Dalam pidato
pengukuhan sebagai Guru Besar FISIP UI Bidang Kriminologi pada pertengahan
November 2006 lalu, saya mengangkat tema tentang Kejahatan Negara. Melalui tema
tersebut diketengahkan pembahasan kriminologis tentang kejahatan negara sebagai
fenomena yang relatif baru dikaji di Indonesia, walaupun telah jelas indikasi bahwa berbagai bentuk kejahatan negara telah cukup lama terjadi dan juga telah
mengimplikasikan banyak hal di Indonesia.
Dalam pidato tersebut,
saya mengetengahkan beberapa preposisi kriminologis terkait kejahatan negara
sebagai berikut:
Semakin bersifat
personal pelaku suatu kejahatan atau penyimpangan, semakin mudah dilihat dan
diperlakukan, sekaligus ditindak, sebagai suatu kejahatan atau penyimpangan.
Sebaliknya, semakin bersifat impersonal dan massal suatu kejahatan atau
penyimpangan, baik terkait pelaku maupun korbannya, semakin tidak mudah
diperlakukan sebagai kejahatan atau penyimpangan, apalagi ditindak.
Terdapat hubungan
korelatif antara fenomena kejahatan dan penyimpangan level mikro-messo dengan
kuat-lemahnya negara. Saat kekuatan negara berkurang, yang mengakibatkan
berkurang pula kontrol negara atas perilaku berbagai elemen kemasyarakatan,
maka kejahatan dan penyimpangan pada level mikro-messo meningkat. Sebaliknya,
negara yang kuat akan mampu menjangkau berbagai fenomena mikro-messo tersebut
dan menetralisirnya tanpa takut atau khawatir kehabisan tenaga saat muncul
ekses-ekses ikutannya.
Jika negara menguat
atau amat kuat, kejahatan dan penyimpangan oleh negara lebih berupa suatu
tindakan aktif (commission) dalam rangka melanggar hak-hak warga negara
dengan atau tanpa mengindahkan sistem hukum yang ada. Sebaliknya, jika negara
melemah sebagaimana terlihat dewasa ini, maka kejahatan dan penyimpangan oleh
negara lebih berupa pembiaran (omission) terkait dengan kejahatan dan
penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak lain, khususnya yang berada pada level
messo-mikro.
Semakin besar niat
untuk menghindarkan diri melakukan kejahatan ataupun penyimpangan negara,
diperkirakan akan semakin banyak muncul hambatan, yang salah satunya berasal
dari elemen-elemen dalam negara itu sendiri.
Terhadap dugaan
kejahatan yang dilakukan entitas sebesar negara, kemungkinan solusi terbaik
adalah melalui konsolidasi sosial-politik antar-elemen-elemen non-negara, dan
bukan dengan membawanya ke jalur hukum.
Apabila disebut
sebagai preposisi kriminologis, hal itu mengingat gaya berpikir preposisi-preposisi
tersebut yang berbeda dengan preposisi hukum yang lebih melihat dan bersandar
pada ada-tidaknya ketentuan normatif serta diperlukannya acara dan proses
beracara yang tepat dalam rangka menggunakan ketentuan tersebut. Preposisi
kriminologis juga berbeda dengan pendekatan hak asasi manusia mengingat
preposisi ini dalam beberapa hal melihat pelanggaran hak asasi manusia sebagai
sesuatu yang tak terhindarkan serta melekat dalam dinamika negara dan, bahkan,
dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.
Tulisan ini pada
dasarnya ingin mengemukakan beberapa preposisi kriminologis lainnya terkait
tema kejahatan negara, yang berangkat dari suatu pertanyaan awal perihal adakah
pola sehubungan dengan kemauan dan kemampuan melakukan kejahatan negara (dari berbagai
bentuknya) dikaitkan dengan perkembangan berbagai sistem dalam negara. Jika
ada, maka menarik untuk diketahui, mengapa dan bagaimana pola itu kemudian bisa
bertahan atau berubah. Kalaupun tidak ada pola, juga tetap menarik untuk
diketahui mengapa demikian.
Sistem dalam Negara
Negara baru bisa
berjalan dan berfungsi jika secara simultan dan komplementer menjalankan
berbagai sistem yang secara inklusif dan eksklusif memang merupakan kewenangan
dan porsi negara untuk menjalankannya. Sistem tersebut adalah sistem politik,
sistem ekonomi, serta sistem hukum. Masih menjadi perdebatan, apakah terkait
sistem-sistem lain, negara juga memiliki kewenangan dan porsi sebesar tiga
sistem sebelumnya; katakanlah menyangkut sistem sosial, sistem budaya, sistem adat
(ada pula yang menyatukannya dengan sistem budaya), sistem agama, sistem
keamanan, serta sistem perilaku
(terdapat kalangan yang tidak menyetujui penyebutan tentang hal ini). Khusus
mengenai sistem politik dan sistem ekonomi sendiri, ada yang menyebutnya
sebagai sistem ketatanegaraan serta sistem moneter.
Mengapa disebut
sistem, karena pada dasarnya terjadi proses pengolahan atas input guna
menjadi output yang dikehendaki dan, setelah memasuki tingkatan dampak,
akan kembali menjadi sumber input. Dalam
konteks tersebut, maka sistem politik dapat dikatakan merupakan sistem yang
mengolah variabel-variabel yang diperlukan dalam rangka dihasilkannya suatu
keputusan, kebijakan, atau tindakan politik tertentu. Adapun pengolahnya adalah
para partisipan yang aktif dalam sistem
politik seperti pemerintah yang berkuasa, parlemen, partai politik, maupun
individu ataupun lembaga yang biasa dikelompokkan menjadi entah itu kelompok
pengawas (oversight group) kelompok penekan (pressure group),
atau kelompok kepentingan (interest group).
Terkait sistem
ekonomi, maka partisipannya adalah pemerintah itu sendiri, parlemen, komisi
persaingan usaha, pasar, asosiasi-asosiasi terkait berbagai bidang usaha dan
usahawan, pemodal, maupun masyarakat konsumen itu sendiri. Mereka berinteraksi
dalam suatu sistem ekonomi dan menghasilkan keluaran berupa, sebagai contoh,
operasi pasar, harga dasar gabah, penentuan kuota, dan sebagainya.
Terkait sistem hukum,
yang dilihat adalah berbagai proses dan interaksi dalam rangka pembentukan,
evaluasi, dan penerapan hukum seiring dengan niatan melakukan kriminalisasi
atau dekriminalisasi terkait perilaku tertentu. Hal tersebut dilakukan oleh
lembaga-lembaga seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, berbagai komisi yang
terkait dengan hukum, parlemen, media massa, serta masyarakat sendiri selaku
subjek hukum.
Tentu saja, dalam
rangka pergulatan atau interaksi dalam ketiga sistem tersebut, selalu akan
terjadi situasi menang-kalah, berhasil-gagal, terpenuhi-tidak terpenuhinya
aspirasi serta kepentingannya, dilanjutkan dengan timbulnya perasaan seperti
senang-sedih, jengkel-bangga, dan sebagainya. Meskipun demikian, apabila yang
muncul justru perasaan sebagai korban (felt victimized), maka ada
kemungkinan proses atau interaksi dalam sistem tersebut sebenarnya berlangsung
tidak transparan (sehingga banyak hal menjadi tidak terbuka), curang, tidak
etis, tidak adil atau diskriminatif, ataupun telah direkayasa agar berakhir
dengan hasil tertentu yang dikehendaki.
Amat mungkin, perasaan
sebagai korban tersebut merupakan sesuatu yang individual sifatnya. Jika
demikian, hal itu tidak dibicarakan di sini. Yang menjadi fokus pembahasan ini
adalah situasi viktimisasi yang
mengimplikasikan orang dalam jumlah yang besar atau massal dan hampir
dapat dipastikan dilakukan (secara sengaja atau tidak sengaja, langsung atau
tidak langsung) oleh pihak yang mewakili negara.
Satu contoh, menjelang pemilihan umum,
pemerintah mengeluarkan ketentuan terkait pembatasan jumlah partai politik. Hal
ini jelas merugikan berbagai pihak. Ketika ketentuan itu terkait dengan rencana
memenangkan partai pemerintah, misalnya,
maka ketentuan yang dianggap menyimpang itu tambah terasa menyakitkan. Contoh lain, mengenai
penanganan demonstrasi secara melanggar ketentuan dan brutal. Aparat negara
yang melakukannya juga dapat dianggap sebagai telah melakukan kejahatan negara.
Selain proses dan
interaksi dalam masing-masing sistem, negara juga bertugas mengkoordinasikan
dan mensinergikan ketiganya. Persoalan sistem mana yang didahulukan, kepentingan
apa yang ditonjolkan, adalah persoalan pilihan kebijakan yang tak jarang harus
diputuskan secara strategik. Walau demikian, sebenarnya negara dapat saja
dituding telah berbuat tidak adil, karena memberikan preferensi tanpa dasar
yang kuat. Hal itu tersirat dalam ungkapan-ungkapan seperti ”politik sebagai
panglima”, ”politik no, ekonomi yes”, ”hukum adalah bahasa tertulis dari
politik”, dan sebagainya.
Definisi
Sebelum terlalu jauh,
definisi kejahatan negara yang digunakan dalam pembahasan ini adalah dari Green
and Ward,
sebagaimana dikutip Christine A. Monta sebagai berikut, ”state organizational deviance involving the violation of
human rights.” Definisi tersebut kemudian dielaborasi lebih jauh menjadi
tiga komponen, yakni negara, penyimpangan organisasi, dan hak asasi manusia.
Yang dimaksud dengan
”negara”, menunjuk pada pihak yang memiliki kewenangan eksklusif untuk
menggunakan kekuatan atau kekerasan (force). Sedangkan penyimpangan
organisasional menunjuk pada pelanggaran terhadap satu atau lebih standar
perilaku (termasuk hukum) dalam rangka mencapai tujuan-tujuan negara. Terakhir,
Green & Ward melihat hak asasi manusia sebagai suatu klaim moral yang
dibuat dalam rangka pemenuhan kebutuhan fundamental.
Masih menurut Green
& Ward, keduanya lalu melihat beberapa varian aktivitas kejahatan negara.
Varian itu adalah: kejahatan yang sering
terjadi dan kerap tidak dilaporkan (seperti korupsi, kejahatan korporasi
berkolaborasi dengan negara, serta kejahatan terorganisasi), kejahatan yang
termasuk mengerikan dan luar biasa (teror oleh negara, terorisme, penyiksaan,
kejahatan perang, dan genosida), serta krisis di mana negara bukanlah pelaku
langsungnya (misalnya, bencana alam dan kejahatan terkait kepolisian).
Telaahan di atas jauh
lebih dalam dibanding Robert Elias yang melihat bahwa kejahatan negara adalah
sekadar ilegalitas yang dilakukan oleh negara sendiri. Kejahatan negara dalam
hal ini dilakukan dengan cara melanggar
hukum umum maupun hukum khusus, yang sengaja dilakukan untuk membatasi oposisi
politik.
Memang benar bahwa
kejahatan negara lebih banyak dikaitkan dengan politik dan penggunaan kekerasan
(salah satunya oleh militer), utamanya ditujukan terhadap perilaku politik
kalangan non-negara atau oposan pemerintah. Pembahasan ini bereksperimen
mencari asosiasi antara kejahatan negara dan variabel lainnya yang lebih kurang
umum, yakni dalam konteks kemasyarakatan (sistem sosial) dan mekanisme
pencarian keadilan (sistem hukum).
Asosiasi
Dengan semakin
tingginya kecanggihan (sophistication) dari berbagai sistem tersebut,
terlihat asosiasi antara sistem tertentu dan prevalensi atau ketermungkinan
terjadinya kejahatan negara dalam berbagai jenis, pola, dan motivasinya:
Kemungkinan Terjadinya Kejahatan Negara
|
Sistem Politik
|
Sistem Ekonomi
|
Sistem Hukum
|
Tinggi
|
Otoriter; Totaliter
|
Sosialisme
|
Repressive; Retributive
|
Sedang
|
Monarki
Demokrasi
|
Kapitalisme
|
Rehabilitative
|
Rendah
|
Alternative
Dispute;
Conflict
Resolution;
Out-of-Court Settlement
|
Sebagaimana terlihat
pada tabel di atas, terkait sistem politik yang bercirikan otoritarianisme atau
totaliterisme, maka proses politik yang seyogianya mengandalkan besaran (dan perbandingan besaran)
representasi politik terkait diambilnya suatu kebijakan atau arah roda
pemerintahan, tidak diindahkan. Pemerintah
yang berkuasa sepenuhnya mengandalkan
kekuatan politik yang ditopang oleh militer atau partai. Dengan
demikian, tidak diperlukan dialog, lobi, konsultasi, atau partisipasi. Semua
proses politik cukup diawali oleh keinginan satu orang saja, yakni pimpinan
tertinggi negara, dan seluruh organ negara akan digerakkan ke arah tersebut
tanpa akuntabilitas yang memadai. Dalam konteks tersebut, ketermungkinan
terjadinya kejahatan negara dari jenis yang sublim (misalnya, marjinalisasi
menyangkut peran dan identitas) sampai dengan yang vulgar (kekerasan fisik),
amat mungkin terjadi. Kontrol kepada pemerintah, apalagi sanksi, tidak bisa
diupayakan karena sistem tidak berjalan, seluruhnya tergantung pada kemauan
penguasa.
Terkait sistem
ekonomi, maka kejahatan negara lebih mungkin terjadi dalam sistem ekonomi sosialis yang tidak memberikan
ruang bagi kebervariasian dalam hal berpendapat dan bertingkah laku. Semakin
tinggi kebervariasian, semakin jelas
situasi kebebasan. Ketiadaan ruang tersebut ditunjang juga dengan sistem
hukum yang bertendensi menekan (repressive) dan mengganjar (retributive),
serta yang lebih mengedepankan tujuan daripada cara (demikian pula dibanding
proses yang hati-hati dan cermat) dalam rangka memperoleh legitimasi hukum formal.
Diperkirakan,
kejahatan negara yang berada pada level sedang sampai dengan rendah akan
ditemui pada sistem politik monarki, sistem ekonomi kapitalis, dan sistem hukum
yang bernuansa rehabilitatif. Mengapa demikian? Hal itu mengingat pada sistem
politik, sistem ekonomi, dan sistem hukum dimaksud sebenarnya tidak atau kurang
berpotensi menghasilkan implikasi terkait lahirnya kejahatan negara yang besar
dan serius dibanding sistem politik totaliter, sistem ekonomi sosialis, dan
sistem hukum yang retributif, dan seterusnya.
Meskipun demikian,
tingkat kesulitan yang tinggi (delicacy) dalam rangka menjalankan sistem
politik monarki, apalagi demokrasi, demikian pula dengan sistem ekonomi
sosialis, selalu memungkinkan terjadinya
kejahatan negara, khususnya dari bentuknya yang tidak intensional atau yang
dapat dianggap sebagai kesalahan yang terjadi akibat ketidaksempurnaan atau
keterbatasan hukum (legal limitation). Atau, bisa juga dikatakan, tidak
memiliki motif kriminal. Sebagai contoh, yakni tentang pasal-pasal hukum
mengenai penghinaan (nisacato, defamation) yang secara formal dapat
diterima, tetapi bisa dianggap tidak konstitusional dan menghina kebebasan
berekspresi.
Terkait dengan sistem
hukum, isunya pun sama saja. Kejahatan negara bisa terjadi sebagai suatu
kesalahan atau ketidakakuratan dalam menjalankan sistem hukum dengan model
rehabilitatif maupun yang menekankan alternative dispute (beserta
variasinya yakni conflict resolution dan out-of-court settlement).
Model rehabilitatif dan varian-variannya itu secara substansial memang
mengharuskan negara untuk bertindak baik serta sensitif, menjauhi kekerasan dan
pertarungan kekuatan baik dalam sistem politik maupun yang lain. Dengan
demikian, prevalensi bagi terjadinya kejahatan negara dari sudut yang tidak
intensional, baik disengaja maupun tidak, sebenarnya amat rendah.
Pola
Terkait penjelasan di
atas bahwa ada pola tertentu kekerasan
negara yang dapat dikaitkan
dengan sistem-sistem yang hidup dalam negara,
bisa didiskusikan dua hal sebagai berikut: Pertama, mengapa tidak selalu
terjadi kesejajaran antara, katakanlah, sistem politik yang berpotensi tinggi
dalam hal kejahatan negara, dengan sistem sosial yang juga sama tinggi
potensinya? Kedua, mengapa tidak semua negara memilih dan mengembangkan bentuk-bentuk
sistem politik, sistem sosial, maupun sistem hukum dari bentuk yang cenderung
sedang sampai rendah dari segi kemungkinan terjadinya kejahatan negara?
Untuk yang pertama,
kita dapat kembali pada penjelasan di atas bahwa tugas negara adalah melakukan
sinergi atau koordinasi antara ketiga sistem tersebut. Salah satu bentuk
sinergi tersebut berupa pengedepanan atau dikesampingkannya salah satu sistem
dibanding yang lain. Ketika Indonesia
berada dalam era ”politik sebagai panglima”, misalnya, maka apa pun bisa
dilakukan oleh pemerintah dan aparat-aparatnya, mulai dari melakukan atau
melarang suatu hal. Termasuk
dalam hal ini, pelarangan terhadap media, buku, dan budaya. Tidak diperlukan
suatu definisi yang ketat ataupun proses yang sungguh-sungguh tidak melanggar
hukum atau hak asasi manusia, apabila ada hal-hal yang dianggap mengancam atau
mengganggu ketertiban masyarakat.
Tidak hanya semua hal
bisa dianggap mengganggu dan mengancam, tetapi pihak yang bisa
menginterpretasikan serta melakukan tindakan, juga banyak sekali. Dalam buku Premanisme
Politik karya ISAI, misalnya, diuraikan tentang peran militer, ormas yang
berafiliasi dengan militer, maupun milisi dalam merepresentasikan peran negara,
khususnya yang terkait dengan fungsi represi.
Selanjutnya, terkait
pertanyaan mengapa tidak memilih sistem dengan kecenderungan kejahatan negara
yang rendah, maka dapat disebutkan bahwa dalam teori negara, negara dibentuk
dan berjalan guna menyejahterakan masyarakat secara sebesar-besarnya. Sejalan
dengan itu, pilihan model negara berikut bangunan sistem-sistemnya seyogianya
dipilih yang paling kecil kemungkinannya menghadirkan kejahatan negara dari
berbagai bentuknya. Permasalahannya, dalam kehidupan bernegara, khususnya saat
dijalankan melalui dinamika politik, pilihan bangunan negara tidaklah selamanya
linier dengan kemauan memilih sistem dengan risiko prevalensi kejahatan negara
terkecil.
Dari segi perilaku
politik, misalnya, kehadiran militer dalam politik umumnya menimbulkan masalah
samping terkait penghargaan terhadap hak-hak sipil maupun kualitas demokrasi di
suatu negara itu sendiri. Bahkan, dari pengalaman banyak negara, militer banyak
membantu pemerintahan dalam melakukan kejahatan-kejahatan negara yang menurut
varian Green & Ward, sebagaimana dijelaskan di atas, termasuk yang ”mengerikan dan luar biasa”.
Namun, terdapat pula argumen bahwa memang ada situasi-situasi tertentu yang
membutuhkan dan menjustifikasi kehadiran militer, misalnya tatkala politisi sipil
terlalu terpolarisasi atau terdapat ancaman bagi keselamatan negara.
Selanjutnya, dari segi
struktur kemasyarakatan, pemberian privilege dan perlindungan terhadap
(sebagian) kelas menengah terkadang
perlu dilakukan guna menggerakkan perekonomian seluruh masyarakat yang secara
struktur berbentuk piramidal. Tentu saja pertimbangan transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi terpaksa dikesampingkan dulu. Fenomena ini biasa
dikenal dengan sebutan ”Directly Unproductive Profit Seeking Schemes” (DUP’s). Pemberian preferensi seperti ini sebenarnya
secara substansial bisa dipermasalahkan, tetapi untuk sementara dikesampingkan
demi suatu tujuan strategik tertentu, yakni bergeraknya roda perekonomian
akibat telah berperannya kelompok tersebut selaku lokomotifnya.
Masalahnya, kejahatan
negara kemudian bisa semakin terlihat, dan malah mendapat rasionalisasi, ketika kelompok yang sebenarnya dimanja
ini meminta negara melakukan sesuatu
yang, katakanlah, semakin tidak etis dalam memberikan berbagai kesempatan dan
informasi kepada mereka secara lebih cepat dan lebih banyak dibanding kepada
pihak lain. Atau, membantu kalangan itu melanggar hukum ataupun melakukan
sesuatu yang secara zero-sum-game
akan otomatis merugikan pihak lain.
Varian ”kejahatan
negara yang sering terjadi dan jarang dilaporkan” juga dapat muncul pada saat
terjadi perubahan sosial di masyarakat yang lalu mengakibatkan banyak pranata
dan aturan sosial belum berubah, tidak lagi cukup atau bahkan tidak ada. Jika
korupsi terjadi akibat dari lemahnya peraturan, ketiadaan pengawasan, atau
terkait hal-hal baru yang belum diatur, maka itulah bukti adanya asosiasi
antara perkembangan dalam sistem sosial dan kejahatan negara.
Mengenai sistem hukum,
maka sebagaimana dimaklumi bersama, keadilan hukum (legal justice) dapat
ditempuh dan dicapai melalui berbagai cara dan pendekatan. Dari segi peradilan
pidana, setidak-tidaknya dikenal dua model: due process of law dan crime
control model. Dari segi kepolisian, juga setidak-tidaknya dikenal dua
model: conventional types of policing dan pengembangannya, yakni contemporary
types of policing. Dari segi peradilan juga demikian, kita kenal court
settlement for legal dispute serta kontrasnya yakni out-of-court
settlement (atau yang biasa disebut dengan alternative dispute
resolution). Dari segi proses beracara
di pengadilan, juga bisa dibedakan dari segi formil (ketaatan pada tuntutan
beracara) dan materiil (substansi hukum). Dan sebagainya.
Kejahatan negara,
khususnya dari varian Green & Ward, yakni ”di mana negara bukanlah pelaku
langsungnya”, berpotensi terjadi ketika sistem hukum melakukan berbagai
tindakan terkait hukum yang, sebagai contoh, dapat dikategorikan tidak
sensitif, menggunakan perundang-undangan yang kontroversial dan dianggap
melanggar hak asasi manusia, terlalu formalistik, melihat pada motivasi atau
niat seseorang dan bukan perbuatan,
serta bahkan telah menjurus pada rekayasa kasus dan penciptaan alat
bukti palsu. Demikian pula halnya ketika negara gagal, karena satu dan lain
hal, dalam melakukan proses hukum terkait pihak-pihak yang terindikasi bersalah
(culpability), jangankan pula untuk menghukum mereka. Dengan demikian,
dalam rangka sistem hukum tersebut, hukum malah menjadi sumber ketakutan. Dan
penegak hukum malah menjadi pelanggar hukum, atau bisa pula disebut sebagai
pembawa masalah itu sendiri.
Penutup
Tulisan ini telah mencoba mengaitkan berbagai sistem yang hidup
dalam suatu negara dengan ketermungkinan terjadinya kejahatan negara serta
prevalensinya. Terlihat bahwa terdapat
sistem politik, sistem sosial, dan sistem hukum yang mengandung ketermungkinan
yang tinggi, sedang, ataupun rendah, demikian pula berbagai tipologi yang
mungkin muncul.
Diharapkan, dengan
pembahasan tersebut, kita bisa memahami esensi dan sekaligus bahaya kejahatan
negara sebagai sesuatu yang mengikuti, apa pun pilihan sistem yang dikembangkan
oleh suatu negara, dalam hal ini Indonesia. Seperti telah diuraikan di atas,
”keunikan” dari bahaya yang bisa dibawa oleh kejahatan negara terletak pada
situasinya yang mirip kapal besar yang
diam yang ombaknya saja sudah bisa menjungkirbalikkan kapal-kapal kecil. Dengan
kata lain, tanpa benar-benar berbuat pun
sebetulnya sudah bisa terjadi kejahatan negara, apalagi berbuat.
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. Pengantar
Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1982.
Elias, Robert. The
Politics of Victimization, Victims, Victimology and Human Rights. Oxford : Oxford University
Press, 1986.
Green, Penny &
Tony Ward. State Crime: Governments,
Violence and
Corruption. London :
Pluto Press, 2004.
Institut Studi Arus Informasi. Premanisme
Politik. Publikasi No. 43, 2000.
Meliala, Adrianus. Menyingkap
Kejahatan Krah Putih. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 2005.
Meliala, Adrianus. ”Kejahatan
Negara: Beberapa Pelajaran dari Indonesia”. Pidato Pengukuhan
Ross, Jeffrey Ian. Varieties
of State Crime and its Control. N.Y.: Criminal
Justice Press, 2000.
Sanit, Arbi. Sistem
Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan
Pembangunan. Jakarta: Rajawali Pers, 1981.
Sen, Krishna &
David T. Hill. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Terjemahan. Jakarta : Institut Studi
Arus Informasi, 2000.
Ungar, Mark. Elusive
Reform: Democracy and the Rule of Law in Latin
American.
Boulder : Lynne
Rienner Publisher, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar