"Cuplikan Bagian BAB II (Latar
Belakang Sosio-Ekonomis) Dari Buku Pemberontakan Petani Banten 1888,
Sartono Kartodirjo"
Dalam studi ini perhatian diberikan
kepada masalah sejauh mana faktor-faktor ekonomi mempunyai korelasi dengan
struktur sosial masyarakat Banten pada umumnya dan masyarakat petani di Banten
Utara pada khususnya. Apakah ada korelasi antara kelas-kelas ekonomi dan
perbedaan sosial dan politik yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat itu?
Dengan memperhatikan perkembangan keresahan agraria, kita harus menyelidiki
masalah konflik di antara pelbagai golongan sosial secara lebih terperinci,
untuk dapat menemukan determinan-determinan sosio-ekonomis dari gerakan sosial
yang telah mencetuskan pemberontakan petani itu. Di sini akan diadakan satu
analisa kelas, dan masyarakat Banten akan dipandang sebagai satu gelanggang
konflik di antara kelas-kelas itu.[13] Untuk tujuan analitis, suatu penjelasan
mengenai masyarakat Banten dari segi pembagian kelas bi-modal yang klasik tidak
mencukupi; oleh karena itu, maka agar supaya tata hubungan yang berbelit-belit
di antara pelbagai kelas dapat dibikin terang, analisa golongan harus
diperhalus.[14] Selain itu, pemberian tekanan kepada dinamika dalam analisa ini
menyebabkan perlunya diberikan penjelasan mengenai pergeseran-pergeseran sosial
yang terjadi dalam perjalanan waktu, begitu pula mengenai proses politiknya.
Kita tak boleh tidak harus menelusuri kembali perkembangan historis yang
merupakan pokok perhatian studi ini sampai ke periode kesultanan Banten,
sepanjang dapat diperoleh data yang cukup dapat dipercaya.
Satu ungkapan yang sudah lazim adalah
bahwa, dalam masyarakat yang agraris, tanah merupakan sumber produksi dan
kekayaan yang utama, dan karenanya pemilikannya membawa prestise yang tinggi;
sebagai akibatnya maka klasifikasi penduduk desa yang tradi. sional didasarkan
atas pemilikan tanah. Hak dan kewajiban ditentukan atas dasar yang sama.
Pemukul-rataan ini memang berlaku bagi sebagian besar Pulau Jawa abad XIX, akan
tetapi disangsikan relevansinya dengan Banten dalam periode yang disoroti dalam
studi ini. Di samping pemilikan tanah, terdapat pelbagai faktor ekologis dan
historis yang ikut berperan, sehingga keadaannya tidak sampai berkembang
menjadi cara-cara penggunaan tanah dan organisasi sosial yang kaku dan khas
Jawa sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat pedesaan yang pada dasarnya
bersifat statis di daerah-daerah pesawahan dataran rendah.[15] Ada yang
mengatakan bahwa Banten "tidak mengenal pembedaan kelas".[16] Sudah
barang tentu ungkapan itu lebih merupakan satu klise daripada satu penilaian
yang dapat dipercaya mengenai situasi, namun demfkian, ungkapan klise itu
mungkin ada dasarnya juga dalam realitas sosial. Mari kita perhatikan secara
lebih seksama struktur sosial Banten abad XIX dan ciri-ciri latar belakang
agrarisnya.
Di Banten, dengan perekonomiannya yang
terutama sekali bersifat agraris, penduduk desa secara pukul rata adalah petani
dan penanam padi, entah sebagai pemilik tanah entah sebagai penggarap bagi
hasil. Namun demikian, hal yang menyolok adalah sejumlah besar penduduk desa
mencari nafkah sebagai pedagang, nelayan atau tukang, atau sebagai pengusaha
industri.[17] Juga perlu disebutkan satu kategori petani yang melakukan
pelbagai usaha dan pekerjaan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Dalam
kenyataannya, mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan itu tidak secara penuh
melainkan secara sambilan saja, atau melakukannya selama tidak ada pekerjaan di
sawah atau ladang. Pada umumnya sumber-sumber penghasilan alternatif itu telah
dikembangkan secara tradisional.[18] Satu contoh yang sangat nyata adalah apa
yang dikenal sebagai migrasi musiman ke Batavia atau Lampung, yang didorong
oleh adanya kekurangan tenaga kerja di tempat-tempat itu dan oleh sarana
perhubungan yang baik.[19] Dibandingkan dengan seluruh tenaga kerja yang ada,
jumlah yang merantau itu boleh dikatakan kecil sekali, lagi pula kebanyakan
dari mereka meninggalkan kampung halaman hanya untuk waktu-waktu yang singkat
saja di antara musim-musim kesibukan di sawah atau ladang.[20] Mayoritas yang
sangat besar dari rakyat masih tetap petani, sementara sebagian kecil saja dari
seluruh penduduk yang bekerja mencari nafkah di bidang perdagangan dan
kerajinan tangan. Meskipun ada tenaga kerja yang merantau, namun pada umumnya
dikatakan bahwa di daerah itu tidak ada tanda-tanda kelebihan penduduk.[21]
Selain itu, dengan mengingat perimbangan sumber-sumber daya utama perekonomian
desa, tidak ada alasan untuk menduga bahwa di sana terdapat kesulitan-kesulitan
ekonomi dalam tahun-tahun tarakhir sebelum pemberontakan.[22]
Seperti di banyak masyarakat agraris,
dua perangkat fakta mempunyai arti penting yang khas di antara kondisi-kondisi
yang menentukan kehidupan dan perburuhan di daerah-daerah pedesaan, yakni yang
menyangkut pemilikan tanah dan penyewaan tanah di satu pihak dan teknik-teknik
bertani di lain pihak. Faktor-faktor itu teramat penting artinya, oleh karena
pada tingkat terakhir faktor-faktor itu menentukan siapa-siapa yang akan
melakukan pekerjaan yang diperlukan dan berapa besarnya bagian yang akan mereka
peroleh dari hasilnya. Sistem hak atas tanah di Banten abad XIX berasal dari
zaman kesultanan, meskipun ia telah mengalami banyak perubahan sebagai akibat
masuknya administrasi kolonial. Pada bagian akhir tahun-tahun enam puluhan,
masalah-masalah yang menyangkut pemilikan tanah dan sewa tanah bersumber pada
hadiah-hadiah tanah yang diberikan kepada anggota-anggota kerabat sultan dan
pejabat-pejabat negara, serta kepada lembaga-lembaga keagamaan, yang tanah-tanah
miliknya terutama terletak di daerah inti kesultanan yang lama.
Dikatakan bahwa kolonialisasi yang
dipimpin oleh penakluk-penakluk muslim dari Demak dan Cirebon itu menggunakan
teknik bertani yang baru secara besar-besaran, yakni cara menanam padi di sawah.
Sawah-sawah yang dinamakan sawah negara rupa-rupanya merupakan sawah yang
paling tua. Petani-petani yang menggarap sawah negara atau tanah milik sultan
itu terbagi dalam dua kategori: petani-petani mardika, yakni orang-orang yang
telah diberi status sebagai orang merdeka oleh karena mereka telah menyatakan
tunduk kepada kaum penakluk dan memeluk agama Islam, dan kaum abdi yang telah
ditaklukan dengan kekerasan dan dijadikan budak.[23]
Lembaga sawah negara, yang berasal dari
awal periode kesultanan dan masih hidup dalam pertengahan kedua abad XIX,
mengacu tidak hanya kepada kondisi-kondisi pemilikan tanah, akan tetapi juga
kepada arti penting pemilikan tanah di bidang sosial dan politik. Sawah negara
sesungguhnya adalah semua sawah yang telah dibuka atas perintah sultan atau
anggota keluarganya yang telah dihadiahi tanah itu, sehingga sawah itu menjadi
miliknya.[24] Sawah negara ini pada umumnya dianggap sebagai tanah kesultanan.
Akan tetapi, bagi sultan, memiliki tanah saja tidak cukup. Tanah itu tidak menghasilkan
keuntungan kecuali jika digarap; oleh karena itu, ia lalu menghadiahkan tanah
atau hak penggunaannya sebagai imbalan atas tenaga kerja. Sawah negara yang
meliputi daerah-daerah dataran rendah sekitar Teluk Banten dibagi-bagikan
kepada petani dengan syarat bahwa mereka menggarapnya dan membayar upeti kepada
sultan sebesar sepersepuluh dari hasilnya.[25] Dalam kenyataannya, privilese
untuk menggunakan tanah milik sultan itu dikaitkan dengan kutipan pajak atas
hasil panen dan kewajiban melakukan kerja bakti untuk sultan.[26] Pada mulanya,
hak milik atas sawah negara itu pada dasarnya berada di tangan sultan atau
orang yang dihadiahi tanah itu. Rupa-rupanya, mereka yang telah membuka tanah,
atau keturunan mereka, mempunyai hak pertama atas hasilnya, meskipun sultan
atau orang yang telah dihadiahi tanah itu nampaknya mempunyai hak untuk
mengusir setiap petani yang tidak disenanginya,[27] sebagaimana dikemukakan
oleh Yule dalam laporannya, "para penggarap bisa diusir dengan
sewenang-wenang".[28] Namun demikian, dilaporkan juga bahwa para penggarap
dapat meninggalkan garapan mereka kapan saja mereka mau.[29] Yang relevan
dengan masalah ini adalah soal bagaimana hak-hak atas tanah itu bisa jatuh ke
tangan anggota-anggota elite politik. Sampai sejauh mana pemilikan atas tanah
ada kaitannya dengan jabatan politik di satu pihak, dan di pihak lain sampai
sejauh mana hal itu ada kaitannya dengan kelas yang berkuasa?
Oleh karena fungsi sultan untuk
memberikan perlindungan mengakibatkan ia menguasai perekonomian, maka
mobilisasi produksi digunakan untuk menunjang rumah tangganya, keluarganya, dan
pejabat-pejabat negara. Untuk pendapatan mereka, mereka mengandalkan tidak
hanya kepada kutipan pajak perdagangan, melainkan juga kepada hasil pertanian
di daerah-daerah pedesaan.[30] Nampaknya sudah merupakan satu kebiasaan lama
yang dapat kita jumpai di negara-negara birokratis yang agraris; pembagian
tanah di antara pengiring-pengiring pribadi sang raja ─ pejabat-pejabat rumah
tangganya, anggota-anggota kerabatnya, orang-orang kesayangannya ─ selalu
menyusul penaklukan sebuah daerah dan pembentukan sebuah negara. Tanah yang
dianugerahkan dinamakan sawah ganjaran atau pusaka laden atau pecaton,[31] dan
istilah yang dipakai berbeda-beda sesuai dengan orang yang menerima hadiah itu:
kawargaan, jika tanah itu diberikan kepada anak-anak sultan dari istri-istrinya
yang sah; kanayakan, jika diberikan kepada anak-anak sultan dari selir-selimya
atau kepada orang-orang kesayangan sultan; pangawulaan, jika dihadiahkan kepada
pejabat-pejabat yang menggunakan hasilnya untuk membiayai hidup mereka selama
masa jabatan mereka.[32] Kedua golongan pertama yang dianugrahi tanah itu tidak
hanya berhak atas bagian hasil panen yang tadinya diserahkan kepada sultan,
akan tetapi juga berhak untuk menggunakan tenaga kerja rakyat untuk membuka
tanah baru atau untuk melakukan pelbagai macam kerja bakti baginya.[33] Oleh
karena sultan dan orang yang telah dianugerahi tanah itu biasanya tinggal di
keraton, mereka mengangkat orang-orang yang mewakili kepentingan mereka yang
oleh karena itu juga mendapat kekuasaan-kekuasaan tertentu.[34] Perlu
dikemukakan bahwa pusaka laden yang dihadiahkan kepada anggota-anggota kerabat
sultan dianggap telah diberikan untuk selama-lamanya, dan biasanya tanah-tanah
itu diwariskan secara turun-temurun akan tetapi tidak dapat dipindahtangankan
kepada pihak lain tanpa persetujuan sultan.[35]
Oleh karena hak atas sawah negara
sebagai pusaka itu terbatas, maka banyak di antara pemegang hak itu kemudian
membuka tanah-tanah baru dengan menggunakan hak atas kerja bakti yang melekat
pada tanah-tanah pusaka itu. Dengan cara demikian, mereka tidak hanya
memperbesar pendapatan mereka, akan tetapi juga memperoleh tanah atas dasar hak
milik penuh. Tanah yang dibuka dengan cara itu dinamakan tanah yasa. Dengan
sendirinya petani-petani biasa pun mulai membuka sawah yasa, didorong oleh
hasil yang diperoleh dari penggarapan sawah. Rangsangan lainnya mungkin
terletak dalam kenyataan bahwa penggarap-penggarap sawah yasa harus menyerahkan
upeti kepada sultan atau orang yang dihadiahi tanah itu sebagai tanda patuh;
ini dinamakan pakukusut dan lebih sedikit daripada lelanjan yang dikutip dari
penggarap-penggarap sawah negara.[36] Adalah satu kenyataan bahwa pemungutan
pajak merupakan salah satu hal yang paling diutamakan oleh birokrasi sultan.
Khususnya pajak-pajak atas tanah dan atas tenaga kerja jelas merupakan sumber-sumber
konflik yang ditimbulkannya. Lembaga-lembaga pedesaan dan kondisi-kondisi
agraris di daerah yang bersangkutan, di saat pecahnya pemberontakan yang
merupakan pokok studi ini berakar dalam lembaga-lembaga pedesaan dan
kondisi-kondisi agraris yang terdapat di zaman kesultanan.
Dalam tahun 1808 Daendels menghapuskan
tanah-tanah milik sultan serta wajib kerja bakti yang melekat pada tanah-tanah
itu, lalu memungut seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk
seluruh daerah dataran rendah di Banten. Beberapa tahun kemudian Raffles
menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah.[37] Pemegang-pemegang
hak atas tanah pusaka menerima ganti rugi atas kehilangan pendapatan dari upeti
dan kerja bakti, sedangkan pemilik-pemilik sawah yasa tetap berhak atas
pakukusut mereka. Akan tetapi ketentuan-ketentuan itu telah membuka kesempatan
bagi perbuatan sewenang-wenang yang serius. Dalam perjalanan waktu, hak-hak
yang turun-temurun atas sawah negara, baik sebagai pusaka maupun sebagai pecaton,
dan atas sawah yasa, menjadi sumber-sumber korupsi dan penyelewengan di
kalangan pamongpraja. Jelaslah bahwa anggota-anggota kerabat sultan dan
pejabat-pejabat kesultanan, orang-orang yang paling beruntung di bawah sistem
yang lama, cenderung untuk menghendaki kembalinya kebiasaan-kebiasaan
tradisional, dan oleh karena itu mereka berusaha mempertahankan hak-hak mereka,
meskipun mereka sudah menerima ganti-rugi.[38] Selain itu, orang-orang yang
telah dianugerahi tanah oleh sultan, dengan gigih menentang diberlakukannya
ketentuan-ketentuan tersebut, oleh karena hal itu juga akan menyebabkan mereka
kehilangan banyak pengaruh politik. Oleh sebab itu, ketentuan-ketentuan
tersebut telah menimbulkan banyak rasa tidak puas dan itulah yang dianggap
sebagai sumber kerusuhan-kerusuhan di Banten sampai tahun 1830.[39] Sejak
semula, pemerintah telah dihalang-halangi untuk memperoleh informasi yang
sebenarnya mengenai keadaan tanah-tanah kesultanan, sehingga orang-orang yang
telah dianugerahi tanah-tanah itu dapat terus mengutip upeti-upeti yang
tradisional. Dengan demikian, maka rakyat mendapat kesan bahwa pengutipan
berganda itu telah mendapat restu pemerintah; akibatnya timbul satu situasi di
mana segala kesalahan dilimpahkan kepada pemerintah. Sebenarnya ada satu peluang
lain untuk menarik keuntungan dari ketidaktahuan rakyat biasa; dalam perjalanan
waktu menjadi sulit bagi rakyat mengetahui apakah tanah yang telah dibuka
dengan kerja wajib itu diperuntukkan negara atau orang yang telah dianugerahi
tanah itu oleh sultan. Yang oleh penggarap-penggarapnya dianggap sebagai sawah
negara, oleh orang-orang yang telah menerima tanah itu dari sultan diakui
sebagai sawah yasa dengan segala hak yang melekat padanya. Mengenai sawah
kategori pertama, maka sesudah kekuasaan beralih ke tangan Belanda, hak
miliknya dipegang oleh penggarapnya, akan tetapi upeti yang tadinya dikutip
oleh sultan atau orang yang dianugerahi tanah itu kemudian dipungut oleh
pemerintah dalam bentuk sewa tanah. Mengenai sawah kategori kedua, maka
orang-orang yang memegang hak milik atasnya berhak untuk mengutip pakukusut
dari penggarapnya. Di sini timbul suatu konflik kepentingan yang mencekam
masyarakat Banten sampai meletusnya pemberontakan. Beberapa kasus akan
menjelaskan situasi konflik yang berlangsung lama itu. Laporan mengenai hak
atas tanah di Banten dalam tahun 1870 memberikan gambaran yang jelas mengenai
kasus-kasus di Banten Utara.[40]
[14] Konsep dikotomis
mengenai masyarakat tradisional, yang mencakup golongan priyayi (gentry) dan
golongan tani (peasantry) memainkan peranan penting dalam teori Hagen,
lihat Hagen (1962). Trikotomi pembagian masyarakat agraris yang
tradisional menurut Kautsky, adalah terlalu digeneralisasikan, sehingga tidak
bisa diterapkan pada masyatakat Banten; di sini sangat dibutuhkan stratifikasi
yang lebih seksama, yang relevan bagi masyarakat-masyarakat historis; lihat
Kautsky (1962), hal. 13-17.
[21] Ibidem;
ketika itu sudah ada satu golongan yang terdiri dari orang-orang yang tidak
mempunyai tanah, yang antara lain mencakup orang-orang menumpang, bujang, kuli,
orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan sebagainya;
lihat juga 77V1(1869), no. 2, hal. 496; Lihat di bawah, hal. 71-72.
[22] Ketika itu ada
surplus padi; dibandingkan dengan Pulau Jawa secara keseluruhan, angka
perbandingan antara jumlah kerbau dan areal tanah pertanian dan jumlah penduduk
di Banten adalah lebih baik daripada angka perbandingan untuk seluruh Pulau
Jawa; lihat Fokkens, Eindresume Vol. I, part 2 (1902), hal. 36.
[30] Suatu
perbandingan dengan kondisi-kondisi di Mataram abad XVIII menyingkapkan banyak
hal, tetutama yang mengenai proses menjadi kakunya sistem pemilikan tanah dan
siatem tanah apanase; lihat Rouffaer, dalam Adatrechtbundels, Vol. XXXIV
(1931), hal. 233-378; cf. Penasihat mengenai Urusan Pribumi pada Gubernur
Jenderal, 24 Agustus 1921, no. 560; ia menyatakan bahwa dalam perkembangan
agraris terdapat satu kecenderungan yang kuat ke arah kondisi-kondisi yang
terdapat di dalam apa yang dinamakan nagara agung, yakni daerah Inti Mataram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar