Perubahan serta
dinamika masyarakat memiliki peranan penting bagi munculnya sosiologi hukum,
dalam hal ini perubahan tersebut terjadi di abad ke-20. Industrialisasi yang
berkelanjutan melontarkan persoalan – persoalan sosioloigisnya tersendiri,
seperti urbanisasi dan gerakan demokrasi juga menata kembali masyarakat sesuai
dengan prinsip-prinsip kehidupan demokrasi. Kemapanan kehidupan abad kesembilan
belas yang penuh dengan kemajuan di banyak bidang bukan akhir dan puncak dari
peradaban manusia. Dominasi tradisi pemikiran hukum analitis–positivis sejak
abad kesembilan belas perlahan–lahan ditantang oleh pemikiran yang menempatkan
studi hukum tidak lagi berpusat pada perundang–undangan, melainkan dalam
konteks yang lebih luas. Lebih luas di sini, berarti memungkinkan hukum itu
juga dilihat sebagai perilaku dan struktur social. Pemikiran seperti ini
bukannya sama sekali asing dalam tradisi berpikir di Eropa, misalnya ada pada
Puthta, Savigny, dan lain–lain pada decade pertama abad kesembilan belas.
Tetapi pemikiran hukum itu tetap menjadi alternative dan merupakan pemikiran
arus bawah, oleh karena pengkajian yang analistis–positivistis tetap dominan.
Namun akhirnya, sosiologi hukum memberikan cap dan tempat tersendiri terhadap
kajian hukum yang demikian itu secara definitive dalam ilmu pengetahuan. Kita
menyaksikan bahwa kajian analistis positivistis mendominasi pemikiran hukum
karena dibutuhkan oleh dunia abad kesembilan belas. Kajian social terhadap
hukum yang kemudian keluar dari lingkungan akademi dan menjadi metode yang
menyebar luas dalam masyarakat juga disebabkan oleh perubahan–perubahan yang
terjadi dalam masyarakat. Kepuasaan dengan ilmu hukum yang ada, yang telah
mampu menyusun bahan hukum ke dalam kodifikasi dan penggunaan metode yang
spesifik, mulai mengalami guncangan memasuki abad kedua puluh.
Perubahan–perubahan dalam masyarakat menampilkan perkembangan baru yang
menggugat masa kebebasan abad kesembilan belas. Negara makin mempunyai peran
penting dan melakukan campur tangan yang aktif. Struktur politik juga mengalami
perubahan besar. Kaum pekerja makin memainkan peran penting dalam polotik dan
memperluas demokrasi politik. Cara–cara penahanan hukum yang didominasi oleh
kepentingan kaum borjuis digugat oleh kelas pekerja yang sekarang menjadi
constituent dalam panggung politik. Perubahan–perubahan tersebut pada
gilirannya membuka mata yuris tentang terjadinya tekanan dan beban–beban
permasalahan baru yang harus dihadapi oleh system hukum dan karena itu
dibutuhkan suatu peninjauan kembali terhadap hukum dan sekalian lembaganya.
Hukum tidak dapat mempertahankan lebih lama politik isolasinya dan menjadikan
dirinya suatu institusi yang steril. Perubahan–perubahan dalam masyarakat tentu
saja dihadapkan pada tradisi dan pemikiran yang sudah mapan, niscaya
menimbulkan situasi–situasi konflik. Keadaan seperti itu ditunjuk sebagai
factor yang mendorong kehadiran sosiologi hukum. Selain itu, hukum alam juga
merupakan basis intelektual dari sosiologi hukum. Hal ini terjadi karena teori
tersebut dapat diibaratkan menjadi jangkar dari hukum modern yang semakin
menjadi bangunan yang artificial dan teknologis. Teori hukum alam selalu
menuntun kembali semua wacana dan institusi hukum kepada basisnya yang asli,
yaitu dunia manusia dan masyarakat. Ia lebih memilih melakukan pencarian
keadilan secara otentik daripada terlibat ke dalam wacana hukum positif yang
berkonsentrasi pada bentuk, prosedur serta proses formal dari hukum. Hukum alam
tidak dapat dilihat sebagai suatu norma yang absolute dan tidak berubah.
Seperti dikatakan di atas, ia mencerminkan perjuangan manusia untuk mencari
keadilan, sesuatu yang mungkin tidak ditemukan secara sempurna di dunia ini.
Norma hukum alam, kalau boleh disebut demikian, berubah dari waktu ke waktu
sesuai dengan cita–cita keadilan yang wujudnya berubah–ubah dari masa ke masa.
Dengan demikian, sesungguhnya keadilan merupakan suatu ideal yang isi konkretnya
ditentukan oleh keadaan dan pemikiran jamannya. Dari perjalanan sejarah
tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa hukum itu sepenuhnya merupakan produk
dari masyarakatnya yang tidak mudah untuk direduksi ke dalam peraturan
perundangan. Sumbangan besar hukum alam terhadap sosiologi hukum alam terletak
pada pembebasannya dari hukum positive. Sosiologi hukum mewarisi peran
pembebasan itu, oleh karena itu, ia selalu mengaitkan pembicaraan mengenai
hukum kepada basis hukum tersebut. Baik itu berupa perilaku manusia maupun
lingkungan sosial. Hal lain yang juga mempengaruhi munculnya sosiologi hukum
adalah filsafat hukum. Filsafat hukum mempunyai sahamnya tersendiri bagi
kelahiran sosiologi hukum. Pemikiran filsafat selalu berusaha untuk
menembus hal–hal yang dekat dan terus menerus mencari jawaban terhadap
pertanyaan–pertanyaan yang tuntas (ultimate). Oleh karena itu, filsafat
hukum jauh mendahului sosiologi hukum apabila ia mempertanyakan keabsahan dari
hukum positif. Pikiran–pikiran filsafat menjadi pembuka jalan bagi kelahiran
sosiologi hukum, oleh karena secara tuntas dan kritis, seperti lazimnya watak
filsafat, menggugat system hukum perundang–undangan sebagaimana disebut di
atas. Pikiran filsafat tersebut juga dapat dimulai dari titik yang jauh yang secara
tidak langsung menggugat hukum positif. Dengan demikian ia merupakan pembuka
jalan bagi kajian hukum yang juga memperhatikan interaksi antara hukum dan
masyarakatnya.
Pemikiran hukum dan
pendekatan sosiologi ini, banyak mendapatkan pengaruh dari aliran-aliran dari
filsafat dan teori hukum. Tempat-tempat pertama patut diberikan kepada dua
aliran yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran ini,
masing-masing berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Di Eropa, Eugen Ehrlich
telah menempatkan dirinya sebagai orang pertama yang menuliskan kitab dengan
nama sosiologi hukum. Bersama-sama dengan Kantorowicz, Ehrlich merintis
perjuangan untuk merintis pendekatan sosiologi terhadap hukum di Jerman.
Perjuangan ini dialamatkan sebagai suatu serangan yang hebat kepada praktik
hukum secara analitis, yang pada masa itu mengusai dunia pemikiran hukum.
Ehrlich kemudian menjadi sangat terkenal dengan konsep yang mengenai hukum yang
hidup dalam masyarakat (The Living Law), sebagai lawan dari hukum
perundang-undangan. Dengan konsepnya itu, pada dasarnya hendak dikatakan bahwa
hukum itu tidak kita jumpai di dalam perundang-undangan, di dalam
keputusan hukum, atau ilmu hukum tetapi hukum itu ditemukan dalam masyarakat
sendiri. Ehrlich berpendapat bahwa hukum itu merupakan variabel tak mandiri.
Dihubungkan dengan fungsi hukum sebagai sarana kontrol sosial, hukum tidak akan
melaksanakan tugasnya apabila landasan tertib sosial yang lebih luas tidak
mendukungnya. Berakarnya tertib dalam masyarakat ini berakar pada penerimaan
sosial dan bukannya paksaan dari negara. Di Amerika Serikat, hal tersebut
dipelopori oleh Roscou Pound, Oliver Ondel Holmes, dan Cardozo. Kelahiran
sosiologi hukum di Eropa diawali dengan peperangan yang melanda benua Eropa
pada abad ke-19. Pada saat itu dibelahan dunia Eropa telah tumbuh suatu cabang
sosiologi yang disebut dengan sosiologi hukum. Di Amerika Serikat
penelitian-penelitian pada masalah praktis dari tata tertib hukum, telah
menumbuhkan ilmu hukum sosiologis. Ilmu ini merupakan suatu cabang dari ilmu
hukum. Sosiologi hukum di Eropa lebih memusatkan penyelidikan di lapangan
sosiologi hukum, dengan membahas hubungan antara gejala kehidupan kelompok
dengan hukum. Di Amerika, sosiologi hukum lebih dirahkan kepada penyelidikan
ilmu hukum serta hubungannya dengan cara-cara menyesuaikan hubungan terib
tingkah laku dalam kehidupan kelompok. Dengan kata lain, di Eropa sosiologi
hukum lebih diarhakan kepada ilmu tentang kelompok, sedangkan di Amerika lebih diarahkan
kepada ilmu hukum. Roscoe Pound membentuk aliran hukum sosiologis dari Amerika
Serikat, yang disebut the sociological jurisprudence. Ini
adalah suatu aliran pemikiran dalam jurisprudence yang
berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an. Soetandyo, menandaskan bahwa sociological
jurisprudence bukanlah sociology of law. Alasannya adalah
ilmu hukum pada awal mulanya adalah bagian dari ajaran filsafat moral, yang
pada dasrnya hendak mengkaji soal nilai kebaikan dan keadilan tak salah bila
dikatakan bahwa ilmu hukum pada awalnya adalah ilmu tentang etika terapan. Akan
tetapi, menurut aliran positivisme, ilmu hukum ini menolak perbincangan soal
keadilan dan etika dalam pengambilan keputusan. Bagi aliran Sociological
jurisprudence, hukum merupakan suatu yang berproses secara dan cultural dan
karenanya steril. Ajaran sosiologi ini kemudian muncul untuk mengkritik dan
mengkoreksi aliran Sociological jurisprudence dan sekaligus
mendorng kepada kajian hukum untuk lebih mengkaji variable-variabel
sosio-kultural. Berbeda dengan Sociological jurisprudence,
sosiologi hukum, yang terbilang sebagai salah satu cabang khusus sosiologi,
sejak awal mula telah memfokuskan perhatiannya secara khusus kepada ikhwal
ketertiban social. kajian-kajian sosiologi hukum dalam hal ini mampu untuk
memberkan konstribusi yang cukup bagi perkembangan ilmu hukum khususnya
advokasi. Pembentukan sosiologi hukum sangat dipengaruhi oleh filsafat hukum,
demikian menurut Satjipto Raharjo. Filsafat hukum adalah cabang filasat yang
membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa
orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah
umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai
hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan
berbagai macam lembaga hukum. Filsafat adalah merupakan suatu renungan
yang mendalam terhadap suatu objek untuk menemukan hakeket yang sebenarnya,
bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul cabang
ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebanaran dikarenakan suatu
pertentangan sudut pandang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar