Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender sudah mulai ramai dibicarakan
orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini
juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran
gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”.
Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di
kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa,
diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya
mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum
perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang
kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami
kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.
Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita
tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan
statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk
pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman
arti pria dan wanita dalam pelabagi kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan
konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita. (dalam Ibrahim dan Suranto,
1998: xxvi)
Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum
feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak
pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum
laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin
muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan
perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki
dan perempuan akan istilah gender itu
sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender
tersebut.
Bertolak dari
fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu
sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender.
Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting
karena kesamaan pengertian (mutual
understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan
menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang
tindih antara masalah-masalah perempuan
yang muncul karena perbedaan akibat seks
dan masalah-masalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep
asing ke dalam konteks Indonesia.
A.
Pengertian
Selama lebih dari sepuluh tahun istilah gender meramaikan berbagai diskusi
tentang masalah-masalah perempuan, selama itu pulalah istilah tersebut telah
mendatangkan ketidakjelasan-ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang apa yang
dimaksud dengan konsep gender dan apa
kaitan konsep tersebut dengan usaha emansipasi wanita yang diperjuangkan kaum
perempuan tidak hanya di Indonesia yang dipelopori ibu Kartini tetapi juga di
pelbagai penjuru dunia lainnya.
Kekaburan makna
atas istilah gender ini telah
mengakibatkan perjuangan gender menghadapi
banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum laki-laki yang merasa
terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang dari kaum perempuan sendiri
yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan gender itu.
Konsep gender pertama
kali harus dibedakan dari konsep seks
atau jenis kelamin secara biologis. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat
permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa
sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau
seorang perempuan.
Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka
dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis
kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan
memproduksi sperma . Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim
sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami
kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua
tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama
lain.
Berbeda dengan seks
atau jenis kelamin yang diberikan oleh Tuhan dan sudah dimiliki seseorang
ketika ia dilahirkan sehingga menjadi kodrat
manusia, istilah gender yang diserap
dari bahasa Inggris dan sampai saat ini belum ditemukan padanan katanya dalam
Bahasa Indonesia, ---kecuali oleh sebagian orang yang untuk mudahnya telah
mengubah gender menjadi jender---
merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang
berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah,
waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Kompas, 3
September 1995)
Oleh karena gender
merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk
jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat
ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai secara berbeda dari satu
tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu.
Meskipun demikian upaya
untuk mendefinisikan konsep gender tetap
dilakukan dan salah satu definisi gender
telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang sejarahwan, sebagai “a
constitutive element of social relationships based on perceived differences
between the sexes, and…a primary way of signifying relationships of power.”
(1986:1067)
Sebagai
contoh dari perwujudan konsep gender
sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi
secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu
lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di
luar rumah dan bahwa seorang perempuan
itu lemah lembut, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam
rumah (mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah kodrat karena itu dibentuk oleh manusia.
Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari
waktu ke waktu, di suatu daerah dan
daerah yang lainnya. Oleh karena itulah, identifikasi seseorang dengan
menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal. Seseorang dengan
jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga
dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan
pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan kaum
perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin perempuan
bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-pekerjaan
yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan kaum
laki-laki.
Disinilah kesalahan pemahaman akan konsep gender seringkali muncul, dimana orang
sering memahami konsep gender yang
merupakan rekayasa sosial budaya sebagai “kodrat”,
sebagai sesuatu hal yang sudah melekat pada diri seseorang, tidak bisa diubah
dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu
sendiri menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, antara lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian gender yang dibentuk dan terbentuk
sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan
secara turun temurun dari generasi ke generasi bukanlah bukanlah kodrat.
GENDER DAN SOSIALISASI
A.
Pengertian Sosialisasi
Kuatnya citra gender sebagai
kodrat, yang melekat pada benak masyarakat, bukanlah merupakan akibat dari
suatu proses sesaat melainkan telah melalui suatu proses dialektika, konstruksi
sosial, yang dibentuk, diperkuat, disosialisasikan secara evolusional dalam
jangka waktu yang lama, baik melalui ajaran-ajaran agama, negara, keluarga
maupun budaya masyarakat, sehingga perlahan-lahan citra tersebut mempengaruhi
masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan secara biologis dan
psikologis.
Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai
cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi,
seseorang “diharapkan” menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di
tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi
manusia masyarakat dan “beradab”.
Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar
kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial.
Sosialisasi menitikberatkan pada masalah individu dalam kelompok. Oleh karena
itu proses sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang.
(Soelaeman, 1998:109)
Kedirian sebagai suatu produk sosialisasi, merupakan
kesadarn terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar
dirinya. Adapun asal mula
timbulnya kedirian antara lain karena:
a) Dalam proses sosialisasi seseorang
mendapat bayangan dirinya, yaitu setelah memperhatikan cara orang lain
memandang dan memperlakukan dirinya. Misalnya, apakah dirinya dianggap baik,
buruk, pintar, cantik dan sebagainya.
b) Dalam proses sosialisasi juga membentuk
kedirian yang ideal. Orang yang bersangkutan mengetahui dengan pasti apa-apa
yang harus dia lakukan agar memperoleh penghargaan dari orang lain.
Proses sosisalisasi sebenarnya
berawal dari dalam keluarga. Gambaran diri seseorang merupakan pantulan
perhatian yang diberikan keluarga kepada dirinya. Persepsinya tentang diri,
tentang dunia dan masyarakat sekelilingnya secara langsung dipengaruhi oleh
tindakan dan keyakinan keluarganya. Sehingga nilai-nilai yang dimiliki oleh
seorang individu dan berbagai peran yang diharapkan dilakukan olehnya, smeua
berawal dari dalam lingkungan sendiri.
Proses sosialisasi ini tidak berhenti sampai pada
keluarga saja, tapi masih ada lembaga lain. Cohan (1983) mengatakan bahwa
lembaga-lembaga sosialisasi yang terpenting ialah keluarga, sekolah, kelompok
sebaya dan media massa.
Sosialisasi pada dasarnya menunjuk pada semua faktor dan
proses yang membuat setiap manusia menjadi selaras dalam hidupnya di
tengah-tengah orang lain. Sehingga meskipun proses sosialisasi yang dijalani
setiap orang tidak selalu sama, namun secara umum sasaran sosialisasi itu
sendiri hampir sama di berbagai tempat dan budaya, yaitu antara lain:
a) Individu harus diberi
ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan kelak di
masyarakat.
b) Individu harus mampu
berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kemampuannya.
c) Pengendalian
fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang
tepat.
d) Bertingkah laku selaras
dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada lembaga atau
kelompok khususnya dan masyarakat umumnya.
B.
Sosialisasi Peran Gender
Pranata sosial yang kita masuki segabai individu,
sejak kita memasuki keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur
pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita mulai
membentuk keluarga sendiri, memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana
orang “normal” berperilaku sesuai dengan gendernya.(Mosse, 1996:63)
Karena konstruksi sosial budaya gender, seorang laki-laki misalnya
haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam
atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka sejak
seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk untuk “menjadi’
seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang melekat pada
dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang karena dia
lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk
“menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam suatu
masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena
dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula bagi dia untuk menjadi
sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya.
Proses sosialisasi peran gender tersebut dilaksanakan melalui berbagai cara, dari mulai
pembedaan pemilihan warna pakaian, accessories, permainan, perlakuan dan
sebagainya yang kesemuanya diarahkan untuk mendukung dan memapankan proses
pembentukan seseorang “menjadi” seorang laki-laki atau seorang perempuan sesuai
dengan ketentuan sosial budaya setempat.
Pembedaan identitas berdasarkan gender tersebut telah ada
jauh sebelum seseorang itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya dia dilahirkan
ke dunia ini, dia sudah langsung masuk ke dalam satu lingkungan yang
menyambutnya dengan serangkaian tuntutan peran gender. Sehingga seseorang terpaksa menerima identitas gender yang sudah disiapkan untuknya dan
menerimanya sebagai sesuatu hal yang benar, yang alami dan yang baik. Akibatnya
jika terjadi penyimpangan terhadap peran gender
yang sudah menjadi bagian dari landasan kultural masyarakat dimana dia hidup,
maka masyarakat pun lantas menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif
bahkan mungkin sebagai penentang terhadap budaya yang selama ini sudah mapan.
Dan sampai sejauh ini yang sering menjadi korban adalah kaum perempuan.
Sebagai contoh dalam adat budaya Jawa di Indonesia,
seorang budayawan terkemuka, Umar Kayam, mengungkapkan bahwa sebutan wanita
sebagai kanca wingking (teman di
belakang) merupakan pengembangan dialektika budaya adiluhung. Sosok budaya inilah yang berkembang di bawah ilham
“halus – kasar” yang secara tegar menjelajahi semua sistem masyarakat Jawa.
Sistem kekuasaan feodal aristokratik, demikian Kayam, telah menetapkan wanita
untuk memiliki peran atau role
menjadi “penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung” di dalam rumah.(Kompas, 23 Oktober 1995)
Penjajahan kultural yang demikian panjang dan membuat
perempuan lebih banyak menjadi korban itu terus dilestarikan. Tidak jarang,
alasan-alasan kultural memberikan legitimasi sangat ampuh. Ia dicekokkan
melalui pelbagai pranata sosial dan adat istiadat yang mendarahdaging dalam
jantung kesadaran anggotanya. Rasionalisasi kultural inilah yang pada
gilirannya membuat perempuan secara psikologis mengidap sesuatu yang oleh
Collete Dowling disebut Cinderella
Complex, suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga kaum
wanita merasa tidak berani dan tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya
kreativitasnya secara penuh. (Ibrahim dan Suranto, 1998:xxvi)
Sosialisasi yang jika kita cermati pengertiannya, yaitu
merupakan sebuah proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian
diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi
baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. (Noor, 1997:102) telah
juga dilakukan tidak hanya melalui lembaga keluarga dan lembaga adat, melainkan
juga oleh lembaga negara dan lembaga pendidikan.
Pemapanan citra
bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan sebagai seorang ibu dengan
segala macam tugas domestiknya yang selalu dikatakan sebagai “urusan
perempuan”, seperti membersihkan rumah, mengurus suami dan anak, memasak,
berdandan dan sebagainya. Sementara citra laki-laki, disosialisasikan secara
lebih positif, dimana dikatakan bahwa laki-laki karena kelebihan yang
dimilikinya maka lebih sesuai jika dibebani dengan “urusan-urusan laki-laki”
pula dan lebih sering berhubungan dengan sektor publik, seperti mencari nafkah,
dengan profesi yang lebih bervariasi daripada perempuan. Kesemua itu
disosialisasikan sejak dari kelas satu Sekolah Dasar melalui buku-buku
pelajaran di sekolah hingga Panca Dharma Wanita, yang menyatakan bahwa tugas
utama seoarang perempuan adalah sebagai “pendamping” suami, dan itulah yang
diyakini secara salah oleh sebagian orang sebagai “kodrat wanita.”
GENDER DAN STRATIFIKASI
Pembedaan laki-laki dan
perempuan berlandaskan gender mungkin tidak akan mendatangkan masalah jika pembedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan
gender (gender inequalities) baik
bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Meski ketidakadilan itu lebih
banyak dirasakan oleh kaum perempuan, sehingga bermunculanlah gerakan-gerakan
perjuangan gender.
Ketidakadilan gender
tersebut antara lain termanifestasi pada penempatan perempuan dalam
stratifikasi sosial masyarakat, yang pada kelanjutannya telah menyebabkan kaum
perempuan mengalami apa yang disebut dengan marginalisasi dan subordinasi.
A.
Pengertian Stratifikasi
Bila ditinjau
dari asal katanya, istilah stratifikasi berasal dari kata stratus yang artinya lapisan (berlapis-lapis). Sehingga dengan
istilah stratifikasi diperoleh gambaran bahwa dalam tiap kelompok masyarakat
selalu terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi
sampai yang berkedudukan rendah, berlapis-lapis dari atas ke bawah.
Pelapisan sosial dalam masyarakat tersebut terjadi
karena adanya “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat tersebut. Misalnya,
berupa pemilikian uang atau benda-benda ekonomis lainnya seperti mobil, rumah,
benda-benda elektronik dan lain sebagainya. Pemilikan kekuasaan, ilmu
pengetahuan, agama atau keturunan keluarga. Untuk selanjutnya masyarakat
dinilai dan ditempatkan pada lapisan-lapisan tertentu berdasarkan tingkat
kemampuannya dalam memiliki “sesuatu” yang dihargai tersebut.
Proses terjadinya pelapisan dalam masyarakat dapat
terjadi dengan sendirinya atau sengaja disusun untuk mencapai satu tujuan
bersama, misalnya pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi
formal.
Disamping itu, pelapisan dalam masyarakat juga bisa
bersifat tertutup, dimana didalamnya tidak memungkinkan pindahnya seseorang
dari satu lapisan ke lapisan lain, baik gerak pindahnya ke atas maupun ke
bawah. Misalnya, penempatan seseorang dalam lapisan tertentu yang diperoleh
berdasarkan kelahiran. Contoh paling banyak terdapat pada masyarakat dengan
sistem kasta, masyarakat feodal dan masyarakat rasial. Sementara pada
masyarakat dengan sistem pelapisan terbuka, setiap orang mempunyai kesempatan
untuk naik ke lapisan yang lebih tinggi tetapi juga dimungkinkan untuk jatuh ke lapisan yang
lebih rendah.
B.
Stratifikasi Perempuan
Berlandaskan Perbedaan Gender
Jika kita mengaitkan masalah gender dengan
stratifikasi maka mau tidak mau kita harus melihat kembali pada proses
sosialisasi yang telah mengawali
pemapanan pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender.
Selama ini telah disosialisasikan, ditanamkan sedemikian rupa, ke dalam benak, ke dalam
pribadi-pribadi seseorang, laki-laki dan perempaun, bahwa karena “kodrat”-nya
seorang laki-laki berhak dan sudah seharusnya untuk mendapat kebebasan,
mendapat kesempatan yang lebih luas daripada perempuan. Tuntutan nilai-nilai
yang ditentukan oleh masyarakat telah mengharuskan seorang laki-laki untuk
lebih pintar, lebih kaya, lebih berkuasa daripada seorang perempuan. Akibatnya
segala perhatian dan perlakuan yang diberikan kepada masing-masing dua jenis
kelamin, laki-laki dan perempuan tersebut pun disesuaikan dan diarahkan untuk
memenuhi tuntutan tersebut. Kepada laki-laki diberikan prioritas dan kesempatan
lebih luas untuk sekolah dan menuntut ilmu lebih tinggi daripada kesempatan
yang diberikan kepada kaum perempuan. Kepada kaum laki-laki pula dibuka pintu
selebar-lebarnya untuk bekerja di berbagai sektor publik dalam dunia pekerjaan
yang dianggap maskulin, sementara perempuan lebih diarahkan untuk masuk ke
sektor domestik dengan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini memang dianggap
sebagai “urusan” perempuan.
Bertolak dari kondisi tersebut maka akses perempuan
terhadap “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat, yang menjadi sumber
kelahiran pelapisan dalam masyarakat pun menjadi sangat rendah. Sehingga kaum
perempuan dengan segala keterbatasan yang sudah ditentukan oleh masyarakat
untuknya terpaksa menempati lapisan yang lebih rendah di masyarakat daripada
kaum laki-laki.
Kondisi yang telah menempatkan kaum perempuan dalam
posisi yang tidak menguntungkan di atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk
ketidakadilan gender (gender inequalities)
yang termanifestasi antara lain dalam bentuk:
a) Marginalisasi
Proses marginalisasi, yang merupakan
proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam
bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga
perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir
keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi
hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali atau hanya
mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki.
Demikian juga dengan kesempatan dalam
memperoleh pekerjaan, berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang akibatnya
juga melahirkan perbedaan jumlah pendapatan antara laki-laki dan perempuan.
Seorang perempuan yang bekerja sepanjang
hari di dalam rumah, tidaklah dianggap “bekerja” karena pekerjaan yang
dilakukannya, seberapapun banyaknya, dianggap tidak produktif secara ekonomis.
Namun seandainya seorang perempuan “bekerja” pun (dalam arti di sektor publik)
maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja
sebagai penghasilan seorang suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal
pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada kaum
laki-laki.
Mengenai marginalisasi
perempuan ini, Ivan Illich mengungkapkan sebuah fakta sebagai berikut:
Selama
bertahun-tahun ini, diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan
yang berupah, yang terkena pajak, dan yang dilaporkan atau dipantau secara
resmi, kedalamannya tidak berubah namun volumenya makin bertambah. Kini 51 %
perempuan di Amerika Serikat bekerja di luar rumah, sementara tahun 1880 hanya
tercatat 5%. Jika pada tahun 1880 dalam keseluruhan tenaga kerja di Amerika
hanya 15% yang perempuan sekarang mencapai 42%. Kini separuh dari semua
perempuan yang sudah kawin punya penghasilan sendiri dari suatu pekerjaan luar
rumah, sementara seabad silam hanya 5% yang memiliki pendapatan sendiri.
Sekarang hukum membuka kesempatan pendidikan serta karier bagi perempuan,
sedangkan pada tahun 1880 banyak yang tertutup baginya. Sekarang rata-rata
perempuan menghabiskan 28 tahun sepanjang hidupnya untuk bekerja sementara
tahun 1880 angka rata-rata yang tercatat hanya 5 tahun. Ini semua kelihatan
seperti langkah-langkah penting ke arah kesetaraan ekonomis, tapi tunggu sampai
Anda terapkan alat ukur yang tepat. Upah rata-rata tahunan perempuan yang
bekerja penuh-waktu masih mandek pada rasio magis dibanding pendapatan
laki-laki, yakni 3:5 ----59%, dengan kenaikan atau penurunan 3% --- persis
persentase seratus tahun silam. Kesempatan pendidikan, ketersediaan
perlindungan hukum, retorika revolusioner --- politis, teknologis, atau seksual
---tak mengubah apa-apa sehubungan dengan rendahnya pendapatan perempuan
dibanding laki-laki. (1998:16)
b. Subordinasi
Pandangan berlandaskan
gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan.
Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional berakibat munculnya
sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
Subordinasi karena
gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat
ke tempat lainnya.
Salah satu konsekuensi
dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak
laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai
daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga
dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki
akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran
seorang bayi perempuan.
Subordinasi juga muncul
dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum
perempuan termanifestasi dalam berbagai
wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim perempuan
(penyunatan) dan pembuatan pornografi.
Hubungan subordinasi
dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki
dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas
tubuh dan kehidupannya. (Mosse, 1996:76)
Anggapan bahwa
perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum laki-laki juga sejalan dengan
pendapat teori nature yang sudah ada
sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa
sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita
untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam
banyak hal untuk hidupnya. (Budiman, 1985: 6) Bahkan Aristoteles mengatakan
bahwa wanita adalah laki-laki – yang –
tidak lengakap. (Ibid.)
Demikianlah
pendikotomian laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender nyata sekali telah mendatangkan ketidakadilan
gender bagi perempuan yang termanifestasi dalam berbagai wujud dan bentuknya. Karena diskriminasi
gender perempuan diharuskan untuk patuh pada “kodrat” –nya yang telah
ditentukan oleh masyarakat untuknya. Karena diskriminasi pula perempuan harus
menerima stereotype yang dilekatkan pada dirinya yaitu bahwa perempuan itu
irrasional, lemah, emosional dan sebagainya sehingga kedudukannya pun selalu
subordinat terhadap laki-laki, tidak dianggap penting bahkan tidak dianggap
sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan diasumsikan harus selalu
menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki.
Bertolak dari kondisi
demikianlah maka jika dulu Karl Marx memperjuangkan kesamaan kelas, kini kaum feminis menggemakan perjuangannya, untuk
memperoleh kesetaraan gender. Untuk memperoleh kedudukan dan hak yang sama
dengan laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief, Pembagian
Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di
dalam Masyarakat. Jakarta, Gramedia,1985
Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997
Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto,
(ed). Wanita dan Media. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998
Illich, Ivan. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998
Mosse, Julia Cleves. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta:
Rifka Annisa Women’s Crisis Center dan Pustaka Pelajar, 1996
Munir, Lily Zakiyah, (ed). Memposisikan Kodrat. Bandung: Mizan,
1999
Noor, H. M. Arifin, Drs. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka
Setia, 1997
Saptari, Ratna dan Brigitte
Holzner. Perempuan Kerja dan Perubahan
Sosial. Sebuah Pengantar Studi
Perempuan.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar