PENDAHULUAN
Desa telah berubah secara drastic menyusul
bangkitnya demokrasi dan otonomi di Indonesia. Dulu desa adalah obyek sentralisasi,
depolitisasi, kooptasi, intervensi dan intruksi dari atas. Sekarang desa menjadi arena
demokrasi, otonomi, partisipasi dan control bagi warga masyarakat (dalam Hans Antlov
1999). Ciri dari sebuah masyarakat hukum adat yang otonom adalah berhak mempunyai wilayah
sendiri dengan batas yang sah, berhak
mengatur dan mengurus pemerintahan dan rumah tangganya sendiri. Dalam konteks inilah desa menemukan
identitasnya sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengurus
kepentingannya sendiri yang dalam bahasa lain disebut dengan otonomi asli. Dengan demikian desa
secara alami telah memiliki otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini terbentuk, dimana otonomi
yang dimilikinya
bukan pemberian dari pihak lain.
Secara historis desa adalah suatu
entitas sosio-kultural yang sejak dulu telah mengatur diri sendiri. Melalui desa inilah identitas
lokal dapat diekpresikan dan sekaligus kepentingan bersama dalam komunitasnya dikelola. Kita
pun kemudian akan membayangkan
adanya otonomi desa desa dalam bentuk yang asli. Disisi lain, desa dalam sejarahnya juga telah lama
terbingkai dalam formasi Negara yang hierakis- sentralistik. Sebagai sebuah komunitas local, desa
kemudian menjadi ajang pertarungan paling dekat antara Negara dan masyarakat. Intervensi
Negara secara sistematik ke desa telah membuat hilangnya otonomi asli desa sekaligus
menghancurkan pengelolaan pemerintah
sendiri dan keragaman identitas lokal.
Kondisi zaman terus berubah, dan
desa tidak selamanya terjebak dalam romantika kehidupannya. Seiring dengan perubahan konfigurasi
politik (liberalisasi politik demokratisasi) pasca jatuhnya rezim Orde Baru telah membawa komunitas desa
untuk berpartisipasi
dan mengambil peran penting dalam proses pembangunannya, sebuah kemandirian desa. Apalagi ketika UU
No.2 Tahun 1999 di keluarkan dan dipercaya tidak hanya membuka ruang bagi otonomi daerah tetapi juga
membuka ruang bagi otonomi desa.
PEMBAHASAN
Desa dalam Otonomi Daerah Pembahasan
tentang desa dan posisinya dalam otonomi daerah akan difokuskan pada 3 kluster berikut,
1). desa sebagai unit birokrasi/pemerintahan,
2). desa sebagai unit ekonomi, dan 3). desa sebagai unit sosial- budaya. Desa sebagai unit
birokasi/pemerintahan adalah posisi desa sebagai lembaga yang menjadi garda depan pelayanan
publik. Desa sebagai unit ekonomi berkaitan dengan posisi kelembagaannya untuk menopang,
merangsang, dan memfasilitasi aktivitas berusaha warganya dalam lapangan pertanian,
perdagangan dan kegiatan ekonomi produktif lainnya. Sedangkan kluster ketiga, desa
sebagai unit sosial-budaya adalah posisi kelembagaan desa untuk mengelola konflik di satu sisi
dan di sisi lain, memdorong dan mempromosikan semangat kerjasama (gotong-royong) dan berkreasi warganya. Menjadi sebuah persoalan yang
kompleks ketika kerangka aturan yang dibuat negara tidak mampu mengakomodasi posisi
unik kelembagaan desa dalam ketiga kluster yang telah dikemukakan sebelumnya. Kalaupun akomodatif,
aturan itu tidak mampu menjadi kerangka yang utuh sehingga desa mampu mengemban fungsi kelembagaannya
secara terintegratif
baik sebagai unit ekonomi, politik/pemerintahan dan sosial-budaya. Penguatan di satu kluster cenderung
diikuti oleh pelemahan di kluster yang lain.
Pada tingkat tertentu, kebijakan
desentralisasi sebagaimana berlaku sekarang, alih-alih memberdayakan masyarakat, justru menciptakan
desain kelembagaan yang justru
meminggirkan peran serta masyarakat dalam proses formulasi kebijakan. Agak susah membayangkan 80% masyarakat
Indonesia yang tinggal di wilayah pedesaan, kadang-kadang terpencil, dan dengan latar belakang
pendidikan yang seadanya dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pemerintah daerah (baca: kabupaten/kota) yang berkaitan langsung dengan
kepentingan hidup mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar