Meskipun diwarnai perdebatan, namun secara umum dapat
dikatakan,
telah terjadi perubahan pola penguasaan dari komunal ke
penguasaan
individual semenjak zaman pra kolonial sampai Orde Baru.
Hal ini terlihat dari
semakin hilangnya tanah-tanah hak ulayat digantikan bentuk
penguasaan
“milik” privat, sehingga dapat disewakan dan
diperjualbelikan. Sebelumnya
hanya dikenal pemilikan individual terbatas, yaitu tanah
komunal yang
meskipun dapat dikelola secara terus menerus oleh satu
keluarga dan boleh
diwariskan, namun tidak dapat disewakan apalagi diperjual
belikan. Jenis
pemilikan seperti ini disebut juga dengan “pemilikan
komunal yang berciri
privat”.
Untuk menggambarkan bagaimana perubahan tersebut
berlangsung
dapat dilihat misalnya hasil penelitian Berger (1996)
dalam penelitiannya di
satu desa di bagian utara Jawa Tengah, dengan
membandingkan kondisi
selama 60 tahun (antara tahun 1869 dan 1929). Ia menemukan
bahwa
sepanjang waktu tersebut pemilikan tanah menjadi lebih
individualistis, luas
tanah komunal berkurang, serta maraknya pembelian tanah
oleh orang luar
desa. Bersamaan dengan itu, terjadi peningkatan aktivitas
non-pertanian dan
pasar tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja upahan semakin
biasa yang
berlangsung melalui mekanisme pasar. Artinya, telah
terjadi proses
invidualisasi ekonomi dan peningkatan diferensisasi
pekerjaan.
Perubahan sosial ekonomi pedesaan adalah karena pengaruh
kapitalisme Belanda melalui tanam paksa komoditas
perkebunan untuk
ekspor. Namun, menurut Nurhadiantomo (1986), hal ini
bukanlah suatu
kapitalisme murni, karena perkembangannya bukanlah karena
kekuatan
ekonomi murni (sistem pasar) namun lebih karena kekuasaan
melalui
kekuatan politik kolonial. Pengaruh kapitalisme ini tidak
hanya terasa di
wilayah-wilayah dataran rendah terutama karena kompetisi
tebu dengan padi,
tapi bahkan sampai ke daerah yang relatif tertutup yaitu
misalnya pada
komunitas masyarakat Tengger yang berdiam di lereng gunung
Bromo (Hefner,
1999). Tengger sebelumnya dianggap sebagai wilayah cagar budaya
yang
dianggap steril dari pengaruh-pengaruh eksternal. Ketika
belum ada pengaruh
luar, mereka tak mengenal sistem bagi hasil, sewa tanah,
hubungan patron
klien, struktur yang kurang teratratifikasi, dan kultur
yang egaliter. Hal ini
9
karena mereka bergantung pada tanahnya sendiri, bukan
jaminan subsistensi
dari patron. Namun kondisi ini berubah karena berbagai
tekanan luar, yaitu
tanam paksa (khususnya antara 1830 sampai 1850) perkebunan
kopi, desakan
pendatang, serta revolusi hijau. Pola pertanian subsisten
telah digantikan oleh
pertanian kapitalis yang agresif. Akibatnya, terjadi
perubahan kultural berupa
gaya hidup baru, serta kebingungan hubungan sosial sesama
warga
khususnya mengenai aspek normatif.
Selain itu, pengaruh kebijakan pemerintah dengan
menggunakan
mekanisme penguasaan tanah juga telah merusak lembaga
tradisional yang
sudah mapan. Penelitian Brewer (1985) di dua desa di
daerah Bima,
menemukan hilangnya fungsi lembaga “doumtuatua” sebagai
institusi desa
yang sebelumnya berwenang mendistribusikan pengusahaan
tanah di antara
warga. Dampak kebijakan ini, ditambah oleh kebijakan
pemerintahan RI yang
menjadikan sebagian wilayahnya sebagai taman nasional,
adalah suatu
fenomena klasik, yaitu mendorong pemilikan tanah secara
individual dan
pembelian oleh orang luar sehingga akhirnya banyak
warganya yang menjadi
buruh lepas tanpa tanah.
Seiring dengan itu, dalam penelitian Amaluddin (1987) di
Kendal Jawa
Tengah untuk memahami kondisi pada zaman Orde Lama,
perubahan sistem
penguasaan tanah juga telah menyebabkan perubahan sistem
produksi
pertanian. Sebelum tahun 1960, ada tiga jenis hak
penguasaan tanah
komunal, yaitu hak bengkok, hak banda desa,
hak narawita, serta satu yang
bersifat individual yaitu hak yasan. Saat itu,
tanah yasan mencakup 76,7
persen dari total tanah di desa tersebut. Penerapan UUPA
tahun 1960
menyebabkan konversi tanah yang semula berdasarkan hukum
adat (komunal)
menjadi hak milik. Hak narawita, secara de facto
sudah menjadi milik
individual, sehingga penjualan tanah berkembang, peluang
tunakisma untuk
menggarap mengecil, dan mobilitas penguasaan cenderung
sentrifugal atau
terpolarisasi. Bersamaan dengan itu, sistem produksi yang
semula dilandasi
nilai-nilai tradisional digantikan oleh sistem produksi
komersial. Organisasi
produksi dari sebelumnya berupa pola-pola penyakapan
seperti maro, mrapat,
mrlimo, lebotan, bawon, dan mutu; digantikan dengan pola dengan penyewaan,
buruh lepas, panen tebasan, dan penggilingan padi mekanis.
Temuan ini
didukung oleh Hayami dan Kikuchi (1987), yang menemukan
kesamaan
dampak revolusi hijau di Indonesia dan Filipina.
Tranformasi sistem sosial
pedesaan ini juga didukung oleh Temple (1976) yang melihat
adanya evolusi
desa Jawa dari desa komunal (1830-1870), dilanjutkan desa
tradisional (1870-
1959), dan terakhir desa komersial bersamaan dengan era
revolusi hijau.
Selanjutnya Amaluddin (1987) melihat bahwa komersialisasi
pertanian
telah juga menyebabkan perubahan pola hubungan antar
lapisan petani.
Kondisi sebelum tahun 1960 dimana masyarakat terbagi atas
tiga lapisan
sosial, yaitu sarekat (pemegang hak bengkok),
sikep ngajeng (pemegang hak
narawita) dan sikep
wingking (tunakisma) dilandasi hubungan “patron – klien”;
berubah menjadi hubungan berdasarkan nilai-nilai komersial
pola “tuan tanah
– buruh”. Melemahnya hubungan patron klien ini bersamaan
dengan
menurunnya tanggung jawab lembaga desa dalam menjamin
subsistensi,
melalui jaminan memperoleh pekerjaan dan distribusi
(Temple, 1976). Jadi
dapat dikatakan, fungsi tanah yang dulu menyatukan telah
berubah menjadi
“memisahkan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar