Sesudah Perang Dunia II, sebagian besar negara jajahan memperoleh
kemerdekaan. Negara-negara baru yang umumnya miskin itu semua ingin maju, dan
kemajuan itu umumnya mereka konsepsikan sebagai kemajuan ekonomi, yang bertujuan
untuk mengentaskan dari kemiskinan. Salah satu usaha untuk segera mencapainya
adalah dengan melakukan pembangunan ekonomi.
Dalam
kenyataan, pembangunan ekonomi di negara-negara baru bebas dari penjajahan itu ternyata
semua masih tergantung bantuan negara-negara yang telah maju dan kaya. Dan di
antara negara-negara kaya itu terdapat pula negara-negara bekas penjajah,
seperti Inggris, Belanda, Jepang dan Portugal .
Berbagai
bentuk bantuan yang diberikan ini tentu saja tidak dilakukan tanpa pamrih. Bagaimanapun
juga, kebutuhan untuk membantu berpuluh-puluh negara baru yang ingin membangun
ekonominya itu, dengan memberikan pinjaman modal,
dalam
ragam pendidikan teknologi, dan ilmu pengetahuan, dan ini menyebabkan tumbuh
dengan cepatnya ilmu baru yaitu ilmu ekonomi pembangunan, yang sebenamya
merupakan gabungan dari beberapa ilmu sosial, ilmu teknologi dan ilmu alam,
yang bekerja sama secara interdisipliner dengan ilmu ekonomi sebagai pusatnya. Mengenai
ruang lingkup dari ilmu ekonomi pembangunan dan komposisi dari ilmu-ilmu yang
menciptakan komponen-komponennya, ada beberapa konsep dan pendapat yang bervariasi.
Sebagai contoh adalah buku pelajaran mengenai ilmu ekonomi pembangunan, On the Theory of Social Change karangan
E.E. Hagen (1962), yang banyak dipakai selama dasawarsa 1960-an, dengan jelas
memang, menguraikan masalah-masalah sosial-budaya yang dihadapi negara miskin
yang penduduknya pada umumnya berkebudayaan tradisional, sebagai contoh konkret
data dari kasus sejarah perkembangan ekonomi di Eropa, Jepang, dan Columbia
(Amerika Latin). Berdasarkan kasus-kasus tersebut Hagen mendapatkan gambaran mengenai kesulitan
dan masalah yang mungkin dihadapi negara-negara bekas jajahan pada umumnya,
yang mulai mengembangkan ekonominya dalam dasawarsa tersebut. Dalam buku itu
terdapat pula dua bab mengenai negara bekas jajahan yang baru mulai membangun
dalam zaman itu, yakni Indonesia
(baca tulisan C. Geertz) dan Birma). Sayang sekali, dalam kajiannya Hagen kurang memperhatikan
keaneka-ragaman masyarakat dalam negara-negara baru bekas jajahan itu, bahkan
berasumsi bahwa semua negara itu menghadapi kesulitan yang sama dalam melakukan
pembangunan ekonomi.
Sebuah bibliografi beranotasi yang
memuat 2.493 judul karangan dan buku mengenai sekitar 40 masalah yang
menyangkut pembangunan ekonomi, berjudul Development
Change, susunan A.A. Spitz (1967), sangat: besar manfaatnya untuk
memperoleh sudut-pandang yang lebih luas mengenai masalah ekonomi pembangunan,
yang biasanya kurang diperhatikan serta diteliti oleh para ahli ekonomi
pembangunan dan ilmu-ilmu bantu lainnya. Padahal dalam bibliografi itu juga
menunjukkan peran ilmu antropologi dalam kajian masalah-masalah ekonomi pembangunan.
Mereka kurang perhatian bahwa ekonomi pembangunan (sampai saat terbitnya buku
itu dalam tahun 1972), meliputi tidak kurang dari lima masalah untuk dikaji, yaitu:
(1) masalah dualisme ekonomi yang ada antara
ekonomi rakyat pedesaan dan ekonomi
nasional berdasarkan perdagangan tingkat skala internasional, yang bertujuan mencapai taraf ekonomi
industri.
(2) masalah perdagangan internasional itu
sendiri.
(3) masalah strategi pembangunan ekonomi.
(4) masalah manusianya dan sikap mental masyarakat
yang harus membangun ekonominya.
Sebenarnya ilmu sosial; dapat berperan serta banyak dalam
mengkaji masalah ekonomi pembangunan, kecuali dalam masalah perdagangan dalam
skala internasional.
Sebab
pembangunan nasional tidak hanya meliputi pembangunan ekonominya saja, melainkan
juga sebagai pembangunan dalam arti yang luas yang menyangkut semua sektor
kehidupan nasional, termasuk sektor kehidupan sosial, politik,
agama,
dan budaya. Oleh karena itu di bawah ini akan ada daftar yang lain yang lebih komprehensif
dan lebih banyak menyangkut soal peran-serta antropologi pembangunan. Meskipun
antropologi pembangunan merupakan ilmu terapan, dalam arti bahwa hasil
kajiannya dapat segera dimanfaatkan oleh para perencana pembangunan untuk
mengubah pengertian mereka mengenai masalah yang mereka hadapi, namun ilmu itu
juga mempunyai aspek teori dan metodologi. Kemudian mengenai pembangunannya
sendiri tentu juga ada masalah yang menyangkut strategi atau kebijaksanaan
pelaksanaannya, dan masalah yang mengenai sektor serta berbagai perilaku yang
ada dalam masyarakat yang akan dibangun.
Daftar
singkat mengenai masalah-masalah untuk kajian berdasarkan ilmu antropologi
pembangunan tercantum di bawah ini:
1.
Masalah teori dan metodologi pembangunan
1.1. Masalah dualisme ekonomi, atau kesenjangan antara
ekonomi pedesaan dan ekonomi industri di
negara-negara yang sedang membangun.
1.2. Masalah
kesenjangan kemajuan sosial-budaya antara berbagai golongan sosial dan bagian bagian
tertentu dalam negara-negara yang
sedang membangun.
1.3. Masalah merangsang orientasi
nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran.
1.4. Masalah peranan agama dalam
pembangunan.
2. Masalah kebijaksanaan pembangunan
2.1. Aspek
manusia dalam model perencanaan pembangunan.
2.2. Masalah arah pembangunan yang
berbeda daripada arah pembangunan
yang menuju ke masyarakat serupa masyarakat Eropa Barat atau Amerika.
2.3. Kajian
antropologi mengenai pembangunan ekonomi marxisme.
2.4. Aspek
manusia dari pembangunari padat karya, atau pembangunan
padat modal.
.
3. Masalah
sektor-sektor serta unsur yang dibangun, dan dampak sosial
politiknya
3.1.
Masyarakat desa.
3.2. Penduduk
(migrasi, urbanisasi, transmigrasi,
3.3.
Lingkungan.
3.4.
Kepemimpinan dalam pembangunan.
3.5.
Perubahan sosial-budaya akibat pembangunan.
3.6.
Pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan
3.7. Aspek
manusia dalam reorganisasi administrasi dan pemerintahan.
3.8.
Masyarakat majemuk dan integrasi nasional.
Problem
tersebut dalam kehidupan masyarakat nyata tidak berdiri sendiri, melainkan
saling berkaitan.
Juga
dualisme ekonomi misalnya, berkaitan dengan masalah orientasi nilai budaya dan
jiwa kewiraswastaan dalam pembangunan dan pembangunan padat karya.
Pembangunan
masyarakat desa dan masalah perubahan sosial-budaya akibat pembangunan dan
masalah pendidikan yang punya peran sangat penting dalam pembangunan. Kesenjangan sosial-budaya pada umumnya,
antara berbagai golongan tertentu dalam masyarakat dan negara, sudah tentu menjadi
masalah politik. Kecuali itu, masalah
kesenjangan kemajuan pendidikan antara masyarakat desa dan masyarakat kota mengakibatkan
sederet masalah lain, seperti urbanisasi dan perubahan sosial-budaya akibat
pembangunan.
Ilmu sosial khususnya antropologi
pembangunan dapat juga mengambil peranan yang bermakna dalam
penelitian-penelitian yang mengikuti konsepsi seperti penelitian yang dilakukan
oleh C. Geertz di Jawa Timur dan Bali .
Model
pembangunan dalam rencana pembangunan nasional di berbagai negara yang baru
berkembang karena hasil pemikiran ahli sejarah ekonomi W.W. Rostow, yang
ditulisnya dalam bukunya yang terkenal, Stages
of Economic Growth (1961). Model itu mengkonsepkan pembangunan ekonomi
sebagai suatu proses yang berlangsung melalui lima tahap pertumbuhan, yang di ibaratkan
sebuah pesawat udara yang akan mulai tinggal landas, yaitu:
1.
tahap masyarakat tradisional, di mana pembangunan ekonomi diasumsikan akan dimulai;
2.
tahap masyarakat tradisional tadi mempersiapkan diri melakukan persiapan untuk "tinggal landas", jadi untuk
memasuki tahap industrialisasi.
3. tahap kemudian adalah semua faktor ekonomi yang
sudah cukup kuat bagi ekonominya untuk tumbuh-kembang
sendiri;
4. tahap
langkah di mana ekonomi itu sudah berkembang menjadi makmur atas kekuatannya sendiri; dan
5. tahap akhir di mana
rakyat banyak telah dapat menikmati hasil produksi massa- nya
sendiri.
Dari lima
tahap tersebut, tahap (1) dan (2) tersebut di atas, terdapat banyak masalah
untuk diteliti seksama dengan pendekatan ilmu antropologi.
Misalnya tahap (1)
segala macam hambatan, berupa adat-istiadat dan sikap mental yang kolot,
pranata-pranata sosial dan unsur-unsur kebudayaan tradisional, harus digeser
atau disesuaikan dengan keperluan hidup dalam masyarakat masa kini. Kemudian
tahap (2) mulai dilakukan, di mana hasil surplus produksi pertanian yang
meningkat harus dapat dialihkan ke tangan golongan sosial yang memiliki
kemampuan dan kreativitas untuk mengubah
surplus tadi menjadi modal kerja untuk membangun dengan menginvestasikannya
secara berhasil-guna dan berdaya guna ke dalam kegiatan non-pertanian, sehingga
diperoleh peningkatan modal yang lebih besar lagi.
Golongan sosial yang mampu mengubah
surplus produksi pertanian menjadi modal kerja untuk pembangunan usaha-usaha
non-pertanian adalah golongan sosial yang warganya terdiri dari banyak orang
dengan sikap mental berwiraswasta, atau yang sekarang dikenal
“entrepreneurship” yang bergerak dalam bidang perdagangan, jasa komunikasi, dan
industri. Penelitian untuk mendapat lebih banyak pengertian mengenai hambatan
dan dorongan yang memperlambat atau mempercepat proses pergeseran itu, dapat
banyak dilakukan dengan pendekatan antropologis.
Dalam
berbagai masalah khusus yang menyangkut proses pergeseran dan penyesuaian
adat-istiadat dan sikap mental kolot, dan pranata-pranata sosial serta unsur
kebudayaan tradisional dengan kehidupan masa kini, memang sudah banyak
dilakukan penelitian, seringkali berupa kerjasama lintas-disiplin dengan para
ahli psikologi, sosiologi, ilmu politik, dan ilmu-ilmu sosial lain.
Untuk dapat melakukannya, para perancang pembangunan perlu mengetahui arti dan
sebab-sebab mengapa seseorang dianggap tidak hemat dalam kenyataan hidup
masyarakat tradisional. Masalah serupa ini hanya dapat dipahami dengan
penelitian pendekatan antropologi.
Dalam hal ini ilmu antropologi tidak dapat memberikan sumbangan yang
memadai, kecuali secara tidak langsung, yaitu dengan memberi data mengenai
kehidupan sosial-budaya di negara-negara yang pembangunannya tidak mengambil
arah seperti pembangunan masyarakat-masyarakat yang mapan dan kaya,
Aspek
manusia dari pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal
jelas
merupakan masalah yang layak pula untuk diteliti dengan pendekatan ilmu
antropologi ekonomi.
Beberapa
ahli antropologi malahan telah memperlihatkan bahwa asumsi dari
berbagai
ahli ekonomi pembangunan mengenai adanya kelebihan tenaga kerja tetapi kekurangan
modal dalam masyarakat yang berada pada tahap persiapan untuk pembangunan (menurut
teori Rostow), yang tidak selamanya benar, R. Firth telah menunjukkan bahwa di
Tikopea atau di Malaysia
tenaga kerja malah kurang. Demikian juga D. Pitt menguraikan bahwa masyarakat Samoa yang mulai melakukan pembangunan ekonomi juga
sangat kekurangan tenaga kerja (Pitt, 1970). T.S. Epstein menunjukkan bahwa
dalam masyarakat Negara Bagian Karnataka (Mysore ,
di India Selatan), tenaga kerja memang banyak, namun tidak terampil dan tidak
berdaya guna, sehingga tidak bermanfaat bagi pembangunan ekonomi. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat India Selatan tidak terdapat surplus
tenaga kerja, melainkan justru kekurangan tenaga kerja. Ahli antropologi H.K.
Schneider juga menunjukkan bahwa dalam masyarakat tradisional di negara-negara
baru yang sedang mulai berkembang di Afrika Timur dan Selatan, masalahnya bukanlah
kekurangan modal, karena modal dalam bentuk ternak terdapat dalam jumlah
melimpah.
Untuk
dapat mengubah sistem peternakan tradisional menjadi peternakan modern,
masalahnya di sana
adalah kurang tenaga, yang jumlahnya. sangat sedikit.
Masyarakat
Lao di Laos, para nelayan di Malaysia, para petani sayur-mayur di Hongkong, atau
masyarakat petani di Fiji, dan Maori di Selandia Baru bagian Utara, termasuk
para petani di Jawa, dan beberapa masyarakat lain yang oleh Rostow diolongan ke
dalam masyarakat yang berada pada tahap persiapan pembangunan ekonomi, belum
tentu kekurangan modal, dan belum tentu tidak memiliki cara-cara tradisional
untuk menghimpun modal.
Dipandang
dari sudut itu, masalah titik angka 2.4 tentu berkaitan erat dengan masalah titik
angka 2.1 karena masalah kebijaksanaan pokok mana yang akan dipergunakan oleh
suatu negara yang sedang membangun ekonominya, yaitu pembangunan padat modal
atau pembangunan padat karya, tentu akan menentukan jenis model pembangunan
yang akan dipakai sebagai pedoman. Dalam praktik, masalah itu menyangkut
keputusan apakah negara yang bersangkutan akan memperbesar modal bagi
pembangunan, terutama dengan cara meminjam modalnya dari negara-negara maju
secara besar-besaran, atau dengan cara menggerakkan kemampuan tradisional
untuk menghimpun modal sendiri. Masalah itu lebih lanjut juga menyangkut
keputusan mengenai berapa banyak modal asing atau domestik itu akan
dipergunakan untuk memperbaiki mutu tenaga kerja yang ada secara besar-besaran
terlebih dahulu, agar kemudian dapat dimanfaatkan untuk pembangunan. Problem pada
titik angka (3.1), yaitu masalah pembangunan masyarakat desa, sudah sejak
zamannya pemerintah-pemerintah kolonial dipermasalahkan dalam ilmu-ilmu sosial
terapan, termasuk antropologi terapan. Pada zaman itu sektor-sektor masyarakat
desa yang dibangun oleh pemerintah jajahan adalah sektor produksi pertanian,
termasuk pembangunan prasarana jalan dan irigasi, pembangunan kesehatan rakyat,
dan penyediaan kredit untuk rakyat, guna meningkatkan produksi pertanian
mereka.
Pembangunan
masyarakat desa dalam negara-negara baru yang sedang berkembang meliputi upaya
peningkatan produksi pertanian dengan . penggunaan bibit unggul, peningkatan
teknologi pemupukan dan pernberantasan hama, serta perbaikan sistem irigasi, usaha
untuk melakukan perbaikan prasarana jaringan jalan dan lingkungan, atau usaha
penyerpurnaan administrasi desa, termasuk untuk mengembangkan gerakan koperasi,
penyempurnaan sistem pendidikan umum dan peningkatan kesehatan masyarakat.
Melihat
sektor-sektor dan unsur-unsur khusus tersebut, maka jelas bahwa hampir semua sub-disiplin
antropologi dapat bermanfaat dalam penelitian-penelitian untuk pembangunan
masyarakat desa. Namun, karena pembangunan masyarakat desa, seperti diuraikan
oleh W. Goodenough dalam Cooperation in
Change (1963) pada dasamya merupakan upaya untuk mengubah adat-istiadat,
kepercayaan, sikap mental, orientasi nilai budaya penduduk, jadi berkaitan
erat dengan masalah (1.3), maka penelitian terhadap masalah-masalah itu memang
hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh para ahli antropologi.
Masalah
Masyarakat Majemuk dan Kesatuan Nasional.
Masalah ini merupakan suatu masalah yang penting bagi banyak
negara di dunia pada saat ini. Sifat majemuk, pluralitas, atau keaneka-ragaman
itu dapat mem-punyai berbagai wujud, yaitu bahasa, agama, lapisan sosial dan
kasta, ras, dan kebudayaan suku-bangsa. Keaneka-ragaman
itu mungkin terdapat dalam negara-negara yang telah maju, tetapi kepedulian itu
terutama ditujukan pada negara-negara yang sedang berkembang. Di
antara ke-157 negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa, hanya sekitar 17 negara
saja mempunyai sifat seragam, dalam arti bahwa setiap warga-negaranya memiliki
kebudayaan yang sama dengan kebudayaan sukubangsa yang dominan dalam negara
yang bersangkutan. Ke-17 negara itu terdiri dari negara-negara yang telah maju
maupun yang sedang berkembang. Menurut tata urut abjad, negara-negara itu
adalah: Austria, Botsuana, Denmark, Jennan Barat, Jerman Timur, Eslandia,
Irlandia, Jepang (kalau orang Ainu di Hokkaido tidak turut diperhitung-kan),
Korea Utara, Korea Selatan, Lesotho, Luxemburg, Nederland (kalau orang Fries
dan perbedaan agama Kristen dan Katholik tidak diperhitungkan), Norwegia,
Portugal (sebelum para imigran dari Angola, Mozambique, dan Timor Leste
Somalia, dan Negara Swazi.
Stabilitas
dalam negara-negara dengan masyarakat majemuk dapat diperkira-kan lebih sulit
dijaga daripada dalam negara-negara dengan masyarakat yang seragam (homogen).
Pendirian bahwa dalam negara yang telah maju ekonominya keaneka-warnaan
kebudayaan sukubangsa tidak akan mengganggu ketenteraman negara, karena
penduduknya dapat merasa puas dengan kemakmuran yang tercapai dan dapat
berpikir secara rasional dan praklis, tidak dibenarkan oleh peristiwa-peristiwa
konflik yang terjadi antar suku-bangsa dan adanya gerakan-gerakan etnik yang
bertujuan memisahkan diri, seperti yang kini terjadi di beberapa negara maju di
Eropa. Untuk menjaga kesatuan antar suku-bangsa
warganya, suatu negara baru yang sedang berkembang perlu memasukkan program-program
untuk menumbuhkan sifat toleransi serta sikap saling mengakui dan menghormati antar
suku-bangsa, golongan agama, golongan ras, dan, kelas sosial, untuk dimasukkan
di dalam rencana pembangunannya, terutama di daerah-daerah di mana
golongan-golongan tadi bertemu dan bersaing untuk memperebutkan
kesempatan-kesempatan ekonomi, politik, dan pendidikan yang terbatas.
Daerah-daerah itu adalah daerah-daerah kota ,
daerah pusat pembangunan industri, dan daerah-daerah transmigrasi. Dalam beberapa
penelitian dan survei untuk membantu perencanaan program-program pengembangan
hubungan baik antar suku-bangsa dan golongan lain dalam suatu masyarakat multi-etnik,
pendekatan antropologi, di samping pendekatan ilmu-ilmu sosial lain, dapat
sangat membantu.
Ilmu
antropologi secara khusus dapat berperan dalam penelitian-penelitian diakronik
maupun sinkronik mengenai interaksi antar suku-bangsa yang bersifat
kualitatif, dengan metode observasi dan wawancara yang mendalam, maupun dengan
metode kuantitatif untuk mengukur naik-turunnya sikap ioleransi antar suku-bangsa
di beberapa daerah dalam suatu negara.
Ilmu
antropologi dapat juga berperan dalam penelitian kuantitatif mengenai stereotip
etnik yang dianut oleh warga dari suatu suku-bangsa, atau terhadap suku-bangsa
sendiri maupun terhadap sub-sukubangsa lain yang dipahaminya di sekitamya, dan
bagaimana stereotip-stereotip seperti itu berubah.
Erat
berkaitan dengan kajian stereotip etnik, para ahli antropologi dan psikologi
sosial juga dapat meneliti tumbuhnya identitas etnik, baik melalui proses
sosialisasi dan enkulturasi individu, maupun melalui pendidikan formal di
sekolah, dalam kaitannya dengan pertumbuhan identitas nasional melalui
pendidikan formal di sekolah.
Masalah
pendidikan formal ataupun informal dan koreksi diri yang terbesar bagi para
anggota masyarakat di samping sebagai kekuatan terbesar menuju eman-sipasi
pedesaan. Juga diperlukan waktu bagi birokrasi yang terlanjur secara tradisional
adalah paternalistik juga feodalistik, dan untuk menyadarkan pola yang sudah
perlu ditinggalkan itu sangat perlu dan pentingnya adanya desentralisasi.
Pelajaran
lain yang perlu dikaji ialah bahwa birokrasi hendaknya tidak merasa terancam
oleh tumbuhnya kemampuan swa-organisasi dan swa-pengelolaan, dan bahwa sangkaan
risiko keamanan lebih tidak berarti dibandingkan dengan dinamika pembangunan
yang timbul dengan cara ini Swa-orgarusasi dan swa-kelola serupa itu membuka
peluang bagi otonomi desa serta keikutsertaan desa secara aktif dalam perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan.
Rintangan
lain dalam hubungan ini ialah kenyataan bahwa banyak di antara program-program
pemerintah yang bertujuan meningkatkan produksi pangan, penyediaan fasilitas
kredit, dan meningkatkan pendapatan serta lapangan kerja diarahkan kepada para
individu penduduk desa. Hal ini cenderung untuk lebih jauh lagi memecah-mecah
desa daripada merangsang organisasi. Banyak program cenderung mengabaikan
pola-pola pelapisan sosial yang sudah ada di samping hasrat penduduk desa
paling miskin untuk secara terpisah mengatur diri mereka sendiri sebagai
langkah esensial; guna memperbaiki kedudukan tawar-menawar lokal mereka sebagai
usaha mempertahankan atau mendorong kepentingan khusus mereka sendiri.
Dalam
usaha-usaha mencapai dan menolong penduduk yang benar-benar miskin diperlukan
pendobrakan struktur sosial tradisional yang mengungkung si miskin secara
permanen tetap dalam keadaan berhutang dan tergantung.
Pembangunan
dan Pertumbuhan Manusia
Dalam
beberapa bagian tulisan sebelumnya, kajian kita tentang tempat kebebasan dalam
proses pembangunan memperlihatkan tidak memadainya strategi yang membatasi
diri pada faktor-faktor politik dan sosio-ekonomi, yang harus dipertimbangkan
manakala kesamarataan dan kebebasan menjadi sasaran-sasaran pembangunan, tetapi
yang tidak mencakup seluruh kemungkinan faktor yang terlibat dalam pembangunan.
Masalahnya secara bagaimana suatu bangsa
hendaknya mengatur dirinya sendiri untuk meraih sasaran-sasaran ini - tidak
hanya melalui negara sebagai alat pembantu, tetapi juga melalui gerak dinamik
dari masyarakat secara keseluruhan, termasuk mereka yang tergolong kurang mampu
- akan menghadapi dengan motivasi dan gerak hati (impuls) dasar suatu masya-rakat. Karena itu, penelitian
pendahuluan di lapangan harus diperluas ke aspek budaya. Kita perlu menghadapi
kebijaksanaan budaya yang dapat membantu menampilkan potensi kreativitas
golongan-golongan penduduk yang paling lemah dan memadukan mereka ke dalam
proses modernisasi di samping ke dalam kehidupan nasional umumnya.
Kita
juga sangat perlu mengetahui persepsi dasar yang dimiliki masyarakat tentang
dirinya sendiri, gambaran tentang apa yang dianggap sebagai kehidupan yang
punya makna dan secara bagaimana kehidupan demikian itu hendaknya ditempuh.
Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan ini ada hubungannya dengan pengertian yang paling
mendasar tentang identitas kolektif dan juga pribadi, yang melibatkan persepsi
manusia mengenai dirinya sendiri dan tempatnya di tengah jagad raya.
Harapan
dan Kebanggaan sebagai Unsur Menentukan
Seperti
yang terurai pada tulisan sebelumnya, kesamarataan dan kebebasan menjadi tidak
bermakna kecuali jika masyarakat mengembangkan kapasitasnya untuk
menanggulangi dengan efektif masalah-masalah kemampuannya sendiri.
Lagi
pula, masalah-masalah ini memerlukan kapasitas pada pihak bangsa itu untuk
membangun dari bawah. Sudah kita lihat bahwa pembangunan seperti itu tidaklah
mungkin tanpa melibatkan warga yang kurang mampu itu sendiri, tanpa membiar-kan
mereka mengatur diri sendiri dan, dengan cara mengikut sertakan dalam kehidupan nasional. Karena itu pembangunan dari bawah membutuhkan seperangkat kebijakan
budaya yang akan memperkuat kapasitas swa-organisasi dan swa-pengelolaan pada
komunitas atau kelompok di dalam komunitas, dan rnelalui ini warga dapat
membangkitkan tenaga serta memperbaiki kedudukan tawar-menawar mereka.
Kelompok-kelompok seperti itu merupakan syarat yang perlu bagi keberhasilan
kebijaksanaan di bidang sosial dan ekonomi.
Melalui pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan pokok dengan cara ini, melalui pendapatan yang lebih
tinggi, produksi pangan yang meningkat dan tambahan kesempatan lapangan kerja,
beberapa struktur sosial yang lebih eksploatatif dan mengikat yang menyebabkan warga
kurang mampu dalam keadaan tetap tergantung dan yang telah merintangi
pembangunan dapat dirombak dan diganti dengan lembaga-lembaga serta
struktur-struktur yang lebih memberikan hasil pada pembangunan manusia dan
sosial. Walaupun demikian, masih tetap perlu mendorong warga yang termasuk
dalam kelompok-kelompok sasaran agar bertindak, memanfaatkan kesempatan baru,
dan meninggalkan sikap pasif dan penurut yang pasif yang merupakan ungkapan
rasa ketakberdayaan mereka.
Masih
tetap perlu mendorong warga kurang mampu untuk benar-benar percaya bahwa
tindakan-tindakan mereka, sendirilah yang akan dapat mengubah keadaan, bahwa
mempertaruhkan nasib di tangannya sendiri adalah mungkin dan dengan cara itu ia
dapat memperbaiki nasibnya, dan bahwa usaha itu dengan segala risikonya tidak
akan sia-sia. Unsur yang menentukan di sini ialah membangkitkan harapan dan
kepercayaan baru di kalangan warga kurang mampu bahwa mereka berguna, tidak
hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.
Karena
alasan inilah maka setiap usaha pembangunan pedesaan terpadu (tanpa memandang
apakah tahap awalnya berupa pemeliharaan kesehatan, melek huruf fungsional atau
organisasi koperasi) harus merancang program-program latihan dan pengajarannya
sedemikian rupa sehingga dapat memulihkan kepercayaan warga kurang mampu. Ini
melibatkan penentuan sasaran-sasaran tingkat menengah yang mungkin dilaksanakan
dan juga pemilihan sasaran-sasaran, yang apabila bisa terpenuhi akan
menciptakan keadaan yang jelas perbedaannya. Sejalan dengan itu, hendaknya juga
dilakukan usaha untuk memulihkan kebanggaan masyarakat. Untuk menjalankan
rencana ini tidak perlu menunggu sampai saat tercapai prestasi ekonomi yang kuat
dalam usaha masyarakat. Mungkin saja dipilih kegiatan manusia dari lingkungan
lain - dalam bidang bukan ekonomi -- yang juga penting bagi kebudayaan
tertentu.
Di kalangan penduduk desa di banyak
negeri yang sedang berkembang di Asia terdapat
berbagai tradisi lokal berupa perlombaan musik. atau pertunjukan tari atau karya
kesusasteraan klasik. Beberapa pemerintah memprakarsai perlombaan desa untuk
proyek-proyek pembangunan tertentu; pemerintah lainnya meng-gunakan olahraga
sebagai cara untuk menanamkan kebanggaan pada masyarakat. Kegiatan-kegiatan
seperti ini tidak disangsikan lagi besar artinya dalam usaha membangkitkan
kembali vitalitas daerah luar kota
yang secara tradisional bersikap pasif. Untuk memprakarsai kegiatan-kegiatan
yang membangun semangat masyarakat maka perlu mencapai penduduk desa. Tugas
ini bukan saja mendorong mereka supaya mendengarkan pesan-pesan dari
pemerintah, melainkan juga mengadakan komunikasi dengan cara-cara yang akan
menimbulkan perhatian dan keikutsertaan mereka dan meningkatkan rasa
percaya-diri mereka, penonjolan mereka serta kreativitas mereka. Untuk tujuan
ini tidaklah cukup dengan hanya memberikan informasi resmi. Untuk mencapai
penduduk desa diperlukan dialog antara para agen pelaksana pembangunan, petugas
pemerintah ataupun bukan dengan penduduk sasaran. Ini memerlukan kesediaan untuk
mendengarkan, kemampuan untuk mengesampingkan perspektif sendiri yang nisbi dan
prasangka budaya - sesuatu yang tidak mudah bagi para birokrat atau
aktivis daerah perkotaan yang lebih moderen. Singkatnya, tugas ini akan memerlukan
bukan hanya informasi, melainkan juga komunikasi.
Dengan
demikian pengadaan jaringan komunikasi moderen di daerah-daerah pedesaan di
negeri-negeri yang luas dan berpenduduk padat ini merupakan syarat yang
esensial guna membangkitkan kembali vitalitas warga kurang mampu dan juga untuk
memelihara momentum pembangunan. Hal ini lebih-lebih lagi diperlukan mengingat
semakin tidak memadainya cara-cara konvensional dalam penyampaian informasi
kepada penduduk pedesaan, kepala desa dan pelayanan penyuluhan. Pada sesuatu
tahap proses pembangunan, produksi yang cepat berubah dan keperluan pasar akan
menimbulkan permintaan informasi yang banyak jumlahnya dan luas cakupannya,
yang hanya dapat dikendalikan melalui saluran langsung yang dapat digunakan
oleh petani dan penduduk pedesaan pada umumnya.
Peranan
Kaum Perempuan
Tidak
mungkin berbicara tentang pembangkitan kembali vitalitas dan emansipasi warga
kurang mampu tanpa berbicara mengenai kaum perempuan, karena di kalangan warga
kurang mampu di pedesaan dan perkotaan suatu bagian yang besar terdiri dari
para perempuan.
Kaum perempuan
sering menjadi kurban pertama mekanisasi dan modernisasi daerah luar kota ; para gadis adalah
target yang pertama ditarik dari sekolah ketika keadaan ekonomi suatu keluarga
mengalami kemerosotan; kaum perempuan di banyak negeri tidak mempunyai, atau
sangat sulit memperoleh, saluran kepada fasilitas kredit dan fasilitas lain
yang disediakan oleh program-program pemerintah bagi warga kurang mampu di
pedesaan atau perkotaan. Banyak di antara para perempuan ini adalah kepala rumahtangga
(single parent) atau/dan ditinggalkan oleh para suami mereka yang harus pergi
mencari pekerjaan di kota
yang ber-dekatan atau kota
besar yang jauh letaknya.
Seringkali
kaum perempuanlah yang menentukan laju perubahan sosial yang dapat diterima di
lingkungan mereka sendiri, apakah itu di kalangan masyarakat kurang mampu (di
mana pembagian peranan berdasarkan jenis kelamin cenderung ter-gambar lebih
jelas antara lingkungan di tengah umum bagi kaum laki dan lingkungan di tengah keluarga
bagi kaum perempuan) atau di kalangan masyarakat sangat miskin (di mana
pembagian serupa itu hampir tidak dikenal di banyak negara Asia). Merekalah
yang dengan diam-diam memadukan atau menolak unsur-unsur baru dalam kehidupan
keluarga dan dalam susunan nilai-nilai yang membantu membentuknya, melalui
peranan mereka dalam membesarkan anak-anak atau melalui pemilihan mereka atas
status yang memperkuat kegiatan-kegiatan. Di kalangan warga kurang mampu
seringkali perempuanlah yang paling bertekad untuk mencegah meneruskan ketidak-berdayaan
yang dirasakan oleh orangtua kepada anak-anak mereka, dan yang memelihara
dorongan mobilitas ke atas di antara anak-anak.
Baru
sekarang inilah kita mulai menyadari potensi pembangunan luar biasa di kalangan
kaum perempuan manakala mereka mampu melepaskan diri dari kungkungan sistem
keluarga patriarkal atau keluar dari struktur sosial lainnya yang menimbulkan
ketergantungan dan eksploatasi.
Ini
seringkali dapat mereka lakukan melalui kegiatan arisan atau koperasi-koperasi
perempuan, melalui tersedianya kredit bagi kaum perempuan yang bergerak dalam
perdagangan kecil-kecilan, di samping pusat-pusat penitipan anak pada siang
hari yang berdekatan dengan tempat mereka bekerja.
Dinamika
Suatu Budaya
Kebangkitan
kembali vitalitas daerah luar kota
melalui pemulihan kebanggaan serta percaya-diri dan penonjolan-diri oleh warga
kurang mampu pedesaan tak terelakkan lagi membawa kita kepada dinamika paling
dalam dari suatu kebudayaan. Agar
pembangunan menjadi proses yang menopang dirinya sendiri, perlu menyadap impuls-impuls
paling dalam dari suatu kebudayaan, impulsimpuls di luar jangkauan rangsangan
atau rintangan ekonomi. Karena itu, supaya berhasil pembangunan dari bawah
harus berupa pembangunan dari bawah harus berupa pembangunan dengan corak khas
lokal.
Tetapi,
kebangkitan kembali adat-istiadat, norma-norma dan nilai-nilai tradisional
yang ditimbulkan oleh pembangkitan kembali vitalitas warga kurang mampu
pedesaan dan perkotaan tidak selalu menghasilkan pembangunan dan modernisasi.
Meskipun demikian, lapisan bawah religio-kultural tempat berakarnya susunan
nilai yang berlaku merupakan landasan yang tak terelakkan, dan dari sana modernisasi harus
dimulai jika menghendaki akibat pengaruh yang permanen dan jika tidak ingin
menjadi penyimpangan yang dangkal.
Kepustakaan:
Benedicte
R
Patterns
of Culture (1950)
Margaret
Mead
Growing
Up in New Guinea
(1960)
Child of the Dark (1962)
Clifford
Geertz
Ritual and Social
Changem a Javanese example (1957)
Wilbert
E. Moore
Social Change (1964)
Koentjaraningrat
Masalah Kesukubangsaan
dan Intergrasi Nasional (1993)
Soedjatmoko
Pembangunan dan Kebebasan (1984)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar