Dalam beberapa tahun terakhir, masalah
ketahanan pangan menjadi isu penting di Indonesia, lebih-lebih bila dikaitkan
bencana alam. Seolah bencana alam merupakan sumber
penyebab kerapuhan pangan. Bagaimanapun, bencana alam merupakan salah satu
sumber kerentanan pangan. Tetapi, bencana jelas bukan yang paling mencemaskan.
Setiap bencana alam, seberapa pun besar dan massifnya, tetap tidak pernah
terjadi secara serentak dan di semua tempat sekaligus. Dengan demikian, dampak
bencana alam terhadap ketahanan pangan bersifat insidental, temporer, dan
lokatif.
Sampai di sini, justru ada faktor lain yang jauh lebih sistematis
sebagai mata air kerentanan pangan, yang celakanya tidak diperhatikan dan
diantisipasi secara memadai. Sumber itu tidak lain adalah perubahan kelembagaan
(aturan main). Perubahan kelembagaan di sini dimaknai sebagai pergeseran pola
interaksi antarpelaku dalam mendesain aktivitas ekonomi.
Segitiga perubahan
Dalam kaitan dengan ketahanan pangan,
pembicaraan harus dikaitkan dengan masalah pembangunan pedesaan dan sektor
pertanian. Pada titik inilah dijumpai realitas bahwa kelembagaan di pedesaan
setidaknya dipangku oleh tiga pilar, yaitu kelembagaan penguasaan tanah,
kelembagaan hubungan kerja, dan kelembagaan perkreditan. Tanah/lahan masih
merupakan aset terpenting bagi penduduk pedesaan untuk menggerakkan kegiatan
produksi. Sedangkan relasi kerja akan menentukan proporsi nisbah ekonomi yang
akan dibagi kepada para pelaku ekonomi di pedesaan. Terakhir, aspek
perkreditan/pembiayaan berperan amat penting sebagai pemicu kegiatan ekonomi di
pedesaan karena biasanya di wilayah itu ketersediaan modal amat terbatas.
Ketiga pilar perubahan kelembagaan itu
akan amat menentukan keputusan pelaku di sektor pertanian (baca: petani)
sehingga turut memengaruhi derajat ketahanan pangan. Sayang, perubahan
kelembagaan di pedesaan mengarah kepada situasi yang menciptakan disinsentif
bagi petani untuk meningkatkan produksi. Kepemilikan tanah sebagai pilar
terpenting kegiatan produksi semakin lama kian tidak ramah dengan kebutuhan
sektor pertanian. Rata-rata kepemilikan lahan rumah tangga petani semakin
menciut, bahkan kini di Jawa rata-rata kepemilikan lahan itu hanya 0,25 hektar.
Penciutan kepemilikan lahan itu bisa bersumber dari pola warisan yang membuat
lahan terfragmentasi, infiltrasi sektor industri/jasa yang lapar lahan, dan
kebijakan pemerintah yang meninggalkan sektor pertanian.
Menurut BPS dan BPN (Badan Pertanahan
Nasional), setiap lima tahun konversi lahan pertanian untuk pemanfaatan lain
(industri, jasa, permukiman) mencapai 106.000 hektar. Akumulasi atas soal itu
mengakibatkan produksi komoditas pertanian merosot meski mungkin saja
produktivitas per hektar mengalami kenaikan, seperti komoditas beras dan
jagung. Selanjutnya, serangan perubahan datang dari kelembagaan hubungan kerja.
Dulu, kelembagaan relasi
kerja di sektor pertanian mengandaikan pembagian risiko maupun nisbah ekonomi
antarpelaku. Misalnya, konsep maro atau mertelu antara pemilik lahan dan petani
penggarap merupakan jalan tengah antara kelangkaan modal dan risiko tinggi
kegiatan produksi di sektor pertanian.
Dengan desain kelembagaan semacam itu jika
terjadi gagal panen, beban bisa dibagi di antara pelaku. Sebaliknya, bila panen
berhasil, masing-masing pihak akan mendapat bagian. Masalahnya, kelembagaan
hubungan kerja seperti itu sudah ditinggalkan, di mana yang kini tersedia hanya
hubungan antara pemilik lahan dan penyewa (jika pemilik lahan tidak
mengusahakan sendiri). Pada situasi ini, petani tunalahan enggan menyewa karena
biayanya amat mahal, sementara pemilik lahan kurang berminat untuk mengolah
tanah sendiri akibat insentif laba yang amat tipis.
Desain perubahan kelembagaan
Selain itu, salah satu penyebab penting kerawanan kegiatan produksi
di sektor pertanian adalah perubahan kelembagaan perkreditan. Kebijakan
peningkatan akses kredit yang dilakukan secara gencar oleh pemerintah sejak
dekade 1980-an telah menyebabkan penetrasi lembaga keuangan formal dan
semiformal (bank, koperasi, dan lain-lain) yang intensif di wilayah pedesaan.
Kenyataannya, kebijakan itu bukannya mendekatkan petani (kecil) kepada sumber
dana, tetapi justru kian menjauhkan. Lembaga keuangan formal itu tidak bisa
dijangkau petani (justru ketika dari segi fisik jarak di antara mereka amat
dekat) karena persyaratan agunan. Akibatnya, lembaga keuangan itu cuma dapat
diakses petani skala besar. Celakanya, petani kecil juga sulit mengambil kredit
dari lembaga keuangan informal (rentenir) karena keberadaannya sedikit demi
sedikit tergerus oleh penetrasi lembaga keuangan formal. Inilah titik yang amat
mematikan daya hidup petani kecil.
Segitiga perubahan kelembagaan itu dengan jelas
mendeskripsikan betapa secara sistematis perubahan kelembagaan yang
diintroduksi pemerintah menjadi penyebab kemerosotan sektor pertanian. Dengan
demikian, dari perspektif produksi, perubahan kelembagaan itu akan menjadi
sumbu peledak persoalan ketahanan pangan di masa mendatang. Karena itu, secara
hati-hati dan matang pemerintah kembali diminta mendesain atau menggeser
perubahan kelembagaan di wilayah pedesaan dan sektor pertanian dengan
mengandaikan derajat kemanfaatan yang lebih besar bagi para pelaku, khususnya
petani kecil. Sebagian isu perubahan kelembagaan itu sudah dimengerti secara
baik oleh pemerintah, yakni reforma agraria. Selain itu, pemerintah harus terus
bergerak dengan mengupayakan desain hubungan kerja dan akses kredit yang lebih
adil di antara pelaku di sektor pertanian. Tanpa kesadaran semacam ini, isu
ketahanan pangan hanya akan berhenti menjadi rintihan lirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar