1. Pendahuluan
Kekuasaan-kekuasaan
kolonial Belanda dan Jepang, sejak berakhirnya Perang Dunia II, masih
meninggalkan tapak-tapak pengaruhnya di tanah air. Sistem kolonial Belanda
telah mencangkokkan sistem pendidikan negaranya sendiri di daerah nusantara.
Juga kekuasaan politik dan ekonomi Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-negara
maju lainnya yang menguasai sebagian besar wilayah dunia, sekarang ini
memberikan stempel pengaruhnya kepada lembaga-lembaga pendidikan di Dunia
Ketiga, termasuk Indonesia.
Rekonstruksi budaya
masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda
dan Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang
kegiatan rekonstruksi tersebut adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi
sistem politik yang bermuara pada sulitnya menentukan kebijakan pendidikan yang
cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (2) sulitnya mengubah
mental pemimpin Indonesia dari kebiasaan ketergantungan, sehingga mereka
cenderung berorientasi pada saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat
dan mengunggulkan model pendidikan negara-negara barat yang belum tentu cocok
dengan kebutuhan pendidikan Indonesia, (3) sulitnya membangkitkan kreativitas
masyarakat dalam pendidikan sebagai akibat pengalaman historis yang menyebabkan
kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.
Kelembagaan pendidikan dan
praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan
penjajahan dan budaya kolonial dari masa lampau. Sebagian institusi pendidikan
Indonesia merupakan pencangkokan lembaga pendidikan negara-negara yang sudah
maju, sehingga dalam praktek sehari-hari, hasil pendidikan kurang mencerminkan
aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang
mengembangkan unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yang menerima
pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri,
yang akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan,
bahasa ibu dan pengalaman eksistensial.
Kemajuan masyarakat
industri Eropa adalah hasil dari akumulasi empat gugus institusi, yang menurut
pandangan Giddens (Dimyati, 2000) sebagai hubungan komplementer dari (1)
kapitalisme, (2) industrialisme, (3) pengawasan, dan (4) kekuatan militer.
Rembesan model institusi ini di Indonesia
menjelma dalam praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter,
pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yang tidak sesuai
dengan kebutuhan anak didik, tidak adanya komunikasi interaktif antara guru dan
siswa, murid dituntut menghafal secara mekanis, guru cenderung bercerita
tentang pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yang
sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Yang terjadi
bukannya proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan
mengisi “tabungan” yang diterima, dihafal, diulangi dengan patuh oleh para
murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono,
1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-insan yang jati
dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan.
Di samping praktek
pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola
ketergantungan pada pendidikan negara-negara maju memberikan dampak kurang
menguntungkan masyarakat Indonesian dan masih mewarnai sistem pendidikan
Indonesia hingga sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih
mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan dan persatuan bangsa, untuk
menjamin keamanan negara dan stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan
sistem pendidikan semacam itu ialah operasionalisasi konkretnya di lapangan
menjadi kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat lokal yang
beragam, dan corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih
Ekspansi dan modernisasi pendidikan dengan penekanan pada pemberian materi
pengajaran yang lebih banyak bersifat urban dan universal dan kurang
memperhatikan situasi kondisi lokal, akan meningkatkan harapan ekonomis dan
ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan.
Di samping itu, hasrat
emosional untuk mengejar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti di
negara-negara kaya dan maju, banyak mendominasi para penentu kebijakan
pendidikan. Mereka hampir selalu berada di dalam utopi, dan kurang berpijak
pada realitas bangsa sendiri, khususnya bagi masyarakat lapisan bawah. Ide-ide
utopis tersebut ternyata menghambat pemimpin pendidikan dalam membangun
model-model pendidikan yang bernafaskan kepribumian yang justru berfaedah bagi
masyarakat dan sinkron dengan kebudayaan asli Indonesia.
Berdasarkan uraian
tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem
pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas,
relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-hasil pendidikan yang belum memenuhi
harapan masyarakat tersebut, memberikan dorongan untuk sepintas melihat
paradigma lama pendidikan Indonesia sebagai bahan refleksi untuk memikirkan
strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam
upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk saat ini.
2. Paradigma Lama Pendidikan
Indonesia
Praksis pendidikan
Indonesia menurut paradigma lama, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan,
baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental
terjadi di dalam pendidikan nasional sejak 57 tahun yang lalu. Suatu sistem
pendidikan nasional yang elitis yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial dan
militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yang populis yang banyak
membuka kesempatan untuk seluruh anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan di
awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, banyak
menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yang
dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan hasil dan layu
sebelum berkembang.
Dalam perjalanan
pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan
sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (2)
sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.
Popularisasi pendidikan
selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yang
menjadi prioritas utama, di samping sumber-sumber alamiah. Paradigma ini
dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul dalam bidang sumber daya
alam, tetapi lemah dalam sumber informasi iptek, kelembagaan dan peraturan,
sumber modal, dan sumber kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping
itu, dengan didorong oleh gerakan education
for all, muncul pula paradigma pemberantasan kemiskinan yang akhirnya
melahirkan program-program wajib belajar yang bermula diberlakukannya wajib
belajar 6 tahun, yang kemudian menjadi 9 tahun. Krisis yang dirasakan sebagai
akibat paradigma tersebut adalah terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang
tercermin dari tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah di Asia dan
semakin bertambahnya pengangguran.
Didorong oleh keinginan untuk meningkatkan mutu dan
standar pendidikan nasional, maka muncullah paradigma keseragaman pendidikan
nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif dan berbagai peraturan
yang menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya norma-norma EBTANAS, dan
berbagai tes standar. Paradigma ini diarahkan untuk mencapai tujuan efesiensi
perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan supervisi, mewujudkan
persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan
menjamin mutu pendidikan nasional.
Di satu sisi, paradigma keseragaman pendidikan telah
menghasilkan percepatan pencapaian target-target kuantitatif pendidikan. Di
sisi lain, paradigma yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif dan
kemampuan berpikir kritis anak didik dan masyarakat (Kartini Kartono, 1997;
Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999).
Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis pada zaman
penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara
signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf.
Atas dasar kenyataan ini, maka setelah kemerdekaan RI 17 Agustus 1945,
pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang
pendidikan tersebut tampak dalam UU. No. 4 th. 1990 yang terutama diarahkan
untuk pengajaran. Kemudian, sebagai akibat desakan perkembangan teknologi
komunikasi yang semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang
bersifat global, maka paradigma proliferasi pendidikan diperluas dengan
memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal
dengan kegiatan-kegiatan untuk pemenuhan tenaga kerja industri. Namun,
perluasan ruang lingkup pendidikan tersebut telah mengubah dimensi pendidikan
dari tanggung jawab keluarga beralih pada kekuatan-kekuatan di luar lingkungan
keluarga, formalistis, dan sistematis, serta sekadar untuk memenuhi tuntutan
popularisasi pendidikan.
Munculnya berbagai jenis program pendidikan dan pelatihan
yang lebih berorientasi pada aspek supply,
mengakibatkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung
ditelantarkan. Ini terjadi sebagai akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan
antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya
berinti pada sejauh mana dunia pendidikan dan dunia kerja itu terjembatani
(Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yang tidak berorientasi pada
esensi praksis pendidikan akhirnya membawa dunia pendidikan semakin mengalami
alienasi dari kebutuhan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a).
Anomali-anomali yang terjadi adalah terabaikannya peranan pendidikan informal;
pendidikan dianggap sebagai state business non profit; dan pendidikan
lebih berorientasi pada aspek supply ketimbang demand dari
konsumen.
Pendidikan dan politik memiliki kaitan yang sangat erat.
Keduanya diarahkan pada tujuan hidup manusia dan masyarakat, menginginkan
kehidupan yang berbahagia, diarahkan untuk membentuk kehidupan bersama.
Indonesia yang tengah berkembang merupakan pencerminan dari kekuatan sosial
politik kaum elit yang berkuasa dan refleksi kekuatan penguasa pada ide-ide
politiknya. Sekolah merupakan sarana penyuapan anak didik dengan
doktrin-doktrin politik serta propaganda nilai-nilai budaya yang dianggap
paling bermanfaat oleh para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi
penguasaan dan pengendalian rakyat secara lebih efisien. Rakyat dituntut
kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara
mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi
pendidikan.
Pendidikan dijadikan sebagai alat penguasa dan sarana
indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan pula prinsip-prinsip
bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya dapat memecahkan masalah sosial
budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani oleh birokrasi agar tercipta
kesatuan persepsi dalam menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang
dirasakan adalah (1) sakralisasi ideologi nasional sehingga terjadi penjinakan
terhadap critical dan creative thinking masyarakat, (2) terjadi
keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.
Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan
Indonesia tersebut, dapat diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya
berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yang dialami oleh
pendidikan Indonesia saat ini. Lebih-lebih dalam mengahadapi era global yang
melanda semua segi kehidupan, dia akan menampakkan wujud semakin hebat dan
beresiko pada keterbelakangan peradaban manusia Indonesia di mata dunia. Perlu
disadari bahwa, secara alamiah upaya untuk menyelamatkan diri dari krisis
pendidikan tersebut memerlukan keseriusan semua anak bangsa, menyadarinya, dan
meyakininya, bahwa krisis tersebut pasti akan bisa dilewati. Atas dasar
keyakinan tersebut, semua anak bangsa bersama pemerintah akan segera
menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma
baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis,
meningkatkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta
peradaban manusia ke arah yang lebih baik, dan bisa berkecimpung dalam
percaturan global.
Paradigma baru pendidikan Indonesia tersebut, di samping
tetap berorientasi pada empat indikator yang dijadikan pijakan untuk
mengevaluasi paradigma lama, juga
berorientasi pada nilai-nilai orisinal yang bersifat lokal, nasional,
dan universal bersumber dari landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal
budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tersebut dijadikan dasar untuk
memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia.
3. Orientasi pada Landasan
Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai usaha
sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu pada sejumlah landasan. Landasan
tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan
manusia dan masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan
pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan
masyarakat, bangsa, dan negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang
peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan adalah landasan filosofis,
sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yang mendorong pendidikan dalam
rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping
itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan dengan
pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan
pendidikan ini akan dapat membentuk wawasan pendidikan yang utuh.
Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara
pendidikan dan filsafat. Filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan
masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra itu. Di satu sisi,
rumusan tentang harkat dan martabat manusia dan masyarakatnya ikut menentukan
tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, sementara di sisi lain, pendidikan merupakan proses
memanusiakan manusia. Peranan filsafat dalam bidang pendidikan berkaitan dengan
kajian-kajian: (1) keberadaan dan kedudukan manusia sebagai makhluk zon politicon, homo sapiens, animal
educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja &
La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (2) masyarakat dan kebudayaannya, (3)
keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran
dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak
agar mengalami growth in learning dan becoming process.
Dengan belajar, anak tumbuh
dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah tidak mengajar anak, melainkan
melaksanakan pendidikan. Pendidikan adalah untuk dapat hidup sepanjang hayat.
Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Orang belajar dari hidupnya, bahkan
kehidupan itu adalah pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini
adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa
pengetahuan dikonstruksi sendiri oleh individu berdasarkan interaksinya dengan
lingkungan alamiah, teman sebaya, dan masyarakat (Suparno, 2001). Pebelajar
sendiri yang membangun pengetahuannya, sedangkan guru hanya bertindak sebagai
fasilitator dan mediator yang dinamis.
Unsur kebebasan memegang
peranan penting dalam proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi
pendidikan adalah membina pribadi-pribadi yang bebas merumuskan pendapat dan
menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang
diinginkan adalah individu yang kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir
produktif.
Aliran kulturalisme melihat
fungsi pendidikan masa kini sebagai suatu upaya untuk merekonstruksi masyarakat
mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah
tersebut seperti identitas bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan
pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata masyarakat berdasarkan
fungsi-fungsi budaya yang universal berdasarkan budaya lokal yang berkembang ke
arah kebudayaan nasional dan kebudayan global. Nilai-nilai budaya seperti itu
adalah Trikonsentris, kovergensi, dan kontinuitas dari Ki Hadjar Dewantara
(Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).
Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya
mencakup semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar
sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk salah satu pendidikan luar sekolah
merupakan lembaga sosial pertama bagi setiap manusia. Proses sosialisasi akan
dimulai dari keluarga, di mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat
memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan
(UU.RI.No.2/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan
sikap yang dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi
keluarga, pola hubungan orang tua dengan anak dalam keluarga, komposisi
keanggotaan dalam keluarga, keberadaan orang tua, dan perbedaan kelas sosial
keluarga berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).
Proses pendidikan juga
sangat dipengaruhi oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat, seperti
kelompok keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi pramuka. Terdapat satu
kelompok khusus yang datangnya bukan dari orang dewasa, tetapi dari anak-anak
lain yang hampir seusia, yang disebut kelompok sebaya. Kelompok sebaya
merupakan agen sosialisasi yang mempunyai pengaruh kuat searah dengan
bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai lembaga sosial,
kelompok sebaya tidak mempunyai struktur yang jelas dan tidak permanen. Tetapi
kelompok sebaya dapat menciptakan solidaritas yang sangat kuat di antara
anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang dapat disumbangkan oleh kelompok
sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya dapat
memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan
untuk lebih independen, menumbuhkan sikap kerja sama, dan membuka horizon anak
menjadi lebih luas.
Di sisi lain, yang tidak kalah
pentingnya, adalah pengaruh pendidikan terhadap masyarakat. Penekanan pada
sosialisasi, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak untuk hidup di dalam
masyarakatnya, sedangkan penekanan pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan
adalah mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui masyarakat. Pendidikan
yang dilaksanakan pada umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub
penekanan tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan
pengembangan.
Pendidikan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, harus didukung
oleh sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga ia dapat berkembang secara
efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi dari prinsip tanggung jawab
sosialnya. Tanggung jawab yang dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan
tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus
konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan
harus disampaikan secara proporsional kepada masyarakat, sehingga dapat
dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan permasalahan sosial.
Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang
akan memberikan keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang
diyakininya. Secara etis, ilmuwan harus bersikap ilmiah, yaitu bersikap
obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam
memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi masyarakat.
Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya tidak selalu terbaik dan juga tidak
terburuk bagi masyarakat, namun gagasannya harus siap memenuhi kebutuhan
masyarakat. Ketika gagasan tersebut gagal menunjukkan keunggulannya, dalam
artian akan terjadi konflik antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka harus
dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan peran sikap
ilmiahnnya.
Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait dengan manusia,
sedangkan setiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung
kebudayaan tertentu. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik,
sebab kebudayaan dapat dikembangkan dan dilestarikan dengan jalan mewariskan
kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara
informal maupun formal. Sebaliknya,
bentuk, ciri-ciri, dan pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan oleh
kebudayaan masyarakat di mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta
dan karya manusia berupa norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, tingkah laku,
dan teknologi yang dipelajari dan dimiliki oleh semua anggota masyarakat tertentu.
Kebudayaan dalam arti luas dapat berwujud (1) ide, gagasan, nilai; (2) prilaku
manusia dalam masyarakat; (3) benda hasil karya manusia. Kebudayaan baik dalam
wujud ide, prilaku, dan teknologi tersebut dapat dibentuk, dilestarikan, dan
dikembangkan melalui proses pendidikan.
Cara untuk mewariskan kebudayaan, mengajarkan
tingkah laku kepada generasi baru, berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Ada
tiga cara umum yang dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi dalam
keluarga), nonformal (terjadi dalam masyarakat, dan formal (terjadi dalam
lembaga-lembaga pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang untuk
mengarahkan perkembangan tingkah laku anak didik. Masyarakat memegang peranan
dalam mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus.
Masyarakat juga berusaha melakukan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan
kondisi baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nilai-nilai, norma-norma
baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju
pola tingkah laku, nilai-nilai, dan norma-norma tersebut merupakan transformasi
kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan
transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan
keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial mempunyai peranan yang sangat penting,
sebab pendidikan tidak hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan kepada generasi
penerus, tetapi juga mentransformasikannya agar sesuai dengan perkembangan
zaman.
Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan,
sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam
bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju pada
pemahaman manusia, khususnya tentang proses perkembangan dan proses belajar.
Terdapat tiga pandangan tentang hakikat
manusia, yaitu strategi disposisional yang memberikan tekanan pada
faktor hereditas, strategi behavioral, dan strategi fenomenologis atau
humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral
memandang manusia sebagai makhluk pasif yang bergantung kepada lingkungan,
strategi fenomenologis memandang manusia sebagai makhluk aktif yang mampu
bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan tentang
hakikat manusia tersebut berdampak dalam pandangan tentang pendidikan.
Pemahaman peserta didik,
utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan salah satu kunci
keberhasilan pendidikan. Individu memiliki bakat, kemampuan, minat, kekuatan,
serta tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya,
pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik.
Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan berbagai aspek kejiwaan
antar peserta didik, bukan hanya berkaitan dengan kecerdasan dan bakat, tetapi
juga perbedaan pengalaman dan tingkat perkembangan, perbedaan aspirasi dan
cita-cita, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi
pendidikan yang erat kaitannya dengan pendidikan adalah yang berkaitan dengan
kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang
tertentu banyak dipengaruhi oleh kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial
hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan dalam situasi yang
kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik karena
pertumbuhan maupun karena perkembangan. Pertumbuhan terjadi sebagai akibat
faktor internal sebagai akibat kematangan dan proses pendewasaan, sedangkan
perkembangan terutama terjadi karena pengaruh lingkungan. Lingkungan pendidikan
dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, dan media
masa (Dimyati, 2000, 2001).
Landasan Ilmiah dan Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
teknologi memiliki kaitan yang sangat erat. Iptek menjadi bagian utama isi
pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan
pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek harus segera
diakomodasi oleh pendidikan, yakni dengan segera memasukkan hasil pengembangan
iptek ke dalam isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat dipengaruhi
oleh cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi,
antroplogi). Seiring dengan kemajuan iptek pada umumnya, ilmu pendidikan juga
mengalami kemajuan yang pesat; demikian pula dengan cabang-cabang khusus dari
ilmu-ilmu prilaku yang mengkaji pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu
tersebut menyebabkan tersedianya informasi empiris yang cepat dan tepat, dan
pada gilirannya, diterjemahkan menjadi program, alat, dan/atau prosedur kerja
yang akan bermuara pada kemajuan teknologi pendidikan.
Dengan perkembangan iptek
dan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks, maka pendidikan dalam segala
aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan
formal telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi suatu lingkup kegiatan
yang luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan
struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah
dilakukan dengan pemanfaatan iptek. Oleh karena kebutuhan pendidikan yang
sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu harus segera diadopsi
ke dalam penyelenggaraan pendidikan, dan atau kemajuan ilmu harus segera dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan
tersebut.
4. Orientasi pada Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan merupakan
sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap
perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan
adalah bahwa manusia itu dapat dididik dan mendidik diri sendiri. Manusia
dilahirkan hampir tanpa daya dan sangat tergantung pada orang lain. Namun, ia
memiliki potensi yang hampir tanpa batas untuk dikembangkan melalui pendidikan.
Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik dari kecenderungan umum
pendidikan di dunia maupun yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman
sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan di
Indonesia yang sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa kini maupun
masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan
asas kemandirian dalam belajar.
Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani merupakan inti
dari asas pertama dari tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa
(lahir pada tanggal 3 Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas
pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak untuk mengatur dirinya
dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini
tampak bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Taman Siswa adalah kehidupan yang
tertib dan damai. Kehidupan tertib dan damai hendaknya dicapai menurut dasar
kodrat alam sebagai sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini
mendorong Taman Siswa mengganti sistem pendidikan cara lama yang menggunakan
perintah, paksaan, dan hukuman dengan sistem khas Taman Siswa, yang didasarkan
pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, di mana guru
memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang
dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mempengaruhi dengan
memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus
menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya wajib menyingkirkan
segala sesuatu yang merintangi jalannya anak serta hanya bertindak aktif dan
mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri tidak dapat
menghindarkan diri dari berbagai rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak
majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang dipakai dalam sistem
Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan dan
mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan tidak melupakan segala keadaan
yang mengelilinginya.
Dua semboyan lainnya,
sebagai bagian tak terpisahkan dari Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya
bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidak ada unsur perintah,
paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan
anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik
setiap saat siap memberi uluran tangan apabila diperlukan oleh anak. “Ing
ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun
pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang
bergairah atau ragu-ragu untuk mengambil keputusan atau tindakan, sehingga
perlu diupayakan untuk memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut sebagai
satu kesatuan asas telah menjadi asas penting dalam pendidikan di Indonesia.
Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut
pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu
konsep yang memiliki makna baru dari ide lama, tetapi secara universal definisi
yang dapat diterima adalah sulit. Oleh karena itu, UNESCO Institute for
Education menetapkan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah
pendidikan yang (1) meliputi seluruh hidup setiap individu, (2) mengarah kepada
pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat meningkatkan kondisi hidupnya,
(3) tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) meningkatkan kemampuan dan
motivasi untuk belajar mandiri, (5) mengakui kontribusi dari semua pengaruh
pendidikan yang mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan
informal.
Istilah “pendidikan seumur
hidup” erat kaitannya dan memiliki makna yang sama dengan istilah “belajar
sepanjang hayat”. Kedua istilah ini tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat
dibedakan. Penekanan istilah “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif,
afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan istilah “pendidikan” menekankan pada
usaha sadar dan sitematis untuk menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan
perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yang
membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar
mengajar di sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni
membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif; dan meningkatkan
kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai basis dari belajar sepanjang
hayat.
Kurikulum yang dapat
mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan
diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan
horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah meliputi tidak saja keterkaitan
dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan, tetapi juga terkait dengan
kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal
ini, dan dalam upaya mengantisipasi peserta didik untuk dapat bersaing di era
global, maka dimensi tersebut hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hidup (life skills). Indikator-indikator life
skills adalah integrity, initiative,
flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense,
problem-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif,
caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal
mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah.
Rancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan
mengakrabkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di
sekitarnya. Kemampuan dan kemauan menggunakan sumber-sumber belajar yang tersedia
itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yang
mempunyai warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu masyarakat yang
gemar belajar (learning society),
yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hidup seperti yang
tercermin dalam sistem pendidikan nasional.
Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar
memiliki kaitan yang sangat erat dengan asas Tut Wuri Handayani maupun asas
belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar
merupakan kebutuhan yang mucul dari dalam diri sendiri sehingga cenderung
bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas
kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebagai
fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, guru diharapkan menyediakan dan
mengatur berbagai sumber belajar sedemikian rupa sehingga memudahkan peserta
didik berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, guru
mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar
tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang dapat menyediakan peluang
pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif,
belajar melalui modul, paket belajar, pengajaran berprogram. Strategi-strategi belajar tersebut dapat terlaksana apabila
lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yang memadai dan pusat sumber
belajar (PSB).
4. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu
kepada deskripsi masyarakat Indonesia di masa kini dan di masa yang akan
datang, dapat diajukan gagasan bahwa untuk mencapai masyarakat yang menghormati
nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya
diarahkan menuju paradigma pendidikan yang berakar pada pendidikan demokrasi
dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif
futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang
bersifat lokal dan universal. Nilai-nilai lokal dan universal pendidikan
demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan dan kebutuhan unsur-unsur
kebudayaan bangsa Indonesia untuk tetap survive
dalam kehidupan global dan untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas
kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi
khas masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan dalam kerangka untuk
menetapkan identitas bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi
yang ada dan diakui oleh sebagian besar penduduk dunia dapat diterima sebagai
suatu kebenaran melalui proses akulturasi dan trasformasi dengan kebudayaan
asli di Indonesia.
Dalam rangka mengatasi
kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis dan behavioristik, sistem pendidikan
hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga
pilar utama pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak.
Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu kreatif mandiri, dan
mengembangkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan
untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan
masyarakat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat
industri. Ketiga, konsep eksperimentasi dalam pendidikan. Konsep ini akan
mengembangkan kemapuan anak untuk berpikir rasional, kritis, penarikan kesimpulan
berdasarkan pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini dapat
dijembatani melalui penerapan inquiry-based
learning, problem solving, problem
based learning, project based
learning, cooperative learning,
conceptual change instruction.
Penerimaan nilai-nilai
asing dalam pendidikan Indonesia hendaknya berdasarkan pada prinsip seleksi
asimilasi dengan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi
tersebut, terjadi proses dialektika dengan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir,
proses dialektika tersebut akan menghasilkan sintesis berupa konvergensi nilai
asing dan nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yang
bersifat global dapat disandingkan dengan nilai-nilai ke Indonesiaan yang
menunjukkan identitas unik bangsa Indonesia. Demikian pula konsep progresif
tentang fungsi pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial seharusnya
disesuaikan dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif
itu dapat dipertemukan dengan konsep tri pusat pendidikan Ki hajar Dewantara:
keluarga, sekolah, masyarakat, dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga
pramuka dan media massa.
Untuk mengantisipasi tidak
terjadinya konflik global antarbudaya, maka diperlukan paradigma pendidikan
antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan
generasi-generasi baru yang tidak terkungkung oleh perspektif nasional, rasial,
etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif
tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan
realitas-realitas dan tuntutan internasional sekaligus global. Pendidikan antar
budaya dapat berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing,
studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yang cukup
penting diajarkan di sekolah dan di perguruan tinggi. Di samping itu, program
pertukaran siswa, mahasiswa, ilmuwan, artis, dan olahragawan juga merupakan
kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga merupakan sarana untuk
memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui berita, ulasan, feature, pandangan mata, dan sebagainya.
Demikian pula, buku-buku khususnya yang memuat pengetahuan tentang budaya
negara-negara bangsa lain, meliputi adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan
prilaku komunikasi mereka sangat penting dijadikan kurikulum.
Untuk membentuk
manusia-manusia antarbudaya tingkat nasional, paradigma pendidikan antarbudaya
diimplementasikan melalui usaha sebagai berikut. Pertama, penggunaan bahasa
nasional di forum-forum resmi: lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, kantor
swasta. Juga di forum-forum tidak resmi yang melibatkan lebih dari satu suku
bangsa, usaha yang sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah
yang berlebihan ke dalam bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam
itu merupakan gejala etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang
dari daerah lain. Kedua, sajian kebudayaan ditayangkan secara adil melalui
media elektronik, khususnya televisi, dan forum-forum internasional. Ketiga,
sosialisasi yang merata di lembaga-lembaga pendidikan dan kantor-kator
pemerintah dan swasta, dengan menerima siswa atau mahasiswa dan pegawai yang
cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, kontak antar suku melalui
pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dan dosen antar propinsi
paling tidak untuk satu periode tertentu. Kelima, perkawinan antarsuku
sepanjang orang-orang yang berbeda suku tersebut mempunyai kecocokan dalam
segi-segi penting, misalnya dalam agama. Keenam, pembangunan daerah yang merata
oleh pemerintah, dengan mencegah adanya kemungkinan daerah yang sebagian maju
dan sebagian lagi terlantar.
Untuk memajukan
popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model
pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan rakyat banyak seraya meningkatkan
mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga dan masya-rakat dalam
penyelenggaraan, investasi, dan evaluasi pendidikan, (3) meningkatkan investasi
pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui
program-program (1) mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas, (2)
menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (3)
menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar, (4)
menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi
pelaksanaan penyaluran bantuan, dan (5)
meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, sehingga dapat
memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru
dan tenaga kependidikan lainnya tersebut juga harus diberikan peluang melalui
praktek-praktek penyegaran akademik, seperti penataran, kursus singkat, studi
banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.
Pendidikan
Indonesia diharapkan juga memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi
pendidikan. Paradigmanya adalah (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan
sistem pendidikan nasional pada pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi
otonomi yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional yang terbuka
bagi segenap dipersivitas yang ada di Indonesia, (3) pembatasan program-program
pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi
paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan
lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah, (2) mengurangi birokrasi
penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur memberikan otonomi
seluas-luasnya pada lembaga pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan
sarana, SDM, dan dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.
Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat menentukan
kualitas pendidikan dalam dunia semakin terbuka sekarang ini. Untuk
meningkatkan proliferasi pendidikan tersebut, paradigmanya adalah (1)
meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi program pelatihan,
media massa, dan media elektronika, (2) menjembatani dunia pendidikan dan dunia
kerja secara optimal dalam rangka menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat
dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi
lembaga-lembaga pelatihan di daerah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin
masyarakat, pemerintah daerah, dan dunia industri, (2) meningkatkan kuantitas
dan kualitas lembaga-lembaga pendidkan di daerah dalam rangka menahan arus
urbanisasi sekaligus meningkatkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama
yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia kerja.
Pendidikan dan politik
memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan
hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik
secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam meningkatkan peradaban manusia.
Paradigmanya adalah (1) pendidikan nasional ikut serta dalam mendidik manusia
Indonesia sebagai insan politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan
kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, (2) masyarakat,
termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara
operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui program-program (1)
menerapkan sistem merit dan profesionalisme dalam rangka membersihkan birokrasi
departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (2) menegakkan disiplin serta
tanggung jawab para pelaksana lembaga-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan
pendidikan budi pekerti.
Pendidikan dan kebudayaan
adalah suatu kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya
lembaga pendidikan, baik sekolah maupun program-program pendidikan non formal,
berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, maka
diperlukan paradigma pemberdayaan masyarakat lokal, universitas-universitas di
daerah, lembaga pemerintah di daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya
adalah sebagai berikut. Antara pemda kabupaten dan masyarakat di dalam
penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas
horizontal. Artinya, masyarakat dan pemda kedua-duanya bertanggung jawab
terhadap stake holder (masyarakat) yang memiliki
pendidikannya. Pemda wajib membantu masyarakat agar penyelenggaraan
pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas di daerah
memiliki hubungan konsultatif dengan masyarakat lokal dan pemda kabupaten.
Hubungan tersebut akan menciptakan peluang bagi universitas di daerah untuk
menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik di
kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.
Dalam memasuki era globalisasi,
terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan
sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi global. Paradigma pengembangan
kedua dimensi tersebut sangat penting dalam memasuki milenium ketiga ini.
Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri dari unsur-unsur akuntabilitas,
relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi
global visi pendidikan tinggi memiliki unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan
jaringan kerja sama. Ini berarti, mengembangkan dimensi lokal berarti pula
mengembangkan dimensi globalnya karena unsur kompetitif pada dimensi global
sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas
pada dimensi lokal.
5. Penutup
Lamanya zaman penjajahan
Belanda dan Jepang di Indonesia cukup memberikan pengaruh signifikan terhadap
mental para pemegang kebijakan di bidang pendidikan Indonesia. Mereka sulit
berubah dalam menentukan arah pendidikan untuk menuju pada sistem pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan dikembangkan lebih banyak
mengarah pada pencapaian tujuan pelestarian kekuasaan ketimbang upaya
memanusiakan manusia.
Paradigma lama pendidikan
Indonesia yang berkembang secara subur selama Orde Baru dampaknya masih sangat
dirasakan hingga sekarang. Dampak berlakunya paradigma lama tersebut adalah
tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah di Asia, jumlah
pengangguran semakin bertambah dari tahun ketahun, terabaikannya peranan
pendidikan informal yang justru menjadi sumber pengembangan pertama kreativitas
anak bangsa, pendidikan mengutamakan supply ketimbang demand,
sakralisasi ideologi nasional yang berakibat penjinakan terhadap critical
dan creative thinking, dan keterpurukan di bidang profesi bagi para
praktisi pendidikan. Oleh sebab itu, sangat diperlukan gagasan untuk menuju
paradigma baru pendidikan Indonesia di milineum ketiga ini.
Paradigma baru pendidikan Indonesia
berorientasi pada landasan dan azas pendidikan Indonesia. Lima landasan
pendidikan yang diacu adalah: landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan
kultural, landasan psikologis, dan landasan ilmiah dan teknologi. Sedangkan
asas pendidikan yang diacu adalah asas Tut Wuri Handayani, asas belajar
sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar. Landasan dan azas
pendidikan tersebut, diharapkan dapat melahirkan paradigma demokratisasi
pembelajaran, paradigma pendidikan antarbudaya tingkat internasional dan
nasional, paradigma polarisasi, sistematisasi, proliferasi sistem delivery,
politisasi pendidikan, dan paradigma pemberdayaan pendidikan berbasis
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, J.G. &
Martin G. Brooks. 1993. In search of
understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia:
Association for Supervision and Curriculum Development.
Buchori, M. 2001. Pendidikan antisipatoris. Yogyakarta:
Kanisius.
Budhisantoso, S. 1989. Peranan
perguruan tinggi dalam pengembangan kebudayaan yang didukung oleh perkembangan
ilmu dan teknologi. dalam Sasmojo,
S., dkk. (eds). Menerawang masa depan
ilmu pengetahuan, Teknologi & Seni. Bandung: ITB
Dimyati. 2001. Akulturasi
teknologi pendidikan dalam masyarakat Indonesia tansisional. Malang: CV. Wineka
Media.
Dimyati, M. 2000. Demokratisasi
belajar pada lembaga pendidikan dalam masyarakat Indonesia transisional: Suatu
analisis epistemologi ke Indonesiaan.
Freire, P. 1985. Pendidikan kaum tertindas, Jakarta: LP3S
Hanurawan, F. 2000. Filsafat
pendidikan demokrasi sebagai landasan pendidikan masyarakat Indonesia Baru. Jurnal Ilmu Pendidikan, 27(2). pp
117-127.
Kartini Kartono. 1997. Tinjauan politik mengenai sistem pendidikan
nasional: beberapa kritik dan sugesti. Jakarta: Pt. Pradnya Paramita.
Koentjaraningrat. 1993. Masalah
kesukubangsaan dan integrasi nasional. Jakarta: Universitas Indonesia, Press.
Kuhn,
Thomas S. 2002. The structure of
scientific revolution. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Longworth, N. 1999. Making lifelong learning work: Learning
cities for a learning century. London: Kogan Page.
Mulyana, D., & Rakhmat, J.
1996. Komunikasi antar budaya: Panduan
komunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: PT. Remaja
Kosdakarya.
Oetama, J., & Widodo, J.
1990. Menuju masyarakat baru Indonesia:
Antisipasi terhadap tantangan abad XXI. Jakarta: Gramedia.
Parawansa, P. 2001. Reorientasi
terhadap strategi pendidikan nasional. Makalah.
Disajikan dalam simposium pendidikan nasional dan munas I alumni PPS.UM. di
Malang, 13 Oktober 2001.
Redja
Mudyahardjo, Waini Rasyidin, dan Saleh Soegianto. 1992. Materi pokok dasar-dasar kependidikan. Modul 1-6. Jakarta: P2TK-PT
Depdikbud.
Reigeluth,
C. M. (Ed.). 1999. Instructional-design
theories and models: A new paradigm of instructional theory, volume II.
pp.51-68. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Suyanto, 2001. Formula pendidikan
nasional era global. Makalah.
Disajikan dalam simposium pendidikan nasional dan munas I alumni PPS.UM. di
Malang, 13 Oktober 2001.
Tilaar, H.A.R. 2000. Pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat
madani Indonesia: Strategi reformasi pendidikan nasional. Bandung: PT.
Remaja Kosdakarya.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma
baru pendidikan nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tirtarahardja, U. & La Sula.
2000. Pengantar pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Van Peursen, C.A.
2001. Strategi kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Watloly, A. 2001. Tangung jawab pengetahuan:
Mempertimbangkan epistemologi secara kultural. Yogyakarta: Kanisius.
Thanks infonya ya gan dan salam kenal
BalasHapusAGEN POKER ONLINE TERPERCAYA DAN TERBESAR DI INDONESIA,BONUS JACPOTNYA TERBESAR
Domino Online
Judi Domino
Agen Judi Terpercaya
Domino Online Indonesia
Agen Poker Online