Judith Butler (1995:51) mengatakan tidak hanya
bagi kalangan postmodernis saja, tetapi juga kalangan modern ketika dia
memberitahukan: “saya tidak tahu apa itu postmodernisme”. Meskipun hingga saat
ini tidak ada konsep yang lebih bergema di antara ilmuwan dalam tingkatan
disiplin yang luas kecuali “postmodernisme”, namun ada ambiguitas yang besar
dan kontroversial apa yang dimaksud dengan gagasan dan istilah yang terkait.
Oleh sebab itu untuk menambah kejernihan, kita perlu membedakan antara teori
sosial postmodernitas, postmodernisme, dan postmodern.
Postmodernitas merujuk pada suatu epos, jangka waktu, zaman, masa-sosial dan politik
yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu pemamahan historis
(Kumar, 1995; Crook, Pakulski, dan Waters, 1992). Postmodernisme merujuk pada suatu produk kultural (dalam sejarah, film, arsitektur,
dan sebagainya) yang terlihat berbeda dari produk kultural modern (Kumar, 1995;
Jameson, 1991). Teori sosial postmodern merujuk pada bentuk
teori sosial yang berbeda dari teori social modern (Best dan Kellner, 1991). Jadi ide postmodern meliputi suatu espos historis baru, produk kultural
baru, dan tipe teorisisasi baru mengenai dunia sosial. Semua elemen postmodern
tersebut tentu saja memiliki suatu perspektif yang baru dan pada tahun-tahun
terakhir tejadi perbedaan (secara sosial, kultural dan intelektual) yang mana
perkembangan postmodern baru tersebut barangkali menjadi alternatif
menggantikan realitas-realitas modern.
Poin yang pertama adanya
kepercayaan luas bahwa era modernitas berakhir atau sudah berakhir, dan kita
sudah masuk dalam epos sosial baru yaitu postmodernitas (Dunn, 1991). Ada
banyak cara untuk mengkarakterisasikan perbedaan-perbedaan antara dunia modern
dan postmodern, sebagai suatu ilustrasi; salah satunya yang terbaik adalah
perbedaanya dalam sudut pandang, apakah ada kemungkinan menemukan suatu solusi
rasional (rasionalitas merupakan konsep yang secara dekat diasosiasikan dengan
modernitas [Dahrendorf, 1979]) terhadap solusi persoalan-persoalan masyarakat.
Sebagian besar postmodernis kesulitan dan bahkan
enggan membicarakan transisi historis dari modernitas ke postmodernitas. Ini
merupakan sejenis narasi besar yang sudah diketahui mereka menolaknya. Bagi
para postmodernis sesuatu yang jarang itu mungkin pernah berkembang dalam suatu
makna yang sederhana dan linear. Menurut mereka, hal itu sangat menjauhkan
kemurnian dan menyederhanakan perbedaan antara epos historis. Jadi, meskipun
boleh saja memikirkan suatu transisi dari modernitas ke postmodernitas, tatapi
banyak dari pemikiran ini didorong oleh teori sosial postmodern. Sedikit, jika
tidak sama sekali teoritisi postmodern menerima kesederhanaan, linear dan
narasi besar semacam itu. Mereka sepakat bahwa sesuatu yang terjadi, sesuatu
yang berubah, itu bukanlah hal sederhana dan linear.
Kedua, postmodernisme tidak dapat dipisahkan dari domain kultural ketika ia
menguraikan bahwa produk postmodern cenderung menggantikan produk
modern. Ketiga. Yang langsung berhubungan dengan kita disini,
adalah kemunculan teori sosial postmodern dan perbedaannya dengan teori modern.
Secara umum, teori sosial modern cenderung menjadi absolute, rasional, dan
menerima posibilitas penemuan kebenaran. Sebaliknya teori sosial postmodern
cenderung menjadi relatifistik dan terbuka kemungkinan irrasionalitas. Tetapi
sebagaimana yang menjadi masalah dalam teori sosial modern, tidak semua teori
sosial postmodern seperti itu.
APAKAH TEORI SOSIAL POSTMODERN
ITU?
Mulanya, Pauline Rosenau mendefinisikan teori
postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan. Terutama sekali dan
sangat nyata, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan
kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Karena peristiwa yang mengerikan selama
abad ke duapuluh. Postmodern menanyakan bagaimana seorang dapat percaya bahwa
modernitas dapat membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih
cemerlang. Karenanya postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang
diasosiasikan dengan modernitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak
apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), totalitas
dan sebagainya. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang
sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini
menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang
mereka terapkan. Setidak-tidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi
besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan
akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang
menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung
menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti “emosi, perasaan,
intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan,
metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentiment keagamaan, dan
pengalaman mistik”.
Keempat, teoritisi postmodern menolak
kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu
seperti disiplin akademis, “budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan
realitas”. Maka, kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung
mengembangkan satu atau lebih batas tertentu dan menyarankan bahwa yang lain
mungkin melakukan hal yang sama.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya
diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar. Tujuan utama postmodern
acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan
suatu logika dan alasan argumentatif. Hal ini juga cenderung lebih literal
daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada
inti masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian
mereka pada bagian tepi. “perihal apa yang telah diambil begitu saja, apa
yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan,
ketidaksignifikasian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan,
ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidaksensian,
kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan,
pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan” (Rosenau, 1992:8 dalam
Ritzer 2010:20).
Sebagaimana Rosenau pahami, teoritisi postmodern
“menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity)
daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas
daripada simplifikasi.
KELEMAHAN SOSIOLOGI DAN TEORI
SOSIOLOGI
Teori sosial postmodern mengembangkan sebagaian
besar sisi luar sosialogi dan teori sosiologi. Akan tetapi, ilmu pengetahuan
sosial secara umum, dan sosiologi secara khusus, mudah terkena serangan teori
sosial postmodern dalam pelbagai dasar. Banyaknya kelemahan tersebut dapat
diusut pada penerimaan skala luas model saintifik modern dalam ilmu-ilmu sosial
dan sosiologi secara khusus. Pertama, banyak sosiologi tidak
sabar dengan kegagalan keilmuan mereka terutama yang berhubungan dengan
keyakinan hasil yang menjanjikan. Kedua, meningkatnya
kesadaran bahwa ilmu yang telah diciptakan sangat responsif pada kebutuhan
kekuasaan dan cenderung mendukung posisi mereka di tengah masyarakat.
Ketiga, meningkatnya penelitian yang menunjukkan ketidaksesuaian yang sangat besar
antara penerapan cara ilmu seperti yang diharapkan dan cara yang sebenarnya
berfungsi.Keempat, keberlanjutan bahkan termasuk percepatan
persoalan sosial yang banyak yang semakin jelas bahwa ilmu pengetahuan bukanlah
jawabannya. Kelima, ilmu pengetahuan meminimalisasi bahkan
meremehkan pentingnya aspek metafisik dan mistik dari kehidupan sosial. Dan
yang terakhir adalah ilmu pengetahuan memberikan sedikit atau tidak sama sekali
pertanyaan-pertanyaan normatif atau etik atau pertanyaan apa yang sebenarnya
dilakukan.
Fuchs dan Ward menyatakan bahwa sosiologi
merupakan salah satu bidang kajian pada hal-hal tertentu lemah terhadap kritik
postmodern karena sosiologi berparadigma ganda (multyparadigmatic),
rangkaiannya yang longgar, terdesentralisasi dan didominasi oleh teks dan
“percakapan” diantara para sarjana. Lebih khusus lagi dijelaskan oleh Fuchs dan
Ward bahwa sosiologi lemah pada wajah garang dekonstruksionisme. Karena
dekonstruksi merupakan salah satu pendekatan kunci postmodernisme terhadap
pengetahuan, termasuk juga terhadap teori.
Para dekonstruksionis menggunakan satu bagian
teks untuk menunjukkan asumsi dasar dan kontradiksinya. Lebih umum lagi bahwa
dekonstruksionisme bertujuan menyingkirkan rongsokan kekusutan teori yang lalu
yang telah melekat pada praduga (preconception) yang dianggap tidak bisa
lagi diterapkan dalam dunis kontemporer. Tetapi, tujuan dekonstruksionisme
bukan kemudian berkedok bentuk revisi, bentuk perbaikan, dan bentuk yang lebih
benar. Jadi tugas-tugas rekonstruksi seperti itu tidak berlaku karena para
dekonstruksionis menolak gagasan bahwa kebenaran mutlak bisa ditemukan. Tidak
ada jawaban mutlak, hanya ada banyak interpretasi, banyak teks yang “dibaca”.
Dalam arti lain, hanya yang benar-benar fenomena yang didekonstruksi oleh para
dekonstruksionis.
Dalam pandangan Fusch dan Wards bahwa bidang
kajian tekstual seperti sosiologi rapuh terhadap wajah beringas dekonstruksi,
ada tipe-tipe bidang kajian lain di samping teks yang menggunakan alat lain
produksi intelektual, seperti simbolisme matematik, rencana-rencana teknik,
peralatan eksperimen dan sejenisnya. Bidang seperti itu, menurut Fucsh dan
Wards, merupakan suatu subjek dekonstruksi yang sangat lemah, padahal meskipun
disepakati bahwa tidak ada satu kebenaran atau posisi keinstimewaan
epistemologis, namun sains beralih pada dasar ketentuan-ketentuan dan kriteria
pokok. Sebaliknya, bidang-bidang seperti subjuek sosiologi terhadap bentuk kuat
dekonstruksi cenderung pada situasi di saat “segala sesuatunya lenyap”. Karena
semuanya adalah teks, maka semuanya adalah subjek dekonstruksi dan
reintrepetasi. Jadi tidak ada “kebenaran” tunggal kandungan intepretasi data
yang berasal dari berbagai teks.
Seidman, seorang tokoh yang berpaling dari
ilmu-ilmu sosial dan sosiologi khususnya, ia mengasosiasikan teori sosiologi
dengan modernisme dan menghubungkannya dengan sejumlah karakteristik modern,
khususnya saintisme, fondasionisme, totalisasi, esensialisme dan kepicikannya,
yang menyebabkan mudah diserang oleh teoretisi sosial postmodern. Pertama,
teori sosiologi dituduh sebagai saintisme. Karena itulah, sebagian
besar teoretisi sosiologi mempercayai ide universal, jika tidak hukum-hukum
sosial. Telah disepakati suatu pandangan bahwa ada akumulasi kandungan ilmu
pengetahuan teoretis dan tugas praktisi kontemporer yang salah satunya adalah
untuk menambahkan kandungan ilmu pengetahuan teoretis atau mengembangkannya
agar bergerak pada tingkat yang stabil, dan dari tempat itu ia sekali lagi bisa
memulai proses akumulasi.
Kedua, teori sosiologi dimengerti sebgaia fondasional. Fondasionalisme
mencari garis pedoman dasar untuk tingkah laku sosial dan analisa sosial dalam
sebuah fondasi filososif yang kuat. Seidman menjelaskan bahwa teori sosiologi
bermaksud membongkar logika masyarakat bahwa tujuannya adalah untuk menemukan
satu kebenaran kosa kata yang mencerminkan dunia sosial. Ketiga, teori sosilogi
cenderung menyepakati sebuah totalisasi pandangan dunia (world
view). Sejarah teori sosiologi dikarakterisasikan dengan konflik diantara
persaingan totalisasi. Sebagai contoh, proses teori Marx yang menyebabkan
revolusi proletarian versus teori progresif rasionalisasi
Weber. Untuk hegemoni, dan tidak ada totalisasi tunggal yang pernah memperoleh
keunggulan dalam teori sosiologi.
Keempat, teori-teori sosiologi dianggap
sebagai esensialis, oleh sebab itu, mereka cenderung melihat
manusia sebagai orang yang memiliki karakteristik dasar, rapi dan tidak
berubah. Fenomena sosial dipandang sebagai ekspresi esensi-esensi ketimbang
sebagai sebuah produk kondisi sosial tertentu. Sebagai contoh pemahaman Marx
tentang spesies manusia. Konsep para esensialis gagal menilai
perbedaan-perbedaan berdasarkan orientasi “gender, ras, etnisitas, kelas, atau
orientasi seksual”. Teori sosiologi dipandang seperti sesuastu yang asing,
karenanya yang terlibat dengan persoalan-persoalan tersebut hanyalah teoretisi
sosiologi. Dalam lain arti, teori sosiologi makin menjadi metateoretis,
disebabkan oleh titik pusat dan perselisihannya. Seidman menegaskan bahwa teori
sosial menggambarkan alternatif yang nyata bagi teori sosiologi. Teori
sosiologi tidak hanya berorientasi pada pemahaman persoalan-persoalan secara
lebih baik, tetapi juga berdampak pada produk-produk sosial. Teori sosial tidak
dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan teoretisi asing, tetapi oleh moral,
sosial dan politik.
Namun, Antonio membantah bahwa dari sudut
pandang postmodernisme, sekurang-kurangnya dari sudut pandang kebanyakan
postmodernis radikal, Seidman tidak berpikir terlalu jauh. Kenyataannya, dari
sudut yang lebih menguntungkan, Seidman terlihat tidak banyak mengkritisi
proyek sosiologi modernis dan teori sosial, bahkan mirip dengan yang lain,
meskipun memiliki perbedaan tipis dari praktisi teori sosiologi. Teori
sosiologi telah meninggalkan pelbagai keharusan penyelidikan pemikiran
postmodern. Mengingat postmodernis mengatakan sesuatu, sesuatu yang
kedengarannya seperti teori. Tidak dapat dipungkiri bahwa sangat perlu untuk
mengetahui teori postmodern telah mendiami posisi yang luas dan satu sama lain
sering terjadi konflik. Ada kebutuhan mendesak untuk memisahkan pelbagai ide
yang terdapat dalam postmodernisme. Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya,
meskipun semuanya mengkritisi teori-teori besar, namun banyak para postmodernis
yang melakukan hal itu.
MAKLUMAT TEORI SOSIAL
POSTMODERN DALAM SOSIOLOGI
Teori sosial postmodern merupakan bagian tradisi
sosiologi klasik (kontemporer). Salah satu contohnya, kajian reintrepetasi
Georg Simmel dalam bukunya yang berjudul Postmodern (ized) Simmel,
dia menawarkan bahwa sebuah narasi besar dari kecenderungan historis kepada
dominasi budaya objektif atau “tragedi budaya”. Namun Weinstein dan Weinstein
membantah bahwa sebuah persoalan yang sama besar bisa diciptakan Simmel ketika
dia berposisi sebagai seorang postmodernis. Jadi, Weinstein dan Weinstein
mengetahui bahwa kedua alternatif itu memiliki keabsahan (validity) dan
tidak bisa dibantah, yang satu tidak terlalu benar dari yang lain.
Alasan singkat Weinstein dan Weinstein membela
pandangan Simmel sebagai seorang postmodernis adalah untuk satu hal bahwa
Simmel menentang totalitas yang tentu saja ia menolak de-totalitas modernitas.
Walaupun, satu sisi dari teori “tragedi kultural”, Simmel merupakan seorang
essais dan pendongen, namun dia mengupas berbagai macam persoalan khusus
ketimbang membahas persoalan totalitas dunia sosial. Simmel diceritakan oleh
Weinstein dan Weinstein seperti seorang sosiolog yang membuang-buang waktunya
hanya untuk menganalisa fenomena sosial yang sangat luas. Pendekatan ini
menjauhkan Simmel dari pandangan totalitas dunia dan lebih menitikberatkan pada
bagian-bagian dunia yang khas, namun penting.
Bricoleur adalah istilah lain yang dipakai untuk menggambarkan Simmel. Bricolurmerupakan
seorang intelektual handyman (orang yang ahli dalam berbagai
macam pekerjaan) yang menciptakan segala sesuatunya menjadi kenyataan (available).
Menurut Simmel sesuatu yang nyata adalah bagian-bagian dunia sosial yang sangat
luas atau “serpihan-serpihan kultur objektif” sebagaimana Weinstein dan
Weinstein menggambarkan dalam terma Simmelian. Sebagai seorang bricoleur Simmel
merangkum apapun ide-ide guna membuka makna mengenai dunia sosial.
Untuk menengok maklumat postmodern di antaranya
adalah kritik teori modern dalam teori sosiologi. Satu hal, Mills
sebenarnya menggunakan istilah “postmodern” untuk menjelaskan
erapost-enlightenment yang sedang berjalan. Mills adalah seorang
kritikus besar dari teori besar modern dalam sosiologi, khususnya seperti yang
telah diamalkan oleh Talcott Parson. Secara sosial dan moral Mills senang
menggunakan sosiologi. Dalam pemahamannya, dia ingin sosiologi dikaitkan dengan
persoalan masyarakat luas pada masalah yang sangat pribadi. Meskipun pada
kajian Mills ada sugesti postmodernisme, namun tidak ditemukan teori postmodern
itu sendiri.