masyarakat yang sedang berada dalam tahapan ini adalah masyarakat Barat atau Utara.

Indonesia berada pada tahap “Masyarakat tradisional” alasannya:
Status sebagai negara berkembang menandakan pembangunan Indonesia sampai sekarang belum selesai. Artinya selama Indonesia masih berproses di dalam pembangunan ini, status negara berkembang ini akan melekat terus. Pembangunan yang dimaksud bukan pembangunan infrastruktur saja tetapi juga peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ada, dengan tujuan dapat mensejahterakan diri sendiri, masyarakat, negara, dan dapat bersaing dengan negara-negara lain. Saya berasumsi kemandekan pembangunan yang ada di Indonesia disebabkan keberanian Indonesia ikut terjun dalam permainan globalisasi dunia. Atau pembangunan Indonesia sekarang berada dalam fase pembangunan dalam ketergantungan. Seperti yang kita ketahui bahwa syarat penting dari kemajuan suatu negara melalui pembangunan menurut teori Modenisasi adalah adanya syarat ekonomi dan non-ekonomi. Syarat non-ekonomi yang dimaksud adalah manusia sebagai aktor dalam pembangunan itu sendiri. Manusia disini adalah sumber daya manusia yang dimiliki oleh negara tersebut dalam melaksanakan dan mengelola pembangunan tersebut.

Senin, 29 Oktober 2012

Indikator Pembangunan Ekonomi dan Non-ekonomi


Pada dasarnya indikator pembangunan ekonomi yang digunakan di Indonesia relatif baik, tetapi masih ditemui beberapa kekurang, baik dari segi indikatornya sendiri maupun dari segi pelaksanaannya, antara lain:


Pendapatan Per Kapita. Secara lebih khusus, nilai pendapatan perkapita sebagai indeks untuk menunjukan perbandingan tingkat kesejahteraan dan jurang tingkat kesejahteraan antar masyarakat.
Pemerataan dan Kemiskinan. Pemerataan dan kemiskinan tidak dapat dipisahkan, dan kalau dibaratkan keduanya diibarat dua sisi mata uang. Apabila dalam suatu negara pemerataan tersebut betul-betul tersebar secara merata mustahil kemiskinan akan terjadi, dan sebaliknya kemiskinan akan terjadi apabila tidak terdapat pemerataan dalam pembangunan ekonomi, seperti distribusi pendapatan serta hasil-hasil pembangunan. Dari berbagai indikator pembangunan ekonomi untuk melihat pemerataan dan kemiskinan ini hanya bersifat kuantitatif, tetapi aspek kualitatifnya seperti masalah sosial sering terabaikan, dan hal inilah yang sering membuat pembangunan terkendala.
Kerusakan Lingkungan. Sebuah negara yang tinggi tingkat produktivitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, biasa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini, misalnya karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi tidak memperhatikan dampak terhadap lingkungannya, mengakibatkan lingkungan semakin rusak, sumberdaya alamnya semakin terkuras, sementara kemampuan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat dari kecepatan sumberdaya alam tersebut. Mungkin juga pabrik-pabrik yang menghasilkan berbagai limbah disamping merusak sumberdaya alam, akan berdampak kepada kesehatan penduduk, maupun makhluk hidup yang berada disekitarnya. Padahal sumberdaya alam dan manusia adalah faktor utama yang menghasilkan pertumbuhan yang sangat tinggi terssebut. Oleh karena itu sering terjadi bahwa pembangunan yang dianggap berhasil ternyata tidak memiliki daya kelestariaan yang memadai. Akibatnya pembangunan ini tidak bisa berkelanjutan (sustainable). Karena itu dalam kriteria pembangunan, faktor kerusakan lingkungan sebagai faktor yang menentukan. Apa gunannya sebuah pembangunan yang saat ini tinggi produktivitasnya, merata pembagian kekayaannya tetapi dalam jangka sepuluh tahun mendatang akan terjadi degradasi sumberdaya alam yang menjadi tumpuan utama pertumbuhan, tetapi faktor lingkungan ini secara relatif belum diterapkan di Indonesia. Dari berbagai kondisi diatas sudah selayaknyalah faktor kerusakan lingkungan dijadikan sebagai indikator keberhasilan pembangunan disuatu negara, terutama sekali bagi negara berkembang, seperti negara Indonesia.
Keadilan Sosial dan Kesinambungan. Salah satu keberatan terhadap konsep pembangunan dalam arti pertumbuhan ekonomi adalah kemungkinan terjadinya pertumbuhan ekonomi tanpa didukung oleh perubahan sosial, sehingga pada suatu saat akan terjadi stagflasi. Tanpa adanya dukungan perubahan sosial, pertumbuhan ekonomi dapat membawa dampak negatif terhadap bidang sosial, seperti pengangguran dan kerawanan sosial. Indikator dari keberhasilan pembangunan selalu menekankan kepada peningkatan produktivitas, sebetulnya faktor keadilan sosial dan faktor lingkungan saling berkaitan erat. Yang pertama, keadilan sosial, bukanlah faktor yang dimasukan atas dasar pertimbangan moral, yaitu demi keadilan saja. Tetapi faktor ini berkaitan dengan kelestarian pembangunan juga. Bila terjadi kesenjangan yang mencolok antara orang-orang kaya dan miskin, masyarakat yang bersangkutan akan semakin rawan secara politis. Orang-orang miskin akan cenderung menolak status quo yang ada. Mereka akan memperbaiki diri dengan merubah keadaan. Oleh karena itu, bila konfigurasi kekuatan-kekuatan sosial memungkinkan akan terjadi gejolak politik yang bisa menghancurkankan pembangunan yang sudah dicapai. Dengan demikian, seperti juga masalah kerusakan alam yang dapat mengganggu kesinabungan pembangunan, faktor keadilan sosial juga merupakan suatu kerusakan sosial yang bisa mengakibatkan kerusakan dampak yang sama.

Sedangkan indikator pembangunan ekonomi yang digunakan di Indonesia relatif baik, tetapi masih ditemui beberapa kekurang, baik dari segi indikatornya sendiri maupun dari segi pelaksanaannya, antara lain:

Indikator Sosial. Oleh Backerman dibedakan 3 kelompok : Usaha membandingkan tingkat kesejahteraan  masy. di dua negara dengan memperbaiki cara   perhitungan pendapatan nasional, dipelopori oleh  Collin Clark dan Golbert dan Kravis. Penyesuaian pendapatan masy. dibandingkan  dengan mempertimbangkan tingkat harga  berbagai negara. Usaha untuk membandingkan tingkat  kesejahteraan dari setiap negara berdasarkan  data yg tdk bersifat moneter (non monetary  indicators). Indikator non moneter yg  disederhanakan (modified non-monetary indicators). Kesehatan, rata-rata hari sakit, fasilitas kesehatan
Perumahan
, sumber air bersih & listrik, sanitasi & mutu rumah.
Angkatan Kerja
, partisipasi tenaga kerja, jml jam kerja, sumber  penghasilan utama, status pekerjaan. Keluarga Berencana dan Fertilisasi, penggunaan ASI, tingkat imunisasi, kehadiran tenaga  kesehatan pada kelahiran, penggunaan alat  kontrasepsi. Kriminalitas, jumlah pencurian pertahun, jumlah pembunuhan  pertahun, jumlah perkosaan pertahun. Perjalanan wisata, frekuensi perjalanan wisata pertahun. Akses di media massa, jumlah surat kabar, jumlah radio dan jumlah televisi.

Konsep Ekonomi Pembangunan dan Perbedaannya dengan Pembangunan Ekonomi


Ekonomi Pembangunan adalah cabang dari Ilmu Ekonomi yang bertujuan untuk menganalisis masalah-masalah yang khususnya dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang dan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah itu, supaya negara-negara tersebut dapat membangun ekonominya dengan lebih cepat lagi. Tujuan dari analisis ekonomi pembangunan adalah untuk menelaah faktor-faktor yang menimbulkan keterlambatan pembangunan khususnya di negara-negara sedang berkembang, mengemukakan cara pendekatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi, sehingga dapat mempercepat jalannya pembangunan ekonomi khususnya di negara-negara tersebut. Ekonomi pembangunan belum memiliki pola analisis tertentu yang dapat diterima oleh kebanyakan ahli-ahli ekonomi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu sangat kompleksnya masalah pembangunan, banyaknya faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan dan banyaknya faktor yang terpengaruh oleh pembangunan, ketiadaan teori-teori pembangunan yang dapat menciptakan suatu kerangka dasar dalam memberikan gambaran mengenai proses pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang, disertai dengan perubahan ciri-ciri penting suatu masyarakat, yaitu perubahan dalam keadaan sistem politik, struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dan struktur kegiatan ekonominya. Tujuan pembangunan ekonomi pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: menaikkan produktivitas dan menaikkan pendapatan perkapita. Beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat maupun perekonomian antara lain adalah output atau kekayaan suatu masyarakat atau perekonomian akan bertambah, kebahagiaan penduduk bertambah, menambah kesempatan untuk mengadakan pilihan yang lebih luas, memberikan manusia kesempatan yang lebih besar untuk memanfaatkan alam sekitar, memberikan kebebasan untuk memilih kesenangan yang lebih luas, mengurangi jurang perbedaan antara negara-negara yang sedang berkembang dengan negara-negara yang sudah maju. Kerugian-kerugian dari pembangunan ekonomi adalah mendorong seseorang untuk berpikir maupun bertindak lebih mementingkan diri sendiri, mendorong seseorang lebih bersifat materialistis, sifat hidup gotong royong yang pada umumnya terdapat di negara-negara sedang berkembang semakin berkurang, sifat kekeluargaan dan hubungan keluarga semakin berkurang.
Perbedaan antara Pembangunan Ekonomi dengan Ekonomi Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu usaha dalam perekonomian guna mengembangkan kegiatan ekonomi sehingga infrastruktunya lebih baik, perusahaan semakin meningkat (banyak), dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin maju dan tinggi serta teknologi semakin meningkat.
Sedangkan ekonomi Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu bidang studi dalam ilmu ekonomi yang mempelajari tentang masalah-masalah ekonomi di negara-negara berkembang dan kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan untuk mewujudkan Pembangunan Ekonomi. Sehingga Pembangunan Ekonomi adalah suatu usaha yang dilakukkan sedangkan Ekonomi Pembangunan adalah suatu ilmu yang harus dipelajari.

Minggu, 28 Oktober 2012

Makna Peringatan Hari Sumpah Pemuda


Sumpah Pemuda? hmmm..lupa-lupa ingat. Ada hubungannya dengan sumpe’ lo ga ya. Jelas tidak ada. Lalu, ada kaitannya dengan tanggal 28 Oktober 1928? Ada.
Ya, karna tanggal 28 Oktober telah ditetapkan sebagai hari Sumpah Pemuda. Salah satu dari 3 butir deklarasi itu adalah mengenai bahasa. Karna saat itu bahasa Indonesia diresmikan menjadi bahasa negara dan menjadi bahasa persatuan dari sekian ratus bahasa daerah.

Tapi kira-kira tau nggak apa sih yang dinamakan bahasa Indonesia itu. Pasti kebanyakan kita tau-nya bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang dimodifikasi, dicampur dengan bahasa-bahasa serapan dari berbagai daerah dan dari bahasa asing, kemudian dibakukan.
Trus dari manakah bahasa Melayu itu? Apakah bahasa Melayu emang udah dituturkan oleh etnis Melayu sejak berabad-abad lalu? Padahal etnis Melayu sendiri hanya sebagian kecil saja dari ratusan etnis di nusantara.
Kira-kira gimana ya ceritanya?
Gini nih cerita. Oya, bahan artikel ini saya ambil dari berbagai sumber lain (Antara, Kompas, dll) yang saya coba tuturkan dengan gaya saya sendiri (yaitu gaya bebas dicampur gaya dada).
Menurut Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak seorang arkeolog ternama dan yang juga Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), bahasa Melayu dan ratusan bahasa daerah lainnya di nusantara sebenarnya berakar dari bahasa Austronesia yang mulai muncul sekitar 6.000-10.000 tahun lalu. Penyebaran penutur bahasa Austronesia ini  merupakan fenomena besar dalam sejarah umat manusia karena sebagai suatu rumpun bahasa, Austronesia merupakan yang terbesar di dunia, meliputi 1.200 bahasa dan dituturkan oleh hampir 300 juta populasi. Masyarakat penuturnya tersebar luas di wilayah sepanjang 15 ribu km meliputi lebih dari separuh bola bumi, yaitu dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di ujung timur, dari Taiwan-Mikronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan. Coba bayangkan.
Mengenai asal-usul penutur Austronesia tersebut, ada beberapa hipotesa yang dijadikan rujukan, tapi yang umum diterima adalah bahwa asal leluhur penutur Austronesia adalah Formosa (Taiwan) atau model “Out of Taiwan”.  Pakar linguistik yang paling lantang menyuarakan pendapat bahwa asal-ususl penutur Austronesia adalah dari Taiwan adalah orang yang bernama Bang Robert Blust. Bang Blust ini udah sejak tahun 1970-an (udah pada lahir belum?) mencoba merekonstruksi silsilah dan pengelompokan bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia misalnya kosakata protobahasa Austronesia yang berkaitan dengan flora dan fauna serta gejala alam lain. Selain itu si abang ini juga menawarkan rekonstruksi pohon kekerabatan rumpun bahasa Austronesia dan perkiraan waktu pencabangannya mulai dari Proto-Austronesia hingga Proto-Oseania
Menurut Bang Robert ini, para leluhur ini awalnya berasal dari Cina Selatan. Dan karena mungkin bosan di sana, lalu bermigrasi ke Taiwan pada 5.000-4.000 SM. Walaupun demikian akar bahasa Austronesia sendiri baru muncul beberapa abad kemudian di Taiwan. Beberapa kosakata yang dapat direkonstruksi dari bahasa awal Austronesia yang dapat dilacak antara lain : rumah tinggal, busur, memanah, tali, jarum, tenun, mabuk, berburu, kano, babi, anjing, beras, batu giling, kebun, tebu, gabah, nasi, menampi, jerami, hingga mengasap.
Para petani purba di Taiwan ini berkembang cepat dan lalu terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok yang hidup terpisah dan bahasanya menjadi berbeda-beda dan setidaknya kini ada sembilan bahasa yang teridentifikasi sebagai bahasa formosa. Dari Taiwan, mulai sekitar 4.500 - 3.000 SM, salah satu kelompok dari leluhur ini memisahkan diri dan bermigrasi ke selatan menuju Kepulauan Filipina bagian utara. Di sini muncul-lah cabang bahasa baru yaitu Proto-Malayo-Polinesia (PMP) yang bukan Pendidikan Moral Pancasila
Penutur bahasa PMP ini orang-orangnya juga bosenan. Pada 3.500 - 2.000 SM mulai migrasi lagi. Kali ini yang dituju adalah ke selatan melalui Filipina Selatan menuju Kalimantan dan Sulawesi serta ke arah tenggara menuju Maluku Utara. Proses migrasi ini melahirkan jabang bayi cabang baru dari PMP yaitu Proto Malayo Barat (PWMP) di kepulauan Indonesia bagian barat dan Proto Malayo Polinesia Tengah-Timur (PCEMP) yang berpusat di Maluku Utara.
Karena masih ingin beredar, maka pada 3.000-2.000 SM leluhur yang ada di Maluku Utara bermigrasi ke selatan dan timur dan mencapai Nusa Tenggara (sekitar 2.000 SM), yang kemudian memunculkan bahasa Proto Malayo Polinesia Tengah (PCMP).  Yang bermigrasi ke timur mencapai pantai pantai utara Papua Barat dan melahirkan bahasa-bahasa Proto Malayo-Polinesia Timur (PEMP). Si penutur PEMP ini-pun melakukan migrasi arus balik (ga cape-cape ya) menuju Halmahera Selatan, Kepulauan Raja Ampat, dan pantai barat Papua Barat yang kemudian muncul bahasa yang dikelompokkan sebagai Halmahera Selatan-Papua Nugini Barat (SHWNG).  Selain itu ada kelompok lain dari penutur PEMP ini bermigrasi ke Oseania dan mencapai kepulauan Bismarck di Melanesia sekitar 1.500 SM dan memunculkan bahasa Proto Oseania. Wuihhh..udah banyak banget cabangnya. Trus gimana dengan di Indonesia bagian barat.
Nah, setelah sempat menghuni Kalimantan dan Sulawesi, pada 3.000-2.000 SM, para penutur PWMP (Proto Malayo Barat ) bergerak ke selatan, bermigrasi ke Jawa dan Sumatera. Penutur PWMP yang asalnya dari Kalimantan dan Sulawesi itu lalu bermigrasi lagi ke utara antara lain ke Vietnam pada 500 SM dan Semenanjung Malaka.  Menjelang awal tahun Masehi, penutur bahasa WMP juga menyebar lagi ke Kalimantan sampai ke Madagaskar.
Menurut Daud A Tanudirjo (jelas seorang arkeolog bukan pelawak), bentuk rumpun bahasa Austronesia ini lebih menyerupai garu daripada bentuk pohon. Karena semua proto-bahasa dalam kelompok ini, dari Proto Malayo Polynesia hingga Proto Oseania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yaitu lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata. Sehingga hampir seluruh kawasan nusantara bahkan sampai ke kawasan negeri-negeri tetangga dan masyarakat kepulauan Pasifik dan Madagaskar menuturkan bahasa yang asal-muasalnya merupakan bahasa Austronesia. Kecuali masyarakat yang ada di pedalaman Papua dan pedalaman pulau Timor yang bahasanya lebih mirip dengan bahasa pedalaman Australia.
Bahasa Indonesia sekarang ini sudah sangat kompleks karena penuturnya tidak hanya hidup dengan sukunya masing-masing dan beradaptasi dengan rumpun bahasa dunia lainnya seperti dari India, Arab, Portugis, Belanda dan Inggris.
Lalu akan kemanakah arah perkembangan bahasa Indonesia. Apakah akan tetap eksis dan bahkan bisa ‘mengalahkan’ bahasa Inggris, misalnya. Atau malah menghilang karna proses dis-integrasi bangsa (seperti yang terjadi dengan Timor Leste?). Jangan ah. Mari kita tetap bersatu. Apa-pun etnismu. Apapun bahasa daerah-mu. Apapun warna kulit-mu. Apa-pun agama-mu. Apapun suku-mu. Apapun template blog-mu. Mari tetap senantiasa menyuarakan :
Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa : I….N….D…O…N….E….S….I….A !!!