Permasalahan silang budaya
terkait dengan paham kultural
materialisme yang mencermati permasalahan
budaya dari pola pikir dan tindakan dari
kelompok sosial tertentu. Pola
temperamen yang relatif seragam ini ditentukan oleh faktor keturunan, kebutuhan
dan hubungan sosial yang terjadi di antara mereka, sehingga dalam kehidupan
suatu kebudayaan cenderung untuk mengulang-ulang bentuk-bentuk perilaku tertentu, karena pola perilaku tersebut
diturunkan melalui pola asuh dan proses
belajar. Kemudian muncullah struktur
kepribadian rata-rata, atau stereotipe perilaku yang merupakan ciri khas suku
bangsa dan masyarakat tertentu.
Masyarakat Indonesia yang majemuk
terdiri dari berbagai budaya, karena
adanya kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan
integrasi sosial masyarakat tersebut.
Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek
moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan
dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat
egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik. Permasalahan silang
budaya dapat terjembatani dengan
membangun kehidupan multi kultural yang sehat ; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi
antarbudaya. Yang dapat diawali dengan pengenalan ciri khas budaya
tertentu, terutama psikologi masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku
masyarakatnya. Juga peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara substantif
dan distributif, sehingga dapat menampilkan informasi apresiatif terhadap
budaya masyarakat lain.
Pendidikan sebagai proses humanisasi
menekankan pembentukan makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensivitas /kedaulatan budaya, yaitu manusia yang bisa mengelola
konflik, menghargai kemajemukan, dan permasalahan silang budaya. Toleransi
budaya di lembaga pendidikan dapat diupayakan lewat pergaulan di sekolah dan
muatan bidang studi, transformasi budaya
harus dipandu secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi yang dipaksakan.
Pendahuluan
Pemerintah telah bertekad
untuk dapat memajukan masyarakat serta pendidikan nasional, yang berakar pada
kebudayaan nasional (Pasal I ayat 2 Undang-Undang No II tahun 1989), tekad ini
mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pendidikan Nasional akan
selalu berpijak pada bumi dan budaya
Indonesia. Berangkat dari permasalahan
di atas, makalah ini disusun dan bertujuan untuk dapat mengungkap bagaimana
upaya untuk dapat memahami psikologi masyarakat Indonesia sebagai upaya
menjembatani permasalahan silang budaya, pemahaman ini diperlukan karena pada
dasarnya kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan perwujudan
(pengejawantahan) manusiawi dari individu-individu yang berada dalam masyarakat
pendukungnya sehingga permasalahan kebudayaan akan selalu berkembang sejalan
dengan perkembangan pola pikir dan kebutuhan manusia yang sudah barang tentu tidak bisa lepas dari aspek psikologis dan
kepribadian dari orang-orang dalam masyarakat tersebut.
Dalam konsep yang paling
dominan kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga menurut
faham ini pemahaman dan pemaknaan
kebudayaan lebih banyak dicermati
sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1980 : 193). Sejalan
dengan pengertian tersebut maka tingkah laku manusia sebagai anggota
masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai
pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia
(Geertz, 1973), kebudayaan adalah segala
sesuatu yang dipelajari dan dialami
bersama secara sosial, oleh para anggota
suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan
bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (Folkways) dan tata kelakuan (mores ) tetapi suatu sistem perilaku yang
terorganisasi.
Masyarakat Indonesia yang terdiri
dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu
terjadi karena permasalahan silang
budaya selalu terkait erat dengan
curural materialisme yang mencermati budaya dari pola piker dan tindakan dari kelompok sosial
tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan dan hubungan sosial
tertentu. Nilai-nilai yang terkandung
dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk
individual yang tidak terlepas dari
kaitannya pada kehidupan masyarakat
dengan orietasi kebudayaannya yang khas, sehingga baik pelestarian
maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses yang bermatra
individual, sosial dan cultural
sekaligus.
Dalam kenyataan persentuhan
nilai-nilai budaya sebagai manifestasi
dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang buaya dalam
masyarakat majemuk (heterogen) dan
jamak (pluralistis) seringkali
bersumber dari masalah
komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan
dapat merupakan kendala bagi tercapainya suatu consensus yang
perlu disepakati dan selanjutnya ditaati
secara luas. Ditambah lagi dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang,
akan selalu mengalami perubahan yang pesat dalam berbagai aspek kehidupan,
maka dengan meminjam istilah Budiono, yang menyatakan bahwa
pangkal masalah dalam masyarakat Indonesia adalah : masyarakat Indonesia cenderung dapat dipandang sebagai “suatu
masyarakat besar yang belum selesai”. Hal ini dapat dikembalikan pada adanya
berbagai dorongan sentripetal dan sentrifugal yang bersilangan secara terus
menerus naik ke permukaan secara silih
berganti. Persentuhan antar budaya yang terjadi secara dinamis
dalam proses tawar menawar bisa mewujudkan perubahan tata nilai yang tampil
sekedar sebagai pergeseran ( (shift)
antar nilai, atau peresengketaan (conflict) antar nilai atau bahkan dapat
berupa benturan (clash) antar nilai tersebut. Apapun bentuk dan perwujudan dari
permasalahan silang budaya, harus dapat dipandu dan dikendalikan, atau paling
tidak diupayakan adanya mekanisme yang
dapat menjembatani permasalahan ini, baik melalui jalur pendidikan maupun media masa.
Harus dipahami bahwa penggalian
budaya nasional bukan diarahkan konformisme budaya, tetapi lebih
diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan
kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai
dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan. Fungsi
pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak
ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional.
Dalam fungsi pengembangan diarahkan pada
perwujutan budaya nasional yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional
ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya bangsa
dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa. Kebudayaan Etnis yang
kadangkala sedemikian kuat membelenggu, perlu dipahami sebagai kebudayaan
sekumpulan individu yang bersatu kedalam etnis tertentu oleh karenanya
permasalahan silang budaya, hanya dapat terjembatani dengan pemahaman bahwa
keutuhan suatu bangsa dapat terbentuk dengan kesadaran setiap individu dan
kesadaran setiap etnis yang terhimpun dalam suatu bangsa , sehingga perlu
membina kesadaran individu dan kesadaran etnis sebagai himpunan individu.
Psikologi Masyarakat
Masyarakat
dan kebudayaannya pada dasarnya
merupakan tayangan besar dari kehidupan bersama antara individu-individu
manusia yang bersifat dinamis. Pada masyarakat yang kompleks (majemuk) memiliki banyak kebudayaan dengan standar
perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan, Perkembangan kepribadian
individu pada masyarakat ini sering dihadapkan pada model-model perilaku yang
suatu saat diimbali sedang saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok
namun dicela atau dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak
yang sedang berkembang akan belajar dari kondisi yang ada, sehingga
perkembangan kepribadian anak dalam masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola
asuh dalam keluarga lebih berperan karena pengalaman yang dominan akan
membentuk kepribadian, satu hal yang perlu dipahami bahwa pengalaman seseorang
tidak hanya sekedar bertambah dalam proses pembentukan kepribadian, namun
terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena pada dasarnya kepribadian
yang memberikan corak khas pada perilaku dan pola penyesuaian diri, tidak
dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain , karena arti dan
pengaruh suatu pengalaman tergantung pada pengalaman-pengalaman yang
mendahuluinya.
Masyarakat Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang mempunyai ciri , adanya perubahan yang sangat pesat dalam berbagai
aspek kehidupan, baik perubahan system
ekonomi, polotik sosial dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun
gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan
setempat. Kebudayaan dianggap sebagai
sumber penggalangan konformisme perilaku individu pada sekelompok masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut, karena setiap anak manusia lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu
(nature) dan dalam satu lingkungan
kebudayaan tertentu (culture) yang keduanya merupakan lingkungan yang secara
apriori menentukan proses pengasuhannya (nurture) dalam pengembangannya sebagai
anak manusia, dalam proses pembelajaran, sehingga dalam kanyataan, kebudayaan
cenderung mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola asuh dan proses
belajar yang kemudian memunculkan adanya
kepribadian rata-rata, atau stereotype perilaku yang merupakan ciri khas
dan masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam lingkungan
tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul stereotipr perilaku pada
sekelompok individu pada masyarakat tertentu..
Konsep watak
kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam organisasai intra
psikis individu anggota suatu masyarakat
tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan anak yang sama di dalam
masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead,) Apabila ini dikaitka dengan
konsep watak masyarakat (social character) dilandasi oleh pikiran untuk menghubungkan
kepribadian tipical dari suatu kebudayaan
(watak masyarakat) dengan kebutuhan obyektif masyarakat yang dihadapi suatu
masyarakat. Dalam hal ini Danandjaja :
1988 ) ingin menggabungkan antara gagasan lama tentang sifat adaptasi pranata sosial terhadap kondisi lingkungan, dengan modifikasi karakterologi psiko
analitik. Teori Erich Formm mengenai
watak masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori
lainnya mengenai tranmisi kebudayaan
dalam hal membentuk “kepribadian tipikal’ atau
kepribadian kolektif namun dia
telah juga mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi sosio historical dari tipe
kepribadian tersebut. Yang menghubungkan
kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan dengan kebutuhan obyektif yang dihadapi suatu
masyarakat. Untuk memuskan hubungan itu secara efektif suatu masyarakat perlu menerjemahkannya
kedalam unsur-unsur watak (traits) dari
individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus mereka lakukan.
Unsur-unsur
watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut
melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka,
sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari
orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisi-kondisi perubahan
masyarakat Dalam konteks ekologi kebudayaan manusia merupakan hasil dari 2
proses yang saling mengisi yaitu adanya perkembangan sebagai hasil hubungan manusia
dengan lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara dalam
menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir metaphoric
sehingga dapat memperluas atau
mempersempit jangkauan dari lambang-lambang dalam system arti yang berkembang
sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertia aslinya, sehingga kebudayaan
secara umum diartikan sebagai kompleksitas system nilai dan gagasan vital yang
menguasai atau merupakan pedoman bagi terwujudnya pola tingkah laku bagi masyarakat
pendukungnya.
Masyarakat Multikultural dan Masalah Silang
Budaya
Masyarakat indonesia
dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural
(jamak ) dan heterogen
(anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan
adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai
sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di
satu kelompokkan satu dengan yang lainnya, demikian pula dengan
kebudayaan mereka, sementara heterogenitas
merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasi suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan
ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Hambatan-hambatan yang
potensial dimiliki oleh suatu masyarakat
yang plural dan heterogen juga dapat ditentukan dalam banyak aspek lainnya :
Struktur sosial yang berbeda akan menghasilkan
pola dan proses pembuatan keputusan sosial yang berbeda, pluralitas dan heterogentitas seperti
diuraikan di atas juga tanpa memperoleh
tantangan yang sama kerasnya dengan tantangan terhadap upaya untuk
mempersatukannya melalui konsep negara kesatuan
yang mengimplikasikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan
secara sentralistik.
Masyarakat
Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, karena adanya
berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur merupakan sumber
nilai yang memungkinkan terpeliharanya
kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakatta pendukungnya, setiap masyarakat
pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya
sebagai kerangka acuan bagi
perikehidupannya yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas (Fuad
Hassan, 1998). Sehingga perbedaan
antar kebudayaan, justru bermanfaat
dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat
tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa
telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup
berdampingan secara damai merupakan
kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah
budaya nasional karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau
sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya
melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan
dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang
diunggulkannya. Sehingga permasalahan multicultural justru merupakan suatu
keindahan bila indentitas masing-masing
budaya dapat bermakna dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya serta
dapat dihormati oleh kelompok masyarakat
yang lain , bukan untuk kebanggan dan sifat egoisme kelompok apalagi bila
diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu misalnya digunakanya symbol-simbol budaya jawa yang
“salah kaprah” untuk membengun struktur dan budaya politik yang
sentralistik.
Masalah yang
biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa
dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan
kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini yang paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa
dan umum local di satu pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain. Pemaksaan untuk merubah tata nilai atau upaya
penyeragaman budaya seringkali dapat memperkuat penolakan dari budaya-budaya
daerah, atau yang lebih parah bila upaya mempertahankan tersebut, justru disertai dengan semakin menguatnya Etnosentrime
Etnosentrisme secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok
sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan
dinilai sesuai dengan standar kelmok sendiri.
Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur
baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan
lain dalam proporsi kemiripannya dengan
kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat dan tanpa kritik pada
kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka terhadap kelompok
etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang
yang berkepribadian etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang
mempunyai banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman, maupun komunikasi, sehingga sangat mudah
terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut.
Ditambahkan
oleh Budiono bahwa ; Dalam masyarakat
selalu bekerja dua macam kekuatan yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan
dan kekuatan yang menolek adanya perubahan. Meskipun selalu terdapat dua kekuatan, namun sejarah
memperlihatkan bahwa kaum konserfatif
cepat atau lambat akan terdesak untuk memberi tempat pada adanya perobahan.
Proses itu seringkali tidak berjalan
secara linier, tapi berjalan maju mundur. Konflik antara kaum progresif dengan
kaum konserfative maupun konflik diantara kaum progresif itu sendiri. Dalam “masyarakat yang sudah selesai” konflik itu sudah ditempatkan dalam suatu mekanisme yang biasanya merupakan
tatanan sosial politik yang sudah dirasionalisasikan sehingga konflik itu
didorong untuk diselesaikan secara argumentatif. Sebaliknya pada masyarakat
berkembang (masyarakat yang belum selesai) konflik itu biasanya berlangsung
“secara liar” karena para pelakunya masih sama-sama mencari mekanisme untuk menyelesaikan/
mengatasi perbedaan-perbedaan di antara
mereka secara rasional, susahnya dalam
bersama-sama mencari mekanisme itu
masing-masing kekutan progresif itu juga berusaha untuk mencari kekuatan yang dominan, untuk
mencari dan menentukan bentuk mekanisme penyelesaian, kadang-kadang bentuk
mekanisme itu bisa diusahakan serasional
mungkin tetapi bisa saja terjadi bahwa usaha-usaha itu dipadu dengan pemaksaan fisik.
Dengan
pemahaman pada fenomena tersebut landasan sosial budaya masyarakat Indonesia
yang bercorak pada masyarakat majemuk (plural society) perlu memperoleh
perhatian dan dikaji kembali, karena ideology masyarakat majemuk lebih
menekankan pada keanekaragaman suku bangsa akan sangat sulit untuk diwujudkan
dalam masarakat yang demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai tujuan proses-proses
demokratisasi, ideology harus digeser menjadi ideology keanekaragaman budaya
atau multi kulturalisme, Kemajeukan masyarakat Indonesia yang terdiri atas
berbagai suku bangsa maka yang nampak menyolok dalam kemajemukan masyarakat
Indonesia adalah penekakanan pada
pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-komunitas suku bangsa,
dan digunakannya kesukubangsaan tersebut sebagai acuan utama bagi jati diri
individu. Ada sentimen-sentimen kesuku bangsaan yang memiliki potensi pemecah
belah dan penghancuran sesama bangsa Indonesia karena masyarakat majemuk
menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh stereotip dan prasangka
yang menghasilkan penjenjangan sosial, secara primordial dan sobyektif. Konflik-konflik yang terjadi antar etnik dan
antar agama yang terjadi, sering kali berintikan pada permasalahan hubungan
antara etnik asli setempat dengan pendatang, konfkil –konflik itu terjadi karena adanya pengaktifan secara berlebihan
jatidiri etnik untuk solidaritas dalam memperebutkan sumber daya yang ada
(Hamengku Buwono X. 2001).
Kendala dan Upaya Penyelesaian Permasalahan Silang Budaya
Dengan
mencermati berbagai permasalahan silang budaya dan kondisi masyarakat
Indonesia, dapat ditenui adanya berbagai
masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah diantaranya adalah
: (1) Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi
sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan
rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan
keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif,
sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam
eksistensinya (2) Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan
fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi, (3) Paradigma pendidikan
yang lebih menekankan pengembangan
intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional,
pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan
& pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih
mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti
daripada sangsi moral. (4). Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring”
(krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural
yang ditangkap dan diadopsi secara
terbatas.
Sejalan dengan
berbagai kendala yang ada maka upaya penyelesaian permasalahan silang budaya dapat dilakukan
dengan : Pertama dapat dilakukan
dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat ; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi
antarbudaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan
masyarakat tentang kebhinekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri
khas budaya tertentu, terutama
psikologi masyarakat yaitu pemahaman
pola perilaku khusus masyarakatnya. Kedua
: Peningkatan peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara
substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial
yang dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang
mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau
perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai
pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara
distributif, berfungsi memelihara
keseimbangan sistem melalui diseminasi
selektif dan berbagai ragam
teknik-teknik penyebaran maupun
penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam
masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk
dapat menampilkan berbagai informasi
yang bersifat apresiatif terhadap budaya
masyarakat lain.
Ketiga : Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan
karena pendidikan berbasis adat tidak
akan melepaskan diri dari prinsip bahwa
manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek
sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya
tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan
keluarga, pendidikan formal maupun non formal.
Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang
dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan
proses homonisasi yang melihat manusia sebagai makhluk hidup
dalam konteks lingkungan ekologinya,
yang memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan
kesejagadan dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang
lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral
dan sensivitas /kedaulatan budaya, sehingga terbentuk manusia yang bisa
mengelola konflik, dan menghargai kemajemukan, serta dapat tegar terhadap arus
perubahan dengan memperetajam sence of
belonging, self of integrity, sence of participation dam sence of
responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut,
transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi
yang dipaksakan.
Kesimpulan
Bhineka
Tunggal Ika sebagai semboyan,
menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam ke
ekaan mulai menjadi mesalah yang tak pernah kunjung selesai. Masyarakat majemuk
yang menekankan keanekaragaman etnik sepatutkan dikaji ulang untuk digeser pada
pluraisme budaya (multi culturalme) yang
mencakup tidak hanya kebudayaan etnik tapi juga berbagai lokal yang ada di
Indonesia, sekaligus harus dibarengi oleh kebijakan politik Nasional yang meletakkan berbagai kebudayaan itu dalam
kesetaraan derajad.
Tranformasi budaya dan berbagai
permasalahan silang budaya harus dapat dipandu secara perlahan lewat jalu media
massa maupun pendidikan. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta arus informasi,
memerlukan berbagai penyesuaian, baik dalam struktur pekerjaan, tuntutan
keahlian mobilitas sosial dan sebagainya, dalam proses perubahan tersebut bila tidak memiliki akar budaya yang kuat
akan kehilangan identitas diri, dan terbawa arus. Tatanan sosial dan tradisi
lokal yang berakar kuat akan memberikan sentuhan halus yang mengingatkan
manusia agar tidak terbawa arus perubahan yang demikian dahsyat. Nilai budaya yang berkembang dalam suatu
masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan
masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis
terintegrasi menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap
sistem adat yang ada, karena kebudayaan
Nasional tersebut baru pada taraf pembentukan.
Dengan berpijak pada pemahaman tersebut,
nampak bahwa kebijakan pendidikan yang sentralistik menjadi tidak relevan.
Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena
pendidikan berbasis adat tidak akan
melepaskan diri dari prinsip bahwa
manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek
sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya
tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan
keluarga, pendidikan formal maupun non formal.
Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang
dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan
proses homonisasi dan humanisasi.
Daftar
Pustaka
Budiono Kusumohamodjojo, 2000, Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Grasindo Jakarta
Danandjaja James, 1988, Antropologi Psikologi, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Hamengku Buwono X, 2001, Implementasi Budaya Jawa Dalam Menjaga
Keutuhan dan Persatua Bangsa,
Mungkinkah? Makalah Seminar, Solo,
Agustus 2001
Paul B. Horton & Chester LH,
Terj. Aminuddin Ram, 1992, Sosiologi, Erlangga, Jakarta
Setya Yuwana Sudikan,
2001, Metode Penelitian Kebudayaan, Citra Wacana, Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar