BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Era globalisasi yang ada saat ini membuka peluang
untuk terbukanya pasar bebas lintas antar negara. Masing-masing negara memiliki
peluang besar untuk saling mengisi kebutuhan di dalam negeri, baik dari segi
infrastruktur maupun suprastruktur. Globalisasi dibarengi dengan kemajuan
teknologi. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi kian meningkat
sehingga membuat batas-batas antar negara semakin semu. Jalur lalu lintas pun
semakin mudah untuk diakses.
Semakin terbuka lebarnya jalan lalu lintas antar
negara pada era globalisasi ini menyebabkan meningkatnya pula mobilitas barang
dan manusia antar satu negara ke negara lain. Dalam memenuhi
kebutuhannya, secara tidak langsung negara membuka lebar pintu masuk dan akses
ke dalam ruang lingkup batasan negara. Masing-masing individu juga dengan
mudah melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lain dengan berbagai
kepentingan. Dengan fenomena ini, berbagai usaha dilakukan untuk tetap menjaga
keamanan dan stabilitas negara, seperti menetapkan peraturan-peraturan tentang
keimigrasian, walau masih banyak terdapat lubang-lubang hitma yang dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu secara ilegal demi kepentingan pribadi.
Era globalisasi kemudian memunculkan potensi untuk
terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Akses yang gampang dan peraturan yang
mudah dipermainkan menimbulkan suatu praktek kejahatan lintas negara.
Kejahatan lintas negara ini sejatinya sudah ada sejak dahulu, tetapi sesuai
perkembangan jaman, pelbagai inovasi telah dilakukan oleh para pelanggar
sehingga kejahatan lintas negara pun muncul dalam kemasan yang teroganisir
dengan melibatkan banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kejahatan lintas negara, atau yang dikenal dengan
istilah kejahatan transnasional menimbulkan banyak kerugian bagi suatu negara,
bahkan bagi daerah-daerah tertentu di dalam negara tersebut. Pelbagai
penyimpangan yang dapat dilakukan, seperti pengeksploitasian sumber daya
(sumber daya alam dan sumber daya manusia) yang terlalu berlebihan bedampak
kepada manusia yang ada dunia, dengan munculnya atau menguatnya
masalah-masalah, seperti kemiskinan, konflik, dan kerugian lainnya yang
bersifat materi. Bencana alam pun menjadi salah satu masalah yang kemudian
dipertanyakan sebab-musabab munculnya terkait dengan praktek kejahatan
antar bangsa yang mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan. Dengan demikian,
kejahatan transnasional “berhasil” menjadi masalah bersama, masalah di
negara-negara dunia; menjadi masalah nasional dan internasional.
Indonesia sebagai salah satu negara di
dunia juga memiliki potensi yang kuat untuk terjadinya praktek kejahatan
transnasional. Kejahatan transnasional bukan hanya didorong oleh faktor
perdagangan bebas yang terbuka lebar atau lemahnya penegakan hukum di
Indonesia. Akan tetapi juga didukung oleh wilayah geografis Indonesia itu
sendiri. Indonesia yang bentuk negaranya adalah kepuluan
secara geografis memiliki banyak pintu masuk: bandara, pelabuhan, batas darat
dan perairan. Selain itu, Indonesia yang juga memiliki garais pantai yang
sangat panjang, dan merupakan wilayah yang terletak pada posisi silang jalur
lalu lintas dagang dunia, juga menjadi faktor utama yang menyebabkannya
berpotensi kuat untuk terjadinya kejahatan transnasional. Kejahatan
transnasional di negeri ini juga dapat terjadi karena jumlah penduduk Indonesia
yang terbilang besar. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang
memiliki sumber tenaga kerja yang besar dan sebagai target untuk perkembangan
pasar internasional. Berbagai kendala dihadapi oleh Indonesia dalam menghadapi
persoalan kejahatan transnasional, seperti kurang sumber daya manusia yang
kompeten, kendala dalam bidang teknologi, dan lemah secara yuridik dan
diplomatik.
Besarnya potensi terjadinya kejahatan transnasional di
Indonesia ini merupakan suatu masalah yang perlu mendapat perhatian. Dengan
demikian perlu diadakan suatu kajian terhadap masalah-masalah yang terkait
dengan kejahatan lintas negara yang melanda Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Semakin besarnya akses lintas negara membuka peluang
besar pula terhadap terjadinya tindakan kejahatan yang melanggar peraturan
perudang-undangan. Masalah dari suatu negara bisa menjadi masalah bagi negara
lain karena banyak faktor yang menyebabkannya.
Dalam makalah ini akan dibahas salah satu masalah
kejahatan transnasional yang perlu mendapat perhatian dari kebijakan yang ada
di Indonesia, yaitu penyelundupan orang atau people smuggling. Banyaknya pemberitaan di
media yang mengabarkan tentang imigran gelap yang singgah di Indonesia, atau
orang asing dari negara lain yang meminta suaka ke Indonesia, menegaskan
bahwa people smuggling merupakan salah satu masalah yang cukup
serius. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah people smuggling yang
belum tertangani dengan baik memberikan banyak kerugian yang signifikan bagi
bangsa ini. Maka dari itu, berangkat dari masalah people smuggling ini
penulis menyusun rumusah masalah sebagai berikut:
1. Apa latar belakang yang menyebabkan
terjadinya people smuggling yang melanda Indonesia?
2. Bagaimanakah kebijakan yang telah
disusun di Indonesia terhadap masalahpeople smuggling tersebut
serta pengaruhnya terhadap usaha pengatasan masalah tentang imigran gelap?
3. Apa saran atau rekomendasi kebijakan
yang dapat diberikan dalam mengatasi masalah people smuggling?
C. Tujuan
Tujuan pertama pembuatan makalah ini adalah memaparkan
dan menjelaskan dengan jelas latar belakang yang menyebabkan terjadinya praktek
penyelundupan orang sehingga menimbulkan masalah bagi Indonesia. Yang kedua
adalah melihat dan menilai kebijakan yang telah dicanangkan oleh Pemerintah
dalam usahanya mengatasi masalah people smuggling. Yang terkahir
adalah menyajikan solusi dan saran atau rekomendasi kebijakan yang dapat
diberikan dalam menghadapi masalah yang dimaksud guna untuk mengoreksi
kebijakan yang telah ada.
D. Manfaat
Manfaat yang dapat diberikan dari pembuatan makalah
ini adalah dapat mengetahui dan melihat masalah people smuggling secara
mendalam, mulai dari latar belakang terjadinya masalah tersebut hingga
usaha-usaha apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasinya. Makalah ini dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan sebagai saran
dan kritik terhadap berbagai langkah yang telah diambil dalam suatu kebijakan
dalam menghadapi masalah people smuggling. Selain itu, makalah ini
juga dipersembahkan sebagai sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan di
bidang studi kejahatan, khususnya dalam bidang kebijakan kriminal dan kejahatan
transnasional.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Permasalahan People
Smuggling
Migrasi bukanlah fenomena yang baru. Selama
berabad-abad, manusia telah melakukan perjalanan untuk berpindah mencari
kehidupan yang lebih baik di tempat yang lain. Dalam beberapa dekade terakhir
ini, proses globalisasi telah meningkatkan faktor yang mendorong para imigran
untuk mencari peruntungan di luar negeri. Hal ini kemudian menyebabkan
meningkatnya jumlah aktivitas migrasi dari negara-negara berkembang di Asia,
Afrika, Amerika Selatan dan Eropa Timur ke Eropa Barat, Australia dan Amerika
Utara (http://www.interpol.int/). Berangkat dari fenomena ini lah
kemudian muncul praktek penyimpangan, yaitu melakukan aksi untuk memindahkan
manusia ke negara-negara tujuan secara ilegal karena batasan dan ketidakmampuan
dari para imigran dalam memenuhi syarat sebagai imigran resmi.
People smuggling adalah sebuah kejahatan. Dikatakan demikian
karena people smuggling secara jelas melanggar
ketentuan-ketentuan resmi dari negara-negara yang bersangkutan. Telah diakui
bahwa people smuggling merupakan suatu tindakan
melanggar hak asasi manusia dan bentuk perbudakan kontemporer. Para imigran
diperlakukan dengan tidak baik. Sangat sering kondisi perjalanan yang tidak
manusiawi; ditumpuk dalam angkutan (umumnya perahu) yang penuh dan sesak, dan
bahkan sering terjadi kecelakaan yang fatal. Setibanya di tempat tujuan, status
ilegal mereka menyebabkan mereka terpaksa menjadi budak para penyelundup yang
memaksa bekerja selama bertahun-tahun di pasar tenaga kerja ilegal. Para
imigran secara tidak langsung dieksploitasi oleh pihak tertentu demi keuntungan
materil (Ibid).
People smuggling menjadi lahan bisnis tersendiri yang
sangat menguntungkan. Diperkirakan setiap tahunnya dapat menghasilkan
keuntungan sebesar lima hingga sepuluh juta dolar. Berdasarkan perkiraan
tersebut, setidaknya satu juta imigran harus membayar rata-rata sebesar lima
hingga sepuluh ribu dolar secara paksa ketika melintasi perbatasan antar
negara. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa
penyelundupan manusia, yang merupakan “sisi gelap” dari globalisasi, adalah
sebuah bisnis besar yang kian tumbuh dan berkembang (Philip Martin & Mark
Miller, 2000: 969). Selain itu, people smugglingjuga menimbulkan
masalah tersendiri bagi negara tempat mereka meminta suaka. Hal ini juga
melanda negara Indonesia.
Pada bulan Oktober dan November 2009 lalu, aparat
keamanan Republik Indonesia menangkap serombongan imigran dari dua negara, Sri
Lanka dan Afganistan, karena memasuki wilayah Indonesia di daerah Banten.
Kejadian pada tanggal 11 Oktober 2009 lalu, sebanyak 255 imigran asal Sri
Lanka, yang menaiki kapal kayu pengangkut barang, ditangkap di perariran Selat
Sunda. Kemudian pada tanggal 15 November 2009, giliran 40 imigran asal
Afganistan yang ditangkap di daerah Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pada
awalnya Pemerintah memperlakukan para imigran dengan baik dengan alasan menyunjung
Hak Asasi Manusia. Namun kemudian muncul pertanyaan sampai kapan perhatian itu
harus diberikan; merelakan para imigran sebagai tanggungan negara Indonesia
menjadi masalah tersendiri yang dihadapi oleh Pemerintah, terutama Pemerintah
Daerah Provinsi Banten (http://female.kompas.com, 23 November 2009).
Penjelasan di atas adalah salah satu contoh kasus
tentang penyelundupan orang yang terjadi di Indonesia. Banyak para imigran
gelap yang diselundupkan dengan negara tujuan ke Australia, melewati perairan
Indonesia sehingga Indonesia terkena imbasnya. Namun demikian, maraknya
kejadian penyelundupan manusia yang berhasil dideteksi oleh aparat keamanan
ternyata dapat terjadi dengan adanya kontribusi dari orang Indonesia sendiri.
Salah satunya adalah nelayan-nelayan Indonesia yang dilibatkan dalam usaha
menyelundupkan para imigran tersebut dengan diming-imingi sejumlah uang (Berita
Nasional,http://vibizdaily.com/, 25 Juli 2010). Dalam pemberitaan
yang lain, dalam kasus 74 imigran gelap asal Iran dan Afganistan di Yogyakarta,
juga melibatkan para nelayan (http://liranews.com/, 18 Oktober 2010).
Masalah penyelundupan manusia yang melanda Indonesia
semakin serius. Jika pada awalnya para imigran gelap yang tertangkap oleh
aparat keamanan Republik Indonesia di perbatasan wilayah negara adalah
merupakan kelompok yang memiliki tujuan untuk ke negara Australia, dan
menjadikan Indonesia sebagai negara transit saja, kini malah negara Indonesia
yang menjadi tujuan utama.
Praktek penyelundupan orang atau people
smuggling telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir dan pada saat
ini, laporan signifikan mengenai jumlah imigrasi tidak resmi terus meningkat di
berbagai negara. People smugglingumumnya dapat terjadi dengan
persetujuan dari orang atau kelompok yang berkeinginan untuk diselundupkan, dan
alasan yang paling umum dari mereka adalah peluang untuk mendapatkan pekerjaan
atau memperbaiki status ekonomi, harapan untuk mendapatkan penghidupan yang
lebih baik bagi diri sendiri atau keluarga, dan juga untuk pergi menghindari
konflik yang terjadi di negara asal.
Menurut laporan yang dimuat di website Organisasi
Polisi Internasional (Interpol), pada tahun 2006 hampir 31.000 imigran,
setengahnya berasal dari Senegal, berbondong-bondong bergerak menuju kepulauan
Canary, Spanyol. Para imigran gelap cenderung melakukan perjalanan dengan
menggunakan perahu dalam perjalanan di laut terbuka dengan jarak yang demikian
jauh. Sejak tahun 2003, telah ada perpindahan yang signifikan dari para imigran
Irak dan terus meningkat hingga tahun 2006. Sebagian besar dari mereka telah
melarikan diri ke Yordania dan Suriah, tetapi tetap ditemui pergerakan yang
signifikan ke arah Eropa, Amerika dan Australia (http://www.interpol.int/).
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM)
memperkirakan bahwa, secara global, empat juta orang dipindahkan secara ilegal
setiap tahunnya. Hal ini dapat terjadi karena praktek menyelundupkan manusia
sangat menguntungkan, beresiko relatif lebih rendah dan seiring dengan
meningkatnya kerja jaringan kejahatan teroganisir dalam ruang lingkup
internasional. Sementara itu, Pemerintahan Australia menyatakan bahwa selama periode
dari tahun 1999 hingga tahun 2001 kecenderungan dalam aktivitas
penyelundupan manusia terus berkembang, ditunjukkan dengan peningkatan yang
signifikan terhadap jumlah pendatang yang tidak sah dengan menggunakan perahu
Namun dalam kasus Australia, permasalahan people smuggling mengalami
penurunan akibat kebijakan yang dicanangkan oleh Depeartemen Imigrasi,
Multikultural dan Urusan Pribumi (DIMIA) dengan penghentian hampir menyeluruh
terhadap kapal-kapal yang tidak sah dalam beberapa tahun terakhir. Mengacu
kepada laporan DIMIA, pada tahun 2004 hingga 2005, terdapat 94 kasus baru people
smuggling, angka ini merupakan penurunan sebesar 26,6% dibandingkan tahu
2003 dan 2004. Selain itu, 88 kasus people smuggling diselesaikan
pada tahun yang sama, yang juga merupakan penurunan sebesar 38,5% dibandingkan
tahun sebelumnya (Lihat dihttp://www.immi.gov.au/).
Hal ini berbeda dengan Indonesia, hingga tahun 2010
kasus people smugglingterus meningkat dengan berbagai modus operandi.
Jumlah kasus imigran gelap yang masuk ke Indonesia selama periode Bulan Januari
hingga Bulan Mei, tahun 2010 mencapai 61 kasus. Angka ini merupakan peningkatan
yang sangat signifikan karena mencapai hampir 100% dari jumlah kasus ditahun
sebelumnya, yaitu sebesar 31 kasus. Jumlah imigran gelap yang masuk ke
Indonesia pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,7%, atau meningkat
sebesar 67 orang sehingga jumlah imigran pada tahun 2010 adalah 1.245 imigran,
sedangkan di tahun 2009 adalah 1.178 imigran. Selain itu, Direktorat Jenderal
Imigrasi juga mencatat bahwa Pemerintah Indonesia mengirimkan kembali para
imigran ke negara asal, sedikitnya 1.290 orang imigran gelap, setiap tahunnya (http://www.antaranews.com/, 3 Agustus 2010).
People smuggling atau persoalan imigran gelap adalah sebuah
permasalahan yang menjadi sebuah tantangan besar bagi para penegak hukum, baik
nasional dan internasional, dan juga mempengaruhi bagi perkembangan kebijakan
dan undang-undang tentang imigrasi bagi negara-negara di dunia (http://www.interpol.int/).
People smuggling sesungguhya berangkat dari adanya dorongan untuk
menjadi imigran gelap. Oleh karena itu, sebab-sebab yang memunculkan terjadinya
imigran gelap dapat pula menjadi sebab-sebab munculnya tindakan penyelundupan
manusia.
People smuggling dapat terjadi karena banyak faktor, terutama
faktor pendorong yang menyebabkan banyaknya penduduk dari suatu negara
melakukan perpindahan dari negara asal ke negara-negara tujuan. Salah satu
faktor yang paling utama adalah konsekuensi ekonomi. Sebuah negara yang tidak
mampu menyediakan lapangan pekerjaan menyebabkan banyaknya pengangguran yang
lebih memilih pindah dari negara asalnya untuk mencari tempat dengan harapan
dapat mendapatkan pekerjaan. Contohnya adalah di Mexico yang cukup gagal dalam
menciptakan lapangan kerja (Richard Mines & Alain de Janvry, 1982: 444).
Kalaupun ada lapangan pekerjaan, upah yang minim menjadi alasan bagi para
imigran untuk melakukan migrasi dari negara asalnya (Michael P. Todaro &
Lydia Marusko, 1987: 101).
Masalah ekonomi ini juga dapat dipicu oleh konflik
yang terjadi di negara asal tersebut. Konflik atau perang yang berkepanjangan
menyebabkan terjadinya kemiskinan sehingga jumlah pengangguran menjadi sangat
banyak. Peperangan atau konflik yang terjadi di negara asal tersebut terkait
dengan aspek politik, keamanan, sukuisme, dan sebagainya. Selain itu, konflik
yang terjadi juga menjadi pendorong bagi para imigran gelap untuk meninggalkan
daerah asalnya demi mencari tempat yang aman atau terlepas dari konflik
tersebut. oleh karenanya mereka meminta suaka ke negara-negara maju yang dapat
memberikan jaminan keselamatan dan perlindungan hak asasi manusia.
Banyaknya praktek penyelundupan manusia juga
disebabkan oleh para imigran yang terbuai bujuk rayu para agen penyelundup (smuggler).
Selain itu, faktor eksternal yang berasal dari negara tujuan juga menjadi
alasan utama bagi imigran gelap untuk berpindah dari negara asal, diantaranya
adalah sistem ekonomi negara tujuan yang stabil sehingga memungkinkan para
imigran, dalam pemahaman mereka, mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak.
Di negara-negara tujuan yang notabennya adalah negara maju, para pelaku usaha
dengan senang hati menyambut dan memanfaatkan jasa pekerja ilegal karena upah
mereka yang jauh lebih rendah daripada pekerja di dalam negeri (Jean B.
Grossman, 1984: 243)
Dalam konteks Indonesia, yang menjadi faktor penarik
untuk terjadinya praktek kejahatan ini antara lain adalah keadaan geografis
Indonesia yang luas, tetapi kekurangan satuan tugas pengamanan wilayah;
Indonesia adalah negara yang strategis sebagai tempat transit sebelum sampai ke
negara tujuan, seperti Australia. Indonesia, yang belum menandatangai Konvensi Jenewa
Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967, posisinya sangat lemah dalam mengatasi
masalah para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain karena tidak memiliki
peraturan nasional yang secara khusus membahas masalah tersebut. Selain itu,
keberadaan UNHCR di Jakarta membuat Pemerintah Republik Indonesia merujuk setiap
orang asing yang masuk dengan alasan mencari suaka ke UNHCR untuk melaksanakan
penentuan status pengungsi. Pemerintah Indonesia mengizinkan para imigran untuk
menetap di Indonesia hingga didapatkan suatu solusi (http://www.unhcr.or.id/). Oleh karenanya para imigran gelap
merasa aman untuk datang dan tinggal di Indonesia; memasuki wilayah Indonesia
dengan memanfaatkan keberadaan UNHCR dengan dalih mencari suaka.
Meningkatnya jumlah imigran gelap, sebagian besar
berasal dari Timur Tengah dan Asia selatan, mendarat di pantai barat dan
terutama di Pulau Christmas, yang terletak relatif dekat dengan kepulauan
Indonesia (http://www.interpol.int/). Pulau Christsmas adalah suatu
pulau yang merupakan pusat casino di Australia, tetapi sisi
lain pulau tersebut merupakan tempat para imigran ditahan di suatu Rumah
Detensi Imigrasi yang benar-benar layak huni dan nyaman sebelum mereka
memperoleh kewarganegaraan secara selectif, dalam suatu konvensi internasional
Australia merupakan salah satu negara yang memiliki komitmen untuk membantu
para imigran (pengungsi korban perang dan pencari suaka) yang memasuki
negaranya (Lihat http://www.komisikepolisianindonesia.com/)
Sebagian besar pengungsi dari Asia pertama kali masuk
ke Malaysia, di mana mereka akan dibawa ke selatan sebelum menyeberang dengan
kapal feri ke Pulau Batam, Indonesia. Dari sana, tujuan selanjutnya adalah
mencapai Kota Jakarta dan melanjutkan ke pulau-pulau Indonesia bagian selatan,
seperti Pulau Bali, Pulau Flores atau Lombok. Dan dari pulau-pulu ini nantinya
mereka akan terus melanjutkan perjalan menuju negara Australia (Interpol, op
cit).
Jalur lain juga ditemukan melalui Lautan Hindia
langsung menuju Kota Medan, tanpa melalui Malaysia, kemudian terus menuju
bagian Selatan Pulau Sumatera. Dari arah Utara, yaitu Laut Cina Selatan, para
imigran gelap juga ditemukan, yang langsung menuju Wilayah Jambi dan Sumatera
Selatan, kemudian melanjutkan perjalan dengan arah yang sama ke Jawa, lanjut ke
Sulawesi Selatan, ke wilayah Kepulauan Sunda Kecil, dan terus menuju negara
Australia.
Para imigran gelap yang teroganisir oleh para
penyelundup manusia ini umumnya berasal dari Asia Selatan, seperti India,
China, atau Asia Timur Tengah, seperti Iran, Irak, Afghanistan, juga dari
Afrika. Mereka menjadikan negara-negara di Asia Tenggara sebagai negara
transit, umumnya Malaysia dan Indonesia, yang meruakan lalu lintas perdagangan
dunia, dan berharap akan mendapat bantuan dengan dikrimkannya mereka ke
negara-negara ketiga, seperti ke Australia, Negara-negara maju di Eropa Barat,
Amerika, dan Kanada.
B. Teori
dan Kebijakan Kriminal tentang People Smuggling
Illegal migration diartikan sebagai suatu usaha untuk memasuki
suatu wilayah tanpa izin. Imigran gelap dapat pula berarti bahwa menetap di
suatu wilayah melebihi batas waktu berlakunya izin tinggal yang sah atau
melanggar atau tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke suatu wilayah secara
sah (Gordon H. Hanson, 2007: 3-8. Lihat juga halaman 30). Terdapat tiga bentuk
dasar dari imigran gelap. Yang pertama adalah yang melintasi perbatasan secara
ilegal (tidak resmi). Yang kedua adalah yang melintasi perbatasan dengan cara,
yang secara sepintas adalah resmi (dengan cara yang resmi), tetapi sesungguhnya
menggunakan dokumen yang dipalsukan atau menggunakan dokumen resmi milik
seseorang yang bukan haknya, atau dengan menggunakan dokumen remsi dengan
tujuan yang ilegal. Dan yang ketiga adalah yang tetap tinggal setelah habis
masa berlakunya status resmi sebagai imigran resmi (Friedrich Heckmann, 2004:
1106).
Philip Martin dan Mark Miller menyatakan bahwa smuggling merupakan
suatu istilah yang biasanya diperuntukkan bagi individu atau keompok , demi
keuntungan, memindahkan orang-orang secara tidak remsi (melanggar ketentuan
Undang-Undang) untuk melewati perbatasan suatu negara. Sedangkan PBB dalam
sebuah Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi memberikan
definisi dari smuggling of migrants sebagai sebuah
usaha pengadaan secara sengaja untuk sebuah keuntungan bagi masuknya seseorang
secara ilegal ke dalam suatu negara dan/atau tempat tinggal yang ilegal dalam
suatu negara, dimana orang tersebut bukan merupakan warga negara atau penduduk
tetap dari negara yang dimasuki (Philip, op cit).
Sedangkan pengertian people smuggling adalah
sebuah istilah yang merujuk kepada gerakan ilegal yang terorganisasi dari
sebuah kelompok atau individu yang melintasi perbatasan internasional, biasanya
dengan melakukan pembayaran berdasarkan jasa. Penyelundupan migrant merupakan
suatu tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, guna memperoleh suatu
keuntungan finansial atau material lainnya dengan cara memasukkan seseorang
yang bukan warga negara atau penduduk tetap suatu negara tertentu secara ilegal
ke negara tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa
terdapat tiga unsur penting yang harus ada (baik secara terpisah maupun tidak) untuk
menyatakan suatu tindakan tersebut tergolong people smuggling,
yaitu harus ada kegiatan melintasi tapal batas antar negara, aktivitas tersebut
merupakan aktivitas yang bersifat ilegal, dan kegiatan tersebut memiliki maksud
untuk mencari keuntungan.
Berikut akan dijelaskan dasar hukum yang membahas
tentang pengungsi, keimigrasian, dan orang yang diselundupkan (people
smuggling) berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, baik nasional dan
internasional. Dalam Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, pengungsi
adalah seseorang yang karena ketakutan yang beralasan, seperti dianiaya karena
alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari kelompok sosial tertentu, atau
karena pandangan politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak
dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan dari
negara asalnya tersebut (menurut definisi formal yang tercantum dalam Pasal 1A
dalam Konvensi yang dimaksud). Ketentuan ini didukung oleh Undang-Undang
nasional, yaitu Pasal 28 G (2) UUD 1945 yang menjamin adanya hak untuk mencari
suaka, dan Pasal 28 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang
Keimigrasian, dijelaskan bahwa keimigrasian adalah “hal ihwal lalu lintas irang
yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang
asing di wilayah Negara Republik Indonesia.” Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa
setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki surat
perjalanan, atau tanda tertentu yang dapat mengizinkan orang tersebut untuk
masuk atau keluar dari wilayah Indonesia, yaitu berupa Izin Masuk atau Tanda
Bertolak (Pasal 4). Sedangkan dalam Pasal 8, pejabat imigrasi berhak menolak
atau tidak member izin kepada warga negara asing untuk masuk ke wilayah
Indonesia jika tidak memiliki surat perjalanan yang sah dan visa.
Dalam Pasal 49 hingga 54, dinyatakan ketentuan pidana
bagi yang melanggar peraturan keimigrasian. Ketentuan yang berlaku adalah
hukuman kurungan selama satu tahun penjara hingga enam tahun penjara, atau
denda sebesar Rp 5.000.000,- hingga Rp 30.000.000,-, berdasarkan pelanggaran
yang dilakukan, seperti keluar masuk wilayah Indoesia tanpa melalui
pemeriksaan; dengan sengaja menggunakan atau memalsukan surat perjalanan, visa
dan izin keimigrasian yang tidak resmi; menyalahgunakan atau bertindak tidak
sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin keimigrasian; melanggar
kewajiban yang telah ditentukan dalam Pasal 39; berada di wilayah Indonesia
secara tidak sah (pernah dideportasi ke negara asal dan berada kembali di
wilayah Indonesia) atau yang tetap berada di Indonesia setelah masa berlaku
keimigrasian habis; serta pelanggaran oleh orang yang dengan sengaja
menyembunyikan, melindungi, memberi pemondokan, memberi penghidupan atau
pekerjaan kepada orang asing yang telah diduga melanggar Pasal 49 hingga 53.
Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 9 Tahun 1999
tersebut, dapat dimengerti bahwa people smuggling (penyelundupan
manusia) dan illegal migration adalah suatu tindakan kejahatan
yang melanggar Undang-Undang. Ha ini dipertegas dengan adanya Undang-Undang No.
15 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran
Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi.
Selain itu, perlu ditinjau pula tentang kebijakan yang
dicanangkan oleh Pemerintah RI dalam menangani para pengungsi. Berdasarkan SE
Dirjenim No. F-IL.01.10-1297, tertanggal 30 September 2002, Perihal Penanganan
Terhadap Orang Asing Yang Menyatakan Diri Sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi,
terdapat beberapa unsur penting dalam surat edaran tersebut:
1. Pengungsi atau pencari suaka yang
memasuki wilayah Indonesia tidak serta merta dideportasi
2. Imigrasi bekerjasama dengan UNHCR di
Indonesia, bersama-sama menangani para pengungsi atau pencari suaka
3. Pengungsi yang memiliki sertifikat
atau surat keterangan pengungsi maka statusna akan leih jelas dan pengurusan
izin tinggal akan lebih mudah
4. Status pengungsi tidak kebal hukum.
People smuggling dan imigran gelap merupakan suatu
tindakan pidana yang saling kait mengait. Kegiatan tersebut dapat terjadi jika
salah satunya dapat direalisasikan, dalam artian bahwa imigran gelap akan
berhasil dengan adanya persengkongkolan dari agen-agen penyelundup, dan
penyelundupan orang mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah imigran gelap.
Dalam menganalisa masalah tersebut, perlu dilakukan
bahasan kelemahan dan ketidakserasian antar hukum atau Undang-Undang yang
berlaku, terutama di Indonesia, yang menyebabkan tidak terselesaikannya masalah
penyelundupan manusia secara menyeluruh.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi
tentang Status Pengungsi, dapat diketahui bahwa pengungsi bukanlah merupakan
pernyataan pribadi, melainkan suatu status yang ditentukan melalui sebuah
proses. Dengan keberadaan UNHCR di Jakarta, banyak para imigran gelap yang
datang ke Indonesia untuk mendapatkan hak suaka hingga status dan solusi begi
mereka didapatkan. Namun demikian, tidak semua orang asing yang masuk tanpa dokumen
di Indonesia dapat diberikan status sebagai ‘refugee’ oleh UNHCR tersebut.
Setelah para imigran mendapatkan status sebagai
pengungsi, mereka memiliki kewajiban untuk menghormati setiap aturan negara di
mana tempat mereka diberikan penampungan. Pemerintah Repubik Indonesia akan
member kesempatan bagi para pengungsi untuk tinggal sementara di wilayah
Indonesia sampai ditemukan negara ketiga sebagai tempat pemindahan. Dan apabila
UNHCR menolak untuk memberikan status refugee ‘pengungsi’ kepada imigran, seharusnya
Pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk mendeportasi mereka, malangnya
dengan biaya Pemerintah RI sendiri, atau mereka dapat kembali dengan suka rela
ke negara asal dengan bantuan dana IOM. Yang menjadi masalah kemudian adalah
Negara Indonesia yang tidak mampu mengalokasikan dana anggaran secara rutin
untuk mendeportasi para imigran gelap tersebut, dan dalam kenyataannya mereka
tetap tidak mau kembali secara suka rela sehingga Indonesia tidak mendapat dana
bantuan dari IOM.
Berdasarkan Undang-Undang No 15 Tahun 2009, Indonesia
telah mengesahkan tentang ratifikasi protokol menentang penyelundupan, namun
demikian belum ada Undang-Undang khusus tentang tindak pidana penyelundupan
manusia/imigran di Indonesia. Padahal, fenomena masuknya imigran gelap ke
Indoneisa tersebut sudah memenuhi syarat sebagai people smuggling,
namun karena ketiadaan Undang-Undang khusus, Polri hanya menggunakan
Undang-Undang Imigrasi dalam proses penyidikan. Hal ini yang menyebabkan
masalah bahwa yang menjadi tersangka kemudian hanyalah warga negara Indonesia,
sedangkan para imigran gelap berlindung di bawah konsel people
smuggling dan lepas daru tuntutan hukum Indonesia.
Lalu lintas keluar dan masuk orang dari dan ke dalam
Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Imirasi No 9/1992. Namun
permasalahan yang muncul kemudian adalah banyak dari imigran yang masuk secara
ilegal dan berlindung dibalik status pengungsi atau pencari suaka belum dapat
dipastikan bisa mendapatkan status tersebut dari UNHCR sehingga hukum di Indonesia
terabaikan. Selain itu, imigran gelap yang masuk ke Indonesia dianggap sebagai
korban penyelundupan orang, padahal Undang-Undang tentang people
smugglingtidak ada di Indonesia, mengakibatkan para imigran gelap merasa
sangat aman di Indonesia, merasa bebas tanpa dikenakan hukum Indonesia. Yang
terjerat hukum Indonesia hanyalah WNI yang juga ikut terlibat (terhasut oleh
para penyelundup) dalam penyelundupan manusia, dan mereka juga terjerat oleh
hukum Australia. Contohnya adalah kasus Abdul Hamid, warga negara Indonesia
asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dikenakan hukuman penjara selama
enam tahun oleh Pengadilan Perth, Australia Barat, karena terbukti bersalah
menyelundupkan tiga warga Iran dan sembilan warga Afghanistan ke negara itu
pada 29 September 2008 (http://berita.kapanlagi.com/, 6 Maret 2009).
Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor :
F-IL.01.10-1297 tanggal 30 September 2002 yang selama ini mengatur tentang
imigran yang mencari status sebagai pencari suaka atau pengungsi, sudah tidak
relevan dengan kondisi saat ini, dimana kedatangan dan keberadaan orang asing
di wilayah Indonesia yang semakin meningkat telah menimbulkan dampak di bidang
ideologi, politik, ekonomi, social budaya, keamanan nasional, dan kerawanan
keimigrasian. Dan dalam pelaksanaannya, surat edaran tersebut kurang menegaskan
eksistensi fungsi penegakan hukum di bidang keimigrasian sesuatu ketentuan
peraturan perundang-undangan. Usaha yang baru dilakukan saat ini baru berupa
penetapan peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1489.UM.08.05 Tahun
2010 tanggal 17 September 2010 Tentang Penanganan Imigran Ilegal (http://www.imigrasi.go.id/). Namun usaha ini baru berupa
penanganan imigran ilegal dengan ketentuan keimigrasian, belum secara khusus
tentang tindak pidana dari people smuggling.
Indonesia sebagai negara yang terletak di antara dua
benua terkena imbas dan kemalangan dalam menghadapi para imigran gelap. Hal ini
disebabkan negara seperti Australia dan Malaysia memiliki Undang-Undang yang
tegas dalam menangani people smuggling sementara Indonesia
tidak memilikinya.
Posisi lemah hukum yang dimiliki oleh Indonesia dalam
menanggulangi masalahpeople smuggling ini yang kemudian menyebabkan
Indonesia tidak lagi menjadi negara transit bagi para imigran yang berasal dari
Timur Tengah menuju Australia. Indonesia yang dikenal ramah dan baik dalam
menangani para imigran kemudian malah menjadi negara tujuan dan target untuk
mencari suaka bagi para imigran, agen-agen penyelundup pun memang sengaja
menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penyelundupan manusia.
Para imigran memanfaatkan kelemahan yang dimiliki
Indonesia, seperti memanfaatkan medan geografis Indonesia yang merupakan negara
kepulauan dengan memasuki pintu-pintu yang tiak resmi, memanfaatkan keberadaan
UNHCR di Jakarta, bahkan menjadikan korban perang sebagai alasan dan berkilah
bahwa Indonesia hanya sebagai negara transit sebelum ke Australia, padahal
sesungguhnya tujuannya memang ke Indonesia.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pihak-pihak yang
berkewajiban, seperti lembaga kepolisian. Langkah-langkah yang dilakukan oleh
polisi selama ini adalah dengan melakukan penangkapan terhadap para imigran
gelap dan para penyelundup, tetapi seperti yang telah diketahui bahwa proses
penyidikan tidak menggunakan Undang-Undang khusus, tetapi Undang-Undang
kemigrasian sehingga hasil yang didapatkan tidak menunjukkan perubahan yang
berarti. Kerjasama Pemerintah RI dan Polri dalam menangani kasus imigran gelap
dengan IOM dan UNHCR juga tidak maksimal, karena pada waktu tertentu UNHCR
tidak dapat selalu memberikan solusi. UNHCR tidak dapat semerta-merta selalu
mengeluarkan surat mengenai status kepengungsian, sedangkan IOM tidak dapat
memberikan bantuan kepada Indonesiaterkait dengan usaha memulangkan para
imigran yang tidak mendapatkan status.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh Pemerintah,
terutama Pemerintah Provinsi Banten, dengan membangun banyak rumah hunian
(detensi) bagi para imigran juga bukan merupakan solusi yang tepat. Usaha ini
sama saja dengan membuka kesempatan bagi para imigran untuk lebih banyak datang
ke Indonesia karena terjamin tempat tinggalnya. Selain itu, membangun detensi
juga akan banyak menghabiskan biaya.
Kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan Australia
pada kenyataannya hanya memberikan keuntungan sepihak untuk Australia.
Australia meminta Indonesia untuk menangkap para imigran gelap dan penyelundup
manusia, tetapi Indonesia tidak dapat pula meneruskan para imigran gelap ke
negeri kangguru tersebut sehingga Indonesia harus menanggung sendiri bebannya
dalam mengurusi para imigran. Padahal, Indonesia memliki kesulitan dalam
pengalokasian dana untuk mengurus para imigran.
C. Rekomendasi
Pada dasarnya terdapat tiga kebijakan yang digunakan
dalam menangani people smuggling, yaitu border controls, deportation
and legalization policies, dan work-site inspections, raids, and
sanctions against employers or illegal immigrants(Guido Friebel and Sergei
Guriev, 2006: 1086). Yang pertama adalah kontrol perbatasan, dengan tujuan
untuk membatasi ruang gerak dari para agen penyelundup dan para imigran gelap.
Yang kedua adalah deportasi dan pengabsahan kebijakan. Dalam hal ini, dalam
konteks Indonesia, pelaksanaan deportasi tidak dapat serta merta dilakukan
sebelum ada status pengungsi yang diberikan oleh UNHCR. Karena itu dibutuhkan
suatu pengesahan kebijakan yang berasal dari Pemerintah Indonesia sendiri yang
secara tegas mengatur tentang status para imigran.
Yang ketiga adalah pemeriksaan dan tinjauan terhadap
situs pekerjaan, melakukan penggrebekan, dan sanksi yang tegas terhadap para
pelaku agen penyelundupan manusia. Ketentuan Undang-Undang ini juga belum
dimiliki oleh Indonesia, karena tidak ada Undang-Undang tengan people
smuggling. Guido Friebel dan Sergei Guriev menjelaskan bahwa kebijakan
deportasi tidak akan dapat memberikan hasil yang baik dalam mengurangi arus
para imigran gelap selama tidak ada sanki yang tegas kepada para agen
penyelundup manusia (Guido, Ibid., hal.1088). Karena semuanya
berpangkal kepada aktivitas para agen, yang secara terus menerus dan intens
merekrut orang-orang dari negara asal.
Rekomendasi yang dapat diberikan adalah dengan dengan
membentuk Satuan Tugas Terpadu dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti
Kementrian Luar Negeri, Kementrian Hukum dan HAM, Polri, dan Jaksa yang secara
bersama-sama dengan giat menanggulangi permasalahan people smuggling di
Indonesia. Bagi Polisi, adalah suatu kewajiban untuk meningkatkan kerjasa police
to police dan memberdayakan operasi terpadu, yaitu Operasi Jingga.
Dalam operasi ini, setiap Polisi Daerah harus memiliki satuan tugas khusus yang
melakukan penyelidikan dan penyidkan secara rutin terhada kasus people
smuggling, serta peningkatan kerjasama dengan Australia yang meberikan
keuntungan pada kedua belah pihak, seperti pemberian fasilitas dan bantuan dari
Australia Federal Police (AFP) berupa alat komunikasi dan transportasi guna
menunjang pelaksanaan operasi. Selain itu, perlu juga dilakukan usaha dalam memperketat
pengawasan di Bandara dan Pelabuhan Internasional serta daerah-daerah
perbatasan untuk mencegah masuknya orang asing yang akan diselundupkan dari dan
ke luar Indonesia.
Selanjutnya, juga dibutuhkan suatu kebijakan yang
menetapkan langkah dan usaha dalam meningkatkan sumber daya manusia. Seperti
yang diketahui bersama, kendala utama bagi Indonesia adalah ketersediaan SDM
yang kompeten. Lembaga Kepolisian sebagai badan yang berwenang dalam menjaga
keamanan dan ketertiban di dalam negeri sudah seharusnya memiliki sumber daya
manusia yang mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan baik dan cepat.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu training dan workshop untuk meningkatkan
komptensi dan kualitas dari para penyidik dan penyelidik tersebut.
Pencegahan sindikat penyelundupan manusia dan orang
asing juga perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Usaha yang dilakukan oleh
Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia
(Depkumham) yang terus berkoordinasi dengan pihak internasional (Interpol) dan
Polisi dalam negeri (Polri) harus dimaksimalkan. Oleh karena itu, memberdayakan
dan meningkatkan manfaat dalam penggunaan teknologi juga sangat diperlukan,
salah satunya adalah dengan memanfaatkan sistem pengawasan dengan alat canggih
Border Control Management (BCM) terpadu yang terhubung dengan server di Kantor
Imigrasi Pusat, di Jakarta (http://yustisi.com/, Mei 2010).
Penangggulangan masalah terkait imigran gelap
dan people smuggling juga dapat dilakukan dengan meningkatkan
kerjasama dengan pihak-pihak terkait, meingkatkan kerjsama dan komitmen dengan
negara-negara tentangga yang sama-sama berusaha menumpas praktek people
smuggling. Merealisasikan hasil kesepakatan Bali Process, yang diadakan
pada Bulan Februari 2002 lalu adalah sesuatu hal yang sangat perlu untuk
menyelsaikan permasalahan-permasalahan di daerah asal.
Selain itu, yang paling penting dan paling inti,
Indonesia harus memiliki Undang-Undang khusus yang secara jelas dan tegas
membahas tentang people smuggling. Adalah suatu hal yang tidak
relevan jika pada ketentuan Undang-Undang No 15 Tahun 2009 telah dinyatakan
bahwa kesiapan Indonesia, bekerjasama dengan Australia dalam memerangi
praktek people smuggling, tetapi Indonesia belum memiliki Undang-Undang
yang mengatur masalah tersebut. Pengalihan masalah tersebut kepada ketentuan
Undang-Undang Imigrasi tidak akan dapat menyelesaikan masalah secara maksimal,
karena ketentuan pidana dalam Undang-Undang tersebut umumnya hanya berlaku bagi
WNI. Sementara bagi WNA, ada tangung jawab moral untuk menyunjung Hak Asasi
Manusia.
Dengan adanya Undang-Undang khusus yang menangani
masalah ini, diharapkan Indonesia dapat mampu melakukan penindakan pidana
secara tegas terhadap para pelaku people smuggling.
Rekomendasi terkahir adalah Pemerintah melakukan
kerjasama dengan melibatkan semua elemen masyarakat, yang dapat dilakukan dalam
bentuk sosialisasi tentang peoples smuggling dan Pembinaan
Jaringan yang ada di setiap lapisan masyarakat yang dapat memberikan informasi
secara cepat tentang kedatangan maupun keberadaan imigran gelap di wilayah
Indonesia, khususnya di daerah-daerah perbatasan.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Imigran gelap dan people
smuggling adalah sebuah masalah yang sangat serius dan merupakan
ancaman bagi negara Indonesia. Semakin meningkatnya keberadaan orang asing
secara ilegal di Indonesia memberikan kerugian bagi Indonesia, baik secara
financial dan material.
2. Imigran gelap dan people
smuggling terjadi disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal adalah berasal dari negara asal, seperti perang atau
konsekuensi ekonomi, yang kemudian mendorong para imigran untuk pergi dari
daerah asal dan mencari penghidupan baru di daerah lain. Sedangkan faktor
eksternal adalan berasal dari negara tujuan, karena adanya jaminan suaka serta
harapan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang besar karena negara-negara maju
memiliki stabilitas ekonomi yang baik. Khusus untuk Indonesia, perlakuan yang
diberikan pemerintah, yang terkesan tidak tegas, menjadi surge tersendiri yang
membuar para imigran gelap tertarik untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
tujuan.
3. Dibutuhkan kerjasama dan komitmen
yang kuat antar negara dan instansi terkait guna memaksimalkan penanganan people
smuggling dan meredam angka para imigran gelap yang terus meningkat.
4. Dibutuhkan peningkatan SDM, alokasi
dana/anggaran, serta sarana dan prasara dalam upaya penegakan hukum terhadap
tindak pidana penyelundupan manusia.
5. Perlu dibuat Undang-Undang atau
kebijakan khusus yang secara tegas dan jelas membahas people smuggling,
termasuk ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kegiatan tersebut sebagai
suatu tindak pidana, guna memperkuat posisi Pemerintah Indonesia dalam usaha
menghadapi masalah penyelundupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
·
Buku:
Hanson,
Gordon H., (2007): The Economic Logic of Illegal Migration. Council
Special Reports (CSR) No. 26, April. USA: Council on Foreign Relations.
·
Jurnal:
Martin , Philip
& Mark Miller, (2000): Smuggling and Trafficking: A Conference
Report. International Migration Review, Vol. 34, No. 3 (Autumn, 2000),
Hal.969-975.
Heckmann,
Friedrich, (2004): Illegal Migration: What Can We Know and What Can We
Explain? The Case of Germany. International Migration Review, Vol. 38, No.
3, Conceptual and Methodological Developments in the Study of International
Migration (Fall, 2004), Hal.1103-1125
Mines,
Richard & Alain de Janvry, (1982): Migration to the United States
and Mexican Rural Development: A Case Study. American Journal of
Agricultural Economics, Vol 64, No. 3, (August., 1982). Hal.444-454.
Todaro ,
Michael P. & Lydia Marusko, (1987): Illegal Migration and US
Immigration Reform: A Conceptual Framework. Population and
Development Review, Vol. 13, No. 1, (Mar., 1987). Hal. 101-114.
Grossman, J.
B., (1984): Illegal Immigrants and Domestic Employment. Industrial
and Labor RelationReview, Vol. 37, No. 2, (Jan., 1984). Hal. 240-251
Friebel,
Guido & Sergei Guriev, (2006): Smuggling Humans: A Theory of
Debt-Financed Migration. Journal of the European Economic Association,
Vol. 4, No. 6 (Dec., 2006), pp. 1085-1111
·
Internet:
Australian
Govenrment, Departement of Immigration and Citizenship. People
Smuggling and Trafficking. Diakses darihttp://www.immi.gov.au/media/publications/compliance/
managing-the-border/pdf/mtb-chapter13.pdf
Saptowalyono , C. A., (2009): Repot Disinggahi Imigran
Ilegal. KOMPAS female. 23 November 2009. Diakses darihttp://female.kompas.com/read/xml/2009/11/23/06404130/
repot.disinggahi.imigran.ilegal
VIBIDZDAILY.COM,
(2010): Banyak Imigran Gelap, Indonesia Butuh UU Penyelundupan
Manusia. 25 Juli 2010. Diakses darihttp://vibizdaily.com/detail/nasional/
2010/07/25/banyak imigran gelap_indonesia_butuh_uu_penyelundupan_manusia
LiraNes.com,
(2010): Polisi Tetapkan Lima Tersangka Penyelundup 74 Imigran
Gelap. 18 Oktober 2010 diakses dari http://liranews.com/hot-news/2010/10/18/polisi-tetapkan-lima-tersangka-penyelundup-74-imigran-gelap/
ANTARA News:
Indonesia, One Click Away, (2010): Kasus Imigran Ilegal Meningkat 100%.
3 Agustus 2010. Diakses darihttp://www.antaranews.com/berita/1280840290/kasus-imigran-ilegal-meningkat-100
KapanLagi.com,
(2009): Selundupkan Orang, WNI Dihukum Empat Tahun di Australia.
Diakses dari http://berita.kapanlagi.com/hukum-kriminal/selundupkan-orang-wni-dihukum-empat-tahun-di-australia.html
INTERPOL,
(2010): People Smuggling. Diakses darihttp://www.interpol.int/public/thb/peoplesmuggling/default.asp
Direktorat
Intelkam Polda Lampung, (2010): Transnasional Crime. Diakses darihttp://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=ruu&id=608
UNHCR: The
UN Refugee Agency. Perlindungan Pengungsi di Indonesia. Diakses
dari http://www.unhcr.or.id/Html08/bhs_protect08.html, tanggal 31 Desember 2010.
Direktoran
Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum & Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, (2010): Imigran Ilegal Saat Diketahui Berada Di Indonesia
Dikenakan Tindakan Keimigrasian. Diakses dari http://www.imigrasi.go.id/index.php?option=com_content
&task=view&id=375&Itemid=34
DIRECTIVE
FROM THE DIRECTOR GENERAL OF IMMIGRATION NO.: F-IL.01.10-1297. Diakses
darihttp://www.ecoi.net/file_upload/1504_1217488763_directive-from-the-director-general-of-immigration-no-f-il-01-10-1297-on-procedures-regarding-aliens-expressing-their-desire-to-seek-asylum-or-refugee-status.pdf
·
Peraturan atau Undang-Undang:
UNDANG-UNDANG
DASAR 1945
UNDANG-UNDANG
NO 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
UNDANG-UNDANG
NO 9 TAHUN 1999 TENTANG KEIMIGRASIAN
UNDANG-UNDANG
NO 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS
BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (PROTOKOL MENENTANG PENYELUNDUPAN MIGRAN MELALUI
DARAT, LAUT, DAN UDARA, MELENGKAPI KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar