BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan
dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukumdalam upaya
menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup
berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui.
Sebagain besar hukum
yang berlaku di Indonesia
adalah hukum bekas jajahan Belanda, banyak kaedah-kaedah dalam hukum tersebut tidak sesuai dengan
nilai-nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat dan tidak mencerminkan
nilai-nilai keadilan. Hukum kolonial yang masih berlaku di Indonesia menganut ajaran Positivisme. Hukum menurut
aliran ini adalah apa yang menurut
undang-undang, bukan apa yang seharusnya. Atas dasar itu, hukum harus pula
dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis (penilaian baik
dan buruk), politis (subjektif dan tidak bebas nilai), sosiologis (terlepas
dari kenyataan sosial).
Ada sebuah kasus hukum yang sangat menarik
untuk ditelaah, yakni seorang nenek
berumur 55 Tahun yang bernama Minah diganjar 1 bulan 15 hari penjara karena
menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT.
Rumpun Sari Antan (RSA) adalah hal yang
biasa saja.
Ironi hukum di Indonesia ini
berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun
Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada
2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam
kakao.
Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju
pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian
memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3
buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah
pohon kakao.
Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri.
Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri.
Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang
mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya
pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia
kembali bekerja. Namun dugaanya meleset.
Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia
mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai
akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan
Negeri (PN) Purwokerto. Majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH
memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Adanya perbenturan antara nilai-nilai keadilan pada
kasus tersebut penulis tertarik menganalisa kasus tersebut melalui dua aliran
hukum yang berbeda yang saling kontradiksi yakni aliran hukum Positivisme dan
Aliran Sosiologis.
B. Masalah Pokok
a. Bagaimana pandangan aliran positivisme terhadap kasus tersebut?
b. Bagaimana Pandangan aliran Sosiologis terhadap kasus tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
- Pandangan Aliran Positivisme
Kasus
nenek Minah menurut aliran positivis adalah sebuah perbuatan yang harus
dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya. Penegakan hukum
terhadap nenek Minah harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial serta moralitas,
karena menurut kaca mata aliran ini tujuan hukum adalah kepastian, tanpa adanya
kepastian hukum tujuan hukum tidak akan tercapai walaupun harus
mengenyampingkan rasa keadilan.
Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan
terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah
menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu
hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa
memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan
politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai
arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:
1.
hukum adalah perintah
2.
Analisis terhadap konsep-konsep
hukum berbeda dengan studi sosiologis, histories dan penilaian kritis.
3.
keputusan-keputusan dideduksi
secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu
merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.
4.
Penghukuman secara moral tidak
dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau
pengujian
5.
Hukum sebagaimana diundangkan,
ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya
diciptakan, yang diinginkan.
Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran
legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar
undang-undang, undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang
dan hukum diidentikkan.
Hukum Pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal ini secara
eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana
seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas
legalitas. Dari pernyataan diatas maka
pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa, dapat
dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang
mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah yang
tertuang didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam
didalam hukum positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak
bisa diminta pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana.
Ketika nenek Minah kedapatan mengambil 3 buah kakao,
yang secara ekonomi nilainya tidak seberapa, nenek Minah harus berurusan dengan
hukum, karena perbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana
termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana pencurian. Menurut Aliran
Positivisme bagaimana pun hukum harus
ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya.
Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini
adalah kepastian hukum.
Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus
eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta
ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga
masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai
asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius
yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna
menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang
sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang
hukum.
Dalam menjawab persoalan itu, sebagai
negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran
positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib
berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang
melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus
dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Karena melihat persoalan hukum ini melalui kacamata
positivisme, maka harus melihat kembali fakta-fakta substansi hukum Pidana Indonesia dalam menjawab persoalan
ini, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara
berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut
dengan tertib berpikir, sehingga hukum Pidana terlepas dari Ins konsistensi
hukum. Dengan kata lain, terlepas dari
serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara
memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar
filosofis lainnya. Menurut Hans Kelsen, aliran positivisme hukum tidak
mempersoalkan keadilan, karena hal tersebut bukan konsen dari hukum.
- Pandangan Aliran Sosiologis.
Kasus
nenek Minah sontak mencidrai rasa keadilan
di tengah masyarakat, sebab nenek Minah yang tak tau apa-apa tersebut harus
berurusan dengan hukum dan dijatuhi hukuman oleh hakim. Padahal apa yang
diperbuat oleh nenek Minah sangat tidak berbanding dengan sanksi yang
diterimanya. Seharusnya perkara-perkara kecil seperti ini tidak sampai ke
pengadilan dan cukup diselesaikan bawah, tetapi hukum berkata lain. Substansi
hukum tidak lagi mencerminkan keadilan ditengah masyarakat, hukum sudah jauh
dari nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat.
Menurut
Aliran Sosiologis yang dipelopori Hammaker, Eugen Ehrlich dan Max Weber Hukum
merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum adalah gejala
masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya dan lenyapnya)
sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan hukum merupakan kaca dari
perkembangan masyarakat.
Oleh
sebab itu, menurut aliran Sosiologis, hukum bukanlah norma-norma atau
peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib yang ada
dalam masyarakat, tetapi kebiasaan-kebiasaan orang dalam pergaulannya dengan
orang lain, yang menjelma dalam perbuatan atau perilakunya dimasyarakat.
Hammaker, yang meletakkan dasar sosiologi hukum di Negara Belanda menyatakan,
hukum itu bukan suatu himpunan norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan
yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu
himpunan peraturan-peraturan yang menunjuk ‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya
dengan orang lain di masyarakat.
Menurut
Soekanto, aliran sociological jurisprudence yang dipelopori oleh oleh Eugen
Erlich, bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif
(kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat (living law).
Sehingga hukum yang positif hanya akan efektif apabila senyatanya selaras
dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat
perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislated,
keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah
justru terletak didalam masyarakat itu sendiri.
Kasus
nenek Minah merupakan secuil kecil masalah ketidakadilan ditengah-tengah
masyarakat. Banyak substansi hukum yang ada tidak berihak kepada kepentingan
masyarakat, hukum tidak lagi mencerminkan perkembangan masyarakat sehingga
banyak masalah-masalah hukum terkini ditengah-tengah masyarakat tidak bisa
dijawab oleh hukum, karena hukum yang berlaku sudah banyak yang usang seperti
hukum warisan kolonial yang masih bersifat positivis.
Secara
idialnya perkembangan masyarakat harus diikuti oleh perkembangan hukum. Dari
kasus nenek Minah, penggunaan pranata hukum yang tidak sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan tidak mencerminan nilai-nilai keadilan ditengah
masyarakat hanya membawa ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat. Ditambah
lagi dengan aparat penegak hukum yang masih berpola pikir konservatif dalam
menegakkan hukum. Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat, tapi sekaligus ia juga
menciptakan masyarakat. Sehingga konsep dalam berhukum seyogyanya adalah
sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum dan keadilan
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kasus nenek Minah merupakan
gambaran nyata bahwasanya dunia hukum di Indonesia masih jauh dari
nilai-nilai keadilan. Sebagian besar hukum yang berlaku di Indonesia masih
menganut aliran positivisme. Tujuan dari
aliran ini ialah kepastian hukum, hukum adalah yang terdapat didalam
Undang-undang, sedangkan diluar itu bukanlah hukum. Hukum harus ditegakkan
tanpa melihat unsur-unsur sosiologis, etis maupun politis. Sehingga nenek Minah
yang lemah dan tak berdaya didepan hukum harus tetap menjalani proses hukum,
karena walaupun hukum kejam hukum tetap harus ditegakkan.
Sedangkan di sisi
lain, dengan adanya kasus nenek Minah ini, hukum di Indonesia tidak lagi menggambarkan
nilai-nilai keadilan ditengah-tengah masyarakat. Menurut Aliran Sosilogis hukum
itu lahir dan hidup ditengah masyarakat, hukum yang hidup ditengah masyarakat
itulah hukum, sehingga hukum merupakan percerminan dari perkembangan masyarakat
itu. Menurut aliran ini hukum tidak terdapat didalam undang-undang, tetapi
hukum itu ada ditengah-tengah masyarakat yang terlihat dari pola tingkah laku
masyarakat. Perkembangan masyarakat juga harus di ikuti oleh perkembangan
hukum, sehingga pranata-pranata hukum yang ada dapat menjawab semua masalah
hukum tanpa mengenyampingkan nilai-nilai keadilan yang hidup ditengah-tengah
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Hans Kelsen, Toeri
Hukum Murni, Nusamedia, Bandung ,
2008
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya , 2005
Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum,
Prandya Paramita, Jakarta ,
2009
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi
Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 2009
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
Jakarta , 1999
Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika
Masalahnya, Elsam & Huma, Jakarta ,
2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar