1. Pengertian Kota.
Kota adalah pusat kehidupan yang dapat dilihat dari
berbagai macam sudut pandang pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran
bahwa kota menjadi tempat manusia atau masyarakat berperilaku mengisi aktifitas
kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku manusia dapat dilihat melalui
teropong sosiologi maupun antropologinya, atau dapat juga dilihat dari aspek
fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku
sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya).
Perbedaan cara
pandang sosiologi dan antropologi muncul pada human relations nya: Sosiologi,
secara kontras tidak membicarakan orang tertentu dari kota akan tetapi lebih
pada keterikatan hubungan personal dengan rural life. Cara pandang ini
berkembang lebih awal dalam ilmu sosial dengan pemikiran evolusi sosial. Hal
itu merupakan refleksi studi “Suicide” dari Emile Durkheim (1897), dengan konsep anomie atau state of
normlessness. Anomie suicide merupakan karakter bagi mereka yang hidup
terisolasi, dari dunia impersonal. Ferdinand
Tönnies (1887), membuat jarak antara Gemeinschaft (community)
dan Gesellschaft (society) konsep dasarnya, secara kontras untuk
mendalami hubungan kontraktual pertalian karakter masyarakat kapitalis dan
aktivitas bersama dari masyarakat feudal. Sedangkan Louis Wirth (1938) dalam “Urbanism as a way of life”,
mengembangkan teori pengaruh dalam organisasi sosial dan perilakunya urban
life. Louis Wirth, menyatakan
bahwa urbanisme akan baik bila pendekatannya dilakukan dari tiga perspektif (cara pandang) yang saling
berhubungan (inter-related): 1. as a physical structure (struktur
fisiknya); 2. as a system of social organization (sistem dari organisasi
sosialnya); dan 3. as a set of attitudes and ideas and a “constellation
of personalities” (tatanan perilaku dan gagasan serta “kumpulan dari
kepribadian”). Antropologi, lebih pada pertalian keluarga dan kelompok yang
similar terkait dengan urban setting. Kota-kota di Afrika Barat, kehidupan
perkotaan hampir keseluruhannya diorganisasi oleh klan (marga) dan kesukuan.
Hal itu juga terdapat di Indonesia, China, dan Taiwan.
Pengertian
kota berdasarkan bidang keilmuan masing-masing. Kota adalah permukiman yang
permanen relatif luas, penduduknya padat serta heterogen, dan memiliki
organisasi-organisasi politik, ekonomi, agama, dan budaya (Sirjamaki, 1964).
Ditegaskan pula oleh Hamblin (1975), kota adalah tempat yang dihuni secara
permanen oleh suatu kelompok yang lebih besar dari suatu klen. Di kota terjadi
suatu pembagian kerja, yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok sosial dengan
diferensiasi fungsi, hak, dan tanggung jawab. Dengan pengertian ini, Jones
(1966) menegaskan bahwa kota tercakup unsur keluasan wilayah, kepadatan
penduduk yang bersifat heterogen dan bermata pencaharian non pertanian, serta
fungsi administratif-ekonomi-budaya. Sebaliknya, kota bagi orang Islam pada
dasarnya adalah, permukiman tempat seseorang dapat memenuhi kewajiban-kewajiban
agama dan sosialnya secara keseluruhan (Grunebaum, 1955:142-144). Istilah kota
dalam bahasa Arab ‘madina’ berarti suatu kota (city) suatu permukiman luas
tempat terjadi konsentrasi fungsi-fungsi keagamaan, politik, ekonomi, dan
fungsi-fungsi lainnya. Suatu ‘madina’ pada prinsipnya adalah suatu ibukota
administratif, selalu merupakan ibukota suatu nahiyyah atau rustaaq distrik
(IM. Lapidus, 1969:69-73). Dari sudut ekonomi, kota adalah suatu permukiman di
mana penduduknya lebih mengutamakan kehidupan perdagangan dan komersial dari
pada pertanian. Karena itu Max Weber (1966:66) memberikan pengertian kota ialah
‘tempat pasar’ (market place), sebuah ‘permukiman pasar’ (market settlement).
Kota ialah sebuah permukiman permanen dengan individu-individu yang heterogen,
jumlahnya relatif luas dan padat menempati areal tanah yang terbatas berbeda
halnya dengan apa yang disebutkan desa-desa, kampung-kampung dan tempat-tempat
permukiman lainnya (Louis Wirth). Namun MAJ Beg (1965:32) menekankan sebagai
permukiman dengan aspek kependudukan yang padat, heterogen termasuk tentunya
kelompok yang telah mengenal tulisan yang biasanya berada dalam masyarakat
non-agraris. Pada bagian lain, Peter J.M Nas (1986:14) menegaskan, bahwa kota
itu adalah: - suatu lingkungan material buatan manusia; - suatu pusat produksi;
- suatu komunitas sosial; - suatu komunitas budaya; dan - suatu masyarakat
terkontrol. Sedangkan Paul Wheatley (1985:1), memberikan penjelasan sebagai
berikut: - suatu arena tempat untuk masyarakat yang saling berperan antara
kedua keinginan baik yang kreatif maupun yang destruktif dalam disposisi dan
ruang; - untuk peningkatan lokal suatu yang karakteristik bagi gaya kehidupan,
produksi dan pemikiran; - suatu pusat yang berfungsi untuk kontrol sosial,
suatu penciptaan ruang yang efektif. Akhirnya Horace Miner (1967:5-10)
mengatakan, bahwa kota sebagai pusat dari kekuasaan.
Pada kesempatan lain John Sirjamaki (1964),
menambahkan bahwa yang disebut kota adalah pusat komersial dan industri,
merupakan kependudukan-kependudukan dengan tingkat pemerintah sendiri yang
diatur oleh pemerintah kota. Kota-kota itu juga merupakan pusat-pusat untuk
belajar serta kemajuan kebudayaan. Kemudian Gordon Childe (1952), memberikan
tambahan bagi pengertian kota dalam ukuran, heterogennya, pekerjaan umum, dan
lainnya, yaitu masalah pengetahuan pertulisan yang merupakan esensi bagi
katagorisasi kota yang memberikan ciri perluasan pengetahuan tertentu dan
tinggi dari kelompok masyarakat non-agraris. Bahkan Lombard (1976:51) pun tidak
ketinggalan memberikan pengertian yang besar maknanya mengatakan, bahwa Asia
Tenggara menjadi wilayah yang penting untuk pengkajian budaya, karena wilayah
ini merupakan ajang percampuran elemen-elemen kebudayaan Hindu, Budha, Cina,
Islam, dan Barat. Suatu aspek penting dari kajian tentang proses akulturisasi
yang terjadi di wilayah itu adalah kajian tentang perkembangan kota dan
urbanisasi. Pada dasarnya kota memiliki ciri-ciri universal yang berhubungan
dengan asal pertumbuhan, lokasi, ekologi, dan unsur sosialnya. Ciri-ciri
tersebut terdapat pada kota-kota kuno yang ada antara lain di Timur Tengah,
Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Kartodirdjo, 1977:1-8).
Sosiologi perkotaan
Apa sosiologi itu? Sosiologi adalah studi empiris dari struktur
sosial (kemasyarakatan). Struktur sosial tidak sekedar hanya individu dan
perilaku individu. Struktur sosial termasuk di dalamnya kelompok, pola sosial,
organisasi, instruksi sosial, keseluruhan masyarakat, dan tentu saja perkotaan.
Atau lebih jelasnya ilmu sosiologi adalah yang mengkaji atau menganalisis
segi-segi kehidupan manusia bermasyarakat dalam kawasan kota atau perkotaan.
Karakter kota dan masyarakat: a. Kota mempunyai fungsi-fungsi khusus; b. Mata
pencaharian penduduknya di luar agraris; c. Adanya spesialisasi pekerjaan
warganya; d. Kepadatan penduduk; e. Ukuran jumlah penduduk; f. Warganya
(relatif) mobility; g. Tempat permukiman yang tampak permanen; dan h.
Sifat-sifat warganya yang heterogen, kompleks, social relations yang impersonal
dan eksternal, dan lain sebagainya. Kemudian ilmu tersebut berkembang dan
berkaitan dengan apa yang dinamakan urban sosiologi (sosiologi perkotaan).
Urban sosiologi adalah merupakan sub-disiplin di dalam sosiologi difokuskan
pada urban environment (lingkungan perkotaan). Menjelaskan beberapa topik-topik
sebagai bagian dari perkembangan perkotaan, struktur perkotaan, jalan kehidupan
dalam perkotaan, pemerintahan, dan permasalahan perkotaan. Karena penduduk yang
tinggal di perkotaan akan dipengaruhi oleh kota. Untuk memahaminya kita harus
mempelajari perkotaan. Berbagai permasalahan berhadapan masyarakat kita
berhubungan pada lingkungan urban. Untuk memahami permasalahannya kita perlu
mempelajari kota. Dengan belajar bagaimana kota-kota dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan natural kita dapat mengerti link antara nature dan struktur
sosial.
Perbedaan Desa dan Kota
Definisi tentang kota tercakup
unsur-unsur keluasan atau wilayah, kepadatan penduduk, kemajemukan sosial,
pasar dan sumber kehidupan, fungsi administratif, dan unsur-unsur budaya yang
membedakan kelompok sosial di luar kota (Jones, 1966:1-8). Para ahli sosiologi
pada umumnya memandang kota sebagai permukiman yang permanent, luas, dan padat
dengan penduduk yang heterogen (Sirjamaki, 1964:1-8). Lalu bagaimana perbedaan
dengan desa. Di kota juga berkembang tradisi besar yang dengan penuh kesadaran
ditumbuhkan di pusat-pusat pembelajaran, seperti sekolah, pesantren, dan
tempat-tempat peribadatan. Di sisi lain di pedesaan sebetulnya juga tumbuh
tradisi kecil, yang bias disebut budaya rakyat. Kota bersifat nonagrikultural,
sehingga untuk keperluan penyediaan makanan harus dibina hubungan antara kota dan
desa. Penegasan juga dilakukan oleh Redfield (1963:42-43), bahwa tradisi kecil
tersebut tumbuh dengan sendirinya di kalangan masyarakat pedesaan tanpa
penghalusan-penghalusan yang bias dijumpai pada tradisi kota. Meskipun ada
perbedaan-perbedaan antara kota dengan desa, namun kota tak dapat dipisahkan
dengan desa sebagai bagian dari suatu sistem yang lebih luas (Sjoberg,
1960:25). Demikian juga Weber (1966:66-67) berpendapat, bahwa salah satu ciri
pokok kota ialah, sebagai pusat kegiatan perekonomian. Sementara itu Jones
(1966:1-6) menjelaskan bahwa sesuai dengan fungsi dan golongan-golongan yang
utama dalam masyarakat, kota dapat dibedakan atas beberapa tipe, antara lain
kota dagang, kota keagamaan, dan kota pemerintah.
Sumber Pustaka
Ansy’ari,
S.I. (1993). Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
Anthony, J.C. &
Snyder, J.C. 1986. Pengantar Perencanaan Kota. Surabaya: Erlangga.
Anthony, J.C. &
Snyder, J.C. 1989. Perencanaan Kota. Surabaya: Erlangga.
Hermanislamet, B.
(1999). Tata Ruang Kota Majapahit, Analisis Keruangan Pusat Kerajaan Hindu Jawa
Abad XIV di Trowulan Jawa Timur. Disertasi. Tidak diterbitkan.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Nas,
d. P. J. M. (1979). Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota.
Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Stelter, G.A. (1996).
Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources.
University of Guelph 49 -464 Reading a Community, pp. 1-7.
Tjandrasasmita, U.
(2000). Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad
XIII sampai XVIII Masehi. Kudus: Menara Kudus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar