I.
Pendahuluan
Dengan
diproklamasikannya Indonesia sebagai negara merdeka (17
Agustus 1945 yang silam),maka di
Indonesia lahir tata hukum baru ,yaitu tata hukum nasional yang
mencerminkan cita- cita hukum Indonesia dan menjadi sarana bagi ,masyarakat
Indonesia untuk menanggulangi masalah – masalah aktual yang dihadapinya. Walau demikian bukan berarti bahwa sejak saat
itu telah lahir tata hukum nasional yang betul- betul tata hukum nasional;dalam arti yang sesuai dengan
cita-cita masyarakat Indonesia.Hal ini bisa berarti sebab sebagai Negara yang
baru merdekatentu saja(bisa dimaklumi)belum dapat begitu saja(seketika itu
juga)membuat tata hukum yang baru sama sekali, melainkan dengan berdasarkan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (yang lahir sehari setelah proklamasi),
sistem hukum yang pluralistis jaman penjajahan masih berlaku bagi negara
Indonesia yang sudah merdeka ini . Bahkan dalam usianya yang ke 50(setengah
abad) negara ini masih menggunakan
peraturan produk sebelum merdeka.
Sebagai Negara yang berkembang,yang
mewarisi tata hukum yang bersifat pluralistis,dihadapkan pada perkembangan
IPTEK di abad modern dalam era globalisasi ini .Tata hukum lamapun tentu saja
akan ketinggalan dan memang sudah ketinggalan dengan perkembangan IPTEK ,baik
didalam negeri maupun di dunia internasional . Oleh karena itulah ,di Indonesia
diadakan pembangunan hukum ,yang merupakan upaya merombaktata hokum lama
menjadi tata hukum nasional yang baru . Pembangunan hukum di Indonesia sampai saat ini (PJP II) sedang
dan terus digalakkan ,sebab pembangunan disegala bidang tidak mungkin berjalan
mulus bila tidak dilandasi sistem Hukum Nasional yang memenuhi kebutuhan
masyarakat masa kini dan dapat mengantisipasi kebutuhan dimasyarakat di abad
ke- 21.
Upaya pembentukan tata hukum nasional
yang mengabdi kepada kepentingan nasional (sebagaimana arahan GBHN),maka tentu
saja harus memperhatikan hokum yang sudah ada (Hukum adat/ Hukum yang berlaku
dalam masyarakat dan Hukum Kolonial) maupun hokum yang kini sedang berkembang
di dunia internasional.Dalam tulisan ini akan dibahas pembangunan hukum di Indonesia
ditinjau dari pendekatan sistem dengan hukum adat sebagai salah satu inputnya.
II.
Hukum
Adat dan Hukum Modern
Dalam
kepustakaan banyak sekali para ahli Hukum Adat yang memberikan definisi tantang
Hukum Adat ,dan konsepsi Hukum Adat itupun dari waktu ke waktu mengalami
perkembangan yang disebabkan oleh terjadinya perubahan di dalam Hukum Adat itu
sendiri maupun akibat terjadinya perubahan nilai – nilai sosial budaya
masyarakat oleh perkembangan ilmu dan teknologi.Dalam tulisan ini tidak akan
dijelaskan satu persatu pandangan para ahli hukum adat tentang konsepsi Hukum
Adat . Akan tetapi yang dijadikan pijakan dalam tulisan ini ialah konsepsi
Hukum Adat yang telah dirumuskan pada Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional tahun 1974 di Yogyakarta.Seminar
tersebut telah menyimpulkan bahwa”Hukum Adat Hukum Indonesia asli yang
tidak tertulis dalam bentuk Perundang-undangan Republik Indonesia yang disana
sini mengandung unsur agama.”
Dengan demikian maka Hukum Adat mempunyai ciri- ciri
sebagai berikut :
-
Hukum Indonesia asli;
-
Bentuknya tidak
tertulis;
-
Mengandung unsure-unsur
agama.
Hukum
Adat pun sering pula disebut sebagai hukum tak formal,karena prosedur pembuatan
dan implementasinya, yaitu sebagai hukum rakyat yang tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan berkembangnya proses sejarah . Hukum ini mengedepankan dimensi
kultur dan bertumpu diatas dasar kesetiaan kultural warga masyarakat
(periksa.Soetandyo Wignjo Soebroto,tanpa tahun ,h.2-3).Karena mengedepankan dimensi
kultur dan bertumpu diatas dasar kultural ,maka Hukum Adat pada hakekatnya juga
mencakup peraturan – peraturan yang dijelmakan didalam keputusan para pejabat
hukumdalam arti luas.Keputusan- keputusan itu diambil atas dasar nilai –nilai
yang hidup dan sesuai dengan warga masyarakat dimana keputusan itu diambil.
Sehingga tidaklah mengherankan bila Hukum Adat sebagai hukum yang hidup berlakunya
hanya tergantung pada kekuatan dan proses sosial yang terjadi didalam
masyarakat yang bersangkutan (Periksa. Abdulrahman ,1984,h.23).
Seperti
telah disebutkan pada bagian terdahulu ,bahwa bentuk Hukum Adat ialah tidak
tertulis ,dalam arti tidak tertulis dalam Perundang-undangan Republik
Indonesia.Mengenai hal ini masih banyak yang belum sendapat,ada yang mengatakan
bahwa sebaiknya Hukum Adat itu untuk menyebut hukum yang tertulis, Ada pula
yang mengatakan bahwa Hukum Adat itu juga terdiri dari bagian –bagian yang tertulis . Untuk
menghindarkan perbedaan pendapat dan kesimpangsiuran tentang hal tersebut, maka
sebaiknya digunakan istilah Hukum Tradisional,yang mempunyai cirri-ciri sebagai
berikut: (Ronny Hanitijo Soemitro,1984,h.54)
a.
Mempunyai
sifat kolektifitas yang kuat ;
b.
Mempunyai
corak magis-religius,yaitu yang behubungan dengan pandangan hidup masyarakat asli;
c. Sistem
hukumnya diliputi oleh pikiran serba konkrit ,artinya hukum tradisional sangat
memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnyanhubungan –hubungan yang konkret
yang terjadi didalam masyaraka;
d. Sistem
hukum tradisional bersifat visual ,artinya hubungan –hubungan hukum dianggap
terjadi karena ditetepkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat atau dengan
suatu tanda yang tampak .
Ciri-
ciri hukum tradisional dalam masyarakat tradisional itu dalam perkembangannya ,
mau tidak mau dihadapkan kepada hukum modern ,misalnya hokum tradisional bangsa
Indonesia dulu dihadapkan kepada hukum modern ,misalnya hukum tradisional
babgsa Indonesia dulu dihadapkan kepada hokum yang sedang berkembang sebagai
hokum modern saat ini .Ciri-ciri hukum modern itu ialah sebagai berikut:
a. Sistem
hukum tersebut terdiri dari peraturan-peraturan yang seragam,baik dari segi
isi mau pun segi pelaksanaannya;
b. Sistem
hukum tersebut bersifat tradisionil ,artinya hak-hak dan kewajiban –kewajiban
timbul dari perjanjian –perjanjian yang tidak dipengaruhi oleh faktor- faktor
usia,kelas,agamaataupun perbedaan antara wanita dengan pria;
c.
Sistem
hukum modern bersifat universalistis,artinya dapat dilaksanakan secara umum;
d.
Adanya
hierarkhi peradilan yang tegas;
e. Birokratis
,artinya melaksanakan prosedur sesuai peraturan –peraturan yang telah
ditetapkan ;
f. Rasionil
;
g.
Para
pelaksana hukum terdiri dari orang-orang yang sudah berpengalaman;
h.
Dengan
berkembangnya spesialisasi dalam masyarakat yang kompleks ,maka harus ada
penghubung antara bagian –bagian yang ada sebagai akibat adanya pengkotakan ;
i.
Sistem
ini mudah dirubah untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan perubahan
masyarakat;
j.
Lembaga-lembaga
pelaksana danpenegak hukum adalah lembaga-lembaga kenegaraan ,oleh karena
negaralah yang mempunyai monopoli kekuasaaan ;
k.
Pembedaan
yang tegas antara tugas –tugas eksekutif,legislative,judikatif.(Soerjono
Soekanto,1976,h.108).
Kemudian Satjipto Rahardjo, menggelarkan beberapa ciri
hukum modern dan perbandingan antara dua budaya hukum yaitu sebagai
berikut(Satjipto Rahardjo,1979,h.286)
Beberapa
ciri hukum modern
I
|
Sikap-sikap
dan nilai nilai yang sesuai untuk mendukung hukum modern
II
|
Sikap sikap dan nilai-nilai yang masih merata pada
orang Indonesia
III
|
1.
Karya manusia yang dibuat dengan sadar.
2. Ditujukan
untuk mencapai sesuatu
|
1. Kesadaran
individu tinggi.
2. Konflik
sebagai sesuatu yang fungsional
|
1. Menilai
tinggi kesadaran
2. Menolak
konflik
3. Kecenderungan
pada ikatan ikatan primordial
4. Paternalistis
5.
Diferensiasi antara sector-sektor publik dan privat belum tinggi
|
Penjelasan mengenai ciri – ciri hukum modern dan dua
macam kultur hukum diatas , adalah sebagai berikut : (Satjipto Rahardjo , 1979,
h.286).
Kita tidak bisa memberlakukan secara umum begitu saja
nilai – nilai serta sikap- sikap yang terdapat pada kolom III , sebagai yang
terdapat secara merata diseluruh Indonesia , misalnya hal tersebut lebih kuat
dijumpai di daerah Jawa dan Bali daripada diberbagai daerah lainnya .
Menjalankan hukum modern secara optimum akan lebih berhasil apabila didukung
oleh budaya hukum yang bersumber pada sikap- sikap dan nilai – nilai yang
terdapat pada kolom II daripada yang terdapat pada kolom III . Disamping itu dijalankannya
sistem hukum modern dengan dukungan budaya hukum yang bersumber pada apa yang
tertera pada kolom III pada akhirnya akan menimbulkan suatu jenis praktek hukum
tersendiri dengan kecenderungan budaya Indonesia.
Sedangkan menurut pendapat Lawrence M. Friedman ciri
– ciri hukum modern adalah sebagai berikut : (Ronny Hanitijo Soemitro , 1984,h.
82-83).
1. Bersifat
sekuler dan progmatis ;
2.
Berorientasi
kepada kepentingan dan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar oleh
manusia;
3.
Bersifat
terbuka dan mengandung unsure perubahan yang dilakukan secara sengaja .
Untuk menentukan sifat rasionalnya , Friedman menggunakan
kultur hukum sebagai sarana untuk mencirikan hukum modern, kultur hukum ini
berupa nilai – nilai dan sikap- sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Bagi
Friedman yang penting bukanlah bahwa hukum modern itu adalah rasional. Akan
tetapi orangnyalah yang berpikir bahwa mereka seharusnya bertingkah laku sesuai
dengan itu (Periksa . Ronny Hanitijo Soemitro, 1984, h. 83).
Kemudian berdasarkan pembicaraan mengenai sejarah
modernisasi di Indonesia , dapatlah diketahui bahwa telah terjadi perubahan –
perubahan dalam konsep – konsep , asas-asas serta potsulat-potsulat yang
berhubungan dengan hukum yang berlaku (selama modernisasi itu berlangsung ). Perubahan
– perubahan itu bisa dilihat sebagai timbulnya kesengajaan antara perubahan
hukum yang berlaku dengan kultur hukumnya . kejadian itu menunjukkan urutan
peristiwa sebagai berikut : (Periksa Satjipto Rahardjo , 1979, h. 284)
1. Terjadi
perubahan hukum yang berlaku
2. Perubahan
hukum tersebut mengandung pula perubahan dalam konsepsi mengenai apa yang
seharusnya dilakukan oleh hukum . Konsepsi yang lama berpendapat bahwa hukum itu hanyalah
melestarikan saja adat istiadat yang berasal dari nenek moyang desa , sedang
konsep yang baru mengatakan , bahwa mengeluarkan hukum berarti juga menjalankan
kekuasaan yang bisa menjurus pada pengubahan – pengubahan .
3. Perubahan
tersebut tidak dapat dibiarkan oleh anggota – anggota masyarakat dan mereka
memilih untuk mencari tempat pemukiman yang lain sehingga dengan demikian
mereka tetap dapat menjalankan hukum sebagaimana diterima selama ini .
Dari
penjelasan – penjelasan dimuka , memang telah jelas bahwa pada akhirnya Hukum
Adat, yang dapat dikatakan sebagai Hukum Tradisional itu akan dihadapkan kepada
hukum modern pada saat tumbuhnya
efisiensi ekonomis , pemakaian teknologi moder , pembangunan industri ,
rasionalisasi , birokrasi dalam pengelolaan dan lain-lainnya yang sejenis
.Timbullah pertanyaan , apakah kita harus mempertentangkan Hukum Adat dan Hukum
Modern ? Bagaimana keberadaan Hukum Adat dan Lembaga – lembaga Tradisonal dalam
kehidupan hukum yang sedang menuju kepada Tata Hukum Nasional yang baru ini ?
dalam hal ini saya sependapat dengan apa yang dikatakan Soerjono Soekanto ,
yaitu bahwa permasalahannya ialah bukan mempertentangkan antara Hukum Adat
dengan Hukum Modern , tetapi bagaimana
membentuk Hukum Modern yang fungsional. Mempertentangkan Hukum Adat
dengan Hukum Modern ialah merupakan paham yang keliru ,karena paham ini
didasarkan pada anggapan – anggapan bahwa Hukum Adat merupakan hukum yang
dianutoleh dan berlaku dalam masyarakat-masyarkat primitive yang masih
irrasionil, sebaliknya Hukum Modern dikaitkan dengan masyarakat-masyarakat
modern yang terutama akan dapat ditemukan di negara-nagara Barat (Periksa.
Soerjono Soekanto, 1976:109). Oleh karena itu, yang penting disini ialah bukan
mempertentangkan melainkan mengetahui apakah tanpa Hukum Adat bisa dibentuk
Hukum Modern yang fungsional, dengan kata lain apakah mungkin pembentukan hukum
nasional itu dengan mengabaikan Hukum Adat? Dan mungkinkah Hukum Adat itu tetap
dipertahankan sampai sekarang?
III. Pembangunan Hukum Pasca 1965
Dalam kepustakaan
banyak sekali dirumuskan pengertian pembangunan. Seperti misalnya, rumusan
Robert S. Seidman, dalam bukunya “The State, Law and Development”, mengartikan
bahwa pembangunan merupakan perubahan terus-menerus dan mencakup bidang-bidang
perilaku, ekonomi dan kelembagaan. Dikatakan pula bahwa dalam pembangunan, ilmu
merangsang perubahan-perubahan perilaku, dan selanjutnya menuntut uasaha dan kegiatan partisipasi,
usaha kebersamaan (koperatif) dan kegiatan pemecahan problema. Lebih dari itu
semua, harus disadari bahwa pada dasarnya pembangunan merupakan proses politik,
yang ditopang kehendak bersama (lihat. Robert B. Seidman,
1978,h.159,226,244,285,301). Yang jelas pembangunan memang merupakan usaha
terus-menerus untuk mengadakan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik
daripada sebelumnya dalam rangka pembangunan
bangsa yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa , negara,pemerintah
( Baca pula. Sondang P. Siagin, 1980, h.10).
Pembangunan
nasional dinegara-negara berkembang, pada hakekatnya, merupakan usaha kearah
modernisasi dalam berbagai kehidupan bangsa yang bersangkutan, termasuk
modernisasi hukum. Modernisasi hukum disini dapat diartikan sebagai
transformasi total dari tata hukum lama menjadi tata hukum baru yang lebih baik
sesuai dengan kemajuan dan keadaan yang lebih baik. Pembangunan hukum
mengandung makna ganda, yaitu : (Mochtar Kusuma atmaja, 1976,h.12).
Pertama, sebagai
suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri, sehingga sesuai dengan
kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir,
suatu pengertian biasa disebut modernisasi hukum.
Kedua, sebagai
suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan
cara turut mengadakan perubahan-perubahan social sebagaimana dibutuhkan oleh
suatu masyarakat yang sedang membangun.
Akan tetapi menurut
Satjipto Rahardjo, pembedaan itu tidaklah perlu diperhatikan, sebab memang
keduanya tidak dapat dipisahkan secara tajam dan banyak kesempatan keduanya
akan tergabung menjadi satu (Satjipto Rahardjo.1979,h.227).
Dalam pembangunan
hukum di Indonesia, juga diinginkan adanya transformasi total, dalam arti
sebagai upaya perombakan secara fundamental terhadap hukum yang lama untuk
Digantikan dengan tata hukum yang baru sama sekali.
Pembangunan hukum ini mempunyai keterikatan yang erat dengan politik, mulai
dari pembentukannya sampai kepada pelembagaannya, melalui berbagai lembaga dan
kekuatan dalam masyarakat “Law is Politics’, begitu kata R. Wietholther dalam
“Political Rechtstheorie”. Hal ini menyangkut pula karakteristik pembinaan
hukum di Indonesia, yang ingin dimulai dari landasan yang paling fundamental,
yaitu pembuatan atau penyusunan tata hukum Indonesia baru. Pembangunan hukum di
Indonesia dapat dimasukkan dalam kategori revolusioner. Keinginan untuk
mempunyai suatu tata hukum sendiri, mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai
dan asas-asas baru yang akan dimasukkan kedalam tata hukum tersebut ( Periksa.
Satjipto Rahardjo, 1979,h.227).
Sebagai
negara yang sedang berkembang yang sekaligus sebagai negara bekas jajahan yang
mewarisi struktur hukum dan social yang majemuk, maka masalah pembangunan hukum
di Indonesia cukup memperlihatkan aspek-aspeknya yang kompleks. Hal ini
berakibat, walaupun tujuan yang hendak dicapai untuk mencapainyapun sudah bisa
ditentukan, namun masih banyak juga persoalan-persoalan antara yang dijumpai.
Misalnya, walaupun tujuan yang dikehendaki dalam pembangunan hukum diIndonesia
sudah jelas, yaitu masyarakat industry modern, namun untuk mencapainya harus
melalui berbagai-bagai tahap pertumbuhan.
Konsep
pembangunan hukum meliputi,lembaga-lembaga,peraturan-peraturan,kegiatan
orang-orang yang terlibat kedalam pekerjaan hukum. Penelahan lebih lanjut
mengenai konsep pembangunan hukum itu memperlihatkan adanya aspek statis dan
dinamis ( Satjipto Rahardjo,1976,h.234). Aspek statis merupakan bentuk penyebutan
mengenai lembaga-lembaga,aktifitas dan pelaku-pelaku yang terlibat dalam
pembangunan itu sendiri. Sedangkan aspek dinamis muncul karena pembangunan
hukum juga sampai kepada pengamatan tentang bagaimana bekerjanya hukum hukum
sehari-hari,hambatan-hambatan apa yang terjadi, apakah penyebabnya, serta
melihat pula proses yang dikenal sebagai umpan balik. Proses ini tentu tidak
dapat diamati dengan baik tanpa melinatkan lingkungan bekerjanya hukum itu,
seperti politik,ekonomi,budaya,hankam,dan hal lainnya yang terkait.
Dalam
membicarakan pembangunan hukum di Indonesia, maka tidak bisa lepas dari Politik
Hukum Nasional, yang pertama sekali ditetapkan melalui ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1973, yang menetapkan bahwa pembangunan bidang hukum dalam Negara Hukum
Indonesian berdasar atas landasan sumber tertib hukum. Yaitu cita-cita yang
terkandung pada pandangan, kesadaran, dan cita-cita hukum serta cita-cita
moral, yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa
Indonesia yang dipadatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Hal ini kemudian
diwujudkan lebih lanjut dalam Keppres Nomor 1 Tahun 1974 tentang Repelita Kedua . Khususnya Buku III
Bab 27 . Politik Hukum Nasional yang lahir pada masa orde baru (pasca 1966)ini
tentu saja dipengaruhi oleh keadaan perkembangan hukum dan pembangunan hukum
sebelumnya.
Prioritea
pembabguna pada masa orde baru pun berbeda dengan orde lama (yang meletekkan
politik sebagai panglima), yaitu dengan mengutamakan pembangunan ekonomi untuk
mengatasi kemiskinan dan kesulitan hidup ekonomi . Dengan dibentuknya kabinet
baru (cabinet pembangunan )pada tahun 1968 merupakan titik awal perubahan
kebijakan secara menyeluruh , dari kebijakan “politik revolusioner sebagai
panglima “ke kebijakan “pembanguna ekonomi sebagai bagian dari perjuangan orde
baru “. Hal ini sangat berpengaruh pula pada peran hukum di Indonesia ,
sehingga peran hukum berubah , dari perannya yang tersubordinasi untuk
mensukseskan revolusi nasional melawan neo- kolonialisme dan imperialism ke
peran sebagai bagian sarana pembangunan . Dalam hal ini maka adagio “Indonesia
adalah negara berdasarkan atas hukum
“muncul dan tumbuh kembali , dengan latar belakang adanya maksud untuk
mengukuhkan fungsi hukum sebagai “tool of social engineering”dan pengefektifan
hukum sebagai sarana untuk melindungi hak asasi manusia. Oleh karena itu ,
dalam era orde baru , perkembangan hukumnya meliputi perkembangan dalam
konfigurasi konsep “law as a tool social engineering “dan konfigurasi hukum
sebagai sarana perlindungan hak asasi manusi (masyarakat sipil )dari
kesewenangan penguasa (lihat. Soetandyo Wignjosoebroto,1994,h.226).
Karena
titik berat pembangunan pada masa orde baru adalah ekonomi , maka pembangunan
hukumnya dirintis untuk memfungsionalkan hukum bagi kepentingan ekonomi. Ide
“law as tool social engineering baru ditujukan secara selektif untuk
memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja. Kelembagaan
hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi (misalnya pengaturan tentang pertahanan
,pertambangan ,perpajakan, dan lain-lainnya yang sejenis)akan memberikan
jaminan kepastian yang penting untuk pembangunan ekonomi . Karena tidak
dianjurkan untuk mengutamakan rujukan hukum adat atau hukum klasik colonial,
maka hukum nasional pada masa orde baru tersebut dikualifikasi sebagai hukum
nasional sebagai hukum nasional modern , yang boleh dikatakan tidak
sekedar”mengikuti arah perkembangan sejarah hukum yang telah berlangsung di
Indonesia melainkan menetapkan sendiri secara khusus arah perkembangan itu .
Ide hukum nasional dengan mengutamakan regulasi kehidupan ekonomi(secara
selektif melalui perundang- undangan nasional)pada waktu itu ternyata berkenan
di hati pembuat kebijakan , yang hal ini teersirat dalam Pidato Presiden
Soeharto pada pembukaan konferensi Lawasia di Jakarta tahun 1973, yang
mengatakan : pembangunan mengharuskan terjadinya perubahan , bahkan juga
perubahan –perubahan yang sangat fundamental. Sekalipun begitu . Indonesia akan
tetap menekankan pentingnya mempertahankan ketertiban dalam setiap gerak kemajuan
yang akan diperoleh lewat perubahan –perubahan yang diperoleh yang demikian
itu, dan dalam hal ini hukum akan merupakan sarana penting guna mempertahankan
ketertiban itu. Nmun ini tidak boleh diartikan bahwa hukum hendak berpihak
kepada keadaan status quo . Hukum akan menentukan lingkup perubahan –perubahan
itu, namun tidaklah tepat apabila dengan demikian hukum menghalangi setiap
usaha perubahan hanya semata –mata karena ingin mempertahankan nilai –nilai
lama . Sesungguhnya hukum itu akan berfungsi sebagai pembuka jalan dan
kesempatan menuju ke pembaharuan –pembaharuan yang dikehendaki . Hal
tersebutsecara eksplisit dan resmi terekm dalam naskah REPELITA KEDUA(1974),
Bab 27 paragraf IV butir 1 halaman 279: bahwa prioritas akan diberikan untuk
meninjau kembali dan merancang peraturan –peraturan perundang-undangan agar
segala peraturan itu bersearah dan bersesuaian dengan pembangunan sosial ekonomi,
khususnya dibidang pertanian ,industri, pertambangan ,komunikasi dan
perdagangan ….dst”.
Ide “law
as a tool engineering “ini ,ternyata ada juga yang menentang , yaitu para ahli
hukum yang percaya bahwa harus ada kontinuitas perkembangan hukum dari hukum
colonial ke hukum nasional (jadi hukum nasional harus bersumber dari hukum
kolonial ) dan para ahli hukum yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar
dan /bersumber dan diangkat dari hukum adat (Baca pula Soetandyo
Wignjosoebroto,1994,h.236-243). Dengan mengacu pendapat yang terakhir ini, maka
pembangunan nasional I (Indonesia )harus bersumber dari hukum colonial dan bisa
pula bersumber dari hukum adat.
Perkembangan
dalam era orde baru , implementasiide hukum nasional sebagai hukum perekayasa
memperoleh tempat dalam kerangka kebijaka pemerintah Orde Baru . Sedangkan
peran hukum adat dalam percaturan pembangunan hukum nasional memang makin
terdesak (namun tidak hilang).
Pada PJP
II, sasaran pembangunan hukum ialah terbentuk dan berfungsi sistem hukum
nasional yang mantap, bersumber
Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan hukum yang berlaku , yang mampu
menjamin kepastian , ketertiban , penegakkan dan perlindungan hukum yang
berintikan keadilan dan kebenaran serta mampu mendukung pembangunan nasional ,
yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta
masyarakat yang sadar dan taat hukum (GBHN 1993 Bab III Huruf E, angka 5).
Sedangkan
arah pembangunan hukum pada PJP II ialah menghasilkan produk hukum nasional
yang mampu mengatur tugas umum pemerintah dan penyelenggaraan pembangunan
nasional , didukung oleh aparatur hukum yang bersih dan berwibawa , penuh
pengabdian , sadar dan taat hukum , mempunyai rasa keadilan sesuai dengan
kemanusiaan , serta professional, efisien dan efektif, dilengkapi ddengan
sarana dan prasarana hukum . Penyusunan dan perencanaan hukum nasional harus dilakukan
secara terpadudalam sistem hukum nasional (GBHN 1993 BAB III Huruf F,angka 17).
Sedangkan sasaran pembangunan hukum
Pelita Keenam ialah penataan hukum nasional yang bersumber Pancasila dan
UUD 1945; penyusunan kerangka sistem hukum nasional serta penginventarisan dan
penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum dalam rangka pembaharuan hukum nasional ;
peningkatan penegakkan hukum dan pembinaan aparatur hukum nasional ;serta
peningkatan sarana dan prasarana hukum (GBHN 1993 Bab IV Huruf E angka 5).
Kebijakan Pelita Keenam Bidang Hukum , meliputi :Materi Hukum , Aparatur Hukum
, Sarana dan Prasarana Hukum (Baca GBHN 1993 Bab IV Huruf F Hukum ).
Dengan
melihat ketentuan GBHN 1993 tersebut , maka dalam pembangunan / pembaharuan
hukum nasional dalam arti luas tidak hanya memperbaharui materi/isi hukum
melainkan pula sarana dan prasarananya . Ini semua merupakan konsep yang ada
dalam GBHN , yang sedang dan masih ditunggu pelaksanaannya dalam lima tahun dan
25 tahun mendatang.
IV. Hukum Adat dalam
Pembangunan Hukum Nasional
Sebagaiman disebutkan dalam bahasan terdahulu , bahwa
tidak akan dipertentangkan antara Hukum Adat dan Hukum Modern . Dalam
pembangunan hukum nasional Indonesia , ciri-ciri hukum modern harusnya
dipenuhi. Kalau dipenuhi , bagaimana kedudukan hukum adat? Dalam hal ini hukum
adat tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pembentukan hukum nasional.Dalam
seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional , dirumuskan bahwa Hukum Adat
merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan –bahan
Pembangunan Hukum Nasional yang menuju kepada unifikasi hukum yang dan yang terutama akan dilakukan melalui
pembuatan peraturan perundangan ,dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan
berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam Pembinaan Hukum . Dengan
Demikian Hukum Adat ditempatkan pada posisi penting dalam proses pembangunan
hukum nasional.
Memperkembangkan
unsure-unsur asli , unsure-unsur asing mungkin saja berguna bagi pembentukan
hukum nasional , sehingga pada hakekatnya masalahnya adalah bagaimana peranan
hukum adat (yang merupakan konk sistem nilai dan budaya )dalam pembentukan
hukum nasional yang fungsional (yang kemudian dinamakan “Hukum Indonesia Modern
“) (Soerjono Soekanto, Tahun 1976,h.119).
Untuk
mengetahui peranan hukum adat dalam pembentukan/pembangunan hukum nasional ,
maka harus diketahui nilai-nilai sosial dan budaya yang menjadi latar belakang
hukum adat tersebut , serta perannya masing masing yaitu: (Soerjono
Soekanto,1976,h.200).
a.
Nilai
–nilai yang menunjang pembangunan(hukum), nilai –nilai mana harus dipelihara
dan malahan diperkuat .
b.
Nilai-nilai
yang menunjang pembangunan (hukum ), apabila nilai-nilai tadi disesuaikan atau
diharmonisir dengan proses pembangunan.
c.
Nilai-nilai
yang menghambat pembangunan(hukum), akan tetapi secara berangsur –angsur akan
berubah apabila karena faktor –faktor lain dalam pembangunan .
d.
Nilai-nilai
yang secara definitif menghambat pembangunan (hukum)dan oleh karena itu harus
dihapuskan dengan sengaja.
Dengan demikian berfungsinya Hukum Adat dalam proses
pembangunan /pembentukan hukum nasional adalah sangat tergantung pada tafsiran terhadap
nilai-nilai yang menjadi latar belakang hukum adat itu sendiri . Dengan cara
ini dapat dihindari akibat negatif , yang mengatakan bahwa hukum adat mempunyai
peranan terpenting atau karena sifatnya yang tradisional,maka Hukum Adat harus
ditinggalkan .
Dalam kepustakaan memang dikemukakan adanya tiga golongan
pendapat yang menyoroti kedudukan hukum
adat pada mas sekarang , yaitu:
a.
Golongan
yang menentang Hukum Adat , yang memandang Hukum Adat , sebagia hukum yang
sudah ketinggalan jaman yang harus segera ditinggalkan dan digantin dengan peraturan
– peraturan hukum yang lebih modern .Aliran ini berpendapat bahwa hukum adat
tak dapat memenuhi kebutuhan hukum di masa kini , lebih – lebih untuk masa
mendatang sesuai dengan perkembangan modern .
b.
Golongan
yang mendukung sepenuhnya terhadap hukum adat . Golongan ini mengemukakan
pendapat yang sangat mengagung-agungkan Hukum Adat , karena hukum adat yang
paling cocok dengan kehidupan bangsa Indonesia sehingga oleh karenanya harus
tetap dipertahankan terus sebagai dasar bagi pembentukan Hukum Nasional.
c.
Golongan
Moderat yang mengambil jalan tengah kedua pendapat golongan diatas. Golongan
ini mengatakan bahwa hanya sebagian saja dari pada hukum adat yang dapat
dipergunakan dalam lingkungan Tata Hukum Nasional , sedangkan untuk selebihnya
akan diambil dari unsur-unsur hukum lainnya . Unsur-unsur hukum adat yamg masih
mungkin dipertahankan terus adalah berkenaan dengan masalah hukum kekeluargaan
dan hukum warisan, sedangkan untuk lapangan hukum lainnya dapat diambil dari
unsur-unsur bahan –bahan hukum yang berasal dari luar, misal hukum barat.
Dari pendapat dari ketiga golongan tersebut , kami
menyetujui pendapat golongan yang ketiga (golongan moderat), sebab memang dalam
kenyataannya banyak ketentuan hukum adat yang tidak sesuai dengan tuntutan
jaman modern., akan tetepi yang perlu diperhatikan disini ialah bahwa asas-
asas Hukum Adat bersifat universal harus tetap mendasari Pembinaan Hukum
Nasionaldalam rangka menuju kepada tata hukum nasional yang baru, walaupun
asaa-asas dan kaidah-kaidah baru akan lebih mendominasi hukum nasional, seperti
apa yang dikatakan oleh Soetandjo Wignjosoebroto :” Hukum Nasional tak hanya
hendak merefleksi pilihan atas kaidah- kaidah hukum suku/lokal atau hukum
tradisional untuk menegakkan tertib sosial
masa kini, akan tetapi juga hendak mengembangkan kaidah-kaidah baru yang
dipandang fungsional untuk mengubah dan membangun masyarakat baru guna kepentingan
masa depan . Maka kalau demikian halnya , asas –asas dan kaidah-kaidah hukum
baru akan banyak mendominasi hukum nasional “.
Kemudian dalam meninjau sumbangan Hukum Adat dalam
pembentukan hukum nasional , perlu disimak
pula pandangan Paul Bohannan , yang menyatakan bahwa hukum itu timbul
dari pelembagaan ganda , yaitu diberikannya suatu kekuatan khusus , sebuah
senjata bagi berfungsinya pranata-pranata “adat istiadat “: perkawinan ,
keluarga, agama. Namun ,ia juga mengatakan bahwa hukum itu tumbuh sedemikian
rupa dengan ciri dan dinamikanya sendiri. Hukum membentuk masyarakat yang
memiliki struktur dan dimensi hukum ;
hukum tidak menjadi sekedar pencerminan, tetapi berinteraksi dengan
pranata-pranata tertentu . Selanjutnya ia berpendapat bahwa hukum secara
istimewa berada diluar fase masyarakat , dan proses inilah yang sekaligus
merupakan gejala sebab dari perubahan sosial (Periksa. Mulyana W. Kusumah dan
Paul S. Baut, 1988,h.198). Pandangan Bohannan tersebut berguna untuk menyangkal
keunggulan peraturan hukum , untuk memahami sifat umum dari
masyarakat-masyarakat yang tidak stabil atau mengalami kemajuan . Disamping itu
juga merupakan abstraksi untuk merumuskan hakekat abadi hukum itu dengan
pengandaian kebenaran yang belum pasti . Hukum tidak memiliki hakekat seperti
itu tetapi mempunyai sifat historis yang dapat dirumuskan .
Sebagaiman penjelasan dimuka, yaitu bahwa Hukum Adat yang
dibentuk pada “Law Energi society”mempunyai peranan yang penting dalam
pembentukan / Pembangunan Hukum Nasional(hukum modern). Kemudian timbullah
pertanyaan , bagaimana proses
pembangunan (pembentukan )Hukum Nasional ditinjau dari pendekatan system dengan
Hukum Adat sebagai salah satu input (masukkannya)?
V .Pembangunan Hukum Nasiona
Ditinjau dari Pendekatan Sistem
Semua
system selalu mempunyai misi untuk mencapai tujuan tertentu . Untuk mencapai
maksud tersebut diperlukan proses yang mengubah masukan (input)menjadi hasil
(output). Untuk kelangsungan hidupnya dan menjaga mutu prestasinya , maka
setiap sistem memerlukan terlaksananya fungsi kontrol, yang mencakup monitoring
dan koreksi . Fungsi –fungsi monitoring tersebut dalam analisis sistem sering
disebut umpan balik(feedback). Adanya umpan balik itu memungkinkan adanya
perbaikan (koreksi) sistem instruksional selama pengembangannya (Sasbani
1987,h.19). Disamping itu, dalam proses perubahan dari input menjadi output
dipengaruhi oleh perangkat lunak (software)dan perangkat keras (hardware) .
Dengan demikian, pendekatan sistem (System Approach) berorientasi pada tujuan ,
sedangkan kegiatannya melibatkan unsur-unsur melalui proses tertentu untuk
mencapai tujuan .
Manusia hidup dalam lingkungan yang serba bersistem . Sistem itu dibentuk dan disusun dari
komponen-komponen yang telah dibakukan dan mudah diganti –ganti , yang
masing-masing saling berinteraksi secara timbale balik ,berulang-ulang,ajeg dan
tunduk pada pola dasar yang tetap.
Pada jaman modern seperti sekarang ini manusia dengan
sengaja telah menciptakan dan menggerakkan sistem –sistem itu dengan tujuan
yang sadar untuk membuat hidupnya kian efisien produltifitasnya kian meningkat
dan komunikasinya kian efektif , lancar dan intensif(Soetandyo Wignjosoebroto,
tanpa tahun,h. 12).
Dengan demikian dalam proses pembentukan hukum nasional
dengan contoh/missal Hukum Adat sebagai inputnya untuk tujuan menghasilakan
output Hukum Nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional, akan
melibatkan berbagi subsistem-subsistem dalam masyarakat lainnya. Hal ini
disebabkan karena hukum merupakan alat control mekanisme dari sistem . Dalam
pembentukan hukum nasional tersebut , perlu diperhatikan teori Talcott Parsons
mengenai kerangka untuk memahami masyarakat yang digambarkan dalam bentuk bagan
sibernetik sebagai berikut : (Satjipto Rahardjo ,1985,h. 21)
KEBENARAN JATI
(Ultimate Reality)
-
Subsistem Budaya
-
Subsistem Sosial
-
Subsistem Politik
-
Subsistem Ekonomi
DUNIA FISIK –ORGANIS
(Bio
–Physical Environment)
Berdasarkan bagan dimuka terlihat bahwa masyarakat
dihadapkan kepada dua kategori lingkungan yang masing-masing berdiri serta berada
secara otonom. Karena sifat otonom itulah maka kategori yang satu tidak dapat
dikembalikan kepada yang lain . Masing –masing berdiri sendiri dan
masing-masing memberikan bebannya kepada masyarakat dan juga kepada sub
–subsistem yang membentuk masyarakat tersebut beban ini digambarkan dalam
bentuk dua arah panah yang mengarah ke bawah, menggambarkan arus informasi .
Dengan demikian berarti bahwa subsistem
budaya mengandung kekayaan informasi tertinggi dan akan mengalir ke bawah
kepada subsistem-subsistem lainnya. Sub-sistem lainya tersebut mengandung
kekayaan informasi yang lebih rendah , dengan demikian subsistem ekonomi paling
miskin dalam kekayaan informasi dibandingkan dengan yang lain-lainnya . Akan
tetapi subsistem ekonomi ini mempunyai kekayaan energy yang paling besar . Jadi
arus yang menuju ke atas yang bertolak dari subsistem ekonomi ialah arus energy
(Periksa. Satjipto Rahardjo, 1985, h. 22)
Dalam hal arus energy tersebut , subsistem ekonomi
mempunyai energy yang paling kaya ,makin ke atas makin kecil , dan subsistem
budaya merupakan subsistem yang paling miskin energi .
Kekuatan –kekuatan informasi dan energy itulah yang
menghasilkan struktur Ideologi, Politik, Sosial , dan Budaya . Sistem sosial ,
struktur masyarakat dan susunan masyarakat semua bisa dikembalikan kepada
Kebenaran Jati (Ultimate Reality) dan Dunia Fisik Organis (Bio- Physical
Environment).
Sesuai subsistem diatas menempati kedudukannya sendiri
–sendiri sesuai dengan fungsi-fungsi yang dijelaskan . Fungsi yang mereka
jalankan disebut fungsi primer.
Subsistem budaya berfungsi mempertahankan pola ,
menghubungkan lingkungan (kebenaran jati)dengan masyarakat . Subsistem inilah
yang menyerap lingkungan tersebut dengan membentuk nilai-nilai yang kemudian
disebarkan ke dalam masyarakat , sehingga dapat terbentuk masyarakat menurut
sistem nilai yang dipilihnya .
Subsistem sosial mempunyai fungsi integrasi , yaitu
mempunyai hubungan yang erat dengan proses interaksi dalam masyarakat .
Subsistem politik mempunyai fungsi untuk mencapai tujuan
,yaitu berhubungan dengan masalah-masalah penentuan tujuan –tujuan yang harus
dicapai oleh masyarakat serta bagaimana mengorganisasikan dan memobilisasi
sumber-sumber daya untuk mencapainya .
Sedangkan subsistem ekonomi mempunyai fungsi adaptasi ,
yaitu merupakan penghubung antara masyarakat dengan lingkungan yang berupa
dunia fisik-organik.
Kalau melihat subsistem-subsistem dimuka maka hukum yang
mempunyai kedudukan sebagai alat control mekanisme dari sistem termasuk dalm
subsitem sosial. Karena dalam system social , interaksi sosial atau hubungan
antara sesama anggota masyarakat tidak cukup bila hanya ditegaskan oleh
nilai-nilai dalam masyarakat yang disebarkan oleh subsistem budaya .
Sebagaimana diketahui bahwa dalam interaksi sosial itu selalu mengarah kepada
timbulnya konflik karena antara masing-masing anggota masyarakat itu ada
perbedaan kepentingan . Subsistem kebudayaan sebetulnya ,memberikan sumbangan
untuk mencegah terjadinya konflik trsebut, tetapi tampaknya ia tidak
melakukannya secara kuat. Subsistem sosial mempunyai kemampuan yang lebih kuat
sebab secara aktif mendisiplinkan perilaku dan hubungan –hubungan dalam
masyarakat , tidak hanya mempertahankan asas-asas sebagaimana dilakukan
subsistem budaya. Pendisplinan itu dilakukan dengan dukungan sanksi, disinilah
hukum sebagai subsistem dari subsistem social berperan . Dengan sanksi tersebut
, hukum mengkoordinasikan unit-unit dalam lalu lintas kehidupan sosial , dengan
cara memberikan pedoman orientasi tentang bagaimanaseharusnya orang bertindak atau
diharapkan untuk bertindak (Perikasa. Satjipto Rahardjo,1985 :24).
Proses pembangunan (pembentuan)hukum nasional dengan
sendirinya akan dipengaruhi oleh keadaan subsistem budaya , subsistem politik
dan subsistem ekonomi yang kini ada dan berlaku di Indonesia . Dalam kaitannya
Hukum Adat sebagai masukan dalam rangka pencapaian tujuan menjadi Hukum
Nasional , maka kedudukannya sebagai masukan itu sendiri juga sudah dipengaruhi
oleh subsistem-subsistem tersebut diatas. Dalam tahap proses disampaikan Hukum
Adat dipengaruhi oleh keadaan –keadaan subsistem budaya , subsistem politik,
dan subsistem ekonomi juga sangat dipengaruhi oleh perangkat keras yang berupa
lembaga pembentuk Undang-undang(legislatif) , lembaga yudikatif (misalnya
pengadilan dan lembaga kepolisian )serta lembaga –lembaga lainya yang
mempengaruhi system penegak hukum . Oleh karena itu , pembentukan hukum
nasional tidaklah gampang, melainkan merupakan suatu proses yang kompleks, yang
bila tidak hati-hati akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat.
Dalam proses pembentukan hukum nasional itu , yang akan
sangat berpengaruh adalah subsistem
politik walaupun subsistem ekonomi juga akan mempengaruhi karena mempunyai
energy yang paling tinggi , tetepi subsistem politiklah yang lebih dekat dengan
subsistem sosial , sehingga ialah yang lebih berpengaruh.
Di negara–negara yang berkembang, seperti Indonesia ini ,
politik sangat mempengaruhi pembentukan hukum. Hal ini disebabkan , hukum di
Indonesiasaat sekarang ini bila dihubungkan dengan pendapat Nonet dan Philip
Selznick , baru termasuk hukum Represip, yaitu hukum merupakan alat dari
penguasa (Periksa. Mulyono W. Kusumah dan Paul S. Baut ,1988,h.15). Dengan
demikian hukum mempunyai kedudukan dibawah politik , walaupun tujuan nanti
(idealnya) adalah hukum Responsip, yaitu hukum dan politik berjalan seiring
sejalan . Karena politik berada diatas , maka dalam pembentukan Hukum Nasional
tentunya yang penting ialah tercapai tujuan politik itu sendiri . Hubungan
antara subsistem politik dan subsistem sosial (hukum )itu bisa terjadi , karena
subsistem politik ternyata mempunyai konsentrasi energy yang lebih tinggi
daripada hukum, sehingga bila hukum harus dihadapkan kepada politik, maka hukum
berada pada kedudukan yang lebih lemah . hubungan ini disebut hubungan yang
mengkondisikan .Politik merupakan kondisi dijalankannya oleh hukum . Hal ini
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Daniel S. Lev sebagai berikut ;”Untuk
memahami sistem -sistem hukum ditengah-tengah transformasi politik , kita harus
mengamati mulai dari bawah , untuk mengetahui macam peran politik dan sosial apakah
yang diberikan orang kepadanya, yang didorong untuk melakukannya , dan yang dilarang untuk
menjalankannya”(Periksa. Satjipto Rahardjo ,1979, h.71) .
Memang disetiap negara , politik selalu m,emegang kendali
atau dapat dikatakan sebagai komandan , sedangkan subsitem-subsistem lainnya
adalah sebagai alat politik . Bahkan menurut Teori Hukum Politik (Political
Rochtstheorie), yang dikembangkan oleh R. Wietholther, dapat disimpulkan bahwa hukum
adalah politik (Law is politics). Dalam keadaan separti itu maka hukum tidak
merupakan gejala yang bebas nilai dan gejala netral, tetapi antara keduanya ada
hubungan yang immanent, sebab hukum selalu merupakan hasil proses politik
(kategori politik).
Dengan demikian apakah
hukum itu dibentuk oleh lembaga yang berwenang atau bukan, pembentuksn
hukum itu sendiri merupakan hubungan antara lembaga-lembaga eksekutif (badan
politik) dan lembaga legislatif (badan politik).Secara singkat dapat dikatakan
bahwa pada waktu dibentuk hukum adalah proses politik. Maka hukum baik didunia
intrnasional dan nasional selalu merupakan hasil keputusan politik. Walaupun
demikian,agar tatanan politik itu baik maka hukum tetap dibutuhkan , jadi
bagaimanapun baiknya tatanan politik ia
tetap membutuhka hukum,. Sebaliknya agar hukum itu baik , juga membutuhkan
politik. Disamping itu hukum dan politik ini pun membutuhkan moral , yang moral
ini terdapat dalam subsistem budaya. Budaya diartikan secara amat sempit akan
merujuk kepada hal-hal yang bersifat normatif belaka dan nilai-nilai yang bersifat imperative. Dalam pengertian
tersebut konsep budaya menjadi menjadi kalah luas dari konsep sosial ,sebabapa
yang disebut masyarakat dan kehidupan sosial itu mencakup semua perilaku yang
ajeg, baik yang berwarna baik maupun yang berwarna netral atau bahkan relatif
buruk (Lihat. Soetandyo Wignjosoebroto, tanpa tahun ,h. 110). Budaya yang
maknanya yang sempit akan terpandang sebagai “inner system” suatu kehidupan
social. Budaya yang dimengerti sebagai nilai-nilai imperative dan kaidah-kaidah
yang instruktif telah dijabarkan sebagai “the inner subsystem” suatu kehidupan
sosial dengan fungsi utama sebagai pengendali “the outher subsystem “ .The
outher subsystem ini terdiri dari :
1.
Perilaku–perilaku
ekonomi yang rasional dan yang gampang beradaptasi ke perubahan-perubahan
kepentingan sesaat.dan
2.
Perilaku-perilaku politik yang secara
realistik mau berkompromi secara bijak demi tercapainya tujuan-tujuan yang
menjamin eksistensi. Outer system yang progresif dilawankan dengan the inner
system (budaya)yang condong berwatak konservatif dan suka mengontrol . Hubungan
antara the outer system dan the inner system dalam sistem sosial ialah hubungan
yang bersifat tarik menarik atau saling tekan , dengan berbagai kemungkinan
resultante . The inner system bisa mendominasi sehingga mengakibatkan
terjadinya masyarakat yang statis dan konservatif :dapat terjadi pula bahwa the
outer system itulah yang mendominasi sehingga masyarakat tampil sebagai
masyarakat yang serba bergerak tanpa keberatan moral apapun; dan kemungkinannya
yang lain ialah tejadinya dominasi yang berkesinambungan secara dinamik antara
kedua sistem itu sehingga menghasilkan perubahan-perubahan yang terkendali.
Perubahan-perubahan dalam sistem sosial-budaya ternyata
tidak berlangsung sama saat dan sama cepat diantara komponen-komponenya . The
outer system lebih cepat berubah seiring dan selaras dengan perubahan-perubahan
lingkungan , sedangkan the inner system akan condong bertahan. Gejala-gejala
itulah yang dalam teori-teori perubahan
sosial disebut cultural lag . (Periksa . Soetandyo Wignjosoebroto, tanpa tahun
, h.110-123).
Apabila perubahan itu berlangsung secara evolosionistis ,
maka dampak ke dalam sitem sosial –budaya tidaklah akan parah. Adaptasi oleh
the outer system dengan mudah akan diteruskan dan diimbangi proses akomodasi
yang berangsur oleh the inner system . Tekan untuk ikut berubah pada the inner
system akan menimbulkan tegangan-tegangan dan kecemasan-kecemasan yang amat
bmenggelisahkan atau bahkan menimbulkan konflik-konflik budaya yang
merelatifkan semua bentuk pegangan hidup dalam masyarakat . Inilah yang lazim
dirujuk sebagai permasalahan dampak social-budaya (yang ditimbulkan oleh
perubahan-perubahan lingkungan ). Perubahan-perubahan yang disengaja atas dasar
kebijakanmanusia modern (dengan motif ekonomi dan politik)pada prinsipnya
berlangsung dengan amat pesat dank arena itu menimbulkan dampak-dampak budaya
yang berat. Perubahan timbale balik sebagaimana dijelaskan dengan “cultural lag”
tersebut,akan menekan system sosial budaya dengan intensitas dan akibat dampak
yang berbeda. Subsistem ekonomi atau the outer system pada umumnya tidak
mengalami atau menghadapi banyak masalah adaptasi. Sebaliknya the inner system
bila ditekan untuk berubah akan menghadapi banyak masalah. Disini mengontrol
yang berfungsi menegakkan dan melestarikan pola justru ditekan untuk ikut
berubah dan tak lestari. Kesulitan yang terjadi sebagai akibat konflik antara tuntutan dan perubahan
dan tuntutan berlestari akan hadir sebagai dilema( Periksa. Soetanyo
Wigjosoebroto, tanpa tahun,h.122-125) .
Berdasarkan penjelasan dimuka, jelaslah bahwa dalam
pembentukan hukum nasional akan dipengaruhi oleh politik, sebab kenyataannya
memang di Indonesia politik masih diatas hukum , atau dapat dikatakan masih
dalam taraf Represive Law . Akan tetepi dalam pembentukan hukum nasional baru
tentu saja ditujukan agar tercapai/tercipta Responsive Law , yaitu hukum yang tanggap
terhadap kebutuhan terbuka pada pengaruh dan lebih efektif dalam menangani
masalah-masalah social. Dalam hukum responsive ini kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembentukan hukum lebih terbuka (lihat. Mulyana W. Kusumah
dan Paul S. Baut,1988, h.21). Dalam keadaan ini memang hukum dan politik sudah
bisa berjalan seiring sejalan secara serasi (antara the outer system dan the
inner system ).
IV. Langkah-langkah Pendekatan
Sistem
Pembangunan hukum merupakan suatu usaha yang
tidak berdiri sendiri , melainkan yang perlu dilihat kehadirannya dalam suatu
konteks tertentu , dalam hal ini perubahan sosial dan modernisasi .Apakah dilihat sebagai usaha
melalui hukum untuk melakukan perombakan masyarakat ataukah sebagai perubahan
dari sistem itu sendiri ,kedua-duanya sama-sama dibatasi oleh perubahan sosial yang
terjadi. Apabila dibicarakan pembangunan hukum sebagai suatu usaha untuk melakukan perombakan stuktur masyarakat
melalui jalan hukum, maka disinilah hukum akan digunakan /dimanfaatkan sebagai
sarana untuk melakukan social engineering . Dalam hal ini hukum ditempatkan
pada kedudukan ditengah-tengah system-sistem nilai yang terdapat dalam
masyarakat Indonesia. (Satjipto Rahardjo,1979,h. 229).
Adanya berbagai sitem nilai itu penting dalam hubungan
dengan penggunaan hukum untuk melakukan perubahan sosial ,sebab kemajemukan itu
juga menimbulkan kemajemukan yang lain , yaitu pada potsulat-potsulat hukum
yang bersumberkan pada sistem nilai yang berbeda-beda diajarkan sebagai
berikut : (Satjipto Rahardjo
,1979,h.230-231).
Macam
hukum , sistem nilainya dan potsulat –potsulatnya
Macam Hukumnya
|
Sistem nilai
|
Potsulat-potsulat
|
Hukum Adat hukum yang melayani masyarakat
pertanian subsistem
Hukum Modern
|
1. Bersifat
Religius ,magis
2. Bersifat
Komun
3. Menghindar
dari konflik
1. Mengagungkan
martabat individu.
2.
Berorientsi kepada kemajuan , pertumbuhan , dan perubahan .
|
1. Hukum
itu hendaknya keseimbangan
2.
Hukum itu hendaknya mempertahankan suasana keselarasan .
3.
Hukum bekerja tidak atas pembeda- bedaan melainkan menyamakan . (tidak
ada perbedaan antara hukum public dan perdata;antara “persoonlijk recht”dan
“zakelijk recht”).
4.
Keputusan –keputusan hukum tidak ditujukan kepada pemenuhan hak-hak dan
tuntutan perorangan .
1. Melindungi
dan memajukan hak-hak individu.
2. Hukum
hendaknaya dipakai sebagai sarana yang sadar untuk membangun masyarakat yang
dicita –citakan .
|
Problem yang dihadapi Indonesia ialah bahwa tidak
mempunyai potsulat-potsulat hukum yang bersumber pada satu system nilai saja .
Dalam suasana kemajemukan tersebut , maka yang dihadapi dalam pembangunan hukum
di Indonesia
ialah bagaimana orang dapat memberikan pedoman kepada para pembuat dan
perencana hukum agar mempunyai gambaran yang jelas mengenai potsulat-potsulat
mana yang hendak dipegangnya(Siedman , dalam Satjipto Rahardjo,1979,h.231).
Pemberian pedoman disini bisa dilakukan dengan memperhatikan sasaran yang
hendak dituju dan penggunaan potsulat-potsulat mana yang diharapkan untuk mampu
mengantarkannya ke arah sasaran yang ingin dicapai itu.
Untuk dapat menciptakan
perubahan-perubahan sesuai dengan struktur masyarakat yang diinginkan ,maka
hukum harus dilihat sebagai suatu usaha bersama yang pada akhirnya membuahkan
hasil yang dikehendaki . maka dari itu konsep pembangunan hukum meliputi
lembaga-lembaga,peraturan-peraturan , kegiatan dan orang-orang yang terlibat
kedalam pekerjaan hukum (Satjipto Rahardjo ,1979,h.235). Apabila hal itu
diperinci maka unsure-unsurnya adalah :
1. Pembuatan
peraturannya
2. Penyampaian
isi peraturan
3.
Kesiapan
para pelaksana hukum untuk menjalankan peranannya
4.
Kesiapan
warga Negara untuk berbuat sesuai dengan masing-masing peranan yang diharapkan
daripadanya
5.
Pengamatan
mengenai bekerjanya hukum itu dalam masyarakat sehari-hari
Penelaahan konsep pembangunan hukum memperlihatkan aspek
statis dan dinamis .
Pendekatan system dalam rangka pembangunan hukum nasional
, dengan bahan Hukum Adat sebagai masukkan haruslah memperhatikan
langkah-langkah pendekatan sistem .Dari beberapa pendapat mengenai pendapat
system , dapatlah disimpulkan adanya langkah-langkah pendekatan sistem sebagai
berikut : (Sasbani , 1987,h. 8).
1. Identifikasi
2. Perumusan
tujuan
3.
Identifikasi
hambatan atau sering dilengkapi dengan sumber daya /dana serta hambatan
4. Penyajian
alternatif terbaik
5. Implementasi
6. Modifikasi
bilamana diperlukan (revisi).
Oleh
karena itu dalam pembentukan hukum nasional, pertama-tama yang harus dilakukan
ialah identifikasi kebutuhan.Seperti diketahui bahwa tentunya tidak semua
ketentuan hukum adat bisa dimasukkan dalam hukum nasional , akan tetapi hanya
asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat universal sajalah yang bisa
dipertahankan terus atau diambil alih dalam pembentukan tata hukum nasional
baru (Baca pula R. Soerojo Wignjosoebroto,1983,h.40-73dan 88-91). Misalnya
unsure-unsur hukum adat yang berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum waris .
Dalam tulisan ini sebagai contohnya ialah mengenai hukum waris.
Berdasarkan
identifikasi kebutuhan , salah satu bidang hukum adat perlu dijadikan hukum
nasional ,dalam hal ini hukum waris . Pada mulanya hukum waris ini menyangkut
tentang pemilihan, yaitu pengalian harta dari pewaris kepada ahli waris ( pada
masa Low energy society), akan tetapi
pada masa High energy society nilai-nilai tersebut mengalami pergeseran
sehingga fungsi hukum adat di bidang ini menjadi lebih luas daripada
sebelumnya. Pergeseran ini harus diperhatikan dalam rangka memutuskan apakah
hukum adat itu betul-betul bisa dijadikan hukum nasional sesuai dengan kondisi
pada saat sekarang dan yang akan datang atau tidak? Setelah diketahui bahwa
hukum adat waris ini bisa dijadikan hukum nasional maka haruslah dirumuskan
tujuannya, misalnya: agar ada keseragaman Hukum Waris untuk seluruh rakyat Indonesia diseluruh Indonesia . Setelah tujuan
terumuskan, maka dalam mencapai tujuan itu tentunya akan terjadi
hambatan-hambatan,misalnya hambatan dalam sistem Hukum Waris masing-masing
daerah atau suku atau masing-masing kekerabatan adat (Sistem Parental,
Patrilinial, Matrilinial) atau hambatan karena pergeseran fungsi Hukum waris
itu sendiri karena pergeseran nila-nilai tentang warisan. Disamping itu harus
diidentifikasi hambatan-hambatan yang berasal dari subsistem budaya, subsistem
social itu sendiri, subsistem politik dan subsistem ekonomi. Sedangkanhambatan
lainnya mungkin datang dari pembentuk undang-undang itu sendiri (legislatif)
maupun dari lembaga eksekutif sendiri serta dari lemabaga yudikatif.
Langkah-langkah
dimuka merupakan identifikasi masalah terhadap kemungkinan dijadikannya Hukum
Waris Adat menjadi Hukum Nasional. Sedangkan pemecahan masalahnya yaitu memilih
salah satu kemungkinan yang paling tepat atau cocok sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai. Misalnya mencari asas-asas yang sama antara system Hukum Waris
masing-masing suku atau system kekerabatan, sehingga asas-asas itu bisa menjadi
bagian Hukum Waris Nasional, atau mengesahkan system pewarisan yang tumbuh
dalam masyarakat yang merupakan pergeseran dari Hukum Waris Lama.
Setelah
diadakan penyajian alternatif terbaik tersebut maka dengan cara-cara dan
prosedur pembuatan undang-undang, hal tersebut dibahas dan digodok oleh pembentuk
undang-undang (pemerintah dan DPR), tentunya dengan melalui dengar pendapat
dengan para ahli dibidang Hukum Waris dan instansi yang terkait lainnya. Kemudian setelah RUU disetujui oleh Presiden atau DPR
barulah diundangkan menjadi undang-undang. Dengan demikian telah terpenuhi
tujuannya. Akan tetapi hal ini tidak cukup selesai sampai disini, sebab akan
timbul permasalahan baru, yaitu apakah Hukum Waris yang baru dibentuk/disahkan
itu benar-benar mencerminkan Hukum Waris Nasional yang sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia atau tidak? Apakah bisa dilaksanakan/diterapkan atau tidak?
Jawaban atas pertanyaan itu kemudian menjadi umpan balik (feedback), yang akan
menjadi masukkan baru dalam proses perbaikan atau pembaharuan Hukum Nasional
tersebut. Hal ini akan terus berlangsung dalam proses terwujudnya Hukum Waris
Nasional yang responsif. Proses ini akan berhenti bila telah terwujud satu
Hukum Waris yang benar-benar bisa mengikuti perkembangan jaman, yaitu Hukum
Nasional yang responsip. Dan yang jelas proses pembuatan Hukum Waris itu
merupakan proses politik. Oleh karena itu alangkah baiknya bila hasil proses
politik itu bisa diterima masyarakat dan dapat dilaksanakan dalam kehidupan
masyarakat, hal ini tentunya harus disiapkan secara matang dalam proses
pembentukannya. Disamping itu menurut Sunarti Hartono, ada beberapa hal yang
dapat kita perkirakan akan terjadi dalam kurun waktu 25 tahun mendatang atau
selama kurun waktu PJP II antara lain, yaitu:
1.
Pesatnya
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi pola hidup kita
sehari-hari;
2.
Arus
informasi dari seluruh penjuru dunia yang akan juga mempengaruhi perkembangan
perjalanan hidup bangsa kita, antara lain dengan semakin banyaknya campur
tangan pihak asing dalam urusan (yang biasanya dianggap sebagai urusan) dalam
negeri;
3.
Semakin
terbatasnya ruang gerak manusia yang disebabkan oleh pesatnya pertambahan
penduduk dunia;
4.
Ruang
gerak kehidupan dan penghidupan yang sangat dipengaruhi oleh tingkat pencemaran
lingkungan hidup;
5. Globalisasi
ekonomi dunia yang mengakibatkan internasionalisasi Hukum Nasional;
6. Semakin
langkanya sumber daya alam yang biasanya digunakan sebagai bahan makan dan
semakin banyaknya bahan-bahan lain sebagai makanan kita sehari-hari;
7.
Kembalinya
kehidupan keluarga yang lebih intim dari pada sekarang;
8.
Perubahan
besar dalam dunia kedokteran dan pemeliharaan kesehatan;
9.
Desakkan
positif maupun negatif yang lebih besar dari negara-negara berkembang, yang
dapat menyerupai sejarah politik abad ke 17 dan 18 dalam bentuk modern,
sebagaimana tercermin dalam meletusnya berbagai ancaman kekerasan dan
peperangan di seluruh penjuru dunia;
10.
Perubahan
besar dalam gaya diplomasi dan upaya mempertahankan keamanan bangsa dan
kedaulatan negara;
11.
Dan sebagainya. (C.F.G. Sunaryati Hartono,
1994, h.6-7). Oleh karena itu, dalam membahas dan menentukan pola kebijaksanaan
pembangunan dan pembinaan Hukum Nasional yang mengacu kepada perkembangan
kehidupan dan perilaku kesadaran hukum mayarakat modern dimasa mendatang, harus
mempertimbangkan factor-faktor yang dikemukakan diatas.
VII. Penutup
Dari
penjelasan-penjelasan di muka, terlihat bahwa memang Hukum Adat yang dibentuk
pada situasi dan kondisi “Low Energy Society”, mempunyai peranan yang penting
sekali dalam pembentukan Hukum Nasional. Disamping itu, pembentukan Hukum
Nasional dapat didekati dengan pendekatan system dalam system social, yang
dalam uraian dimuka didasarkan pada pendapat Talcot Parsons.
Dalam tulisan ini
hanya diberikan salah satu contoh aspek saja tentang Hukum adat ke Hukum
Nasional, yaitu mengenai Hukum lainnya (Adat) yang dapat diangkat menjadi Hukum
Nasional dengan melalui proses tertentu; hal ini tergantung pada identifikasi
kebutuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman
.1978.Kedudukan Hukum Adat dalam Rangka
Pembangunan Nasional .Bandung: Alumni.
Anonim .1993.Ketetepan –ketetapan MPR RI 1993 dan GBHN
RI 1993-1998. Surabaya: Karyan Utama.
C.F.G. Sunaryati
Hartono . 1994,5 Desember .”Politik
Pembaharuan Hukum dalam Pembangunan Hukum di Indonesia”.Makalah. Disajikan
pada Forum Komunitas Penelitian Bidang Hukum Fakultas Hukum UNDIP pada tanggal
5 Desember 1994 di Bandungan.
John Bali .1982. Indonesia
Legal History : 1602-1848. Sydney
: Oughtersshaw Press.
Mochtar Kusumaatmadja .1976. Hukum
, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional . Bandung
: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminalogi Fakultas Hukum UNPAD.
Mulyana W. Kusumah
& Paul SS .Baut .1988. Hukum, Politik
dan Perubahan Sosial
. Jakarta
: Yayasan LBH Indonesia
.
Robert B. Seidman.1978.The State , Law and Development . New York : St. Martin ’s
Press.
Ronny Hanitijo Soemitro.1984. Masalah –masalah Sosiologi Hukum .Bandung : Sinar Baru.
R. Soerojo
Wignjodipoero. 1983. Kedudukan serta
Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan . Jakarta : Gunung Agung.
Thanks ya gan...Salam kenal ya
BalasHapusNumpang Lapak ya gan
AGEN POKER ONLINE TERPERCAYA DAN TERBESAR DI INDONESIA,BONUS JACPOTNYA TERBESAR
Domino Online
Judi Domino
Agen Judi Terpercaya
Domino Online Indonesia
Agen Poker Online