Konsep hukum sebagai sarana pembaharu masyarakat
mengingatkan kita pada pemikiran Roscea Pound, salah seorang pendukung Sociological
Jurisprudence. Pound mengatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat
merekayasa (law as a tool of social engineering), tidak sekadar
melestarikan status quo.
Jadi berbeda dengan Mazhab Sejarah yang mengasumsikan
hukum itu tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat,
sehingga hukum digerakkan oleh kebiasaan, maka Social Jurisprudenceberpendapat
sebaliknya. Hukum justru yang yang menjadi instrumen untuk mengarahkan
masyarakat menuju kepada tujuan yang diinginkan, bahkan kalau perlu,
menghilangkan kebiasaan masyarakat yang dipandang negatif.
Menurut Satjipto Rahardjo (1986: 170-171), langkah
yang diambil dalam social engineering bersifat sistematis,
dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya, yaitu : Mengenai
problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan
saksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut, Memahami
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam ha; social
engineering itu hendak terapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan
majemuk, seperti : tradisional, modern, dan pencernaan. Pada tahap ini
ditentukan nilai-nilai dari sector mana yang dipilih. Membuat
hipotesis-hipotesis dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh
Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, hukum di Indonesia tidak cukup berperan sebagai alat, tetapi juga
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pemikiran ini oleh sejumlah ahli hukum
Indonesia disebut-sebut sebagai mahzab tersendiri dalam filsafat hukum, yaitu
Mahzab Filsafat Hukum Unpad. Pendekatan
sosiologis yang disarankan oelh Mochtar dimaksudkan untuk tujuan praktis, yakni
dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan sosial-ekonomi. Ia juga
melihat, urgensi penggunaan pendekatan sosialogis dengan mengambil model
berpikir Pound ini, lebih-lebih dirasakan oleh Negara-negara berkembang
daripada Negara-negara maju. Hal itu tidak lain karena mekanisme hukum di
negara-negara berkembang belum semapan di Negara-negara maju. Mengingat
pembangunan sosial-ekonomi ini selalu membawa perubahan-perubahan, maka
seharusnya hukum itu mengambil peran, sehingga perubahan-perubahan tersebut
dapat dikontrol agar berlangsung tertib dan teratur. Dalam hal ini hukum tidak
lagi berdiri di belakang fakta (het recht hinkt achter de feiten aan),
tetapi justru sebaliknya. Hukum dalam konsep Mochtar tidak diartikan sebagai
alat tetapi sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang
melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha
pembangunan dan pembaruan memang diinginkan, bahkan dianggap dan bahwa hukum
dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kea rah yang
dikenhendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Untuk itu diperlukan saran
berupa peraturan hukum yang berbentuk tertulis (baik perundang-undangan maupun
yurisprudensi), dan hukum yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan hukum
yang lain dalam masyarakat sebenarnya, Konsep Mochtar ini tidak hanya
dipengaruhi oleh Sociological Jurisprudence, tetapi juga oleh Pragmatic
Legal Realism. Lebih
jauh lagi, Mochtar (1976:9-10) berpendapat bahwa pengertian sarana lebih luas
dari pada alat (tool). Alasannya di Indonesia peranan perundang-undangan
dalam proses pembaruan hukum lebih menonjol, misalnya jika disbanding dengan
Amerika Serikat, yang menempatkan yurisrudensi (khususnya putusan Supreme
Court) pada tempat lebih penting. Konsep hukum sebagai alat akan
mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dari penerapan legisme sebagaimana
pernah diasakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang
menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu, dan
3) Apabila hukum di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini
diterima resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional. Mochtar
(1976:10), kemudian menegaskan, dari uraian diatas kiranya jelas bahwa walaupun
secara teoritis konsepsi hukum yang melandasi kebijaksanaan hukum dan
perundang-undangan (reschts politik) sekarang ini diterangkan menurut
istilah atau konsepsi-konsepsi atau teori masa kini yang berkembang di Eropa
dan di Amerika Serikat, namun pada hakekatnya konsepsi tersebut lahir dari
masyarakat Indonesia sendiri berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan
dipengaruhi faktor-faktor yang berakar dalam sejarah masyarakat dan bangsa
kita. Meskipun
Mochtar menegaskan, bahwa gagasannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berakar pada sejarah bangsa, menurut Soetandyo Wignjosoebroto (1994:232-233),
Mochtar tidak terlampau percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli rakyat
pribumi harus dilestarikan seperti yang pernah dilakukan pada masa-masa
pemerintah kolonial. Kebijakan anti-acculturation yang tidak
mendatangkan kemajuan apa-apa, sedangkan introduksi hukum Barat dengan
tujuan-tujuan yang terbatas pun kenyataannya hanya berdampak kecil untuk proses
modernisasi (Indonesia) secara keseluruhannya. Untuk itu, Mochtar mengusulkan
agar pembangunan hukum nasional di Indonesia hendaklah tidak secara tegesa-gesa
dan terlalu pagi membuat keputusan : hendak hukum colonial berdasarkan
pola-pola pemikiran Barat, ataukah untuk secara a priori mengembangkan
hukum adat sebagai hukum nasional. Sebelum
memutuskan apa yang hendak dikembangkan sebagai hukum nasional, Mochtar
menganjurkan agar dilakukan penelitian-penelitian terlebih dahulu untuk
menentukan bidnag hukum apa yang perlu diperbarui, dan bidang (ranah) apa yang
dibiarkan berkembang sendiri. Mochtar melihat, bahwa untuk hukum-hukum yang
yang tidak netral, pembangunannya diupayakan sedekat mungkin behubungan dengan
budaya dan kehidupan spiritual bangsa. Di sisi lain, untuk bidnag hukum lain,
seperti kontrak, badan usaha, dan tata niaga, dapat diatur melalui hukum
perundang-undangan nasional. Untuk ihwal lain yang lebih netral seperti
komunikasi, pelayaran, pos dan telekomunikasi model yang telah dikembangkan
dalam system hukum asing pun dapat saja ditiru. Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa ide Mochtar
tentang kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang terbatas, ialah kodifikasi
yang terbatas secara selektif pada hukum yang tidak hendak menjamah ranah
kehidupan budaya dan spiritual rakyat (setidak-tidaknya untuk
sementara ini), telah menjadi bagian dari program kerja Bdan Pembinaan Hukum
Nasional bertahun-tahun lamanya. Ide law as a iool of
social engineering ini
rupanya baru ditujukan secara selektif untuk memfungsikan hukum guna merekayasa
kehidupan ekonomi nasional aja, dan tak berpretensi akan sanggup merekayasa
masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya. Ide seperti ini tentu saja
bersesuaian dengan kepentingan pemerintah Orde Baru, karena ide untuk
mendahulukan pembangunan hukum yang gayut dengan netral yang juga hukum ekonomi,
tanpa melupakan tentu saja hukum tatanegara manakala sempat diselesaikan dengan
hasil baik akan sangat doharapkan dapat dengan cepat membantu penyiapan salah
satu infrastruktur politik dan ekonomi (Wignjosoebroto,1994:234). Soetandyo lebih jauh mencatat, bahwa dalam
perkembangannya tidak semua ahli hukum sependapat dengan perkembangan hukum
nasional dengan cara mengembangkan hukum baru atas dasar prinsip-prinsip yang
telah diterima dalam kehidupan internasional, dengan maksud untuk memperoleh
sarana yang berdayaguna membangun infrastruktur politik dan ekonomi nasional
dengan membiarkan untuk sementara infrastruktur social budaya yang tidak netral
atau belum dapat dinetralkan. Pihak-pihak yang tidak setuju berpendapat, upaya
demikian terlalu menyimpang dari tradisi. Ada dua golongan yang tidak
setuju. Pertama, mereka yang percaya harus ada kontinuitas perkembangan hukum
dari yang lalu (colonial) ke yang kini (nasional). Golongan kedua adalah mereka
yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar dan berangkat dari hukum rakyat
yang ada, yaitu hukum adapt. Dengan mengutip John Ball dalam bukunya berjudul Indonesian
Law Commentary and Teaaching Materials (1985) dan The Struggle
or National Law in Indonesia (1986), golongan pertama ini antara lain
tokoh-tokoh Pengacara di Jakarta,seperti Adnan Buyung Nasution Sulistio, dan
Thiam Hien. Golongan kedua, merupakan kelanjutan dari gerakan yang telah
berumur tua, sudah kehilangan pencetus-pencetus ide barunya yang mampu
bersaing. Beberapa nama yang dapat disebut adalah (almarhum) Djojodigoeno dan
M. Koesnoe. Suatu tanggapan yang lain
mengenai gagasan Mochtar, dating dari S. Tasrif. Ia mengingatkan agar pembinaan
hukum tidak diarahkan untuk menghasilkan perundang-undangan baru belaka, tetapi
seharusnya juga menghasilakn perundang-undangan yang tidak menyampaikan hak
asasi manusia dan martabat manusia, sehingga slogan Rule of law pada
hakikatnya akan menjadi rule of just law (Kusumaatmadja,1975:22). Pendapat S. Tasrif ini perlu
untuk digarisbawahi. Hal ini juga sebenarnya disadari sepenuhnya oleh Mochtar Kusumaatmadja,
dengan mengatakan bahwa pembinaan hukum nasional secara menyeluruh menghadapi
tiga kelompok masalah (problem areas), yaitu Inventarisasi dan
kepustakaan hukum, Media dan personil (unsure manusia), dan Perkembangan hukum
nasional. Kelompok masalah ketiga, perkembangan hukum nasional, dapat dibedakan
dalam dua masalah, yaitu Masalah pemilihan bidang hukum mana yang hendak
dikembangkan, dan Masalah penggunaan model-model asing. Masalah pertama dapat diatasi dengan menggunakan
berbagai ukuran (kriterium), yaitu : Ukuran keperluan yang mendesak (urgent
need), Feasibility, dalam hal ini bidang huku yang terlalu
mengandung komplikasi-komplikasi cultural, keagamaan, dan sosiologis, akan
ditangguhkan pengembangannya, Perubahan yang pokok (fundamental change),
yang maksudnya, perubahan (melalui perundangan-undangan) di sini diperlukan
karena pertimbangan-pertimbangan politis,ekonomis dan/atau sosial. Menurut
Mochtar (1975:13), perubahan hukum demikian sering diadakan oleh Negara-negara
bekas jajahan dengan pemerintah yang memiliki kesadaran politik yang tinggi.
Bidang hukum yang biasanya dipilih adalah hukum agrarian, perburuhan,
hukum-hukum mengenai pertambangan dan industri. Di mana ada keinginan untuk
menarik penanaman modal asing maka aka nada tarikan antara keinginan demikian
dengan keinginan untuk mengadakan perubahan dasar (fundamental change)
dalam perundang-undangan yang ditinggalkan pemerintah kolonial yang menempatkan
pemerintah yang bersangkutan dalam kedudukan yang tidak murah. Masalah kedua adalah penggunaan model-model (hukum)
asing. Walaupun ada kalanya menguntungkan untuk menggunakan model-model hukum
asing, namun seperti disinggung di muka, Mochtar menyadari bahwa penggunaan
model-model tersebut dapat mengalami hambatan. Untuk itu harus dipertimbangkan
apakah pemakaian menggunakan wujud semua (adoption) atau dalam bentuk
yang sudah diubah (adoption). Berdasarkan uraian dan pertimbangan yang sangat logis
seperti yang telah dipaparkan, konsep hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat merupakan konsep pembangunan (atau pembinaan) hukum yang paling
tepat dan relevan sampai saat ini. Masalahnya terletak pada seberapa jauh
pembentukan peraturan perundang-undangan baru (dalam bidang-bidang hukum yang
dianggap netral) telah diantisipasi dampaknya bagi masyarakat secara
keseluruhannya. Ada tiga catatan yang dapat diberikan sebagai pelengkap. Pertama, harus disadari bahwa bagaimanapun hukum
merupakan suatu system, yang keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat. Untuk itu, pengembangan satu bidang hukum juga akan
berpengaruh pula ke bidang-bidang hukum lainnya. Sebagai contoh, peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal, memiliki keterkaitan dengan
masalah hukum pertanahan, yang di Indonesia belum dapat disebutkan sebagai
bidang yang netral. Kedua, penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari
kenyataan sosial seringkali menyebabkan dampak negatif yang perlu
diperhitungkan. Sebagai contoh, pembentukan Undang-Undang No. 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sesungguhnya dapat dilihat dalam
konteks ini. Produk hukum tersebut dapat dikatakan sebagai wujud wujud social
engineering untuk mengarahkan masyarakat Indonesia dari kebiasaan
tidak disiplin berlalu lintas menjadi berdisiplin. Kendati demikian, kondisi
yang ideal seperti yang diharapkan oleh undang-undang tersebut rupanya terlalu
jauh dari kenyataan sosial yang ada. Masyarakat merasa belum siap untuk
mengikuti instrument hukum itu. Akibatnya, stabilitas social (bahkan politik)
terganggu. Sebagai pemecahannya, diberikan beberapa konsensi kepada masyarakat
dengan menerapkan isi undang-undang itu secara bertahap, yang sebelumnya tidak
pernah dibayangkan akan terjadi Itulah sebabnya, saran Mochtar Kusumaatmadja
untuk melakukan penelitian secara mendalam terlebih dahulu sebelum membentuk
peraturan perundang-undangan yang baru, merupakan langkah yang sangat baik. Hal
ini juga merupakan salah satu langkah penting mengikuti jalan pikiran social
engineering, seperti diungkapkan Satjipto Rahardjo. Tanpa ada penelitian
yang jelas, tidak akan pernah diketahui pasti seperti apa living law yang
ada, dan bagaimana perencanaan itu harus dibuat secara akurat. Ketiga, konsep social engineering tidak
boleh berhenti pada penciptaan peraturan hukum tertulis karena hukum tertulis
seperti itu selalu mengalami keterbatasan. Konsep ini memerlukan peranan aparat
penegak hukum yang professional, untuk memberi jiwa pada kalimat-kalimat
tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Aparat hukum, khususnya hakim,
harus mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, seperti
diamanatkan dalam Pasal 27 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian menggunakan
nilai-nilai yang baik dalam rangka menerjemahkan ketentuan hukum yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar