Untuk memahami karakteristik kajian
sosiologi hukum, maka berikut ini akan dikemukakan berbagai pandangan dari para
pakar sosiologi maupun sosiologi hukum. Antara lain Selo Soemardjan dan
Soelaeman Soemardi, (Soerdjono Soekanto, 1985: 110) menyatakan “Ilmu masyarakat
atau sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial”.
Menurut Achmad Ali (1998: 11) :
“….sosiologi hukum menekankan kajian pada law in action, hukum dalam
kenyataannya, hukum sebagai tingkah laku manusia, yang berarti berada di dunia
sein. Sosiologi hukum menggunakan pendekatan empiris yang
bersifat deskriptif…”.
Sosiologi hukum sebagai cabang ilmu yang
berdiri sendiri merupakan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari
kehidupan bersama manusia dengan sesamanya, yaitu pergaulan hidup, dengan
kata lain sosiologi hukum mempelajari masyarakat khususnya gejala hukum dari
masyarakat tersebut.
Karakteristik kajian atau studi hukum
secara sosiologis menurut Satjipto Rahardjo (1986: 310-311), yaitu: Sosiologi
hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomena hukum yang bertujuan untuk
memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum. Sosiologi hukum
menjelaskan mengapa dan bagaimana praktik-praktik hukum itu terjadi,
sebab-sebabnya, faktor-faktor yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya. Sosiologi
hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity) dari
suatu peraturan atau pernyataan hukum. Bagaimana kenyataannya peraturan itu,
apakah sesuai dengan bunyi atau teks dari peraturan itu. Sosiologi hukum tidak
melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang menaati hukum dan yang
menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf.
Sosiologi hukum tidak menilai antara satu dengan yang lain, perhatian yang
utama dari sosiologi hukum hanyalah pada memberikan penjelasan atau gambaran
terhadap objek yang dipelajarinya.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo (1979: 19)
menambahkan bahwa untuk memahami permasalahan yang dikemukakan dalam kitab
ujian ini dengan seksama, orang hanya dapat melakukan melalui pemanfaatan teori
sosial mengenai hukum. Teori ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai
hukum dengan mengarahkan pengkajiannya keluar dari sistem hukum. Kehadiran
hukum di tengah-tengah masyarakat, baik itu menyangkut soal penyusunan sistemnya,
memilih konsep-konsep serta pengertian-pengertian, menentukan subjek-subjek
yang diaturnya, maupun soal bekerjanya dengan tertib sosial yang lebih luas.
Apabila disini boleh dipakai istilah ‘sebab-sebab sosial’, maka sebab-sebab
yang demikian itu hendak ditemukan baik dalam kekuatan-kekuatan budaya,
politik, ekonomi atau sebab-sebab sosial yang lain.
Menurut pendapat Max Weber (Gerald
Turkel, 1996: 10) : “…these three approaches are (1) a moral approach to
law, (2) an approach from standpoint of jurisprudence, and (3) a sociologycal
approach to law. Each of these approaches has a distinct focus on the relations
among law and society and ways in which law should be studied”.
Pendekatan moral terhadap hukum
menegaskan bahwa hukum adalah berakar pada kepercayaan-kepercayaan tentang
karakter alami manusia (the nature of human being) dan juga berdasarkan
pada kepercayaan tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar. Perhatian
terhadap hukum adalah terfokus pada tuntutan bahwa hukum harus mengekspresikan
suatu moralitas umum (a common morality) yang didasarkan pada suatu
konsensus tentang apa yang secara moral dianggap salah dan benar.
Pendekatan ilmu hukum berpandangan bahwa
hukum seharusnya otonom. Selanjutnya legitimasi dari pendekatan hukum
seharusnya bersandar pada kapasitasnya untuk membangkitkan suatu perangkat
hukum yang bertalian secara logis (kohern) yang dapat
diaplikasikan baik terhadap tindakan-tindakan individual ataupun terhadap
kasus-kasus, yang dapat menimbulkan hal yang bersifat ambiguitas (bermakna
ganda).
Baik pada pendekatan moral terhadap
hukum maupun pendekatan ilmu hukum terhadap hukum, keduanya
mempunyai kaitan dengan bagaimana norma-norma hukum membuat
tindakan-tindakan bermakna dan tertib. Pendekatan moral mencakupi hukum dalam
suatu arti yang mempunyai makna luas melalui pertalian konstruksi hukum dan
kepercayaan-kepercayaan serta asas yang mendasarinya dijadikan sebagai sumber
hukum.
Pendekatan ilmu hukum mencoba untuk
menentukan konsep-konsep hukum dan hubungannya yang independen dengan asas-asas
dan nilai-nilai non hukum. Kedua pendekatan ini meskipun memiliki
perbedaan meskipun keduanya memfokuskan secara besar pada kandungan dan makna
hukumnya.
Pendekatan sosiologi hukum juga mengenai
hubungan hukum dengan moral dan logika internal hukum. Fokus utama
pendekatan sosiologi hukum menurut Gerald Turkel (Achmad Ali, 1998: 34) adalah:
Pengaruh Hukum terhadap perilaku sosial. Pada kepercayaan-kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat dalam “the social world” mereka. Pada
organisasi sosial dan perkembangan sosial serta pranata hukum. Tentang
bagaimana hukum itu dibuat. Tentang kondisi-kondisi sosial yang menimbulkan
hukum”.
Apabila kita membuat konstruksi hukum
dan membuat kebijakan-kebijakan untuk merealisir tujuan-tujuannya, maka
merupakan suatu hal yang esensial bahwa kita mempunyai pengetahuan empiris
tentang akibat yang dapat ditimbulkan dengan berlakunya undang-undang atau kebijakan-kebijakan tertentu
terhadap perilaku masyarakat. Sesuai dengan pendekatan sosiologis harus
dipelajari undang-undang dan hukum itu, tidak hanya berkaitan dengan maksud dan
tujuan moral etikanya dan juga tidak hanya yang berkaitan dengan substansinya,
akan tetapi yang harus kita pelajari adalah yang berkaitan dengan
bagaimana undang-undang itu diterapkan dalam praktik.
Curzon (1979: 139) menjelaskan : “The term ‘legal sociology’ has been
used in some texts to refer to a spesific study of situations in which the
rules of law operate, and of behavior resulting from the operation of those
rules”.
Kajian terhadap hukum dapat dibedakan ke
dalam beberapa pandangan di antaranya bahwa selain kajian sosiologi hukum
terdapat pula kajian normatif dan kajian filosofis. Jika dalam kajian empiris
sosiologis memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial,
kultur dan hal-hal empiris lainnya, maka kajian normatif memandang hukum dalam
wujudnya sebagai kaidah, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Kajian normatif menekankan kajian pada law in
books, hukum sebagaimana mestinya, olehnya itu berada dalam dunia sollen.
Di samping itu, juga kajian normatif pada umumnya bersifat
preskriptif, yaitu sifat yang menentukan apa yang salah dan apa yang
benar. Kajian normatif terhadap hukum antara lain ilmu hukum pidana positif,
ilmu hukum perdata positif, ilmu hukum tata negara, dan lain-lain.
Selanjutnya yang menjadi obyek utama
kajian sosiologi hukum sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (1998: 19-32),
sebagai berikut : Menurut istilah Donald Black (1976: 2-4) dalam mengkaji
hukum sebagaiGovernment Social Control, sosiologi hukum mengkaji
hukum sebagai perangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan guna
menegakkan ketertiban dalam suatu kehidupan masyarakat. Hukum dipandang sebagai
rujukan yang akan digunakan oleh pemerintah dalam hal, melakukan pengendalian
terhadap perilaku warga masyarakat. Persoalan pengendalian sosial tersebut oleh
sosiologi hukum dikaji dalam kaitannya dengan sosialisasi yaitu proses dalam
pembentukan masyarakat. Sebagai makhluk sosial yang menyadari eksistensi
sebagai kaidah sosial yang ada dalam masyarakatnya, yang meliputi kaidah moral,
agama, dan kaidah sosial lainnya. Dengan kesadaran tersebut diharapkan warga
masyarakat menaatinya, berkaitan dengan itu maka tampaklah bahwa sosiologi
hukum, cenderung memandang sosialisasi sebagai suatu proses yang mendahului dan
menjadi pra kondisi sehingga memungkinkan pengendalian sosial dilaksanakan
secara efektif. Obyek utama sosiologi hukum lainnya adalah stratifikasi.
Stratifikasi sebagai obyek yang membahas sosiologi hukum bukanalah stratifikasi
hukum seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan teori grundnormnya,
melainkan stratifikasi yang dikemukakan dalam suatu sistem kemasyarakatan.
Dalam hal ini dapat dibahas bagaimana dampak adanya strstifikasi sosial
terhadap hukum dan pelaksana hukum. Obyek utama lain dari kajian sosiologi
hukum adalah pembahasan tentang perubahan, dalam hal ini mencakup perubahan
hukum dan perubahan masyarakat serta hubungan timbal balik di antara keduanya.
Salah satu persepsi penting dalam kajian sosiologi hukum adalah bahwa perubahan
yang terjadi dalam masayarakat dapat direkayasa, dalam arti direncanakan
terlebih dahulu oleh pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum sebagai
alatnya.
Berdasarkan fenomena yang telah
diuraikan di atas maka lahirlah konsep law as a tool of
social engineering yang berati bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah
secara sadar masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena
itu, dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan
pengoptimalan efektifitas hukumpun menjadi salah satu topik bahasan sosiologi
hukum (Achmad Ali, 1998: 98-103).
Jadi fungsi hukum itu pasif, yaitu
mempertahankan status quo sebagai a tool of social control,
sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagai a tool of socialengineering.
Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial didominasi oleh
kekuasaan negara. Apabila kajian sosiologi hukum tentang bagaimana fungsi
hukum, sebagai alat pengendalian sosial lebih banyak mengacu pada konsep-konsep
antropologis, sebaliknya kajian sosiologi hukum tentang fungsi hukum sebagai
alat rekayasa sosial lebih banyak mengacu pada konsep ilmu politik dan
pemerintah.
Roscoe Pound sebagai pencetus konsep law
as of tool of social engereering, memandang bahwa problem utama yang
menjadi perhatian utama bagi para sosiolog hukum adalah untuk memungkinkan dan
untuk mendorong pembuatan hukum, dan juga menafsirkan dan menerapkan
aturan-aturan hukum, serta untuk membuat lebih berharganya fakta-fakta sosial
di mana hukum harus berjalan dan di mana hukum itu diterapkan (Achmad Ali,
1998: 14). Roscoe Pound memang harus diakui sebagai kekuatan pemikiran baru
yang mencoba mengonsepsikan ulang bagaimana hukum dan fungsi hukum harus
dipahami. Roscoe Pound merupakan ilmuan hukum yang terbilang orang pertama yang
berani menganjurkan agar ilmu pengetahuan sosial didayagunakan demi kemajuan
teori-teori yang diperbaharui dan dibangun dalam ilmu hukum (Soetandyo
Wignjosoebroto, 2002: 71).
Selanjutnya karakteristik dan kegunaan
sosiologi hukum, menurut Vilhelm Aubert (1969: 10-11), yaitu : “Sosiology of
law is here viewed as a branch of general sosiology, just like family
sosiology, industrial or medical soiology. It should not be overlooked,
however, that sosiology legitimately may also be viewed as auxiliary of legal
studies, an aid in executing the tasks of the legal profession. Sosiological
analyses of phenomena which are regulated by law, may aid legislators or even
the courts in making decisions. Quite important is the critical function of
sociology of law, as an aid in enhancing the legal profession’s awareness of
its own function in society. …Sosiology is concerned with values, with the
preferences and evaluations that underlie basic structural arrgements in a
society”.
Sosiologi hukum memperkenalkan banyak
faktor-faktor non hukum yang mempengaruhi perilaku hukum tentang bagaimana
mereka membentuk dan melaksanakan hukum. Dalam hal ini sosiologi hukum
menekankan pada penerapan hukum secara wajar atau patut, yaitu memahami aturan
hukum sebagai penuntun umum bagi hakim, yang menuntun hakim menghasilkan
putusan yang adil, di mana hakim diberi kebebasan dalam menjatuhkan putusan
terhadap setiap kasus yang diajukan kepadanya, sehingga hakim dapat
menyelaraskan antara kebutuhan keadilan antara para pihak atau terdakwa dengan
alasan umum dari warga masyarakat.
Menurut Baumgartner (Dennis Patterson,
1999: 406) : “Sociology is the scientific study of social life, and the
sociology of law is accordingly the scientific study of legal behavior. Its
mission is to predict and explain legal variation of every kind, including
variation in what is defined as illegal, how cases enter legal system, and how
cases are resolved”.
Sosiologi hukum adalah kajian ilmiah
tentang kehidupan sosial. Salah satu misi sosiologi hukum adalah memprediksi
dan menjelaskan berbagai fenomena hukum, antara lain bagaimana suatu kasus
memasuki sistem hukum, dan bagaimana penyelesaiannya. Sosiologi hukum
menggunakan fakta-fakta tentang lingkungan sosial di mana hukum itu berlaku.
Kajian ini bekerja untuk menemukan prinsip-prinsip sosial yang mengatur
bagaimana hukum bekerja secara konrit di dalam praktik. Sekalipun demikian,
sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap fakta-fakta hukum yang ada
akan tetapi menjelaskan bagaimana fakta-fakta hukum itu sesungguhnya terjadi
dan apa penyebabnya. Sebagaimana penegasan Baumgartner (Dennis Patterson,
1999: 414): “As a scientific enterprise, the sociology of law is not in a
potition to pass judgment on the facts it uncovers. Those facts, however, often
possess great moral relevance for participants and critics of a legal system”.
Pandangan sosiologi hukum pada dasarnya
adalah hukum hanya salah satu dari banyak sistem sosial dan sistem-sistem
sosial lain yang juga ada di dalam masyarakatlah yang banyak memberi arti dan
pengaruh terhadap hukum. Dengan menggunakan pandangan yang sosiologis terhadap
hukum, maka akan menghilangkan kecenderungan untuk selalu mengidentikkan hukum
sebagai undang-undang belaka, seperti yang dianut oleh kalangan positivis atau
legalistik.
Titik tolak sosiologi hukum sebagaimana
dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman (1975: vii), beranjak dari asumsi dasar: “The
people who make, apply, or use the law are human beings. Their behavior is
social behavior. Yet, the study of law has proceeded in relative isolation from
other studies sciences”.
Asumsi dasar yang menganggap bahwa orang
yang membuat, menerapkan dan menggunakan hukum adalah manusia. Perilaku mereka
adalah perilaku sosial. Inilah yang perlu dipahami bahwa hukum bertujuan untuk
manusia dan bukan hukum bertujuan untuk hukum.
Dalam kajian sosiologi hukum, eksistensi
pengadilan tidak mungkin netral atau otonom. Bagaimanapun setiap pengadilan
yang berada pada suatu negara, sangat wajar jika memiliki keberpihakan pada
ideologi dan “political will” negaranya. Oleh karenanya, adalah tidak aneh bagi
sosiologi hukum jika pengadilan menjadi ”älat politik”, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Curzon (1979: 19) : “…the core of political jurisprudence is
a vision of the courts as political agencies and judges as political actors…”.
Oleh karena itu, sosiologi hukum bukanlah sosiologi ditambah hukum, sehingga pakar sosiologi hukum adalah seorang juris dan bukan seorang sosiolog. Tidak lain karena seorang sosiolog hukum pertama-tama harus mampu membaca, mengenal dan memahami, berbagai fenomena hukum sebagai objek kajiannya. Setelah itu, ia tidak menggunakan pendekatan ilmu hukum (dogmatik) untuk mengkaji dan menganalisis fenomena hukum tadi, melainkan ia melepaskan diri ke luar dan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial (Achmad Ali, 1998: 18).
Oleh karena itu, sosiologi hukum bukanlah sosiologi ditambah hukum, sehingga pakar sosiologi hukum adalah seorang juris dan bukan seorang sosiolog. Tidak lain karena seorang sosiolog hukum pertama-tama harus mampu membaca, mengenal dan memahami, berbagai fenomena hukum sebagai objek kajiannya. Setelah itu, ia tidak menggunakan pendekatan ilmu hukum (dogmatik) untuk mengkaji dan menganalisis fenomena hukum tadi, melainkan ia melepaskan diri ke luar dan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial (Achmad Ali, 1998: 18).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar