Teori ini merupakan syarat pokok yang lebih baik dari
beberapa konsep yang berhubungan dengan pembangunan perekonomian suatu wilayah,
guna mendapatkan gambaran yang penting tentang kota. Secara teori maupun empirik,
GROWTH POLES THEORY ini sangat baik
digunakan untuk pembangunan perekonomian wilayah dibandingkan dengan ECONOMIC BASE THEORY dan LABOUR
BASE THEORY. Secara konseptual, GROWTH POLES ini sangat sesuai terutama
dalam proses pertumbuhan ekonomi wilayah di negara berkembang. Banyak contoh
telah menggunakan teori ini untuk menguraikan atau lebih menekankan pada
perkembangan wilayah, di dalam konteks dari kehidupan kota-kota secara
hirarkhi.
PERROUX,
yang pertama kali mengembangkan teori ini berdasarkan pengamatannya terhadap
proses pembangunan. Sebenarnya, ia mengakui bahwa pembangunan di mana-mana
tidak terjadi secara serentak, tetapi muncul di tempat-tempat tertentu dengan
intensitas berbeda. Tempat-tempat itulah yang dinamakan dengan titik-titik pertumbuhan
atau kutub-kutub pertumbuhan (GROWTH
POLES). Dari sinilah pembangunan akan menyebar melalui beberapa saluran dan
mempunyai akibat akhir yang berlainan untuk perekonomian secara keseluruhan.
Implikasi
perencanaan GROWTH POLES ini
terbukti berguna untuk segala kawasan, dan menunjukkan adanya perubahan yang
signifikan di dalam kebijaksanaan pembangunan wilayah. Secara teori, adalah
dinamik dan sesuai untuk semua tahapan dari proses pembangunan, di mana
pendekatannya sangat realistis terutama untuk beberapa pendekatan tingkah laku
pada prioritas waktu untuk alokasi sumber alam. Seperti dikatakan oleh PERROUX
bahwa, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak seimbang tetapi terpusat secara disproporsional
pada daerah-daerah tertentu. Tetapi efek dari perkembangan yang memusat dapat
diawasi bentuk elemennya – propulsive
industry – di mana menimbulkan pertumbuhan. Pertumbuhan menjadi besar dan
cepat, sehingga derajat interaksinya sangat kuat (berhubungan dengan penjualan
dan pembelian). Juga menambah pertumbuhan dari daerah yang bersangkutan, sehingga
kutub-kutub pertumbuhan menjadi ekonomi metropolitan. Hal Ini disebut dengan Circulair and Cumulative Causation.
Pada
keadaan yang demikian, pelayanan menjadi faktor infra-struktur yang penting di
dalam mendorong konsentrasi dari kegiatan di negara-negara di mana industri
kurang berkembang, juga menyesuaikan dengan rangkaian perkembangan ini. Banyak
contoh bahwa, pendekatan GROWTH POLES
telah digunakan untuk menguraikan proses perkembangan di dalam konteks dari kehidupan
kota-kota secara hirakhi. Di mana perencanaan kota sebagai point yang berkenaan dengan
penekanan perkembangan wilayah perkotaan. Di mana dalam proses pertumbuhan dari
wilayah pusat (Core Region) lambat
laun dipindahkan ke wilayah pinggiran (Peripheral
Region). Dengan adanya pemindahan pusat kegiatan ini, muncul 6 (enam)
akibat :
1.
akibat yang dominan
(sumber-sumber alam yang ada di daerah pusat dipindahkan).
2.
akibat informasi
(kecepatan interaksi dan inovasi pada daerah pusat).
3.
akibat psikologi
(penampakan dan perkiraan yang lebih besar yang berhubungan dengan wilayah
pusat).
4.
akibat modernisasi
(mendukung perubahan lingkungan sosial).
5.
akibat linkage (akibat circulair and cumulatiove causation).
6.
aibat produksi.
Menurut
HAN
REDMANA, di dalam membahas teori ini harus mendasarkan diri pada teori CENTRAL PLACE – nya WALTER
CHRISTALLER, di mana menurutnya teori GROWTH POLES ini digunakan untuk membahas perencanaan pembangunan
nasional di Indonesia, yang pelaksanaannnya menggunakan pendekatan regional.
Perencanaan pembangunan ini tidak lain adalah menyelaraskan antara ‘pembangunan
nasional’ dengan ‘pembangunan regional’. Ini berarti bahwa, di dalam setiap
kegiatan pembangunan, di samping pertimbangan-pertimbangan sektoral, harus pula
diperhatikan pertimbangan-pertimbangan regional. Teori GROWTH POLES menyarankan perlunya untuk memusatkan investasi dalam
sejumlah sektor kecil sebagai sektor kunci di beberapa tempat tertentu. Di
dalam memusatkan usaha pada sejumlah sektor dan tempat yang kecil, diharapkan
pembangunan akan menjalar ke sektor-sektor lain pada seluruh wilayah. Dengan
demikian, sumber daya mineral dan manusia yang digunakan dapat dimanfaatkan
lebih baik dan lebih efisien. Adapun sektor kunci yang dimaksudkan di sini
adalah, sektor industri atau wilayah lain dengan kaitan ke belakang dan ke
depan (backward and forward linkage).
Sektor ini sering juga dinamakan dengan ‘kesatuan yang memimpin’ (leading sector) yang mempengaruhi
perkembangan unit-unit lain dengan stimulasi ataupun hambatan.
Kesatuan
yang memimpin tadi akan berubah menurut waktu, bergeser dari satu kegiatan ke
kegiatan yang lain. Di negara-negara maju, kegiatan-kegiatan tersebut mungkin
saja dalam sektor jasa. Di samping itu, pengaruh dari leading sector memerlukan waktu tertentu untuk dapat dirasakan oleh
sektor-sektor lainnya dan berbeda menurut sektor-sektornya, dan juga tergantung
dari macam pengaruhnya. Faktor lain yang penting yaitu, reaksi penduduk
terhadap sumber daya alam yang tersedia ; jika tidak ada reaksi, maka
pembangunan tidak berhasil. Ringkasnya, teori kutub-kutub pembangunan itu
meneranglan akibat dari sekelompok leading
sector dengan istilah polarisasi. Isinya, proses pembesaran dari kutub atau
makna komprehensifnya akibat stimulasi berasal dari integrasi ruang yang sedang
berlaku.
Dari
pembahasan di atas jelas bahwa, untuk penerapan teori GROWTH POLES, harus terlebih dahulu diketahui hirarkhi
tempat-tempat pusat (CENTRAL PLACES).
Tetapi, di samping untuk memilih kutub-kutub pertumbuhan diperlukan pengetahuan
tentang peranan tempat pusat dalam waktu lampau, suatu pandangan ke depan dan
pertimbangan-pertimbangan lokasi. Misalnya,
antara lain : keterjangkauan suatu tempat, tersedianya sumber daya dan
perubahan dari perilaku dan sikap penduduk, serta aneka perubahan teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar