Pemilih
Indonesia belum bisa dikatakan rasional karena pilihan yang tersedia buat
mereka belum memiliki diferensiasi yang jelas.
Pemilih
rasional adalah orang yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan
perhitungan untung dan rugi. Pemilih rasional akan memilih partai politik,
anggota legislatif, dan pasangan presiden/wakil presiden, yang menurut
perhitungan pribadinya akan membawa keuntungan baginya di masa depan, apa pun
bentuk keuntungan itu.
Menyebut
bahwa pemilih sudah rasional paling tidak mengandung dua asumsi mendasar.
Pertama, objek pilihan mempunyai diferensiasi. Kedua, pemilih itu terdidik.
Terdidik di sini berarti tahu atau mempunyai kemampuan untuk mengakses
informasi mengenai pilihannya.
Sayangnya,
kedua asumsi ini tidak tepat dalam menggambarkan kehidupan politik Indonesia,
sehingga kita tidak bisa menyimpulkan bahwa pemilih Indonesia sudah rasional.
Partai-partai
politik yang akan bertarung pada Pemilu 2009 hampir tidak ada bedanya. Retorika
yang dipakai akhirnya sama, yaitu campuran antara wacana beragama, pluralis,
dan nasionalis.
Apalagi dari
sisi program atau kebijakan. Semua parpol dipastikan mendukung pemberantasan
korupsi. Semua parpol dipastikan mendukung pengurangan kemiskinan. Semua parpol
dipastikan ingin membangun petani. Semua parpol dipastikan akan menolak
dominasi asing dalam perekonomian Indonesia.
Namun, ini
juga menunjukkan bahwa masing-masing partai politik belum mampu mendefinisikan
secara unik apa persoalan bangsa yang ingin mereka kedepankan atau
prioritaskan. Tentu sangat mungkin bahwa ini merupakan strategi politik para
peserta pemilu untuk menggalang dukungan sebanyak-banyaknya.
Dengan mengangkat
isu seluas-luasnya, sedangkal-dangkalnya, dan tidak mengangkat program atau
kebijakan yang spesifik, peserta pemilu bisa menghindari ketidakpopuleran pada
berbagai kalangan.
Dua
Kemungkinan
Jika parpol
peserta pemilu tidak memiliki perbedaan yang signifikan sepertinya sulit untuk
mengatakan bahwa pilihan para pemilih Indonesia di tahun 2009 nanti merupakan
pilihan rasional, karena pemilih tidak mempunyai pilihan yang bervariasi untuk
ditimbang, mana yang akan memberikan keuntungan optimal.
Dengan kata
lain, ada dua kemungkinan dalam situasi ini. Pertama, pemilih tidak menentukan
pilihannya berdasarkan rasionalitas karena mereka memilih bukan berdasarkan
perbedaan parpol-parpol yang memang tidak ada.
Kedua,
pemilih memilih dalam bounded rationality atau dengan modal pengetahuan yang
(sangat) terbatas mengenai pilihan yang ada. Jadi, pilihan yang dijatuhkan pada
satu partai bukan karena pertimbangan rasional, tapi didasarkan pada
kekurangtahuan tentang perbedaan antara partai.
Pemilih
rasional akan memilih caleg yang bukan hanya mereka kenal, tapi juga
berkualitas, karena caleg yang berkualitas dan bukan caleg yang populer yang
akan memberikan keuntungan buat pemilih. Tanpa kapabilitas dan kapasitas yang
tinggi, hampir tidak mungkin caleg mampu membawa keuntungan buat pemilihnya.
Sementara
itu, pemilih yang kekurangan akses informasi mengenai kualitas caleg yang
diajukan akan cederung memilih caleg yang mereka kenal saja. Situasi di mana
pemilih masih belum rasional dan mempunyai akses informasi dan pengetahuan
politik yang sangat terbatas membuka kesempatan dan mendorong para partai
politik untuk mencari jalan pintas dan mudah untuk menang dalam pemilu.
Banyak caleg
yang diajukan parpol bukan karena kualitas, tetapi karena popularitas.
Ekspektasinya adalah pemilih yang belum rasional atau kekurangan informasi
mengenai kapasitas dan kapabilitas politik caleg, mau tidak mau akan memilih
caleg yang mereka kenal dan populer. Jadi, banyaknya caleg yang diajukan parpol
karena kepopuleran menjadi indikasi pemilih belum rasional.
Variasi
Pilihan
Pemilih bisa
dikatakan rasional jika dia memiliki informasi yang cukup untuk menentukan
pilihan. Pilihannya bisa dikatakan rasional jika pilihan yang tersedia
bervariasi. Tanpa variasi dari pilihan yang tersedia, sulit untuk mengatakan
bahwa keputusan atau pilihan pemilih bersifat rasional.
Paling tidak
ada dua alasan, mengapa pemilih yang rasional penting untuk demokrasi. Pertama,
pemilih rasional akan mendorong parpol mengajukan caleg yang bukan hanya
populer, tapi juga berkualitas. Ke depan, hal ini akan mendorong kaderisasi
politik yang lebih baik. Parpol yang tidak berhasil menghasilkan dan mengajukan
caleg yang berkualitas akan kehilangan dukungan dari pemilih rasional.
Kedua,
pemilih rasional akan membuat demokrasi menjadi transformatif. Selama ini,
demokrasi di Indonesia hanya berfungsi sebagai proses agregasi preferensi dan
aspirasi publik. Demokrasi di Indonesia belum mampu mentransformasi preferensi
dan aspirasi elite. Pemilih yang rasional akan menolak elite yang hanya
mengandalkan popularitas dan yang tidak mampu menampung dan menjawab aspirasi
mereka.
Bagaimana
kita membangun pemilih yang rasional? Yang jelas, kita harus mulai dari
pendidikan politik buat pemilih. Pendidikan ini bukan cuma berkaitan dengan
prosedur, tapi juga substansi. Pemilih harus dididik untuk mengetahui,
bagaimana cara mengakses informasi politik dan mengolahnya, sehingga mereka
bisa menilai secara baik kualitas pilihan yang tersedia dalam pemilu nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar