Pendahuluan
Penerapan
UU nomer 22 tahun 1999 dan UU nomer 25 tahun 1999 merupakan langkah maju dalam
sistem pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam demokratisasi hubungan pusat
dan daerah. Meskipun sebenarnya hubungan desentralisasi dengan option yang luas
bukanlah kali pertama dalam sejarah pertumbuhan pemerintahan di Indonesia sejak
merdeka, namun nuansa desentralisasi yang luas berdasar kedua UU tersebut di
atas boleh dikatan sangat bermakna, hal ini terjadi akibat tekanan sentralisasi
yang sangat kuat dan dominan di era orde baru sebelumnya.
Dari kesejarahan sebenarnya sistem
pemerintahan daerah di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan
beberapa kali tergantung dengan situasi politik yang terus berkembang. Di awal
kemerdekaan, dengan penerapan UU nomer 1 tahun 1945 sebenarnya sistem
pemerintahan daerah di Indonesia telah menganut otonomi daerah yang
seluas-luasnya, hal ini terjadi akibat otoritas pemerintahan pusat yang memang
masih terbatas di samping untuk kepentingan politik dalam rangka kesatuan dan
persatuan bangsa.
Perkembangan selanjutnya adalah
diterapkannya UU nomer 22 tahun 1948 yang juga tetap menekankan hubungan
otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah di seluruh wilayah Indonesia. Pemberian
otonomi daerah yang seluas-luasnya ini terus bertahan hingga diterapkannya UU
pengganti yakni UU nomer 1 tahun 1957. Baru pada penerapan UU nomer 18 tahun
1965 kekuasaan pemerintah daerah mulai dibatasi, namun semangat otonomi masih
tetap menonjol.
Baru pada pemerintahan orde baru,
pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya memang sengaja ditekan untuk
diganti dengan hubungan yang lebih tersentralisasi Penerapan UU nomer 5 tahun
1974 option otonomi telah berganti menjadi otonomi nyata yang bertanggung
jawab. Kondisi ini sangat memberi peluang kepada pemerintah pusat untuk lebih
menguasai, sehingga di era orde baru sistem pemerintahan Indonesia memang lebih
bersifat sentralistis di bandingkan dengan desentralisasi sebagaimana yang
menjadi semangat UU Nomer 5 tahun 1974.
Reformasi politik di Indonesia membawa
dampak serta terjadinya reformasi sistem administrasi pemerintahan di
Indonesia. Dari sistem sentralistik yang “menguasai” berubah menjadi sistem
manajemen publik yang “melayani”. Perubahan ini mau tidak mau harus dilakukan
karena pemerintah khususnya di daerah memang memiliki hubungan yang semakin
dekat dengan masyarakatnya. Kondisi inilah yang menyebabkan administrasi
pemerintahan di daerah harus menampilkan diri secara lebih exelent yang ditandai dengan kriteria
sebagai berikut :
1)
Action orientation;
2)
Clossenes to citizen;
3)
Authonomy and entrepreunership;
4)
Employee Orientation;
5)
Value
6)
Mission, Goal and Competition;
7)
Structure, and;
8)
Political relationship.
Kriteria-kriteria
inilah yang akan dicapai oleh sistem pemerintahan daerah di Indonesia sehingga
akan mencapai tujuan dengan dilaksanakannya desentralisasi secara administratif
akan membuat pelayanan publik menjadi jauh lebih baik dan terjangkau oleh
masyarakat. Berikut dalam makalah ini akan disampaikan perspektif teoretik
tentang perubahan administrasi publik dalam sistem pemerintahan yang sedang
berubah sehingga akan menemukan bentuknya secara lebih baik dan optimal.
Perubahan Pemikiran tentang
Desentralisasi Pemerintahan
Kesadaran
tentang perlunya memahami pemikiran yang menonjol tentang bagaimana merubah
pemerintahan dan kemudian menilai dampak (menguntungkan atau tidak
menguntungkan) dari pemikiran-pemikiran Desentralisasi tersebut diterjemahkan ke dalam praktek menjadi dasar
pada sub bab ini. Tetapi tidak mudah untuk memelihara keutuhan konsep dan
analisis dalam kajian ini, sebagian karena model konseptual reformasi
pemerintahan sendiri secara konstan di dalam perubahan yang terus menerus dan
sebagian karena model-model diterapkan
di berbagai kondisi system politik dan pemerintahan yang meluas. Oleh
karena itu ada gunanya membentuk kerangka kerja bagi kontribusi-kontribusi yang
mengikuti guna melukiskan lebih jauh tentang masalah-masalah definisi dan
konsepsi yang sekarang muncul di bidang-bidang desentralisasi administrasi
publik.
Pendekatan-pendekatan
literatur di masa lalu terhadap Desentralisasi administrasi publik dan studi-studi manajemen mencakup
konsepsi pemerintahan yang luas. Akibatnya, terjadi ekspansi campur tangan
negara ke seluruh bidang kegiatan politik dan ekonomi yang menjadi perhatian
dan kepentingan dari banyak displin dan sub disiplin ilmu. Di bidang
administrasi publik, para spesialis
administarsi publik telah menjadi sekedar salah satu dari serpihan para
analisis. Seiring dengan situasi tersebut, siapapun yang ingin mendapatkan pemahaman yang tepat
tentang desentralisasi pemerintahan dan campur-tangannya harus mempersiapkan
diri untuk menguasai literatur yang
beraneka ragam dan melebar.
Faktor
yang kedua untuk menjelaskan luasnya studi desentralisasi dan isu – isu
politik berakar dari praktek reformasi.
Selama dua dasa warsa yang lalu kita telah menyaksikan pendewaan pemikiran
sentralistis dan penterjemahannya ke dalam praktek politik keseluruh penjuru reformasi yang menyentuh
atau melibatkan langsung sektor publik. Reformasi ekonomi telah memfokuskan
pada liberalisasi kinerja pasar dari distorsi akibat campur tangan pemerintah,
reformasi di sektor administrasi publik secara logis mengikuti alur pikiran
yang sama, yang mengaburkan perbedaan
antara ‘publik’ dan ‘privat’ dan berusaha mengurangi ukuran dan kegiatan
negara sambil memperkenalkan disiplin di sekitar privat ke dalam sektor publik.
Perkembangan
yang berkaitan dengan pemunculan pemikiran-pemikiran desentralisasi
administratif berdasarkan konsep politik
atas reformasi yang tepat. Berawal dari “jatuhnya sentralisasi” yang tiba-tiba
di mendiang orde baru di Indonesia, pemikiran ini mengambil bentuk dan
substansi dari kebijakan-kebijakan baru tentang ketergantungan politik yang
dipraktekkan oleh badan donor bilateral maupun multilateral dalam hubungan
bantuan mereka terhadap ekonomi yang sedang berkembang dan berubah. Logika
perluasan dan strategi yang lebih dulu terhadap ketergantungan ekonomi
dikaitkan dengan reformasi penyesuaian struktural, pendekatan baru ini
membingungkan secara konsepsi dan diterapkan secara inkonsisten (Stokke,
1995).
Dibandingkan
dengan pendekatan konvensional dalam melihat proses-proses desentralisasi
administrasi pemerintahan seperti ‘apa yang seharusnya dilakukan oleh
pemerintah di daerah’ (Minoque, 1993; coaldrake & Nethercote, 1990)
dan pendekatan yang lebih ortodoks dari Weber, lebih melihat pemerintahan di
daerah dalam konteks system administrasi, pendekatan public policy dan
prespektif manajemen publik lebih diperluas analisisnya. Perspektif public
policy menekankan pada proses kebijakan ketimbang lembaga-lembaga
formalnya, Pendekatan ini menekankan kepada :
a. Konteks politik di mana administrasi publik berjalan;
b. Jaringan kerja personnel dan organisasi yang
terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan;
c. Sukses, kegagalan, dan keinginan kebijakan actual
menghubungkan mekanisme implementasi dan hasil;
d. Konsep pokok tentang ‘negara’ mendasar dalam
pemahaman tentang hubungan antara sistem administarsi dan politik dan antar
politik, ekonomi, dan masyarakat.
Perspektif
desentralisasi manajemen publik dibentuk oleh prinsip politik yang telah
memilih untuk secara kritis mempertanyakan ukuran, peranan dan struktur
sektor-sektor publik dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintahan
di banyak negara maju dan berkembang mengkaji ulang peranan pegawai negeri,
otoritas local dan perusahaan negara. Banyak fungsi yang semula dilakukan oleh
pemerintah pusat sedang dserahkan kepada pemerintah daerah, perusahaan negara
yang masih dipertahankan harus dapat menciptakan keuntungan. Otoritas-otoritas
local sedang didesak untuk melakukan tender proyek secara kompetitif dengan
pesaing-pesaing swasta.
Berkenaan
dengan perubahan-perubahan yang dramatis itu, isu-isu tentang nilai,
kepercayaan, dan norma-norma kelembagaan dan isu-isu tentang sikap individu,
mengarah para fokus tentang budaya organisasi dan bagaimana ini dapat dirubah
oleh pembuat kebijakan dan manajer-manajer puncak (UNDP, 1995, Commonwealth
Secretariat, 1993). Secara keseluruhan, label “ desentralisasi
administrasi publik” dikenal sebagai
menangkap secara akurat seluruh segi hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah di Indonesia.
Disamping
orientasi ‘privatisasi’ terhadap reformasi terkini di pemerintahan, dimaklumi
bahwa masih terdapat peranan penting pemerintah di daerah dalam mengelola respon yang efektif dengan
kebutuhan- kebutuhan sosio ekonomi dari penduduknya, dengan kata lain, terjadi
desentralisasi di bidang administrasi pembangunan (World Bank, 1997).
Desentralisasi
Administratif
Untuk
proyeksi ke depan, dalam rangka memantapkan demokratisasi di Indonesia, maka
desentralisasi administratif ini harus terus diperkuat dan dan dilakukan enforcemen
bagi pemerintah di daerah agar lebih sesuai dengan harapan besar otonomi
daerah, di mana pemerintah daerah harus mampu mengelola dan mengembangkan
daerahnya sendiri jauh lebih baik dibandingkan dengan ketika masih di bawah
kekuasaan pemerintah pusat secara sentralistis.
Untuk itu
harus ditingkatkan “performance” dari pemerintah daerah khususnya di bidang
administrasi publiknya yang concernnya memang terletak pada public service.
Kenyataan
bahwa terjadi hambatan besar dalam masalah peningkatan pelayanan publik yang
tidak bisa se professional pelayanan sector privat menjadi tantangan serius
dari makna diterapkannya desentralisasi administrasi publik ini di Indonesia.
Domain Privat sangat jelas bahwa dalam dunia bisnis kalau tidak untung pasti
akan bangkrut, untuk bisa untuk harus efisien dan mampu menarik simpati
costumer dengan berbagai kualitas pelayanan yang diberikan, sehingga budaya
“putting the costumer first” menjadi etos kerja dalan kinerja organisasi secara keseluruhan.
Hal ini
sangat berbeda dalam organisasi publik yang hubungan antara negara dengan
citizen lebih bersifat mengikat dan “tidak ada pilihan bagi citizen” maka
pelayanan yang diberikan seperti apapun efektivitasnya tetap saja harus
diterima dan tidak memungkinkan citizen dengan mudah berpindah ke organisasi
publik lainnnya.
Kenyataan
ini sebenarnya berlaku di hampir seluruh negara-negara baik maju maupun
berkembang. Hanya di negara maju telah ada kesadaran untuk memperbaiki
efektivitas kinerja organisasi publik supaya tidak terlalu tertinggal dengan
organisasi privat dengan melakukan benchmarking, mengadopsi dan mengadaptasi
praktek-praktek yang dianggap baik di organisasi swasta ke dalam organisasi
publik.
Amerika
Serikat misalnya, dengan penuh kesadaran mencoba melakukan berbagai upaya
benchmarking tersebut sehingga budaya organnisasi publik secara keseluruhan
berubah secara perlahan menuju profesionalisme. Al Gore dengan slogan “putting
the costumer first” menunjukkan terjadinya perubahan paradigma yang luar biasa
dalam pelayanan publik oleh organisasi publik di Amerika.
Di
Indonesia, Reformasi perundangan dengan UU No 22 tahun 1999 dan UU Nomer 25
tahun 1999 sebenarnya secara eksplisit berupaya mewujudkan perubahan paradigma
organisasi publik khususnya di bidang pelayanan publik kalau dulu birokrasi
lebih bergaya “pangreh praja” namun tuntutan sekarang mengharapkan birokrasi
lebih berwajah “pamong praja” bukan sekedar slogan melainkan akan
direalisasikan secara nyata dalam kehidupan bernegara.
Permasalahannya
masih banyak kendala yang menghambat semangat reformasi dalam administrasi publik di Indonesia, berbagai hal seperti
budaya paternalisme yang masih kuat, fatsoen politik yang belum terlalu kuat,
politik penggajian yang masih rendah dan sebagainya menjadi penghambat
perubahan budaya dalam birokrasi kita.
Perubahan
budaya organisasi memang tidak bisa berlangsung dengan cepat, diperlukan waktu
yang lama dalam sosialisasi dan trial and error terhadap upaya mengarahkan
pembentukan budaya baru. Kondisi perubahan seperti ini memang pada akhirnya
menjadi sebuah kenyataan yang berdampak pada ketidak pastian dan ketidak
jelasan tentang prosedur-prosedur maupun norma lain yang lebih substanstif
dalam masa transisi. Oleh karena itu, sepanjang ada komitmen kuat untuk menuju
reformasi yang konsisten maka termasuk di dalamnya budaya organisasi diharapkan
dapat berubah secara lebih efisien sesuai dengan tuntutan reformasi tersebut.
Penutup
Dari
uraian tersebut dapat dilihat bahwa desentralisasi administrasi publik memang sangat vital dan penting dalam membawa
seluruh anggota organisasi pemerintahan di daerah menuju kinerja yang efektif
dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan tujuan bersama. Desentralisasi
administrasi merupakan kondisi spesifik dari organisasi yang bersangkutan yang
terbentuk tidak serta merta namun melalui proses panjang yang berdasar trial
dan error.
Desentralisasi
administrasi publik dapat menjadi factor penyebab maupun factor akibat dari
dinamika organisasi dan interaksi manusia dalam organisasi tersebut, sehingga
budaya organisasi menjadi factor determinan yang ikut mempengaruhi keberhasilan
dan kegagalan organisasi.
Persoalannya,
seringkali efektivitas desentralisasi administrasi publik berhasil diterapkan dalam kondisi pemerintah
daerah tertentu namun belum tentu
berhasil diterapkan di pemerintah daerah
lainnya. Hal yang sama adalah upaya benchmarking dari organisasi privat
ke organisasi publik. Namun setidaknya pengalaman keberhasilan di sebuah
pemerintah daerah dapat menjadi
inspirasi bagi pemerintah daerah
lainnya, termasuk efektivitas kinerja administrasi publiknya organisasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar