Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan Desentralisasi
adalah adanya penyerahan sumber dana, sumber daya manusia dan perangkat
fisiknya yang memadahi untuk mendukung pelaksanaan urusan yang diserahkan
kepada Daerah. Masalah
Desentralisasi bukan hanya jumlah dana yang memadai, akan tetapi seberapa jauh
kewenangan Daerah dapat menentukan penggunaan sumber dana dan menggali sumber
dana di Daerah. ( Supriatna, 1996).
Desentralisasi
dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi dan budaya,
seperti yang diungkapkan oleh Rondinelli, Nelis, dan Cheema, ( dalam
Supriatna 1996) sebagai berikut :
(1) Sampai seberapa jauh birokrasi politik lokal
mendukung Desentralisasi melalui pelimpahan organisasi dan tanggung jawabnya.
(2)
Seberapa
jauh perilaku, sikap dan budaya yang mendukung terciptanya iklim Desentralisasi
pengambilan keputusan dan Pemerintahan.
(3)
Kebijaksanaan
dan program yang dirancang yang memadahi
untuk mendorong Desentralisasi pengambilan keputusan dan manajemen pembangunan.
(4)
Sampai
seberapa jauh tersedianya sumber dana atau keuangan yang memadahi bagi
organisasi yang mendapat pelimpahan tanggung jawab .
Faktor
yang terakhir ini merupakan isu kebijaksanaan keuangan Daerah yang menarik
dalam rangka pengelolaan keuangan Daerah secara berdaya guna dan berhasil guna.
Dengan
adanya isu kebijaksanaan keuangan Daerah dimaksud, maka tuntutan dari
Daerah-Daerah dan didukung oleh kemauan baik
( good will ) Pemerintah pusat
untuk segera menyelenggarakan otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang
luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional, maka
faktor keuangan Daerah sebagai salah satu motor penggerak bagi kegiatan
Pemerintahan dan gerak pembangunan Daerah guna menunjang pencapaian tujuan
pembangunan Daerah menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan ditata kembali.
Pengertian
Keuangan Negara atau Daerah menurut Wayong ( 1975), adalah “ Kekayaan negara atau Daerah yang
meliputi semua hak dari negara atau Daerah yang mempunyai harga uang serta dari
barang-barang yang dimiliki oleh negara atau Daerah karena hak-hak itu “.
Pengertian diatas cukup memberi gambaran kepada kita tentang keuangan Daerah ,
hanya saja bila dicermati lebih jauh keuangan Daerah tidak cukup hanya dengan
tersedianya kekayaan, namun perlu adanya kewenangan dan kemampuan untuk
mengelolanya. Karena pada kenyataannya dengan tersedianya kekayaan (sumber dana
) yang memadai tidak menjamin dapat menjadi penunjang bagi pembangunan Daerah ,
jika pelaksanaan otonomi Daerah tidak
diikuti dengan kewenangan dan kemampuan untuk mengelola secara maksimal.
Untuk
itu Supriatna ( 1996) memberikan pengertian keuangan Daerah sebagai :
“ kemampuan Pemerintah Daerah untuk mengelola
mulai dari merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan
mengevaluasi berbagai sumber keuangan dalam rangka melaksanakan azas
Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Daerah yang diwujudkan
dalam bentuk APBD “
Dari
pengertian keuangan Daerah tersebut dapat dikemukakan bahwa keuangan Daerah
mengandung arti setiap hak yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah yang
berhubungan dengan uang atau barang-barang yang dimiliki seperti seberapa besar
pendapatan, jumlah uang yang cukup dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan
tujuan dan peraturan yang berlaku.
Dengan
tersedianya sumber dana (keuangan ) yang
cukup dan didukung oleh pengelolaan yang profesional akan melahirkan sistem
administrasi keuangan yang baik yang pada akhirnya dapat menciptakan Kemandirian
Keuangan Daerah .
Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Azas
Negara Kesatuan Indonesia
menyatakan bahwa, Daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Pemerintah Pusat. Atas azas ini, maka antara Keuangan Negara / Pusat dan
Keuangan Daerah terdapat hubungan yang sangat erat sekali, bukan saja antara
tingkatan Pemerintahan, akan tetapi mencakup pula faktor-faktor strategi
pembangunan dan pengawasan terhadap Daerah.
Dalam
hubungan ini Suparmoko (1987), menyatakan bahwa “hubungan keuangan antar
Pemerintah (intergovermental fiscal
transfer) menunjuk pada hubungan keuangan antar berbagai tingkatan
Pemerintah dalam kaitannya dengan distribusi keuangan negara dan pola
pengeluarannya termasuk kekuasaan dari tingkat yang lebih tinggi terhadap tingkat
Pemerintahan yang lebih rendah “.
Pada
umumnya pola hubungan keuangan antar Pemerintah (intergovermental fiscal transfer) yang dilaksanakan pada suatu
negara bergantung pada sistem Pemerintahan, tujuan prioritas pembangunan serta
kondisi wilayah ( ekonomi, sosial budaya
dan politik). Untuk itu Faisyal (1998),
mengemukakan bahwa berdasarkan pengamatannya diberbagai negara, terdapat 5 (lima ) pola keuangan yaitu
:
1.
Capital Invesment, yang berupa proyek-proyek modal berskala besar yang
direncanakan dan dilaksanakan ( termasuk pembiayaan ) oleh Pemerintah. Daerah
menerima penyerahan dari Pemerintah pusat dengan konsekwensi biaya operasi dan
pemeliharaan ( maintenancecost ).
2.
Shared Revenues, yaitu pola bagi hasil berbagai sumber baik pajak maupun
retribusi berdasarkan persentase dan pertimbangan yang cermat terhadap kondisi
keuangan pusat dan Daerah.
3.
Sumbangan
dan bantuan ( art and grant ), yang
diberikan kepada Daerah dalam bentuk block
grant ( bebas bunga ) khususnya Daerah-Daerah yang secara khusus perlu
diberi bantuan dan bisa juga dalam bentuk categorial grant atau adanya pos-pos
penerimaan pusat yang secara khusus untuk disubsidi kepada Daerah.
4.
Tax
Credit, yaitu bagian
penerimaan tertentu di Daerah, misalnya
bunga dan bantuan program sektor publik yang dibebaskan dari bunga.
5.
Pinjaman ,
dalam arti bisa dalam bentuk pinjaman langsung, menyediakan landing intitution yang khusus
memberikan pinjaman, maupun dalam bentuk jaminan pinjaman.
Sedangkan
Prest (dalam Faisyal, 1998) mengemukakan bahwa pola alokasi sumbangan bagi
pengembangan wilayah dapat dilakukan melalui tiga pola yaitu :
1.
Formula Grant, yaitu pembagian sumbangan kepada Daerah berdasarkan
formula yang jelas dan disepakati kedua belah pihak (pusat dan Daerah ).
2.
Adhock Grant, dimana pembagian sumbangan kepada Daerah bukan didasarkan
pada formula tertentu melainkan berdasarkan jangka waktu/periode.
3.
Reimbursment Grant, dimana pembagian sumbangan kepada Daerah tidak
berdasarkan pola pertama dan kedua dan juga bukan berdasarkan florend Daerah,
melainkan berdasarkan kemampuan / daya serap Daerah dalam menggunakan anggaran.
Sedangkan dalam hal pembagian dana dari pusat
kepada Daerah, Prest mengemukakan
terdapat dua pola keuangan yaitu :
1.
Tax Polls, yaitu besarnya bagian Pemerintah pusat dan sebagian Pemerintah
Daerah ditetapkan secara langsung terhadap sumber pendapatan yang ada.
2.
Annual Approriations, bahwa bagian pembiayaan Pemerintah Daerah ditetapkan
setiap tahun atas dasar pertimbangan Pemerintah pusat, kebutuhan Daerah, serta
skala prioitas yang disepakati.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa
hubungan keuangan antara Pemerintah pusat dan Daerah sangatlah kompleks, karena
mencakup permasalahan yang sangat luas. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk merumuskan
suatu sistem hubungan keuangan antara Pemerintah pusat maupun Daerah, baik
faktor ekonomi dan ekonomis khususnya politis. Kemandirian Daerah dalam
pembiayaan Daerah tidak dapat ditafsirkan bahwa tiap tingkatan Pemerintahan
di Daerah harus dapat membiayai seluruh
keperluannya dari penerimaan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) ( Supriatna,1996 ).
Sumber-sumber Penerimaan Daerah
Undang-undang
No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah pada pasal 55,
telah menyebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari :
1. Pendapatan Asli Daerah, yang
terdiri dari :
a. Hasil Pajak Daerah;
b. Hasil retribusi daerah;
c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan;
d.
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
2. Pendapatan yang berasal dari pemerintah terdiri
atas :
a. Sumbangan dari Pemerintah;
b.
Sumbangan-sumbangan yang lain yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
3. Lain-lain pendapatan daerah
yang sah.
Pada pasal selanjutnya ditetapkan bahwa suatu pajak negara dapat diserahkan
kepada daerah, dan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah diatur dengan undang-undang.
Dalam kerangka Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini, jenis-jenis
penerimaan daerah masih diatur dengan Undang-undang No. 11 dan 12 Tahun 1956
serta berbagai peraturan pemerintah lainnya
( Simanjuntak, 2000 ).
Dalam hal pemerintah pusat membagi keuangannya dengan pemerintah daerah
didasarkan pada dua kategori yaitu :
1.
Pendapatan yang ditunjuk diserahkan meliputi : pajak, royalti, pungutan
yang semula dikenakan oleh pemerintah pusat, tetapi diserahkan seluruhnya atau
sebagian kepada pemerintah daerah;
2.
Subsidi, ada beberapa macam subsidi yang dibayarkan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk proyek-proyek
tertentu :
a. Subsidi Daerah Otonomi meliputi gaji dan
tunjangan bagi karyawan yang dipekerjakan oleh pemerintah Kabupaten dan
Kotamadya;
b. Bantuan pambangunan Daerah Provinsi. Subsidi ini sering dikenal dengan INPRES DATI
I dan merupakan subsidi untuk berbagai macam proyek pembangunan diusahakan oleh
pemerintah propinsi. Subsidi ini
mengganti Alokasi Devisa Otomatis (ADO) yang besarnya 10 % dari nilai eksport
propinsi yang bersangkutan.
c. Bantuan pembangunan Daerah Kabupaten/Kota. Untuk bantuan dibagi :
1. Bantuan umum, yaitu komponen utama pembangunan
DATI II yang diberikan kepada seluruh pemerintahan DATI II berdasarkan kriteria
tertentu untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan daerah melalui
sektor-sektor yang tertampung dalam APBD II dan menjadi prioritas masing-masing
DATI II. Alokasi komponen bantuan umum
didasarkan pada kriteria-kriteria :
bantuan perkapita, bantuan perkapita minimum, bantuan berdasarkan jumlah
pulau, bantuan perencanaan, pengendalian dan pengawasan (BP3).
2. Bantuan Khusus, yaitu bantuan yang ditujukan
untuk membiayai kegiatan-kegiatan khusus untuk mencapai sasaran nasional
berdasarkan kriteria tertentu yang diberikan kepada seluruh atau sebagian DATI
II. Bantuan khusus ini meliputi 13 macam
bantuan, yaitu :
a. bantuan pemugaran pasar kecamatan;
b. bantuan rehabilitasi SD/MIS;
c. Bantuan Penghijauan;
d.
Bantuan Peningkatan Jalan DATI II;
e. Bantuan Rehabilitasi Sarana Kesehatan;
f. Bantuan Penyuluhan Pertanian lapangan;
g.
Bantuan Penakar Beni ( paket pertanian );
h. Bantuan Pengendalian Dampak Lingkungan;
i.
Bantuan
Prasarana Dasar Pemukiman;
j.
Bantuan
Pembinaan masyarakat tertinggal di Pendesaan;
k. Bantuan program Pengembangan wilayah;
l.
Bantuan
Penataran P4;
m. Bantuan Pemberdayaan Disiplin Nasional.
3. Pembiayaan Sektoral
a. Untuk departemen Pekerjaan Umum, berupa
pengeluaran sektoral untuk pembangunan jalan negara maupun jalan propinsi,
serta pembiayaan bagi kegiatan-kegiatan operasional dan pemeliharaan irigasi;
b.
Untuk Departemen Pertanian, berupa pembangunan Pertanian, Perkebunan,
Perikanan, Peternakan.
4. Pinjaman
Dana pinjaman yang diterima oleh pemerintah terutama sekali
berupa INPRES pasar untuk program perbaikan kampung. Dengan program ini, Bank Rakyat Indonesia
memberikan pinjaman yang dijamin oleh Pemerintah pusat kepada pemerintah
propinsi, kotamadya, maupun kabupaten untuk pengembangan toko-toko dan pasar,
karena pemerintah pusat memberikan subsidi pembayaran bunga dan dibayar kembali
setelah 10 tahun.
Dalam penerapan Undang-undang Nomor 05 Tahun 1974,
pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah tersebut walaupun polanya
berbeda namun prinsipnya tetap berpedoman pada Undang-undang No. 32 Tahun 1956
(Sutrisno, 1984 ). Artinya bahwa
pendapatan yang ditunjuk diserahkan dan subsidi adalah tetap ada akan tetapi
bentuknya berupa bantuan sebagai berikut :
a.
Bantuan
Umum, yaitu bantuan yang penggunaannya ditujukan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran rutin, seperti Subsidi Daerah Otonom dan sebagainya;
b.
Bantuan
Khusus, yaitu bantuan yang penyelenggaraannya ditujukan untuk mebiayai belanja
pembangunan seperti halnya INPRES Pasar, INPRES jalan dan sebagainya;
c.
Bantuan
tambahan, yaitu bantuan yang diberikan kepada daerah apabila daerah tersebut
dipandang perlu untuk diberikan bantuan.
d.
Ditinjau
dari tujuan kegunaannya, sumber pendapatan tersebut dibedakan menjadi sumber
pendapatan rutin dan sumber pendapatan pembangunan.
Sumber-sumber Penerimaan Daerah
Sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya bahwa, dalam
rangka mendukung penyelenggaraan otonomi Daerah, diperlukan kewenangan yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab di Daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pemerintah pusat dan Daerah.
Sumber pembiayaan Pemerintahan Daerah dalam rangka perimbangan keuangan
Pemerintah pusat dan Daerah dilaksanakan atas dasar Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.
Di dalam
pasal 2 ayat 1 s/d 4 ditegaskan bahwa, penyelenggaraan tugas Daerah dalam
rangka pelaksanaan Desentralisasi dibiayai atas beban APBD, sedangkan
penyelenggaraan tugas Pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah
propinsi dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi serta yang dilaksanakan oleh
perangkat Daerah dan desa dalam rangka Tugas Pembantuan, dibiayai atas beban
APBN.
Menurut Mudjiono (1999:1), dinyatakan
bahwa sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi terdiri dari :
Pendapatan
asli Daerah, dana perimbangan, pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang
syah. Sumber pendapatan asli Daerah merupakan sumber keuangan Daerah yang
digali dari dalam wilayah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak
Daerah, hasil retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah.
Pendapatan Asli Daerah
Waluyono ( 1999 ) menjelaskan Pendapatan Asli Daerah
merupakan sumber keuangan Daerah yang digali dalam wilayah Daerah yang
bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak dan retribusi Daerah, hasil
perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang
dipisahkan antara lain, bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik Daerah,
dan lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah. Sedangkan yang termasuk dalam
lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah antara lain penerimaan yang berasal
dari penjualan aset tetap Daerah dan jasa giro, dan penerimaan lainnya yang
berasal dari dalam Daerah yang bersangkutan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai dengan hal tersebut,
dalam Pasal 4 Undang-undang No.
25 Tahun 1999, dinyatakan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari :
a. Hasil Pajak Daerah;
1. Hasil Retribusi Daerah;
2. Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan;
3. lain-lain pendapatan asli
Daerah yang sah.
b. Dana Perimbangan
Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 25 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
: Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan Pemerintahan dalam kerangka
negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara proporsional,
demokratis, adil dan transparan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta
tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan
pengawasan keuangannya.
Sedangkan dalam pasal 1 ayat 14 juga disebutkan bahwa, “Dana perimbangan
adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah
untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi”
Di dalam pasal 6 Undang-undang No. 25 Tahun 1999 dikatakan bahwa, Dana
perimbangan terdiri dari :
1)
Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas
tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam ;
2) Dana Alokasi Umum ; dan
3) Dana Alokasi Khusus.
Dana Perimbangan tersebut diatas tidak dapat dipisahkan satu sama lain ,
mengingat tujuan masing-masing jenis sumber tersebut saling mengisi dan
melengkapi. Besarnya jumlah Dana Perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran
dalam APBN.
Sedangkan menurut Waluyono ( 1999 ), yang dimaksud dengan bagian Daerah
dari penerimaan sumber daya alam adalah bagian Daerah dari penerimaan Negara
yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam, antara lain, dibidang
pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas alam, kehutanan, dan perikanan.
Bagian Daerah dari PBB, PBHTB dan penerimaan dari sumber daya alam
dinyatakan dalam angka prosentase sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut
:
Tabel 2
Pembagian Hasil Penerimaan
PBB, BPHTB, dan SDA
Pusat
|
Daerah
|
|
Bagian Daerah dari :
n Pajak Bumi dan Bangunan
n BPHTB
n Sumber Daya Alam :
a. Kehutanan, pertambangan umum, dan perikanan
b. Minyak Bumi
c. Gas Alam
|
10 % (*)
20 % (*)
20 %
85 %
70 %
|
90 %
80 %
80 % (**)
15 % (***)
30 % (***)
|
Sumber : Waluyono (1999)
(*) Penerimaan dari pajak bumi dan bangunan
sebersar 10 % ( sepuluh persen ) dan 20 % ( dua puluh persen ) penerimaan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi bagian dari Pemerintah pusat
dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota ;
(**) Khusus untuk sektor
perikanan, 80 % penerimaan Daerah dari pungutan pengusahaan perikanan dan
pungutan hasil perikanan dibagikan merata kepada seluruh Kabupaten dan Kota di
Indonesia;
(***) Hanya berlaku bagi
minyak bumi dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan,
tidak termasuk dari lepas pantai ( Off
shore ).
Bagian
Daerah yang disebutkan diatas, dari penerimaan sumber daya alam sektor
kehutanan, pertambangan umum, pertambangan minyak bumi dan gas alam dibagi
antara propinsi, Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan Daerah Kabupaten/Kota
lainnya dalam posisi yang bersangkutan.
Komposisi
pembagian antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan Daerah
lainnya tersebut seperti tampak pada Tabel 3 dibawah ini :
Tabel 3
Alokasi Perimbangan Penerimaan dari Sumber Daya
Alam Daerah
Pusat
|
Propinsi
|
Daerah
Penghasil
|
Daerah
lain
di
wilayah
Propinsi
ybs
|
|
Kehutanan
n Iuran HPH
n Povisi Sumber daya Hutan
Pertambangan Umum
n Iuran Tetap ( Land Rent )
n Iuran Eksplorasi dan eksploitasi ( Royalty )
Pertambangan Migas (*)
n Pertambangan Minyak Bumi
n Pertambangan Gas Alam
|
20 %
20 %
20 %
20 %
85 %
70 %
|
16 %
16 %
16 %
16 %
3 %
6 %
|
64 %
32 %
64 %
32 %
6 %
12 %
|
32 %
32 %
6 %
12 %
|
Sumber : Waluyono (1999 : 7 )
(*) Penerimaan Migas setelah dikurangi komponen pajak
Mencermati tentang dana alokasi umum dinyatakan oleh Waluyono (1999), bahwa
:
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang pengalokasiannya
ditujukan untuk pemerataan kemampuan keuangan antara Daerah untuk membiayai
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi. Pengalokasian Dana Alokasi Umum kepada Daerah didasarkan kepada
potensi Daerah, luas Daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat
pendapatan masyarakat di Daerah, sehingga perbedaan antar Daerah yang maju
dengan Daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.
Berdasarkan Undang-undang No 25 Tahun 1999, pada pasal 7
ayat 2 dicantumkan bahwa :
(1) Dana Alokasi Umum ditetapkan
sekurang-kurangnya 25 % (dua puluh lima persen ) dari Penerimaan Dalam Negeri
yang ditetapkan dalam APBN;
(2) Dana Alokasi Umum untuk itu
Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10 % (
sepuluh persen ) dan 90 % ( sembilan puluh persen) dari Dana Alokasi Umum
sebagaimana yang ditetapkan.
Lebih lanjut Waluyono ( 1999 )mengemukakan : Dana Alokasi Umum untuk suatu
Daerah Propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian antara jumlah Dana
Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN dengan
porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan yang merupakan proporsi bobot Daerah
Propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di
seluruh Indonesia. Rumusan Dana Alokasi Umum untuk satu propinsi :
Jumlah Dana Alokasi Bobot Daerah Propinsi yang bersangkutan
untuk Daerah X
__________________________________
Propinsi Jumlah bobot dari
seluruh Daerah Propinsi
Sedangkan Dana Alokasi umum untuk
suatu Daerah Kabupaten atau Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian antara
jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan
dalam APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Porsi Daerah Kabupaten/Kota merupakan
proporsi bobot Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot
semua Daerah Kabupaten/Kota. Rumusan Dana Alokasi Umum untuk satu
Kabupaten/Kota =
Jumlah Dana Alokasi Bobot Daerah Kabupaten/Kota ybs
Umum untukDaerah X
________________________________
Propinsi Jumlah bobot dari seluruh Daerah Kabupaten./Kota
Untuk merumuskan bobot Daerah,
menurut Waluyono (1999), sebagai
berikut : Bobot Daerah ditentukan berdasarkan hasil kajian empiris dengan
memperhitungkan variabel-variabel yang relevan :
a.
Kebutuhan wilayah otonomi Daerah yang dicerminkan dari variabel jumlah
penduduk, luas wilayah, keadaan geografi dan tingkat pendapatan masyarakat
dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin;
b.
Potensi ekonomi Daerah, antara lain dapat dicerminkan dengan potensi
penerimaan yang diterima Daerah seperti potensi industri, potensi sumber daya
alam, potensi sumber daya manusia dan Produk Domestik Regional Bruto.
Penghitungan dana alokasi umum berdasarkan rumus diatas dilakukan oleh
Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah juga menyusun dan menjaga kemutakhiran data yang merupakan variabel
dalam rumus tersebut. Sekretariat Bidang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang beranggotakan instansi pusat dan
wakil Daerah sebagai instansi yang objektif dan independen diharapkan dapat
menjaga keterbukaan dalam penghitungan Dana Alokasi Umum.
Mencermati tentang dana Alokasi Khusus, di dalam Undang-undang No. 25 Tahun
1999 tepatnya pasal 8 dikemukakan bahwa : “Dana Alokasi Khusus merupakan dana
yang dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai
kebutuhan khusus Daerah, Dengan
memperhatikan tersedianya dana dalam APBN”.
Selanjutnya Waluyono (1999), menjabarkan kebutuhan khusus Daerah yakni
:Pertama, Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan
menggunakan rumus alokasi umum. Kedua,
kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, termasuk, antara
lain, proyek yang dibiayai donor dan proyek-proyek kemanusiaan untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan yang
bersifat khusus suatu Daerah tidak sama dengan kebutuhan Daerah lainnya,
misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, Daerah perbatasan negara dan
kebutuhan beberapa jenis investasi / prasarana baru, seperti pembangunan jalan
di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer.
Termasuk dalam dana alokasi khusus ini adalah bagian Daerah dari dana
reboisasi sebesar 40 % ( empat puluh persen ) yang dibagikan kepada Daerah
penghasil. Dana reboisasi ini hanya
digunakan untuk pembiayaan kegiatan reboisasi dan penghijauan olah Daerah
penghasil, sedangkan 60 % ( enam puluh persen ) bagian Pemerintah Pusat
digunakan untuk pembiayaan reboisasi secara nasional.
Kecuali dalam rangka reboisasi, Daerah yang mendapat pembiayaan kebutuhan
khusus harus menyediakan dana pendamping dari APBD sesuai dengan kemampuan
Daerah yang bersangkutan sebagai pendamping atas Dana Alokasi Khusus.
Guna lebih mempertajam landasan teori tentang sumber-sumber pendapatan
Daerah, maka penulis berupaya menggali masalah pinjaman Daerah sebagai salah
satu sumber pembiayaan pembangunan.
Pinjaman Daerah
Secara garis besar Undang-undang No. 25 Tahun 1999 (pasal 11 sampai dengan
15 ) dan penjabaran Waluyono ( 1999) menyatakan bahwa, Pinjaman Daerah sebagai
salah satu sumber pembiayaan
pembangunan, Daerah diperbolehkan untuk melakukan pinjaman guna membiayai
sebagian anggarannya. Kebijaksanaan
pinjaman merupakan salah satu bagian dari kebijaksanaan keuangan negara maupun
Daerah dan merupakan alternatif yang perlu dikembangkan dengan baik dalam
rangka Desentralisasi fiskal, sehingga urusan Desentralisasi dapat terlaksana
dengan optimal.
Pinjaman dapat berasal dari sumber dalam negeri maupun dari luar
negeri. Pinjaman dalam negeri dapat
bersumber dari Pemerintah Pusat, baik bank-bank Pemerintah maupun swasta,
lembaga komersial / lembaga keuangan lain Pemerintah maupun swasta dan/atau
melalui penerbitan obligasi Daerah. Pinjaman
Daerah yang berasal dari sumber luar negeri harus melalui Pemerintah pusat,
dalam arti bahwa Pemerintah pusat akan melakukan evaluasi dari berbagai aspek
mengenai dapat tidaknya usulan pinjaman Daerah untuk diproses lebih
lanjut. Dengan demikian pemrosesan lebih
lanjut usulan pinjaman Daerah secara tidak langsung sudah mencerminkan
persetujuan Pemerintah pusat atas usulan termaksud.
Pinjaman Daerah dapat dibagi menjadi pinjaman jangka pendek dan pinjaman
jangka panjang. Pinjaman jangka pendek
adalah pinjaman yang harus dikembalikan/dilunasi dalam tahun anggaran yang
bersangkutan dan dipergunakan untuk pengaturan arus kas dalam rangka
pengelolaan kas Daerah. Sementara itu,
pinjaman jangka panjang adalah pinjaman yang jangka waktu pengembaliannya melibihi
satu tahun anggaran dan dipergunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang
merupakan aswet Daerah serta memberikan manfaat bagi masyarakat dan prasarana
yang bersifat cost recovery.
Pinjaman Daerah yang dilakukan Daerah harus memperoleh persetujuan DPRD
dengan memperhatikan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya dan tidak
melebihi batas maksimum pinjaman. Yang
dimaksud dengan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya adalah kemampuan
Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran, baik atas kewajiban pinjaman
tersebut maupun pengeluaran lainnya, seperti gaji pegawai serta biaya
operasional dan pemeliharaan. Sebagai
wujud transparansi, setiap perjanjian pinjaman Daerah diumumkan dalam lembaran
Daerah sehingga masyarakat di Daerah dapat mengetahui kewajiban atau beban
Pemerintah Daerahnya dalam membayar kembali pinjamannya.
Untuk lebih melengkapi sumber-sumber pendapatan Daerah, maka penulis akan
mengemukakan teori yang berkaitan dengan lain-lain penerimaan yang sah.
Lain-lain Penerimaan yang Sah
Untuk keperluan mendesak kepada Daerah tertentu diberikan Dana Darurat yang
berasal APBN. Yang dimaksud dengan
keperluan mendesak adalah terjadinya keadaan yang sangat luar biasa yang tidak
dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan pembiayaan dari APBD, yaitu bencana alam
dan/atau peristiwa lain yang dinyatakan Pemerintah pusat sebagai bencana
nasional. Prosedur dan tata cara
penyaluran Dana Darurat dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN.
Pembiayaan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan
Selain menganut azas Desentralisasi sistem Pemerintahan Indonesia masih
menganut azas Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang porsinya makin kecil
seiring dengan semakin besarnya otonomi yang diberikan kepada Daerah. Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan
Dekonsentrasi disalurkan kepada Gubernur melalui Departemen/lembaga Pemerintah
non departemen yang bersangkutan.
Sedangkan pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan
disalurkan kepada Daerah dan desa melalui departemen atau lembaga Pemerintah
non departemen yang menugaskannya. Dana
pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan tersebut tidak
merupakan penerimaan APBD.
Pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan oleh
Gubernur kepada Pemerintah pusat melalui departemen atau lembaga Pemerintah non
departemen yang bersangkutan. Sedangkan
pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan oleh
Daerah dan desa kepada Pemerintah pusat melalui departemen atau lembaga
Pemerintah non departemen yang menugaskannya.
Administrasi keuangan pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan dilakukan secara terpisah dari administrasi keungan pembiayaan
pelaksanaan Desentralisasi ( APBD ), yaitu masing-masing dalam anggaran
Dekonsentrasi dan anggaran Tugas Pembantuan.
Apabila terdapat sisa anggaran lebih dari penerimaan terhadap
pengeluaran dana Dekonsentrasi dan dana Tugas Pembantuan maka sisa anggaran
lebih tersebut disetor ke Kas Negara.
Pemerikasaan pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dilakukan
oleh instansi pemeriksa keuangan negara.
Administrasi Keuangan Daerah
Semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
dicatat dan dikelola dalam APBD. APBD,
perubahan APBD dan perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Semua
penerimaan dan pengeluaran Daerah yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan merupakan penerimaan dan pengeluaran dalam
rangka pelaksanaan Desentralisasi, sehingga harus dicatat dan dikelola dalam
APBD. Hai ini untuk menjamin bahwa semua
penerimaan dan pengeluaran yang dikelola Gubernur atau Bupati/WaliKota dengan
perangkatnya dapat digolongkan sebagai pelaksanaan Desentralisasi,
Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan.
Sebagai contoh pungutan Puskesmas merupakan penerimaan dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi dan diadministrasikan dalam APBD. Pengertian
sistem dalam administrasi keuangan Daerah menurut Stoner
(dalam Handayaningrat 1982),
dinyatakan sebagai berikut :
The
system approach to management attemp to view the organization as aunified , pupose
approach give managers away of looking at an organization as whole and as a
part at the large, exsternal environment . In so doing, system theory bill us
that activity of an organization effects the activity of very other part .
Dengan
kata lain bahwa, system pada hakekatnya adalah suatu totalitas yang terdiri
dari bagian / unsur / komponen atau sub system dengan atribut yang satu dengan
lain saling berkaitan, saling mempengaruhi sehingga seluruhnya merupakan satu
kebulatan yang utuh serta mempunyai peranan dan tujuan tertentu. Suatu sistem
menurut Mamesah (1995) dalam kaitannya dengan keuangan Daerah ini dinyatakan
bahwa :
Keuangan
Daerah terdiri dari berbagai sub sistem antara lain organisasi, tata buku
(pembukuan), prosedur, penganggaran, pengendalian, sarana dan prasarana .
Selanjutnya mengingat keuangan Daerah merupakan sub system maka penanganan
keuangan Daerah itu sendiri harus dilakukan dengan pendekatan kesisteman ,
disamping itu Keuangan Daerah harus dipandang sebagai faktor pendukung dalam penyelenggaraan
otonomi keuangan Daerah .
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD )
Salah
satu aspek dari Pemerintahan Daerah yang harus diatur secara cermat dan
hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan Daerah dan anggaran Daerah. Memperhatikan masalah anggaran, Suparmoko (
1987 ) memberikan definisi, yaitu
“anggaran ( budget ) adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci
tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu
tertentu; yang biasa adalah satu tahun”.
Selaras
dengan pernyataan diatas, Mardiasmo (1999) menyatakan bahwa “anggaran Daerah
adalah rencana kerja Pemerintah Daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu
periode tertentu (satu tahun), yang merupakan instrumen kebijakan utama bagi
Pemerintah Daerah”.
Lebih
lanjut Suparmoko menjelaskan langkah-langkah Pemerintah dalam mempersiapkan
rencana penerimaan dan pengeluaran/belanja termasuk pos-posnya, yaitu biasanya lembaga eksekutif yang mempersiapkan
rencana tersebut, untuk selanjutnya diajukan kepada lembaga legislatif. Lembaga legislatif memiliki peranan dalam
mempertimbangkan dan kemudian memutuskan serta menetapkannya sebagai
Undang-undang.
Handaru
Sri, et.al. (1999), lebih lengkap menjabarkan proses penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yaitu :
a)
Perumusan aspirasi masyarakat ( tokoh masyarakat beserta DPRD );
b)
Perumusan arah dan kebijakan anggaran Daerah ( DPRD dan Badan Eksekutif
Daerah ) dengan mempertimbangkan rencana jangka menengah dan anggaran multi
tahunan;
c)
Penjabaran arah dan kebijakan
anggaran (Sekwilda dan Supporting
/Service Agency );
d) Penyusunan anggaran setiap unit kerja ( Service Agency );
e) Penyusunan Rancangan APBD ( Sekwilda dan Supporting Agency );
f) Pembahasan dan Penetapan Rancangan APBD ( DPRD,
KDH dan Top Manager Daerah );
g) Penyampaian informasi kebijakan anggaran Daerah
kepada masyarakat dan persiapan pelaksanaan APBD.
Pentingnya
kecermatan dalam pengelolaan Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, sehingga menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan
kapabilitas dan efektifitas Pemerintah Daerah.
Anggaran Daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan
dan pengeluaran, membantu dalam pengambilan keputusan dan perencanaan
pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber
pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kerja, alat untuk memotivasi
para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja,
(Handaru, 1999 ).
Mardiasmo,
et.al. (1999), secara gamblang memberikan paradigma anggaran Daerah (APBD) di
era reformasi, yaitu :
a)
Anggaran Daerah harus bertumpu pada kepentingan publik;
b)
Anggaran Daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya yang rendah
( work better and cost less );
c)
Anggaran Daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas
secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran;
d) Anggaran Daerah harus dikelola dengan pendekatan
kinerja untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan;
e) Anggaran Daerah harus mampu menumbuhkan
profesionalisme kerja di setiap organisasi yang terkait;
f) Anggaran Daerah harus dapat memberikan
keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dana dengan
memperhatikan prinsip value of money.
Hadjam
(1999), memberikan penjelasan berkenaan dengan Ketentuan tentang pokok-pokok
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Daerah, diatur dengan Peraturan
Pemerintah yang memuat antara lain :
a. Prinsip-prinsip bagi transparansi dan
akuntabilitas mengenai penyusunan, perubahan dan perhitungan APBD, pengelolaan
kas, tata cara pelaporan, pengawasan intern, otorisasi, dan sebagainya, serta
pedoman bagi sistem dan prosedur
pengelolaan;
b. Pedoman laporan pertanggungjawaban yang
berkaitan dengan pelayanan yang dicapai, biaya satuan komponen kegiatan, dan
standar akuntansi Pemerintah Daerah serta persentase jumlah penerimaan APBD
untuk membiayai administrasi umum dan Pemerintahan.
Intensifikasi
dan Ekstensifikasi
Kebijakan
pengembangan keuangan Daerah ( local
finance ) pada prinsipnya mencakup dua dimensi penataan anggaran sektor
publik, yaitu penataan aspek pendapatan ( revenue
side ) dan aspek pengeluaran ( exspenditure
side ), seperti yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja Daerah
( APBD ).
Kebijakan
keuangan mencakup beberapa aspek seperti :
(1)
pembiayaan
dalam rangka azas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan azas pembantuan,
(2) sumber-sumber pendapatan Daerah, baik yang
bersumber dari mobilisasi PAD maupun
dalam bentuk subsidi dan bantuan serta pinjaman, dan
(3) Pengelolaan keuangan Daerah dan pengingkatan
kemampuan aparatur dalam mengelola keuangan dan pendapatan Daerah.
Pontjowinoto, (dalam Swardana 1999 ).
Sementara
itu Booth ( dalam Swardana 1999 ), menyatakan : kemandirian fiskal Daerah tidak
akan menjadi kenyataan kalau pusat menguasai sebagian besar sumber dana,
sebaliknya yang akan terjadi justru peningkatan ketergantungan anggaran Daerah
kepada pusat, untuk maksud ini maka dipandang perlu mendorong Pemerintah pusat
agar lebih keras berupaya meningkatkan pendapatan.
Dalam
kaitan dengan peningkatan pendapatan khususnya Pendapatan Asli Daerah maka
kebijakan yang perlu ditempuh menurut Kamaluddin dan Lains, (dalam Swardana 1999) adalah “ dalam bentuk intensifikasi dan
ekstensifikasi pemungutan sehingga diharapkan Pendapatan Asli Daerah akan dapat
berperan”.
Lebih
lanjut dijelaskan oleh Rejo (dalam Swardana, 1999), menyatakan : Kebijakan dan usaha
intensifikasi adalah berupa peningkatan pendapatan asli Daerah dari
sumber-sumber yang telah ada atau yang telah berjalan selama ini sedangkan
kebijakan dan usaha ekstensifikasi dalam pemungutan ini adalah berupa mencari
dan menggali sumber-sumber pendapatan Daerah yang beru dalam batas ketentuan
perundang-undangan. Upaya-upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber
akan sangat tergantung pada kreatifitas aparatur Pemerintah Daerah untuk mampu
mengkoordinasikan lembaga-lembaga penghasil sumber PAD dan kreatifitas aparatur
tentunya sangat ditentukan oleh kualitas aparatur .
Sedangkan
kristiadi (1991) memberikan batasan-batasan agar sumber pembiayaan yang ideal
berkaitan dengan PAD antara lain :
(1) Pendapatan Asli Daerah seyogyanya lebih dititik
beratkan pada ekstensifikasi dan intensifikasi sumber-sumber retribusi, hal ini
mengingat bahwa retribusi sangat berkaitan dengan pelayanan langsung kepada
masyarakat, dengan demikian diharapkan dapat sekaligus memacu peningkatan
pelayanan.
(2) Pajak-pajak Daerah cukup ditetapkan secara
limitatif pada obyek-obyek yang cukup potensial , bagi pajak yang kurang
potensial seyogyanya dihapuskan.
Selain itu
Lains ( 1985 ) menyatakan : pendapatan
Daerah akan dapat pula ditingkatkan dengan meningkatkan efisiensi pemungutan
dan efisiensi administrasi pajak serta perbaikan kontrol terhadap petugas
pemungutan dalam rangka mengurangi kebocoran. Selanjutnya Pendapatan Asli
Daerah ( PAD ) dapat pula ditingkatkan dengan meningkatkan peran perusahaan
Daerah melalui peningkatan laba usaha.
Selanjutnya
Bawazir (1996), menyatakan bawa : Pelaksanaan kebijakan pemungutan ( pajak dan
retribusi ) akan sukses atau gagal tergantung pada mutu administrasi Pemerintah
Daerah dan seberapa realitas kebijakan tersebut diformulasikan berdasarkan
sumber-sumber yang tersedia, serta semangat dan jiwa aparaturnya, terutama
pimpinan. Kualitas administrasi Pemerintahan Daerah dapat ditingkatkan dengan
pembekalan melalui training-training baik didalam maupun di luar negeri agar
lebih mampu membaca arti kebijakan sendiri dan dampaknya terhadap perekonomian
serta responsif terhadap tuntutan masyarakat.
Dalam
konsep Desentralisasi oleh Smith ( 1985 ), upaya intensifikasi dan
ekstensifikasi penerimaan Daerah dikenal dengan istilah Intergovermental Relation.
Dalam konsep tersebut Smith secara eksplisit menyatakan bahwa : hubungan
ditinjau dari hubungan antar pemerinitah sub nasional dan bukan nasional atau
antar negara. Dimana dengan adanya hubungan tersebut Pemerintah Daerah antara
yang satu dengan yang lainnya dapat saling bekerja sama untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada di Daerahnya, sehingga tidak ada Pemerintah Daerah
yang merugi akibat tindakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah tentangganya. Smith, (dalam Swardana 1999 ).
Disatu sisi
konsep Intergovermental Relations perlu
dipupayakan oleh Pemerintah Daerah karena meninjau semakin berkembangnya
kondisi perekonomian dan kebebasan Pemerintah Daerah dalam berupaya
meningkatkan penerimaan Daerahnya. Disisi lain Pemerintah Daerah sebagai bagian
dari Negara tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan Pemerintah Daerah
yang lain dalam satu wilayah geografi yang berdekatan. Berkembangnya
perekonomian suatu Daerah secara tidak langsung akan berdampak pula bagi Daerah
disekitarnya
Upaya –
upaya intensifikasi dan ekstensifikasi
sebagai tindakan untuk meningkatkan penerimaan Daerah tidak dapat
dilepaskan dari kondisi diatas. Oleh sebab itu peran Pemerintah Daerah untuk
mengembangkan pola-pola yang selama ini ditinggalkan penting untuk dilakukan
sebagai langkah untuk mewujudkan Desentralisasi.
KABAR BAIK
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Zara, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzaninvestment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 400 juta rupiah (Rp400.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Zaradam@yahoo.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut