PRINSIP "yang legal belum tentu moral"
biasanya menjadi pegangan pakar moral untuk membongkar argumen hukum. Paham
positivisme hukum tidak menerima begitu saja prinsip itu. Positivisme hukum mau
menjamin kepastian hukum. Tetapi, argumen kepastian hukum ini sering
disalahgunakan oleh mereka yang kuat. Sedangkan hukum kodrat dan bentuk-bentuk
pendekatan moral lainnya lebih memberi prioritas pada rasa keadilan.
Pendekatan ini sering dituduh tidak menjamin
kepastian hukum. Kemajemukan masyarakat menambah ruwet lagi, karena terkait
dengan sumber hukum. Pendekatan filosofis dengan mempertimbangkan tujuan hukum,
sumber-sumber hukum dan normativitasnya, mencoba memetakan pola hubungan moral
dan hukum dalam masyarakat majemuk.
Bagaimana "de facto" hukum berfungsi?
Upaya sweeping buku-buku kiri dengan
mendasarkan pada Ketetapan (Tap) MPRS 25/1966 dan munculnya kelompok-kelompok
sipil bersenjata dengan dalih memerangi kelompok separatis atau memberantas
praktik-praktik maksiat yang dilarang hukum menggambarkan bagaimana positivisme
hukum berfungsi. Kekuatan adalah yang menentukan. Praktik pemaksaan melalui
kekuatan dengan pendasaran hukum sejak dulu sudah ditengarai para filsuf
politik.
"Hukum tidak
lain kecuali kepentingan mereka yang kuat", kata Trasymachus.
Pernyataan ini diungkapkan dalam konteks perdebatan dengan Socrates mengenai
masalah keadilan yang ditulis Plato dalam The Republic. Trasymachus
berpendapat, keadilan adalah yang
menguntungkan bagi yang lebih kuat. Pandangan ini bertitik tolak dari definisi "adil" adalah yang sesuai
dengan hukum atau sesuai dengan yang dianjurkan kebiasaan dan hukum di
dalam Polis (negara-kota). Jika yang adil disamakan dengan yang legal,
maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Padahal setiap rezim,
menurut Trasymachus, membuat hukum untuk mempertahankan kekuasaannya dan demi
keuntungannya.
Pada abad ke XV-XVI, digambarkan ketidakberdayaan
moral di dalam politik. Machiavelli dalam The Prince menolak mendasarkan
politik atas hak dan hukum. Dia menyatakan, tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat
memaksakannya. Hanya sesudahnya hak dan hukum akan melegitimasi kekuatan
itu. Hukum adalah nama yang diberikan a posteriori oleh penguasa pada
kelupaan atas asal-usul kekuasaan. Asal kekuasaan adalah
kekerasan. Dalam politik, kekuatan menentukan, sedangkan moralitas tidak
berdaya. Machiavelli menghapuskan jarak antara hukum dan kekuatan.
Dengan nuansa positivisme hukum yang lebih kental,
Thomas Hobbes menyatakan, "Perjanjian
tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong" (Leviathan XVIII).
Menurut Hobbes, harus ada penguasa yang kuat untuk bisa memaksakan hukum. Hukum
kodrat tidak mempunyai kekuatan dan tidak menuntut kewajiban sehingga
membiarkan individu dalam keadaan perang satu melawan yang lain.
Pandangan hukum dari zaman yang berbeda itu
mengisyaratkan dominasi positivisme hukum dan bagaimana de facto hukum
berfungsi. Pertama, dari pandangan Trasymachus dapat disimpulkan, hukum
merupakan kendaraan untuk kepentingan-kepentingan mereka yang kuat. Kedua,
pendapat Machiavelli memperlihatkan, hukum tidak lain kecuali alat legitimasi
kekuasaan dan dalam arti tertentu menjadi alat pembenaran kekerasan. Ketiga,
perspektif Hobbes menunjukkan, hukum tak berdaya bagi mereka yang tidak
mempunyai kekuatan atau yang dalam posisi lemah.
Masalah filosofis paling kontroversial: Sumber hukum?
Ketiga perspektif hukum itu mengabaikan tujuan
pokok hukum yang pada dasarnya mencari keadilan, kesejahteraan umum,
perlindungan individu, dan solidaritas reaksi dari berbagai kelompok tentu akan
sepakat mengutuk praktik semacam itu. Kelompok-kelompok yang berseberangan pun
bila menyangkut keempat tujuan hukum itu, dengan mudah akan bekerja sama.
Tujuan hukum itu bisa menjadi perekat masyarakat karena sifatnya yang membuka
kesempatan untuk pengembangan baik bagi individu maupun kelompok, melindungi
dan mengatur hubungan antarpribadi atau kelompok.
Persoalannya menjadi rentan konflik ketika sudah
menyangkut sumber-sumber hukum. Georges Gurvitch, pemikir positivisme hukum,
mengatakan, "Pada prinsipnya, pada kemampuannya memecahkan masalah
sumber-sumber hukum positif, orang dapat menilai kekuatan atau kelemahan suatu
teori hukum atau metode penelitian hukum."
Sumber-sumber hukum dipahami dalam beberapa
pengertian. Pertama, sumber hukum sebagai asal-usul hukum, asal-usul teknis
yuridis, seperti dari mana datangnya hukum, pengalaman yuridis macam apa yang
kita ketahui di dalam masyarakat.
Pengertian kedua, adalah asal-usul teknis yuridis
bukan dalam arti sejarawi, tetapi dasar-dasar metafisiknya, misalnya, apa yang
memberi pembenaran adanya hukum dalam masyarakat? Kehendak Tuhan, hukum kodrat,
kesejahteraan umum?
Ketiga, sumber hukum sebagai isi normatif hukum
yang berlaku, berbagai norma hukum yang membentuknya. Pengertian ketiga ini
dibagi dua, sumber material dan sumber formal.
Sumber material menyangkut dua pengertian. Di satu
pihak, istilah itu menunjuk faktor-faktor yang mempengaruhi isi reglementasi
hukum, substansi hukum, unsur-unsur yang memberi inspirasi kepada pembuat hukum
dan mempengaruhinya dalam membuat hukum, seperti sejarah, perilaku masyarakat,
peta hubungan kekuatan-kekuatan sosial, lingkungan alam, dan sebagainya. Di
lain pihak, istilah sumber material ini mengacu pada dasar dari berbagai norma
hukum: yang memberi pembenaran, yang memberi nilai atau validitas. Cicero
mengatakan, sumber pendasaran moral dan hukum adalah rasio (logos).
Sedangkan sumber formal dimengerti sebagai
berbagai ragam cara pemberlakuan hukum, maklumat atau dekrit, berbagai prosedur
perumusan norma hukum (misalnya tindakan hukum unilateral atau kontraktual,
yurisprudensi, dan sebagainya), atau dokumen-dokumen itu sendiri, dan
tindakan-tindakan pemberlakuan hukum lainnya. Biasanya positivisme hukum hanya
akan mengakui sumber-sumber formal ini sebagai yang paling obyektif. Dalam arti
ini, termasuk sumber hukum adalah hukum-hukum yang ada, kebiasaan,
yurisprudensi, pengajaran, prinsip-prinsip umum hukum dan hak asasi manusia
(HAM).
Lima pola hubungan moral dan hukum
Persoalan pokok yang menimbulkan banyak ketegangan
adalah sumber hukum, baik sumber material maupun sumber formal. Termasuk di
dalamnya masalah normativitas hukum (mengapa hukum ini mengatur?). Di dalam
masyarakat majemuk, sumber material amat beragam sehingga amat rentan terhadap
konflik.
Pengertian sumber material pertama itu amat mudah
menyulut kecurigaan antarkelompok agama dan diskriminasi hukum, misal PP
10/1981 Perkawinan yang monogam dicurigai sebagai pengaruh Katolik, SKB Menag
dan Mendagri dalam hal izin mendirikan tempat ibadat lebih ditafsirkan sebagai
hukum yang mempersulit orang Kristen mendirikan gereja. Pengertian sumber
material yang menyangkut masalah dasar pembenaran hukum, yang memberi nilai dan
validitas mudah menyulut konflik, karena yang dipertaruhkan adalah pendasaran
moral, berarti pembenaran ideologis (teologis) dan simbolis. Dalam konteks ini,
perbedaan pendapat amat sulit dijembatani. Sedangkan masalah yang timbul dari
sumber formal hukum terkait dengan bentuk legitimasi sistem politik yang berlaku
dan pola hubungan moral-hukum.
Ada lima pola hubungan moral-hukum yang bisa
dibagi dalam dua kerangka pemahaman. Kerangka pemahaman pertama, moral sebagai bentuk yang mempengaruhi
hukum. Moral tidak lain hanya bentuk yang memungkinkan hukum mempunyai ciri
universalitas. Sebagai bentuk, moral belum mempunyai isi. Sebagai gagasan masih
menantikan pewujudan. Pewujudan itu adalah rumusan hukum positif.
Hubungan moral sebagai jiwa hukum ini dibagi dalam
tiga pola. Pertama, moral dimengerti
sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik,
keadilan sosial. Upaya-upaya nyata dilakukan untuk mencapai ideal itu, tetapi
sesempurna apa pun usaha itu tidak akan pernah bisa menyamai ideal itu. Bagi
penganut paham hukum kodrat, ini merupakan pola hubungan hukum kodrat dan hukum
positif.
Kedua, hanya perjalanan sejarah nyata, antara lain
hukum positif yang berlaku, sanggup
memberi bentuk moral dan eksistensi kolektif. Pewujudan cita-cita moral
tidak hanya dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai eksistensi (kecuali
dalam bentuk gagasan). Dalam pola kedua ini, pewujudan moral tidak hanya
melalui tindakan moral, tetapi dalam perjuangan di tengah-tengah pertarungan
kekuatan dan kekuasaan, tempat di mana dibangun realitas moral (partai politik,
birokrasi, hukum, institusi-institusi, pembagian sumber-sumber ekonomi).
Pola ketiga adalah voluntarisme moral. Di satu
pihak, hanya dalam kehidupan nyata moral bisa memiliki makna; di lain pihak,
moral dimengerti juga sebagai sesuatu yang transenden yang tidak dapat
direduksi ke dalam hukum dan politik. Satu-satunya cara untuk menjamin
kesinambungan antara moral dan hukum atau kehidupan konkret adalah menerapkan
pemahaman kehendak sebagai kehendak murni. Implikasinya akan ditatapkan pada
dua pilihan yang berbeda: Di satu pihak, pilihan reformasi yang terus-menerus.
Pilihan ini merupakan keprihatinan agar moral bisa diterapkan dalam kehidupan
nyata, tetapi sekaligus sangsi akan keberhasilannya. Maka
yang bisa dilakukan adalah melakukan reformasi terus-menerus. Di lain pihak,
pilihan berupa revolusi puritan. Dalam revolusi puritan, misalnya Taliban di
Afganistan, ada kehendak moral yang yakin bahwa penerapan tuntutan moral itu
bisa dilakukan dengan memaksakannya kepada semua anggota masyarakat.
Kecenderungannya ialah menggunakan metode otoriter.
Kerangka pemahaman kedua menempatkan moral sebagai
sesuatu yang di luar politik dan tidak dapat direduksi menjadi politik. Moral
dilihat sebagai suatu bentuk kekuatan yang tidak dapat dihubungkan langsung
dengan sejarah atau politik kecuali dengan melihat perbedaannya. Dalam kelompok ini ada dua pola hubungan antara moral dan hukum. Dalam pola
keempat, moral tampak sebagai di luar politik. Dimensi moral menjadi semacam
penilaian yang diungkapkan dari luar, sebagai ungkapan dari suatu kewibawaan
tertentu. Tetapi, kewibawaan ini bukan merupakan kekuatan yang efektif, karena
tidak memiliki organ atau jalur langsung untuk menentukan hukum. Pola hubungan
ini mirip dengan posisi kenabian. Nabi dimengerti sebagai orang yang mengetahui
apa yang akan terjadi dan apa yang sedang berlangsung, tetapi tidak bisa
berbuat apa-apa karena ada di luar permainan politik. Tetapi, nabi memiliki
kewibawaan tertentu. Dalam perspektif ini, hubungan antara moral dan hukum atau
politik biasanya bersifat konfliktual. Dalam rezim ini ada pemisahan antara
masalah agama dan masalah politik.
Dalam pola kelima, politik dikaitkan dengan campur
tangan suatu kekuatan dalam sejarah. Kekuatan ini adalah tindakan kolektif yang
berhasil melandaskan diri pada mesin institusional. Moral dianggap sebagai
salah satu dimensi sejarah, sebagai etika konkret bukan hanya bentuk dari
tindakan. Dengan demikian moral berbagi lahan dengan politik. Di satu pihak,
moral hanya bisa dipahami melalui praktik politik. Melalui politik itu moral
menjadi efektif: melalui hukum, lembaga-lembaga negara, upaya-upaya dalam
masalah kesejahteraan umum. Tetapi, moral tetap tidak bisa direduksi ke dalam
politik. Di lain pihak, politik mengakali moral. Sampai pada titik tertentu,
politik (dalam arti ambil bagian dalam permainan kekuatan) hanya mempermainkan
moral karena politik hanya menggunakan moral untuk mendapatkan legitimasi dari
masyarakat.
Relevansi pemetaan hubungan moral-hukum
Paham positivisme hukum lebih dekat dengan pola
kedua (moral diwujudkan melalui perjuangan dalam pertarungan kekuatan dan
kekuasaan), ketiga (voluntarisme moral dengan cara revolusi puritan), dan
kelima (politik tidak lepas dari suatu kekuatan sejarah). Sedangkan faham hukum
kodrat dan pendekatan-pendekatan moral lebih sejalan dengan pola hu-bungan
pertama (moral menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik,
keadilan sosial), ketiga (reformasi terus-menerus) dan bisa juga masuk ke pola
hubungan kelima sejauh moral berbagi lahan dengan hukum positif.
Dengan pemetaan pola hubungan moral-hukum, kita
bisa menempatkan kurang lebih di mana dimungkinkan peran berbagai
agama/ideologi dalam penentuan hukum. Pemetaan itu dapat memperlihatkan pola
mana akan lebih memberi pemecahan yang damai, pola mana cenderung konfliktual,
pola mana mengarah ke penyelesaian melalui kekerasan. Pola pertama lebih akan
menawarkan pemecahan damai, karena hukum agama atau moral agama tidak akan
berperan langsung sebagai yurisprudensi, tetapi terbatas sebagai jiwa atau
sumber inspirasi hukum. Perjuangan masing-masing penganut agama lebih diarahkan
pada merumuskan pesan agamanya dalam bahasa hukum yang bisa dimengerti dan
diterima kelompok-kelompok lain. Dimensi universalitas pesan suatu agama
dituntut untuk bisa diwujudkan. Kalau dewasa ini dengan paham post-modernisme
orang cenderung menolak konsep universalitas, maka pesan agama dituntut
memiliki tingkat understandability dan communicability.
Pola kedua tidak bisa dilepaskan dari proses
legitimasi sistem politik yang berlaku. Pengaruh agama akan sangat tergantung
pada kemenangan partai yang membawa aspirasi agama yang bersangkutan dan pada
politikus-politikus pemegang kekuasaan. Secara politis masuknya aspirasi agama
tertentu dalam penerapan sistem hukum negara melalui cara ini legitim, tetapi
akan meminggirkan atau mengabaikan aspirasi kelompok minoritas. Pola kedua ini
yang sedang berlangsung di Indonesia dan rentan terhadap konflik bukan hanya
antaragama, tetapi juga intern agama. Tuntutan understandability dan communicability
penting, tetapi bisa diabaikan karena dengan mayoritas suara tidak terlalu
sulit menggolkan aspirasinya.
Pola ketiga yang lebih mengandalkan pada reformasi
moral terus-menerus memberi peluang kepada semua agama untuk ikut menyumbangkan
di dalam pembangunan sistem hukum negara melalui perdebatan teoretas, debat
tentang nilai dan diskusi tentang prioritas yang selalu diperbarui. Maka
tuntutan understandability dan communicability menjadi syarat
utama. Sedangkan pola ketiga yang memiliki revolusi puritan arahnya jelas pada
pemaksaan dan kekerasan.
Pola keempat mengarah pada pemecahan damai, tetapi
sering tidak efektif dan seperti berteriak di padang gurun. Pola keempat ini
biasanya menekankan pemisahan yang jelas antara masalah agama dan masalah
politik. Maka hukum yang tidak adil akan dikritik, tetapi agama tidak memiliki
saluran langsung untuk ikut serta mengoreksi kecuali melalui
penganut-penganutnya yang berusaha memperjuangkan aspirasinya.
Pola kelima tidak jauh berbeda dengan pola kedua
bahwa perjuangan moral harus melalui perjuangan di tengah pertarungan kekuatan
dan kekuasaan, hanya agama tidak lebur dalam politik dan hukum, tetapi
mengambil jarak dan berbagi lahan. Dengan demikian kegagalan sistem politik dan
hukum tidak bisa dikatakan sebagai kegagalan agama.
Prinsip-prinsip agar tujuan hukum dijamin
Apa pun pola yang dipakai, kecuali revolusi
puritan, tujuan hukum (keadilan kesejahteraan umum, perlindungan individu,
solidaritas) perlu menjadi kriteria utama. Maka beberapa prinsip akan membantu
agar finalitas hukum itu tercapai.
Pertama, adanya political-will untuk
mengubah orientasi politik yang sangat bias kepada negara menuju ke politik
yang memihak warga negara. Tolok ukur keberhasilan politik semacam ini ialah
pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari warga
negara. Pertimbangan bukan pada kelompok, tetapi perlindungan individu warga
negara. Kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia sejak Orde Baru (Orba) hingga
kini masih banyak didominasi pertimbangan kelompok (agama, etnis, suku)
sehingga produk-produk hukum yang diskriminatif amat banyak. Semua warga negara
mempunyai hak dan kewajiban sama, atau kesamaan di depan hukum. Hukum yang
diskriminatif pada dirinya sudah menjadi sumber ketidakadilan. Dalam konteks
ini, penting adanya penyadaran agar masyarakat mengefektifkan dan
mengoptimalkan penggunaan jalur hukum. Selain agar bisa terwujud apropriasi
hukum oleh masyarakat, juga agar perubahan dalam perjuangan keadilan dapat
mengubah secara struktural kondisi yang tidak adil melalui aturan permainan
legal dan bukan dengan cara kekerasan.
Kedua, pemberdayaan masyarakat melalui civil
society terus diupayakan. Tetapi, pengelompokan civil society supaya
lebih terbuka pada semua golongan, tujuan-tujuan hukum bisa menjadi perekat asosiasi-asosiasi,
LSM dan gerakan pemberdayaan lainnya. Civil society berkembang bila
prinsip subsidiaritas diterapkan. Prinsip ini menegaskan, apa yang bisa diurus
dan diselesaikan kelompok lebih kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada,
kelompok yang lebih besar jangan campur tangan.
Ketiga, urgensi membangun institusi-institusi sosial
yang adil. Institusi-institusi sosial merupakan sumber kepincangan karena sudah
merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang
lain. Maka harus diperbaiki supaya mampu mendistribusikan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dasariah serta menentukan pembagian keuntungan-keuntungan
hasil kerja sosial. Dengan demikian, membangun institusi-institusi yang adil
adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan
seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya.
Maka, keadilan prosedural perlu menjadi orientasi utama.
Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui
prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum
dan undang-undang. Jadi prosedur ini terkait legitimasi. Misalnya kue tart
harus dibagi adil untuk lima
orang. Maka peraturan yang menetapkan, "yang membagi harus mengambil pada
giliran yang terakhir" dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan
ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari
yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi
kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya. Keadilan prosedural menjadi
tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu
mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak
diserahkan kepada keutamaan politikus, tetapi pertama-tama dipercayakan kepada
prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik. Sistem hukum
yang baik menghindarkan pembusukan politikus.
Memang bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang
koruptor bisa divonis bebas karena alasan kepiawaian pengacara, tak cukup
bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Bila prosedur hukum positif yang
berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke
prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan
keadilan? Semua diperlukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya
bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban.
Secara struktural korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga
negara terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas, individu terhadap
kelompok. Prinsip epieikeia ini mengandalkan
integritas hakim, penguasa, atau yang berkompetensi menafsirkan hukum dan
menerapkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar