Selasa, 09 Oktober 2012

Penegakan Hukum dalam Kasus Penyelundupan


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Era globalisasi yang ada saat ini membuka peluang untuk terbukanya pasar bebas lintas antar negara. Masing-masing negara memiliki peluang besar untuk saling mengisi kebutuhan di dalam negeri, baik dari segi infrastruktur maupun suprastruktur. Globalisasi dibarengi dengan kemajuan teknologi. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi kian meningkat sehingga membuat batas-batas antar negara semakin semu. Jalur lalu lintas pun semakin mudah untuk diakses.
Semakin terbuka lebarnya jalan lalu lintas antar negara pada era globalisasi ini menyebabkan meningkatnya pula mobilitas barang dan manusia antar satu negara ke negara lain.  Dalam memenuhi kebutuhannya, secara tidak langsung negara membuka lebar pintu masuk dan akses ke dalam ruang lingkup batasan negara. Masing-masing  individu juga dengan mudah melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lain dengan berbagai kepentingan. Dengan fenomena ini, berbagai usaha dilakukan untuk tetap menjaga keamanan dan stabilitas negara, seperti menetapkan peraturan-peraturan tentang keimigrasian, walau masih banyak terdapat lubang-lubang hitma yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu secara ilegal demi kepentingan pribadi.
Era globalisasi kemudian memunculkan potensi untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Akses yang gampang dan peraturan yang mudah dipermainkan menimbulkan suatu praktek kejahatan lintas negara.  Kejahatan lintas negara ini sejatinya sudah ada sejak dahulu, tetapi sesuai perkembangan jaman, pelbagai inovasi telah dilakukan oleh para pelanggar sehingga kejahatan lintas negara pun muncul dalam kemasan yang teroganisir dengan melibatkan banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kejahatan lintas negara, atau yang dikenal dengan istilah kejahatan transnasional menimbulkan banyak kerugian bagi suatu negara, bahkan bagi daerah-daerah tertentu di dalam negara tersebut.  Pelbagai penyimpangan yang dapat dilakukan, seperti pengeksploitasian sumber daya (sumber daya alam dan sumber daya manusia) yang terlalu berlebihan bedampak kepada manusia yang ada dunia, dengan munculnya atau menguatnya masalah-masalah, seperti kemiskinan, konflik, dan kerugian lainnya yang bersifat materi. Bencana alam pun menjadi salah satu masalah yang kemudian dipertanyakan sebab-musabab munculnya  terkait dengan praktek kejahatan antar bangsa yang mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan. Dengan demikian, kejahatan transnasional  “berhasil” menjadi masalah bersama, masalah di negara-negara dunia; menjadi masalah nasional dan internasional.
Indonesia sebagai salah satu negara di dunia juga memiliki potensi yang kuat untuk terjadinya praktek kejahatan transnasional.  Kejahatan transnasional bukan hanya didorong oleh faktor perdagangan bebas yang terbuka lebar atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi juga didukung oleh wilayah geografis Indonesia itu sendiri.  Indonesia yang bentuk negaranya adalah kepuluan secara geografis memiliki banyak pintu masuk: bandara, pelabuhan, batas darat dan perairan. Selain itu, Indonesia yang juga memiliki garais pantai yang sangat panjang, dan merupakan wilayah yang terletak pada posisi silang jalur lalu lintas dagang dunia, juga menjadi faktor utama yang menyebabkannya berpotensi kuat untuk terjadinya kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional di negeri ini juga dapat terjadi karena jumlah penduduk Indonesia yang terbilang besar. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang memiliki sumber tenaga kerja yang besar dan sebagai target untuk perkembangan pasar internasional. Berbagai kendala dihadapi oleh Indonesia dalam menghadapi persoalan kejahatan transnasional, seperti kurang sumber daya manusia yang kompeten, kendala dalam bidang teknologi, dan lemah secara yuridik dan diplomatik.
Besarnya potensi terjadinya kejahatan transnasional di Indonesia ini merupakan suatu masalah yang perlu mendapat perhatian. Dengan demikian perlu diadakan suatu kajian terhadap masalah-masalah yang terkait dengan kejahatan lintas negara yang melanda Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Semakin besarnya akses lintas negara membuka peluang besar pula terhadap terjadinya tindakan kejahatan yang melanggar peraturan perudang-undangan. Masalah dari suatu negara bisa menjadi masalah bagi negara lain karena banyak faktor yang menyebabkannya.
Dalam makalah ini akan dibahas salah satu masalah kejahatan transnasional yang perlu mendapat perhatian dari kebijakan yang ada di Indonesia, yaitu penyelundupan orang atau people smuggling.  Banyaknya pemberitaan di media yang mengabarkan tentang imigran gelap yang singgah di Indonesia, atau orang asing dari negara lain yang meminta suaka ke Indonesia, menegaskan bahwa people smuggling merupakan salah satu masalah yang cukup serius. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah people smuggling yang belum tertangani dengan baik memberikan banyak kerugian yang signifikan bagi bangsa ini. Maka dari itu, berangkat dari masalah people smuggling ini penulis menyusun rumusah masalah sebagai berikut:
1.      Apa latar belakang yang menyebabkan terjadinya people smuggling yang melanda Indonesia?
2.      Bagaimanakah kebijakan yang telah disusun di Indonesia terhadap masalahpeople smuggling tersebut serta pengaruhnya terhadap usaha pengatasan masalah tentang imigran gelap?
3.      Apa saran atau rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan dalam mengatasi masalah people smuggling?

C. Tujuan
Tujuan pertama pembuatan makalah ini adalah memaparkan dan menjelaskan dengan jelas latar belakang yang menyebabkan terjadinya praktek penyelundupan orang sehingga menimbulkan masalah bagi Indonesia. Yang kedua adalah melihat dan menilai kebijakan yang telah dicanangkan oleh Pemerintah dalam usahanya mengatasi masalah people smuggling. Yang terkahir adalah menyajikan solusi dan saran atau rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan dalam menghadapi masalah yang dimaksud guna untuk mengoreksi kebijakan yang telah ada.

D. Manfaat
Manfaat yang dapat diberikan dari pembuatan makalah ini adalah dapat mengetahui dan melihat masalah people smuggling secara mendalam, mulai dari latar belakang terjadinya masalah tersebut hingga usaha-usaha apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasinya. Makalah ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan sebagai saran dan kritik terhadap berbagai langkah yang telah diambil dalam suatu kebijakan dalam menghadapi masalah people smuggling. Selain itu, makalah ini juga dipersembahkan sebagai sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang studi kejahatan, khususnya dalam bidang kebijakan kriminal dan kejahatan transnasional.


BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

A. Permasalahan People Smuggling
Migrasi bukanlah fenomena yang baru. Selama berabad-abad, manusia telah melakukan perjalanan untuk berpindah mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang lain. Dalam beberapa dekade terakhir ini, proses globalisasi telah meningkatkan faktor yang mendorong para imigran untuk mencari peruntungan di luar negeri. Hal ini kemudian menyebabkan meningkatnya jumlah aktivitas migrasi dari negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Eropa Timur ke Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara (http://www.interpol.int/). Berangkat dari fenomena ini lah kemudian muncul praktek penyimpangan, yaitu melakukan aksi untuk memindahkan manusia ke negara-negara tujuan secara ilegal karena batasan dan ketidakmampuan dari para imigran dalam memenuhi syarat sebagai imigran resmi.
People smuggling adalah sebuah kejahatan. Dikatakan demikian karena people smuggling secara jelas melanggar ketentuan-ketentuan resmi dari negara-negara yang bersangkutan. Telah diakui bahwa people smuggling merupakan suatu tindakan melanggar hak asasi manusia dan bentuk perbudakan kontemporer. Para imigran diperlakukan dengan tidak baik. Sangat sering kondisi perjalanan yang tidak manusiawi; ditumpuk dalam angkutan (umumnya perahu) yang penuh dan sesak, dan bahkan sering terjadi kecelakaan yang fatal. Setibanya di tempat tujuan, status ilegal mereka menyebabkan mereka terpaksa menjadi budak para penyelundup yang memaksa bekerja selama bertahun-tahun di pasar tenaga kerja ilegal. Para imigran secara tidak langsung dieksploitasi oleh pihak tertentu demi keuntungan materil (Ibid).
People smuggling menjadi lahan bisnis tersendiri yang sangat menguntungkan. Diperkirakan setiap tahunnya dapat menghasilkan keuntungan sebesar lima hingga sepuluh juta  dolar. Berdasarkan perkiraan tersebut, setidaknya satu juta imigran harus membayar rata-rata sebesar lima hingga sepuluh ribu dolar secara paksa ketika melintasi perbatasan antar negara. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa penyelundupan manusia, yang merupakan “sisi gelap” dari globalisasi, adalah sebuah bisnis besar yang kian tumbuh dan berkembang (Philip Martin & Mark Miller, 2000: 969). Selain itu, people smugglingjuga menimbulkan masalah tersendiri bagi negara tempat mereka meminta suaka. Hal ini juga melanda negara Indonesia.
Pada bulan Oktober dan November 2009 lalu, aparat keamanan Republik Indonesia menangkap serombongan imigran dari dua negara, Sri Lanka dan Afganistan, karena memasuki wilayah Indonesia di daerah Banten. Kejadian pada tanggal 11 Oktober 2009 lalu, sebanyak 255 imigran asal Sri Lanka, yang menaiki kapal kayu pengangkut barang, ditangkap di perariran Selat Sunda. Kemudian pada tanggal 15 November 2009, giliran 40 imigran asal Afganistan yang ditangkap di daerah Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pada awalnya Pemerintah memperlakukan para imigran dengan baik dengan alasan menyunjung Hak Asasi Manusia. Namun kemudian muncul pertanyaan sampai kapan perhatian itu harus diberikan; merelakan para imigran sebagai tanggungan negara Indonesia menjadi masalah tersendiri yang dihadapi oleh Pemerintah, terutama Pemerintah Daerah Provinsi Banten (http://female.kompas.com, 23 November 2009).
Penjelasan di atas adalah salah satu contoh kasus tentang penyelundupan orang yang terjadi di Indonesia. Banyak para imigran gelap yang diselundupkan dengan negara tujuan ke Australia, melewati perairan Indonesia sehingga Indonesia terkena imbasnya. Namun demikian, maraknya kejadian penyelundupan manusia yang berhasil dideteksi oleh aparat keamanan ternyata dapat terjadi dengan adanya kontribusi dari orang Indonesia sendiri. Salah satunya adalah nelayan-nelayan Indonesia yang dilibatkan dalam usaha menyelundupkan para imigran tersebut dengan diming-imingi sejumlah uang (Berita Nasional,http://vibizdaily.com/, 25 Juli 2010). Dalam pemberitaan yang lain, dalam kasus 74 imigran gelap asal Iran dan Afganistan di Yogyakarta, juga melibatkan para nelayan (http://liranews.com/, 18 Oktober 2010).
Masalah penyelundupan manusia yang melanda Indonesia semakin serius. Jika pada awalnya para imigran gelap yang tertangkap oleh aparat keamanan Republik Indonesia di perbatasan wilayah negara adalah merupakan kelompok yang memiliki tujuan untuk ke negara Australia, dan menjadikan Indonesia sebagai negara transit saja, kini malah negara Indonesia yang menjadi tujuan utama.
Praktek penyelundupan orang atau people smuggling telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir dan pada saat ini, laporan signifikan mengenai jumlah imigrasi tidak resmi terus meningkat di berbagai negara. People smugglingumumnya dapat terjadi dengan persetujuan dari orang atau kelompok yang berkeinginan untuk diselundupkan, dan alasan yang paling umum dari mereka adalah peluang untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki status ekonomi, harapan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik bagi diri sendiri atau keluarga, dan juga untuk pergi menghindari konflik yang terjadi di negara asal.
Menurut laporan yang dimuat di website Organisasi Polisi Internasional (Interpol), pada tahun 2006 hampir 31.000 imigran, setengahnya berasal dari Senegal, berbondong-bondong bergerak menuju kepulauan Canary, Spanyol. Para imigran gelap cenderung melakukan perjalanan dengan menggunakan perahu dalam perjalanan di laut terbuka dengan jarak yang demikian jauh. Sejak tahun 2003, telah ada perpindahan yang signifikan dari para imigran Irak dan terus meningkat hingga tahun 2006. Sebagian besar dari mereka telah melarikan diri ke Yordania dan Suriah, tetapi tetap ditemui pergerakan yang signifikan ke arah Eropa, Amerika dan Australia (http://www.interpol.int/).
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) memperkirakan bahwa, secara global, empat juta orang dipindahkan secara ilegal setiap tahunnya. Hal ini dapat terjadi karena praktek menyelundupkan manusia sangat menguntungkan, beresiko relatif lebih rendah dan seiring dengan meningkatnya kerja jaringan kejahatan teroganisir dalam ruang lingkup internasional. Sementara itu, Pemerintahan Australia menyatakan bahwa selama periode dari tahun 1999 hingga tahun 2001 kecenderungan dalam aktivitas  penyelundupan manusia terus berkembang, ditunjukkan dengan peningkatan yang signifikan terhadap jumlah pendatang yang tidak sah dengan menggunakan perahu Namun dalam kasus Australia, permasalahan people smuggling mengalami penurunan akibat kebijakan yang dicanangkan oleh Depeartemen Imigrasi, Multikultural dan Urusan Pribumi (DIMIA) dengan penghentian hampir menyeluruh terhadap kapal-kapal yang tidak sah dalam beberapa tahun terakhir. Mengacu kepada laporan DIMIA, pada tahun 2004 hingga 2005, terdapat 94 kasus baru people smuggling, angka ini merupakan penurunan sebesar 26,6% dibandingkan tahu 2003 dan 2004.  Selain itu, 88 kasus people smuggling diselesaikan pada tahun yang sama, yang juga merupakan penurunan sebesar 38,5% dibandingkan tahun sebelumnya (Lihat dihttp://www.immi.gov.au/).
Hal ini berbeda dengan Indonesia, hingga tahun 2010 kasus people smugglingterus meningkat dengan berbagai modus operandi. Jumlah kasus imigran gelap yang masuk ke Indonesia selama periode Bulan Januari hingga Bulan Mei, tahun 2010 mencapai 61 kasus. Angka ini merupakan peningkatan yang sangat signifikan karena mencapai hampir 100% dari jumlah kasus ditahun sebelumnya, yaitu sebesar 31 kasus. Jumlah imigran gelap yang masuk ke Indonesia pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,7%, atau meningkat sebesar 67 orang sehingga jumlah imigran pada tahun 2010 adalah 1.245 imigran, sedangkan di tahun 2009 adalah 1.178 imigran. Selain itu, Direktorat Jenderal Imigrasi juga mencatat bahwa Pemerintah Indonesia mengirimkan kembali para imigran ke negara asal, sedikitnya 1.290 orang imigran gelap, setiap tahunnya (http://www.antaranews.com/, 3 Agustus 2010).
People smuggling atau persoalan imigran gelap adalah sebuah permasalahan yang menjadi sebuah tantangan besar bagi para penegak hukum, baik nasional dan internasional, dan juga mempengaruhi bagi perkembangan kebijakan dan undang-undang tentang imigrasi bagi negara-negara di dunia (http://www.interpol.int/).
People smuggling sesungguhya berangkat dari adanya dorongan untuk menjadi imigran gelap. Oleh karena itu, sebab-sebab yang memunculkan terjadinya imigran gelap dapat pula menjadi sebab-sebab munculnya tindakan penyelundupan manusia.
People smuggling dapat terjadi karena banyak faktor, terutama faktor pendorong yang menyebabkan banyaknya penduduk dari suatu negara melakukan perpindahan dari negara asal ke negara-negara tujuan. Salah satu faktor yang paling utama adalah konsekuensi ekonomi. Sebuah negara yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan menyebabkan banyaknya pengangguran yang lebih memilih pindah dari negara asalnya untuk mencari tempat dengan harapan dapat mendapatkan pekerjaan. Contohnya adalah di Mexico yang cukup gagal dalam menciptakan lapangan kerja (Richard Mines & Alain de Janvry, 1982: 444). Kalaupun ada lapangan pekerjaan, upah yang minim menjadi alasan bagi para imigran untuk melakukan migrasi dari negara asalnya (Michael P. Todaro & Lydia Marusko, 1987: 101).
Masalah ekonomi ini juga dapat dipicu oleh konflik yang terjadi di negara asal tersebut. Konflik atau perang yang berkepanjangan menyebabkan terjadinya kemiskinan sehingga jumlah pengangguran menjadi sangat banyak. Peperangan atau konflik yang terjadi di negara asal tersebut terkait dengan aspek politik, keamanan, sukuisme, dan sebagainya. Selain itu, konflik yang terjadi juga menjadi pendorong bagi para imigran gelap untuk meninggalkan daerah asalnya demi mencari tempat yang aman atau terlepas dari konflik tersebut. oleh karenanya mereka meminta suaka ke negara-negara maju yang dapat memberikan jaminan keselamatan dan perlindungan hak asasi manusia.
Banyaknya praktek penyelundupan manusia juga disebabkan oleh para imigran yang terbuai bujuk rayu para agen penyelundup (smuggler). Selain itu, faktor eksternal yang berasal dari negara tujuan juga menjadi alasan utama bagi imigran gelap untuk berpindah dari negara asal, diantaranya adalah sistem ekonomi negara tujuan yang stabil sehingga memungkinkan para imigran, dalam pemahaman mereka, mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak. Di negara-negara tujuan yang notabennya adalah negara maju, para pelaku usaha dengan senang hati menyambut dan memanfaatkan jasa pekerja ilegal karena upah mereka yang jauh lebih rendah daripada pekerja di dalam negeri (Jean B. Grossman, 1984: 243)
Dalam konteks Indonesia, yang menjadi faktor penarik untuk terjadinya praktek kejahatan ini antara lain adalah keadaan geografis Indonesia yang luas, tetapi kekurangan satuan tugas pengamanan wilayah; Indonesia adalah negara yang strategis sebagai tempat transit sebelum sampai ke negara tujuan, seperti Australia. Indonesia, yang belum menandatangai Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967, posisinya sangat lemah dalam mengatasi masalah para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain karena tidak memiliki peraturan nasional yang secara khusus membahas masalah tersebut. Selain itu, keberadaan UNHCR di Jakarta membuat Pemerintah Republik Indonesia merujuk setiap orang asing yang masuk dengan alasan mencari suaka ke UNHCR untuk melaksanakan penentuan status pengungsi. Pemerintah Indonesia mengizinkan para imigran untuk menetap di Indonesia hingga didapatkan suatu solusi (http://www.unhcr.or.id/). Oleh karenanya para imigran gelap merasa aman untuk datang dan tinggal di Indonesia; memasuki wilayah Indonesia dengan memanfaatkan keberadaan UNHCR dengan dalih mencari suaka.
Meningkatnya jumlah imigran gelap, sebagian besar berasal dari Timur Tengah dan Asia selatan, mendarat di pantai barat dan terutama di Pulau Christmas, yang terletak relatif dekat dengan kepulauan Indonesia (http://www.interpol.int/). Pulau Christsmas adalah suatu pulau yang merupakan pusat casino di Australia, tetapi sisi lain pulau tersebut merupakan tempat para imigran ditahan di suatu Rumah Detensi Imigrasi yang benar-benar layak huni dan nyaman sebelum mereka memperoleh kewarganegaraan secara selectif, dalam suatu konvensi internasional Australia merupakan salah satu negara yang memiliki komitmen untuk membantu para imigran (pengungsi korban perang dan pencari suaka) yang memasuki negaranya (Lihat http://www.komisikepolisianindonesia.com/)
Sebagian besar pengungsi dari Asia pertama kali masuk ke Malaysia, di mana mereka akan dibawa ke selatan sebelum menyeberang dengan kapal feri ke Pulau Batam, Indonesia. Dari sana, tujuan selanjutnya adalah mencapai Kota Jakarta dan melanjutkan ke pulau-pulau Indonesia bagian selatan, seperti Pulau Bali, Pulau Flores atau Lombok. Dan dari pulau-pulu ini nantinya mereka akan terus melanjutkan perjalan menuju negara Australia (Interpol, op cit).
Jalur lain juga ditemukan melalui Lautan Hindia langsung menuju Kota Medan, tanpa melalui Malaysia, kemudian terus menuju bagian Selatan Pulau Sumatera. Dari arah Utara, yaitu Laut Cina Selatan, para imigran gelap juga ditemukan, yang langsung menuju Wilayah Jambi dan Sumatera Selatan, kemudian melanjutkan perjalan dengan arah yang sama ke Jawa, lanjut ke Sulawesi Selatan, ke wilayah Kepulauan Sunda Kecil, dan terus menuju negara Australia.
Para imigran gelap yang teroganisir oleh para penyelundup manusia ini umumnya berasal dari Asia Selatan, seperti India, China, atau Asia Timur Tengah, seperti Iran, Irak, Afghanistan, juga dari Afrika. Mereka menjadikan negara-negara di Asia Tenggara sebagai negara transit, umumnya Malaysia dan Indonesia, yang meruakan lalu lintas perdagangan dunia, dan berharap akan mendapat bantuan dengan dikrimkannya mereka ke negara-negara ketiga, seperti ke Australia, Negara-negara maju di Eropa Barat, Amerika, dan Kanada.

B. Teori dan Kebijakan Kriminal tentang People Smuggling
Illegal migration diartikan sebagai suatu usaha untuk memasuki suatu wilayah tanpa izin. Imigran gelap dapat pula berarti bahwa menetap di suatu wilayah melebihi batas waktu berlakunya izin tinggal yang sah atau melanggar atau tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke suatu wilayah secara sah (Gordon H. Hanson, 2007: 3-8. Lihat juga halaman 30). Terdapat tiga bentuk dasar dari imigran gelap. Yang pertama adalah yang melintasi perbatasan secara ilegal (tidak resmi). Yang kedua adalah yang melintasi perbatasan dengan cara, yang secara sepintas adalah resmi (dengan cara yang resmi), tetapi sesungguhnya menggunakan dokumen yang dipalsukan atau menggunakan dokumen resmi milik seseorang yang bukan haknya, atau dengan menggunakan dokumen remsi dengan tujuan yang ilegal. Dan yang ketiga adalah yang tetap tinggal setelah habis masa berlakunya status resmi sebagai imigran resmi (Friedrich Heckmann, 2004: 1106).
Philip Martin dan Mark Miller menyatakan bahwa smuggling merupakan suatu istilah yang biasanya diperuntukkan bagi individu atau keompok , demi keuntungan, memindahkan orang-orang secara tidak remsi (melanggar ketentuan Undang-Undang) untuk melewati perbatasan suatu negara. Sedangkan PBB dalam sebuah Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi memberikan definisi dari smuggling of migrants sebagai sebuah usaha pengadaan secara sengaja untuk sebuah keuntungan bagi masuknya seseorang secara ilegal ke dalam suatu negara dan/atau tempat tinggal yang ilegal dalam suatu negara, dimana orang tersebut bukan merupakan warga negara atau penduduk tetap dari negara yang dimasuki (Philip, op cit).
Sedangkan pengertian people smuggling adalah sebuah istilah yang merujuk kepada gerakan ilegal yang terorganisasi dari sebuah kelompok atau individu yang melintasi perbatasan internasional, biasanya dengan melakukan pembayaran berdasarkan jasa. Penyelundupan migrant merupakan suatu tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, guna memperoleh suatu keuntungan finansial atau material lainnya dengan cara memasukkan seseorang yang bukan warga negara atau penduduk tetap suatu negara tertentu secara ilegal ke negara tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa terdapat tiga unsur penting yang harus ada (baik secara terpisah maupun tidak) untuk menyatakan suatu tindakan tersebut tergolong people smuggling, yaitu harus ada kegiatan melintasi tapal batas antar negara, aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang bersifat ilegal, dan kegiatan tersebut memiliki maksud untuk mencari keuntungan.
Berikut akan dijelaskan dasar hukum yang membahas tentang pengungsi, keimigrasian, dan orang yang diselundupkan (people smuggling) berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, baik nasional dan internasional. Dalam Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, pengungsi adalah seseorang yang karena ketakutan yang beralasan, seperti dianiaya karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari kelompok sosial tertentu, atau karena pandangan politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan dari negara asalnya tersebut (menurut definisi formal yang tercantum dalam Pasal 1A dalam Konvensi yang dimaksud). Ketentuan ini didukung oleh Undang-Undang nasional, yaitu Pasal 28 G (2) UUD 1945 yang menjamin adanya hak untuk mencari suaka, dan Pasal 28 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, dijelaskan bahwa keimigrasian adalah “hal ihwal lalu lintas irang yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia.” Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki surat perjalanan, atau tanda tertentu yang dapat mengizinkan orang tersebut untuk masuk atau keluar dari wilayah Indonesia, yaitu berupa Izin Masuk atau Tanda Bertolak (Pasal 4). Sedangkan dalam Pasal 8, pejabat imigrasi berhak menolak atau tidak member izin kepada warga negara asing untuk masuk ke wilayah Indonesia jika tidak memiliki surat perjalanan yang sah dan visa.
Dalam Pasal 49 hingga 54, dinyatakan ketentuan pidana bagi yang melanggar peraturan keimigrasian. Ketentuan yang berlaku adalah hukuman kurungan selama satu tahun penjara hingga enam tahun penjara, atau denda sebesar Rp 5.000.000,- hingga Rp 30.000.000,-, berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, seperti keluar masuk wilayah Indoesia tanpa melalui pemeriksaan; dengan sengaja menggunakan atau memalsukan surat perjalanan, visa dan izin keimigrasian yang tidak resmi; menyalahgunakan atau bertindak tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin keimigrasian; melanggar kewajiban yang telah ditentukan dalam Pasal 39; berada di wilayah Indonesia secara tidak sah (pernah dideportasi ke negara asal dan berada kembali di wilayah Indonesia) atau yang tetap berada di Indonesia setelah masa berlaku keimigrasian habis; serta pelanggaran oleh orang yang dengan sengaja menyembunyikan, melindungi, memberi pemondokan, memberi penghidupan atau pekerjaan kepada orang asing yang telah diduga melanggar Pasal 49 hingga 53.
Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 9 Tahun 1999 tersebut, dapat dimengerti bahwa people smuggling (penyelundupan manusia) dan illegal migration adalah suatu tindakan kejahatan yang melanggar Undang-Undang. Ha ini dipertegas dengan adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi.
Selain itu, perlu ditinjau pula tentang kebijakan yang dicanangkan oleh Pemerintah RI dalam menangani para pengungsi. Berdasarkan SE Dirjenim No. F-IL.01.10-1297, tertanggal 30 September 2002, Perihal Penanganan Terhadap Orang Asing Yang Menyatakan Diri Sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi, terdapat beberapa unsur penting dalam surat edaran tersebut:
1.      Pengungsi atau pencari suaka yang memasuki wilayah Indonesia tidak serta merta dideportasi
2.      Imigrasi bekerjasama dengan UNHCR di Indonesia, bersama-sama menangani para pengungsi atau pencari suaka
3.      Pengungsi yang memiliki sertifikat atau surat keterangan pengungsi maka statusna akan leih jelas dan pengurusan izin tinggal akan lebih mudah
4.      Status pengungsi tidak kebal hukum.
People smuggling dan imigran gelap merupakan suatu tindakan pidana yang saling kait mengait. Kegiatan tersebut dapat terjadi jika salah satunya dapat direalisasikan, dalam artian bahwa imigran gelap akan berhasil dengan adanya persengkongkolan dari agen-agen penyelundup, dan penyelundupan orang mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah imigran gelap.
Dalam menganalisa masalah tersebut, perlu dilakukan bahasan kelemahan dan ketidakserasian antar hukum atau Undang-Undang yang berlaku, terutama di Indonesia, yang menyebabkan tidak terselesaikannya masalah penyelundupan manusia secara menyeluruh.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi tentang Status Pengungsi, dapat diketahui bahwa pengungsi bukanlah merupakan pernyataan pribadi, melainkan suatu status yang ditentukan melalui sebuah proses. Dengan keberadaan UNHCR di Jakarta, banyak para imigran gelap yang datang ke Indonesia untuk mendapatkan hak suaka hingga status dan solusi begi mereka didapatkan. Namun demikian, tidak semua orang asing yang masuk tanpa dokumen di Indonesia dapat diberikan status sebagai ‘refugee’ oleh UNHCR tersebut.
Setelah para imigran mendapatkan status sebagai pengungsi, mereka memiliki kewajiban untuk menghormati setiap aturan negara di mana tempat mereka diberikan penampungan. Pemerintah Repubik Indonesia akan member kesempatan bagi para pengungsi untuk tinggal sementara di wilayah Indonesia sampai ditemukan negara ketiga sebagai tempat pemindahan. Dan apabila UNHCR menolak untuk memberikan status refugee ‘pengungsi’ kepada imigran, seharusnya Pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk mendeportasi mereka, malangnya dengan biaya Pemerintah RI sendiri, atau mereka dapat kembali dengan suka rela ke negara asal dengan bantuan dana IOM. Yang menjadi masalah kemudian adalah Negara Indonesia yang tidak mampu mengalokasikan dana anggaran secara rutin untuk mendeportasi para imigran gelap tersebut, dan dalam kenyataannya mereka tetap tidak mau kembali secara suka rela sehingga Indonesia tidak mendapat dana bantuan dari IOM.
Berdasarkan Undang-Undang No 15 Tahun 2009, Indonesia telah mengesahkan tentang ratifikasi protokol menentang penyelundupan, namun demikian belum ada Undang-Undang khusus tentang tindak pidana penyelundupan manusia/imigran di Indonesia. Padahal, fenomena masuknya imigran gelap ke Indoneisa tersebut sudah memenuhi syarat sebagai people smuggling, namun karena ketiadaan Undang-Undang khusus, Polri hanya menggunakan Undang-Undang Imigrasi dalam proses penyidikan. Hal ini yang menyebabkan masalah bahwa yang menjadi tersangka kemudian hanyalah warga negara Indonesia, sedangkan para imigran gelap berlindung di bawah konsel people smuggling dan lepas daru tuntutan hukum Indonesia.
Lalu lintas keluar dan masuk orang dari dan ke dalam Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Imirasi No 9/1992. Namun permasalahan yang muncul kemudian adalah banyak dari imigran yang masuk secara ilegal dan berlindung dibalik status pengungsi atau pencari suaka belum dapat dipastikan bisa mendapatkan status tersebut dari UNHCR sehingga hukum di Indonesia terabaikan. Selain itu, imigran gelap yang masuk ke Indonesia dianggap sebagai korban penyelundupan orang, padahal Undang-Undang tentang people smugglingtidak ada di Indonesia, mengakibatkan para imigran gelap merasa sangat aman di Indonesia, merasa bebas tanpa dikenakan hukum Indonesia. Yang terjerat hukum Indonesia hanyalah WNI yang juga ikut terlibat (terhasut oleh para penyelundup) dalam penyelundupan manusia, dan mereka juga terjerat oleh hukum Australia. Contohnya adalah kasus Abdul Hamid, warga negara Indonesia asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dikenakan hukuman penjara selama enam tahun oleh Pengadilan Perth, Australia Barat, karena terbukti bersalah menyelundupkan tiga warga Iran dan sembilan warga Afghanistan ke negara itu pada 29 September 2008 (http://berita.kapanlagi.com/, 6 Maret 2009).
Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : F-IL.01.10-1297 tanggal 30 September 2002 yang selama ini mengatur tentang imigran yang mencari status sebagai pencari suaka atau pengungsi, sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini, dimana kedatangan dan keberadaan orang asing di wilayah Indonesia yang semakin meningkat telah menimbulkan dampak di bidang ideologi, politik, ekonomi, social budaya, keamanan nasional, dan kerawanan keimigrasian. Dan dalam pelaksanaannya, surat edaran tersebut kurang menegaskan eksistensi fungsi penegakan hukum di bidang keimigrasian sesuatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Usaha yang baru dilakukan saat ini baru berupa penetapan peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tanggal 17 September 2010 Tentang Penanganan Imigran Ilegal (http://www.imigrasi.go.id/). Namun usaha ini baru berupa penanganan imigran ilegal dengan ketentuan keimigrasian, belum secara khusus tentang tindak pidana dari people smuggling.
Indonesia sebagai negara yang terletak di antara dua benua terkena imbas dan kemalangan dalam menghadapi para imigran gelap. Hal ini disebabkan negara seperti Australia dan Malaysia memiliki Undang-Undang yang tegas dalam menangani people smuggling sementara Indonesia tidak memilikinya.
Posisi lemah hukum yang dimiliki oleh Indonesia dalam menanggulangi masalahpeople smuggling ini yang kemudian menyebabkan Indonesia tidak lagi menjadi negara transit bagi para imigran yang berasal dari Timur Tengah menuju Australia. Indonesia yang dikenal ramah dan baik dalam menangani para imigran kemudian malah menjadi negara tujuan dan target untuk mencari suaka bagi para imigran, agen-agen penyelundup pun memang sengaja menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penyelundupan manusia.
Para imigran memanfaatkan kelemahan yang dimiliki Indonesia, seperti memanfaatkan medan geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan memasuki pintu-pintu yang tiak resmi, memanfaatkan keberadaan UNHCR di Jakarta, bahkan menjadikan korban perang sebagai alasan dan berkilah bahwa Indonesia hanya sebagai negara transit sebelum ke Australia, padahal sesungguhnya tujuannya memang ke Indonesia.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkewajiban, seperti lembaga kepolisian. Langkah-langkah yang dilakukan oleh polisi selama ini adalah dengan melakukan penangkapan terhadap para imigran gelap dan para penyelundup, tetapi seperti yang telah diketahui bahwa proses penyidikan tidak menggunakan Undang-Undang khusus, tetapi Undang-Undang kemigrasian sehingga hasil yang didapatkan tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Kerjasama Pemerintah RI dan Polri dalam menangani kasus imigran gelap dengan IOM dan UNHCR juga tidak maksimal, karena pada waktu tertentu UNHCR tidak dapat selalu memberikan solusi. UNHCR tidak dapat semerta-merta selalu mengeluarkan surat mengenai status kepengungsian, sedangkan IOM tidak dapat memberikan bantuan kepada Indonesiaterkait dengan usaha memulangkan para imigran yang tidak mendapatkan status.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh Pemerintah, terutama Pemerintah Provinsi Banten, dengan membangun banyak rumah hunian (detensi) bagi para imigran juga bukan merupakan solusi yang tepat. Usaha ini sama saja dengan membuka kesempatan bagi para imigran untuk lebih banyak datang ke Indonesia karena terjamin tempat tinggalnya. Selain itu, membangun detensi juga akan banyak menghabiskan biaya.
Kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan Australia pada kenyataannya hanya memberikan keuntungan sepihak untuk Australia. Australia meminta Indonesia untuk menangkap para imigran gelap dan penyelundup manusia, tetapi Indonesia tidak dapat pula meneruskan para imigran gelap ke negeri kangguru tersebut sehingga Indonesia harus menanggung sendiri bebannya dalam mengurusi para imigran. Padahal, Indonesia memliki kesulitan dalam pengalokasian dana untuk mengurus para imigran.


C. Rekomendasi
Pada dasarnya terdapat tiga kebijakan yang digunakan dalam menangani people smuggling, yaitu border controlsdeportation and legalization policies, dan work-site inspections, raids, and sanctions against employers or illegal immigrants(Guido Friebel and Sergei Guriev, 2006: 1086). Yang pertama adalah kontrol perbatasan, dengan tujuan untuk membatasi ruang gerak dari para agen penyelundup dan para imigran gelap. Yang kedua adalah deportasi dan pengabsahan kebijakan. Dalam hal ini, dalam konteks Indonesia, pelaksanaan deportasi tidak dapat serta merta dilakukan sebelum ada status pengungsi yang diberikan oleh UNHCR. Karena itu dibutuhkan suatu pengesahan kebijakan yang berasal dari Pemerintah Indonesia sendiri yang secara tegas mengatur tentang status para imigran.
Yang ketiga adalah pemeriksaan dan tinjauan terhadap situs pekerjaan, melakukan penggrebekan, dan sanksi yang tegas terhadap para pelaku agen penyelundupan manusia. Ketentuan Undang-Undang ini juga belum dimiliki oleh Indonesia, karena tidak ada Undang-Undang tengan people smuggling. Guido Friebel dan Sergei Guriev menjelaskan bahwa kebijakan deportasi tidak akan dapat memberikan hasil yang baik dalam mengurangi arus para imigran gelap selama tidak ada sanki yang tegas kepada para agen penyelundup manusia (Guido, Ibid., hal.1088). Karena semuanya berpangkal kepada aktivitas para agen, yang secara terus menerus dan intens merekrut orang-orang dari negara asal.
Rekomendasi yang dapat diberikan adalah dengan dengan membentuk Satuan Tugas Terpadu dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti Kementrian Luar Negeri, Kementrian Hukum dan HAM, Polri, dan Jaksa yang secara bersama-sama dengan giat menanggulangi permasalahan people smuggling di Indonesia. Bagi Polisi, adalah suatu kewajiban untuk meningkatkan kerjasa police to police dan memberdayakan operasi terpadu, yaitu Operasi Jingga. Dalam operasi ini, setiap Polisi Daerah harus memiliki satuan tugas khusus yang melakukan penyelidikan dan penyidkan secara rutin terhada kasus people smuggling, serta peningkatan kerjasama dengan Australia yang meberikan keuntungan pada kedua belah pihak, seperti pemberian fasilitas dan bantuan dari Australia Federal Police (AFP) berupa alat komunikasi dan transportasi guna menunjang pelaksanaan operasi. Selain itu, perlu juga dilakukan usaha dalam memperketat pengawasan di Bandara dan Pelabuhan Internasional serta daerah-daerah perbatasan untuk mencegah masuknya orang asing yang akan diselundupkan dari dan ke luar Indonesia.
Selanjutnya, juga dibutuhkan suatu kebijakan yang menetapkan langkah dan usaha dalam meningkatkan sumber daya manusia. Seperti yang diketahui bersama, kendala utama bagi Indonesia adalah ketersediaan SDM yang kompeten. Lembaga Kepolisian sebagai badan yang berwenang dalam menjaga keamanan dan ketertiban di dalam negeri sudah seharusnya memiliki sumber daya manusia yang mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan baik dan cepat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu training dan workshop untuk meningkatkan komptensi dan kualitas dari para penyidik dan penyelidik tersebut.
Pencegahan sindikat penyelundupan manusia dan orang asing juga perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Usaha yang dilakukan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia (Depkumham) yang terus berkoordinasi dengan pihak internasional (Interpol) dan Polisi dalam negeri (Polri) harus dimaksimalkan. Oleh karena itu, memberdayakan dan meningkatkan manfaat dalam penggunaan teknologi juga sangat diperlukan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan sistem pengawasan dengan alat canggih Border Control Management (BCM) terpadu yang terhubung dengan server di Kantor Imigrasi Pusat, di Jakarta (http://yustisi.com/, Mei 2010).
Penangggulangan masalah terkait imigran gelap dan people smuggling juga dapat dilakukan dengan meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, meingkatkan kerjsama dan komitmen dengan negara-negara tentangga yang sama-sama berusaha menumpas praktek people smuggling. Merealisasikan hasil kesepakatan Bali Process, yang diadakan pada Bulan Februari 2002 lalu adalah sesuatu hal yang sangat perlu untuk menyelsaikan permasalahan-permasalahan di daerah asal.
Selain itu, yang paling penting dan paling inti, Indonesia harus memiliki Undang-Undang khusus yang secara jelas dan tegas membahas tentang people smuggling. Adalah suatu hal yang tidak relevan jika pada ketentuan Undang-Undang No 15 Tahun 2009 telah dinyatakan bahwa kesiapan Indonesia, bekerjasama dengan Australia dalam memerangi praktek people smuggling, tetapi Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur masalah tersebut. Pengalihan masalah tersebut kepada ketentuan Undang-Undang Imigrasi tidak akan dapat menyelesaikan masalah secara maksimal, karena ketentuan pidana dalam Undang-Undang tersebut umumnya hanya berlaku bagi WNI. Sementara bagi WNA, ada tangung jawab moral untuk menyunjung Hak Asasi Manusia.
Dengan adanya Undang-Undang khusus yang menangani masalah ini, diharapkan Indonesia dapat mampu melakukan penindakan pidana secara tegas terhadap para pelaku people smuggling.
Rekomendasi terkahir adalah Pemerintah melakukan kerjasama dengan melibatkan semua elemen masyarakat, yang dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi tentang peoples smuggling dan Pembinaan Jaringan yang ada di setiap lapisan masyarakat yang dapat memberikan informasi secara cepat tentang kedatangan maupun keberadaan imigran gelap di wilayah Indonesia, khususnya di daerah-daerah perbatasan.


BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Imigran gelap dan people smuggling adalah sebuah masalah yang sangat serius dan merupakan ancaman bagi negara Indonesia. Semakin meningkatnya keberadaan orang asing secara ilegal di Indonesia memberikan kerugian bagi Indonesia, baik secara financial dan material.
2.      Imigran gelap dan people smuggling terjadi disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah berasal dari negara asal, seperti perang atau konsekuensi ekonomi, yang kemudian mendorong para imigran untuk pergi dari daerah asal dan mencari penghidupan baru di daerah lain. Sedangkan faktor eksternal adalan berasal dari negara tujuan, karena adanya jaminan suaka serta harapan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang besar karena negara-negara maju memiliki stabilitas ekonomi yang baik. Khusus untuk Indonesia, perlakuan yang diberikan pemerintah, yang terkesan tidak tegas, menjadi surge tersendiri yang membuar para imigran gelap tertarik untuk menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan.
3.      Dibutuhkan kerjasama dan komitmen yang kuat antar negara dan instansi terkait guna memaksimalkan penanganan people smuggling dan meredam angka para imigran gelap yang terus meningkat.
4.      Dibutuhkan peningkatan SDM, alokasi dana/anggaran, serta sarana dan prasara dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan manusia.
5.      Perlu dibuat Undang-Undang atau kebijakan khusus yang secara tegas dan jelas membahas people smuggling, termasuk ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kegiatan tersebut sebagai suatu tindak pidana, guna memperkuat posisi Pemerintah Indonesia dalam usaha menghadapi masalah penyelundupan manusia.


DAFTAR PUSTAKA

·         Buku:
Hanson, Gordon H., (2007): The Economic Logic of Illegal Migration. Council Special Reports (CSR) No. 26, April. USA: Council on Foreign Relations.
·         Jurnal:
Martin , Philip & Mark Miller, (2000): Smuggling and Trafficking: A Conference Report. International Migration Review, Vol. 34, No. 3 (Autumn, 2000), Hal.969-975.
Heckmann, Friedrich, (2004): Illegal Migration: What Can We Know and What Can We Explain? The Case of Germany. International Migration Review, Vol. 38, No. 3, Conceptual and Methodological Developments in the Study of International Migration (Fall, 2004), Hal.1103-1125
Mines, Richard & Alain de Janvry, (1982):  Migration to the United States and Mexican Rural Development: A Case Study. American Journal of Agricultural Economics, Vol 64, No. 3, (August., 1982). Hal.444-454.
Todaro , Michael P. & Lydia Marusko, (1987): Illegal Migration and US Immigration Reform: A Conceptual Framework. Population and Development Review, Vol. 13, No. 1, (Mar., 1987). Hal. 101-114.
Grossman, J. B., (1984): Illegal Immigrants and Domestic Employment. Industrial and Labor RelationReview, Vol. 37, No. 2, (Jan., 1984). Hal. 240-251
Friebel, Guido & Sergei Guriev, (2006): Smuggling Humans: A Theory of Debt-Financed Migration. Journal of the European Economic Association, Vol. 4, No. 6 (Dec., 2006), pp. 1085-1111
·         Internet:
Australian Govenrment, Departement of Immigration and Citizenship. People Smuggling and Trafficking. Diakses darihttp://www.immi.gov.au/media/publications/compliance/ managing-the-border/pdf/mtb-chapter13.pdf
Saptowalyono , C. A.,  (2009): Repot Disinggahi Imigran Ilegal. KOMPAS female. 23 November 2009. Diakses darihttp://female.kompas.com/read/xml/2009/11/23/06404130/ repot.disinggahi.imigran.ilegal
VIBIDZDAILY.COM, (2010): Banyak Imigran Gelap, Indonesia Butuh UU Penyelundupan Manusia. 25 Juli 2010. Diakses darihttp://vibizdaily.com/detail/nasional/ 2010/07/25/banyak imigran gelap_indonesia_butuh_uu_penyelundupan_manusia
LiraNes.com, (2010): Polisi Tetapkan Lima Tersangka Penyelundup 74 Imigran Gelap. 18 Oktober 2010 diakses dari http://liranews.com/hot-news/2010/10/18/polisi-tetapkan-lima-tersangka-penyelundup-74-imigran-gelap/
ANTARA News: Indonesia, One Click Away, (2010): Kasus Imigran Ilegal Meningkat 100%. 3 Agustus 2010. Diakses darihttp://www.antaranews.com/berita/1280840290/kasus-imigran-ilegal-meningkat-100
KapanLagi.com, (2009): Selundupkan Orang, WNI Dihukum Empat Tahun di Australia. Diakses dari http://berita.kapanlagi.com/hukum-kriminal/selundupkan-orang-wni-dihukum-empat-tahun-di-australia.html
INTERPOL, (2010): People Smuggling. Diakses darihttp://www.interpol.int/public/thb/peoplesmuggling/default.asp
Direktorat Intelkam Polda Lampung, (2010): Transnasional Crime. Diakses darihttp://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=ruu&id=608
UNHCR: The UN Refugee Agency. Perlindungan Pengungsi di Indonesia. Diakses dari http://www.unhcr.or.id/Html08/bhs_protect08.html, tanggal 31 Desember 2010.
Direktoran Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum & Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, (2010): Imigran Ilegal Saat Diketahui Berada Di Indonesia Dikenakan Tindakan Keimigrasian. Diakses dari http://www.imigrasi.go.id/index.php?option=com_content &task=view&id=375&Itemid=34
·         Peraturan atau Undang-Undang:
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
UNDANG-UNDANG NO 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
UNDANG-UNDANG NO 9 TAHUN 1999 TENTANG KEIMIGRASIAN
UNDANG-UNDANG NO 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN  PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (PROTOKOL MENENTANG PENYELUNDUPAN MIGRAN MELALUI DARAT, LAUT, DAN UDARA, MELENGKAPI KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar